Selasa, 26 Agustus 2008

Jerit Rakyat karena Harga Elpiji

Pepatah yang mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula tepat untuk menggambarkan betapa masyarakat miskin semakin terhimpit dengan kenaikan Liquid Petrolium Gasses (LPG: baca, elpiji). Terlebih kenaikan itu menjelang bulan suci Ramadhan yang notabene kebutuhan warga meningkat demi menjamin kekhusukan beribadah.
Keluhan masyarakat itu disampaikan dalam berbagai pertemuan, forum dan kesempatan. Para wakil rakyat mampu menangkapnya. Mereka juga meneriakkan jerit si miskin. Mereka menilai, kebijakan pemerintah dalam hal ini Pertamina menaikkan harga elpiji—terlebih menjelang Ramadhan—tidak tepat dan tidak sesuai dengan hati nurani rakyat.
Pertamina terhitung sejak dua hari lalu menaikkan 9,5% harga elpiji untuk tabung ukuran 12 kg. Harga jual naik dari Rp.63.000,-/tabung menjadi Rp.69.000,-/tabung. Adapun harga jual elpiji kemasan 50 kg, dikurangi diskonnya dari 15% menjadi 10% atau dari harga Rp6.878,-/kg menjadi Rp7.255,-/kg. Dengan demikian harga dalam kemasan 50 kg naik dari Rp343.900,-/tabung menjadi Rp362.750,-/tabung. Sedangkan harga jual elpiji tabung 3 kg masih tetap seperti yang lama yaitu Rp 4.250/kg (Rp12.750/tabung 3 kg).
Alasan Pertamina menaikkan harga elpiji pada bulan Juli 2008 adalah untuk mengakomodir kenaikan biaya operasional dan distribusi sehubungan dengan naiknya harga BBM, serta masih belum mengakomodir harga bahan baku elpiji.
Untuk tahun 2008, rata-rata harga elpiji di Pasar Internasional (Ref harga CP Aramco) adalah sebesar 858 USD/MT dengan harga keekonomian Rp 11.400,-/kg. Dengan kenaikan tersebut di atas, Pertamina masih menanggung kerugian akibat penjualan elpiji kemasan 12 kg dan 50 kg sebesar Rp 6,5 triliun/tahun.
Terkait dengan harga jual elpiji nasional yang masih jauh dari harga keekonomian yaitu Rp11.400,-/kg, maka untuk selanjutnya Pertamina berencana untuk menaikkan harga elpiji kemasan 12 kg secara bertahap sebesar Rp500,-/kg per bulannya sampai mencapai harga keekonomiannya. Demikian juga untuk elpiji kemasan 50 kg akan dikurangi diskonnya secara bertahap dan selanjutnya disesuaikan sampai dengan harga keekonomian.
Kita berusaha memahami kesulitan Pertamina di mana dana Rp1,5 triliun itu juga dikeruk dari dana pajak rakyat. Tapi kita juga berempati dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat kecil sekarang ini di tengah himpitan kenaikan-kenaikan harga kebutuhan dasar. Ibaratnya kepala kita menoleh ke kiri sulit, ke kanan pun sulit. Ke mana-mana kita melihat kehidupan ini serba semakin sulit.
Tetapi sebegitu sulitkah hidup ini? Atau jangan-jangan, kita semua ini yang mempersulit diri sendiri. Padahal banyak alternatif positif yang bisa digali dalam hidup yang hanya sekali ini kita jalani.
Lantas bagaimana menyikapi hidup yang serba sulit seperti sekarang ini? Formula terbaiknya tentu saja kita semua harus mengencangkan ikat pinggang. Kita harus menggalakkan pola hidup hemat, terutama hemat energi.
Hemat energi itu tidak hanya elpiji, tapi juga bahan bakar kendaraan, termasuk bahan bakar diri kita sendiri, yakni kebiasaan makan kita. Oleh karena itu Ramadhan, sebagai bulan pelatihan untuk mengurangi makan dan minum menjadi momentum yang terbaik. Jadikan Ramadhan sebagai bulan latihan untuk berpola hidup sederhana.
Pada sisi lain kita harus kreatif mencari solusi alternatif baru. Baik dalam hal anggaran belanja negara (penghematan Rp 1,5 triliun Cq Pertamina) hingga daerah yang pro rakyat kecil. Alokasi dana harus ditujukan kepada mereka sehingga mereka mempunyai lapangan kerja yang layak, di mana mereka bisa mendapatkan penghasilan yang tinggi sehingga bisa membeli kebutuhan pangan dan sandang hidupnya. Hanya dengan cara seperti itu krisis ekonomi yang terus melilit seperti sekarang ini bisa kita atasi.




Baca selengkapnya..

43 Kasus Illegal Logging Baru Putus 1

Menumpuk kasus illegal logging di Kantor Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. Sepanjang Juli 2007-2008 jumlahnya mencapai 43 kasus. Dari 43 kasus itu baru 1 kasus yang sudah jatuh vonis majelis hakim. Kasus tersebut adalah kasus illegal logging Tony Wong (TW) di Ketapang. Sementara sisanya masih bergelut di pengadilan.
Kita melihat proses jatuhnya keputusan di pengadilan memang lamban. Apalagi sepanjang Juli-Agustus 2008 kasus-kasus baru illegal logging terus bertambah. Hal ini berarti akan semakin memberikan pekerjaan rumah kepada Kejaksaan Tinggi untuk memproses kasus hukumnya.
Kita maklum bahwa proses hukum itu tidak seperti membuat kue di pabrik di mana setelah alat, bahan, dan metode cukup, maka kue sudah tercetak dalam waktu singkat. Proses hukum membutuhkan bukti-bukti materil, membutuhkan saksi-saksi selama persidangan, dan membutuhkan surat izin dari presiden jika kasus illegal logging itu menyangkut pejabat negara.
Kita maklum. Sekali lagi maklum dengan proses administrasi dan taat prosedur tersebut. Tetapi kita juga menagih janji dan komitmen pemerintah untuk memberantas illegal logging.
Kita mendengar janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pemberantasan illegal logging juga setara dengan pemberantasan korupsi. Bahkan SBY menjadikan pemberantasan illegal logging sebagai bagian prioritas dalam masa jabatannya.
Tak heran, ketika Tony Wong menulis surat kepada SBY, dicantumkan pula melalui internet, maka semakin terbongkar kasus-kasus illegal logging lainnya di Kalbar. Dampaknya seperti yang kita lihat sekarang, jumlah kasus membengkak hingga 43 kasus. Terus bertambah dan bertambah kendati polisi terus menongkrongi.
Efek jera yang selama ini diharapkan masih belum terlihat jelas. Hal itu karena baru 1 putusan dari 43 kasus. Maka kita berharap putusan lebih cepat dan mempunyai efek jera.
Alasan klasik Kejati kita maklumi, bahwa penanganan kasus di pengadilan membutuhkan waktu, tetapi waktu bisa dihemat sedemikian rupa jika ada komitmen kuat. Demikian karena kejahatan illegal logging bukan hanya white collar crime, tetapi sudah pada extraordinary crime. Kejahatan yang luar biasa.
Kejahatan luar biasa itu terutama pada dampak kerusakan lingkungan yang tiada tara. Pertama dalam skala kecil adalah rusaknya habitat hutan. Dalam skala lebih luas adalah rusaknya ekosistem lokal dan global.
Kita di Kalbar sudah merasakan dampak dari kerusakan hutan tersebut. Lihatlah kebakaran ladang semakin kerap terjadi sehingga membuat udara yang kita hirup tidak sehat, erosi semakin tinggi sehingga melarutkan bunga tanah. Tanah hutan menjadi tidak subur, sungai menjadi dangkal, dan masyarakat kehilangan banyak sumber mata pencahariannya. Baik di lingkungan hutan, maupun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas.
Kajati Salamoen mengakui bahwa dia bertugas di Kalbar adalah untuk menuntaskan kasus-kasus seperti illegal logging tersebut. Kapolda Kalbar R Nata Kesuma juga tak kalah kerasnya. Dia ditugaskan ke Kalbar khusus untuk menumpas illegal logging karena terkait kasus Ketapang hampir setahun yang lalu.
Jika pejabat pusat dan daerah sudah punya komitmen yang sama, logikanya semua syarat administrasi menjadi lancar. Jika tidak lancar dan macet, kita patut bertanya, masih adakah komitmen para pejabat itu? Tidakkah mereka sudah ternoda? Maklum aliran dana illegal logging itu sangat besar.
Untuk memantau benar tidaknya pernyataan lisan para petinggi kita patut mendesak kepada pemerhati, pemantau, peneliti dan aparat pemeriksa agar menelaah kembali kasus per kasus yang ada tersebut jangan sampai ”masuk angin”. Sesuatu yang kita miliki saat ini adalah kewenangan mengontrol. Bersuaralah, sebab jika tidak bersuara maka suara Anda tak akan didengarkan.




Baca selengkapnya..

Demam Politik 2009

Di mana saja kita berada, apa yang dilihat, didengar dan dibicarakan selalu politik. Jika pembicaraan di luar domain politik, lambat laun perjalanan pembicaraan tercebur pula ke pentas politik akibat begitu kuatnya daya tarik “kekuasaan” di negeri kita.
Daya tarik yang demikian kuat, melibatkan banyak pihak, termasuk dana, mengakibatkan negeri ini demam panas politik. Demam panas politik itu karena pada 2009 Indonesia akan menjalani kembali sebuah pesta akbar demokrasi lima tahunan. Agendanya meliputi pemilihan wakil rakyat di legislatif kabupaten-kota, provinsi dan Pusat, Dewan Perwakilan Daerah, maupun RI 1-2, Presiden dan Wakil Presiden.
Aktivitas pencitraan telah dilakukan jauh-jauh hari dan setakat ini semakin gencar karena daftar anggota calon legislatif sudah harus diterima Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di daerah maupun di Pusat. Pencitraan itu meliputi tatap muka langsung, aneka rupa bentuk kegiatan sosial, maupun melalui media massa: cetak maupun elektronik.
Baliho dan spanduk di pinggir jalan juga menghias di mana-mana. Bahkan begitu demamnya, hampir di semua perempatan jalan kita berhadapan dengan album raksasa. Isinya wajah para tokoh yang hendak maju ke kursi legislatif maupun eksekutif.
Di Kalbar, pada 25 Oktober ini terdapat empat gawai Pilkada kabupaten dan kota. Khususnya di Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau. Semua daerah ini sedang demam panas Pilkada.
Partai-partai pun tak mau ketinggalan start. Mereka bersemangat “45” untuk menampilkan partai mereka sedekat-dekatnya dengan rakyat, mencuri hati rakyat, agar memenangkan pesta demokrasi rakyat. Mereka ingin berada sedekat-dekatnya dengan rakyat. Tentunya mereka juga ingin membuktikan dengan memenangkan pesta demokrasi mulai dari yang terkecil seperti Pilkada di kabupaten maupun kota.
Golkar sebagai partai yang selama ini terbesar di Nusantara tak mau tertinggal, apalagi di era reformasi Partai “Beringin” ini cukup mengalami masalah karena dinilai partai “status quo” bahkan Partainya Bapak Pembangunan, Soeharto.
Tetapi bukan Golkar jika tidak cerdas mengatasi masalah dan tantangannya. Mereka segera membumikan paradigma baru Partai Golkar sehingga pada Pemilu 1999 dan 2004 partai ini tidak kehilangan muka. Golkar tetap menjadi partai papan atas di Indonesia. Bahkan dalam susunan kabinet, RI 2 adalah Ketua Umum DPP Golkar, walaupun di Kalbar hanya Kapuas Hulu dan Ketapang saja yang dimenangkan secara mutlak oleh Golkar.
Oleh karena itu DPD Partai Golkar Kalbar tak mau ketinggalan setting nasional. Pada Sabtu (23/8) mereka menggeber kegiatan kolosal launching nomor Partai “23” dalam nomor urut Pemilu 2009.
Timing waktu 23 Agustus yang dipilih dengan melibatkan 2.300 massa memindai pencitraan yang mudah dikenang massa. Terlebih para petinggi Golkar Kalbar juga “turun gunung”.
Acara yang berlangsung sukses di kawasan Gedung Olah Raga (GOR) Pangsuma Pontianak semakin membuat Kota Pontianak demam politik karena gregetnya menjalar sampai Pilkada Kota. Demikian karena kandidat dari Partai Golkar juga bertarung habis-habisan di dalam Pilkada Kota Pontianak yang tinggal 60 hari lagi ini.
Ketua DPD Golkar Kota yang juga Ketua DPRD Kota H Gusti Hersan Aslirosa akan menujukkan reputasinya mengeruk suara massa sebesar-besarnya. Kesuksesan Hersan yang berpasangan dengan Setiawan Liem di Pilwako akan menjadi faktor penentu lebih lanjut bagaimana nasib Golkar di ibukota Kalbar ini.
Jika Hersan-Liem memenangkan Pilwako, maka akan semakin memudahkan Partai Golkar di Provinsi Kalbar untuk meningkatkan pencitraan dirinya di tengah langkah-langkah kuda partai politik lainnya yang juga berebut suara rakyat. Maka bagi kita, demam panas politik dipastikan terus akan naik suhunya. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika kita semua ekstra hati-hati. Kesembuhan dari demam politik ini baru dicapai setelah Pemilu 2009 selesai dilaksanakan.




Baca selengkapnya..

Semarak HUT Kemerdekaan

Merdeka! Merdeka! Kata itu terdengar di mana-mana. Memang Bulan Agustus adalah bulan perayaan HUT kemerdekaan. Bulan di mana masyarakat secara antusias menggelar berbagai kegiatan dengan niat memaknai perjuangan yang membuahkan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2008.
Di mana-mana sejak kota hingga desa digelar berbagai jenis perlombaan. Mulai dari panjat pinang, lomba makan kerupuk, balap karung, tepuk bantal, dan aneka jenis lomba yang aneh-aneh sebagai tanda bebas berkreativitas tanpa kekangan. Sebutlah pertandingan tepuk bantal, pertandingan sepakbola menggunakan kain sarung dan kacamata kuda, ataupun waria memanjat pinang.
Aneka kegiatan HUT ke-63 RI juga meliputi bidang seni pentas, pemilihan teladan, hingga tentu saja yang paling formal, pengibaran bendera, spanduk, umbul-umbul hingga upacara peringatan detik-detik proklamasi. Pesan-pesan perjuangan dan mengisi era kemerdekaan juga terdengar di mana-mana.
Kemerdekaan diungkapkan dalam pembukaan UUD 1945 adalah hak segala Bangsa. Bangsa apa saja. Baik dalam pengertian negara-bangsa, lembaga, maupun diri kita: manusia. Kemerdekaan adalah ciri universalitas kehidupan.
Kemerdekaan adalah hak azasi manusia. Dia telah ada sejak zaman asali. Sejak manusia lahir. Oleh karena itu kemerdekaan merupakan anugerah ilahi.
Di dalam aspek kemerdekaan ada kebebasan untuk berpikir, bersuara, berpendapat dan bertindak. Sikap dan tindakan itu untuk pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan. Baik pengembangan pribadi, kelompok, maupun untuk kepentingan yang lebih luas.
Dikarenakan kita tidak hidup sendiri, saling berinteraksi, maka kebebasan selalu berdampingan dengan tanggung jawab. Dengan demikian dia menjadi seimbang dan adil. Manusia lahir memang untuk mengemban misi menegakkan keadilan.
Institusi pers seperti Borneo Tribune tak lepas dari hiruk pikuk HUT Kemerdekaan. Secara praktis terlibat dalam meliput berbagai kegiatan, tetapi secara esensial juga melakukan pemaknaan hak dan kewajiban atas “kemerdekaan”.
Di negara yang sudah 63 tahun merdeka, untuk menjamin kebebasan individu maupun kelompok ada hukum dan tata nilai yang harus dipatuhi. Jika hukum dilanggar, maka akibatnya akan fatal. Untuk itu aparat penegak hukum juga diharuskan bertindak secara adil agar hak dan kemerdekaan yang sudah dimiliki itu tetap kukuh berdiri.
Pada edisi Minggu, 24 Agustus ini Borneo Tribune merefleksikan kembali glamour HUT ke-63 RI yang hidup di tengah-tengah masyarakat kita. Laporan juga menghadirkan pandangan-pandangan masyarakat terhadap makna kemerdekaannya. Silahkan menikmati.



Baca selengkapnya..

Kamis, 21 Agustus 2008

Menapis Residu Kasus Gang 17

Hasil diskusi kalangan akademik di Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic Understanding (CAIREU) yang menyimpulkan (sementara) bahwa masih ada residu pemilihan gubernur Kalbar tahun 2007 dan kasus Gang 17 patut menjadi fokus perhatian kita bersama. Kita tentu tak ingin terjadi instabilitas di Kota Pontianak menjelang Pilkada 25 Oktober mendatang, maupun pasca Pilkada tersebut.
Kita tak ingin terjadi instabilitas karena selama ini kita telah berhasil melalui titik-titik rawan yang kritis. Salah satu di antaranya adalah gejolak kriminalitas murni bertendensi etnik di Gang 17 sebagai bagian tak terpisahkan dari romansa kekalahan politik Melayu. Sebagaimana diketahui bersama di Pilgub Nopember 2007 tiga kandidat politisi Melayu masing-masing Usman Ja’far berpasangan dengan Laurentius Herman Kadir, Oesman Sapta berpasangan dengan Ignatius Lyong dan HM Akil Mochtar berpasangan dengan AR Mecer dapat dikalahkan oleh pasangan politisi Dayak-Tionghoa, Cornelis-Christiandy Sanjaya. Orang saat itu berhitung 3:1. Tiga kalah, 1 unggul.
Lepas dari siapa menang, siapa pecundang, kita telah berhasil melewati titik kritis kerawanan karena ada kedewasaan masyarakat luas jika dibandingkan dengan segelintir oknum yang berusaha berbuat tindakan anarkis secara sporadis. Massa yang dominan tak mudah tersulut agitasi dan provokasi Kasus Gang 17. Kasus Gang 17 terjadi akibat salah paham melibatkan oknum warga Tionghoa dan Melayu.
Kita juga bersyukur bahwa aparat bertindak cepat dan tepat. Untuk itu atas kerja keras polisi, kita angkat topi dan berharap di arena Pilkada Kota 25 Oktober mendatang, kinerja mereka jauh lebih baik sehingga ada jaminan keamanan yang lebih nyata di mata masyarakat.
Titik rawan Pilkada yang akan dimasuki Kota Pontianak ibarat luka lama kembali terbuka. Kenapa? Karena secara kasat mata, ada 7 pasangan kandidat yang menunjukkan indikasi pecah suara dan politisi Melayu bisa gigit jari. Ada satu pasangan yang bisa menjadi kuda hitam. Kuda hitam ini punya tendensi tampil sebagai pemenang. Rumus matematikanya menjadi 6:1.
Secara matematis, politisi Melayu yang tampil sebagai calon walikota ada 6 orang, sedangkan politisi Tionghoa satu orang. Fragmentasi suara mudah dibaca kendati ramal-meramal tak sekuat fakta sesungguhnya pada 25 Oktober ke depan.
Jika perhitungan kasat mata itu terjadi, kita tak ingin luka lama terbuka berdarah-darah. Kita berharap kedewasaan berpolitik masyarakat justru menguat, dan kekuatan keamanan teruji untuk unjuk gigi tanpa politik belah bambu antara etnis. Bagi kita semua etnis adalah sama. Sama-sama manusia.
Bagi kita, siapa pun pemenangnya, yang menang adalah rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan Maha Kuasa, yang kepada-Nya kita meminta.
Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat. Jika jagoan kita kalah, silahkan bertarung kembali 5 tahun mendatang secara fair. Adapun pemenang, silahkan bekerja dengan tenang. Silahkan buktikan janji-janji kampanye, dan membangun rakyat adil-sejahtera. Siapapun dia adanya.






Baca selengkapnya..

Rebutan Aset SDN 07


Mencuat kembali kisah perebutan aset tanah SDN 07 yang beralamat di Jalan Untung Suropati, Pontianak Selatan. Perebutan antara Pemprov Kalbar dan Pemkot Pontianak ini sudah meruncing sejak 2 tahun yang lalu.
Sebagai sebuah aset tanah, kasus SDN 07 adalah bagian dari buah reformasi di mana otonomi daerah diserahkan ke tingkat kabupaten-kota. Kota Pontianak pun mengelola aset pendidikan itu sebagaimana haknya. Pemkot menggabungkan sekolah-sekolah terdekat dengan adagium regrouping. Terlebih SD 25, SD 02 sudah keropos dan sudah tidak dapat difungsikan sehingga bergabung dengan SD 47 dan selanjutnya menjadi SD 07
Seperti biasanya terjadi di Republik Indonesia, tertib administrasi masih menjadi kendala. Pemkot merasa berhak sesuai dengan kewenangannya, sedangkan Pemprov juga demikian. Maklum dahulu di tingkat provinsi ada lembaga wakil Pemerintah Pusat bernama Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil PDK). Sementara itu data aset masing-masing tersimpan di bagian perlengkapan.
Centang perenang data sangat menarik untuk disimak. Selain data itu terhimpun di bagian perlengkapan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga dipastikan mengetahui tentang salur-galur tanah tersebut.
Menurut esensinya, bidang pendidikan tidak boleh dikorbankan dalam kasus ini. Apalagi tugas pemerintah, baik Pemkot maupun Pemprov adalah sama di bidang pendidikan. Justru kasus “rebutan” aset adalah sisi lain yang kurang mendidik.
Dipandang dari aspek pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui prinsip good governance, semestinya ada transparansi prihal aset di kedua lembaga pemerintah ini. Para pemimpinnya bisa duduk satu meja untuk mengklopkan data yang ada. Tak soal siapa yang berhak memiliki aset tersebut, terpenting pendidikan anak-anak di sekitar Untung Suropati tidak dikorbankan.
Kita kuatir ada pihak ketiga yang bermain. Siapa lagi jika bukan pihak yang menilai bahwa lokasi yang tak jauh dari Ayani Mega Mall itu sebagai daerah elit. Jika dinilai dengan uang, tentu berlipat ganda sangat besar.
Merunut kasus rebutan aset yang telah terjadi sejak masa Gubernur Aspar Aswin dan dilanjutkan kepada Gubernur Usman Ja’far hingga perintah bongkar bangunan gedung oleh Gubernur Cornelis menunjukkan tata tertib administrasi kelembagaan pemerintahan kita belum beres. Mesti ada rekonstruksi yang sistematis sehingga salah satu lembaga tidak dipermalukan. Lebih-lebih malu kepada peserta didik di SDN 07, para guru dan publik. Para pemimpin mestinya menjadi teladan agar bisa digugu dan ditiru.
Namanya juga pemerintah. Ia berfungsi memerintah. Jika memang sudah jelas status SDN 07 kenapa harus diotak-atik kembali. Pekerjaan rumah pembangunan daerah ini sungguh masih banyak. Mari kita fokuskan kepada upaya melayani rakyat. (Foto Jessica Wuysang)




Baca selengkapnya..

Masih Ada Residu Kasus Gang 17


Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethic Understanding (CAIREU) intens membedah situasi dan kondisi Kota Pontianak menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 25 Oktober mendatang. Setakat ini sudah dua kali CAIREU melakukan diskusi intensif dengan tujuan utama agar terwujud Pilkada Damai di ibukota Kalbar, Pontianak.
Direktur Eksekutif CAIREU Eka Hendry Ar, M.Si dalam pembukaan diskusi di Kampus STAIN tiga hari lalu mengatakan, sebelumnya mereka kalangan akademik telah berdiskusi bersama KPU Kota Drs Hefni Supardi dan Pembantu Ketua III STAIN, Drs Hamka Siregar, M.Ag.
“Hasil diskusi pertama itu disimpulkan bahwa masih ada residu pemilihan gubernur Kalbar tahun 2007 dan kasus Gang 17,” ungkap Eka Hendry di hadapan pembicara dari Majelis Adat Budaya Melayu, H Abang Imien Taha yang diwakili Drs Kasmir Bafirus, M.Si. Hadir dalam diskusi terbatas ini sekitar 15 kalangan akademis.
“Kita mesti mencermati keadaan dengan ultimate choice (pilihan utama, red) damai di Kota Pontianak sebagai barometer demokrasi di Kalbar. Oleh karena itu diskusi seperti ini kami agendakan dengan harapan dapat membawa proses demokrasi di Kalbar dengan damai,” ujar Eka Hendry.
Kasus KPU diduduki akibat ketidakpuasan salah satu contoh yang dikemukakan Eka Hendry. Potensi konflik lainnya tetap harus diwaspadai sesuai tahapan pesta demokrasi.
Di KPU Kota sudah terdaftar 7 pasangan calon. Berdasarkan abjad mereka adalah Abduh-Taha, Haitami-Gusti Hardiyansyah, Harso-Kalut, Hersan-Liem, Oscar-Hartono Azas dan Sri Astuti Buchary-Eka Kurniawan serta Sutarmidji-Paryadi.
Ketujuh pasangan calon itu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Abduh adalah Direktur Polnep. Taha karyawan swasta. Haitami dan Gusti Hardiyansyah sama-sama akademisi. Masing-masing dari STAIN dan Untan.
Harso adalah teknokrat-wiraswastawan. H Kalut swasta entertein dan aktif di Persipon.
Hersan tak asing lagi adalah politisi Golkar dan Ketua DPRD Kota Pontianak sedangkan Setiawan Liem mantan anggota DPRD Kalbar.
Oscar adalah birokrat. Dia mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak dan kini menjabat Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar.
Sri Astuti Buchary sudah tidak asing lagi. Dia adalah first lady, istri orang nomor satu di Kota Pontianak saat ini. Pendampingnya Ketua DPD PDIP dan Wakil Ketua DPRD Kota.
Sutarmidji dan Paryadi juga sudah tidak asing lagi. Masing-masing adalah Wakil Walikota dan anggota DPRD Kota.
CAIREU melihat irisan etnis menjadi sesuatu yang menarik dalam konteks pemilih emosional. “Dominan pemilih di Indonesia masih memilih secara emosional. Baik itu kedekatan organisasi, daerah, etnis, maupun agama,” ungkap saya yang turut hadir dalam forum diskusi tersebut.
Pendapat yang sama juga dikemukakan Gerry Van Klinken sosiolog yang melakukan riset di Kalbar, maupun trend jajak pendapat yang diselenggarakan oleh LSI ataupun IRDI.
Kasus gang 17 adalah peristiwa kriminalitas murni yang berkenaan dengan keluarga Syarif dan oknum warga Tionghoa Ek San. Namun oleh publik digeneralisir sebagai konflik Melayu-China (Tionghoa). Kerawanan konflik itu yang dicermati atas naiknya ke pentas politik kandidat dalam Pilwako.
Kasmir Bafirus atas nama MABM mengatakan Pilkada Kota akan aman-aman saja walaupun residu Pilgub dan Kasus Gang 17 masih ada. “Saya rasa tinggal riak-riaknya saja. Terpenting kita kawal prosesnya,” ungkapnya.
Kasmir melihat kerawanan bukan muncul dari masyarakat pemilih, tapi proses yang dijalankan oleh KPU dan pengawalan dari aparat.
Prihal pecahnya suara menjadi agenda yang menarik sepanjang diskusi. “Jika ada 7 pasang, tentulah suara akan terpecah tujuh,” katanya. Hanya saja besar yang mana, tergantung dari keberuntungan masing-masing kandidat, termasuk kinerja tim sukses.
Yapandi di dalam diskusi menekankan pentingnya pola komunikasi antar tokoh dan aparat. “Bangun komunikasi yang baik sehingga tidak ada konflik yang membawa dampak negatif.”
Diskusi menyimpulkan perlunya mewaspadai potensi-potensi konflik yang ada sehingga Pilkada Damai bisa terwujud. Pilkada diharapkan melahirkan pemimpin berkualitas (qualified). Tidak memilih politisi busuk, atau memilih kucing dalam karung.



Baca selengkapnya..

Selasa, 19 Agustus 2008

Serius Amankan Pilkada

Demokrasi memang mahal. Untuk sebuah pesta demokrasi miliaran dana harus dianggarkan. Anggaran itu meliputi tahapan-tahapan Pilkada. Dimulai sejak pendataan pemilih, pendaftaran KPUD, pembentukan Panwas, anggaran untuk TPS-TPS, surat suara, sosialisasi hingga pengamanan Pilkada.
Jika berhitung untung rugi, betapa ruginya kita jika dana yang dianggarkan begitu besar tapi hasilnya tidak maksimal. Sebutlah, misalnya terpilih ”kucing dalam karung”. Kepala daerah yang terpilih secara langsung ternyata adalah tidak qualifide (berkualitas). Maklum, dari sejumlah Pilkada di Indonesia, jumlah pemilih emosional (karena etnis dan agama) jauh lebih dominan daripada pemilih rasional.
Alangkah jauh lebih rugi lagi jika anggaran yang begitu besar, jika keamanan tidak terjamin. Sebutlah huru-hara yang terjadi seperti Pilgub Sulawesi Selatan dan Maluku Utara yang tidak aman dan berbuntut panjang. Kaca kantor pecah berderai, ekonomi tumbuh lamban, citra daerah pun menjadi rusak. Butuh waktu lebih lama lagi untuk mencairkan kelompok-kelompok massa.
Bagi kita di Kalbar, Kabupaten Kubu Raya sebagai misal sudah menganggarkan Rp700 juta untuk pengamanan Pilkada. Dana itu besar jika dibandingkan kucuran kredit dan fasilitas layanan publik, tetapi sesungguhnya kecil untuk membiayai pesta demokrasi yang aman dan sukses mengantarkan terpilihnya pemimpin terbaik.
Untuk menjamin Pilkada yang aman, Kapolda Kalbar, R Nata Kesuma menegaskan bahwa posisi Polda adalah back-up pengamanan yang dilakukan masing-masing Kapolres. Sementara itu TNI akan menjadi back-up bagi Polda jika terjadi sesuatu yang di luar kemampuan Polres dan Polda dalam menanganinya.
Kita tentu berharap dana Rp700 juta atau lebih untuk Kubu Raya, Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak dan Sanggau yang secara serentak melaksanakan Pilkada bisa dihemat sedemikian rupa. Khususnya dengan cara-cara antisipatif karena antisipasi jauh lebih murah ketimbang operasi lapangan bilamana terjadi huru-hara.
Latihan pengamanan yang selama ini telah dilakukan sangat penting untuk langkah antisipasi. Pada sisi lain, simulasi itu ”show of force” kepada publik bahwa aparat siap untuk terjadinya sesuatu dan lain hal sangat strategis. Show of force atau unjuk kekuatan itu sekaligus ”gertakan” kepada provokator jika berani mengambil resiko dihadapi tegas dan tuntas.
Dalam simulasi sudah jelas ditunjukkan protapnya. Mereka akan ditindak dengan tegas. Bilamana perlu tembak di tempat.
Proses Pilgub Kalbar yang berlangsung Nopember tahun lalu menjadi pelajaran berharga. Bahwa Kalbar berhasil keluar sebagai contoh teladan nasional. Banyak provinsi datang belajar di Kalbar untuk bagaimana agar terselenggaranya Pilkada yang aman dan damai: apapun hasilnya.
Kita berharap, Pilkada di 4 kabupaten-kota 25 Oktober mendatang berlangsung sukses. Soal kalah dan menang, itu soal biasa. Sama saja seperti Piala Eropa kemarin. Tak soal Jerman atau Spanyol yang jadi jawara karena kalah dan menang adalah soal biasa. Kita cukup menikmati fair-play atau permainan profesional.
Polisi sebagai hakim penegak kamtibmas kita harap juga fair-play.KPU dan panwaslu serta media massa juga harus berlaku demikian sehingga keamanan menjadi tanggung jawab kolektif. Semua kita harus menggunakan waktu dan kesempatan secara optimal. Jaminan keamanan amat dibutuhkan masyarakat.




Baca selengkapnya..

Senin, 18 Agustus 2008

Mengisi Kemerdekaan dari Hal-hal Kecil

Apa yang mesti saya lakukan untuk memaknai HUT ke-63 RI? Pertanyaan ini bertalu-talu di benakku.
Tahun yang lalu aku dan teman-teman melaksanakan diskusi menarik tentang pemaknaan kemerdekaan. Tahun ini? Tak ada diskusi. Aku memaknainya dengan cara yang sederhana saja, mencangkok pohon jambu air.
Kupikir, ilmu mencangkok sudah kuketahui sejak SD. Mestinya ilmu ini diamalkan. Apalagi setiap kali mencangkok biasanya berhasil dengan baik. Dan saya berharap tiga cangkokan jambu air saya tumbuh bagus.
Kalau sekarang di tanggal 17 Agustus 2008 saya mencangkok, insya Allah 3 bulan ke depan sudah dapat ditanam langsung. Berarti Nopember.
Saya punya imajinasi, jika Nopember kelak 3 cangkokan itu ditanam di halaman belakang rumahku, dan 3 tahun kemudian sudah berbuah, tentunya dapat dimakan oleh anak, istri, teman-teman, tentangga dan handai-taulan. Lalu dengan bangga saya akan katakan, "Inilah perjuangan saya. Saya mencangkok sendiri pada 17 Agustus. Dan 3 tahun sudah berbuah. Ini makna lain merayakan kemerdekaan."
Merdeka! Merdeka dari belenggu politik dan ekonomi, bahkan budaya. Saya merdeka di tanah sendiri. Buktinya bisa bercocok tanam.
Katanya, jika tanam tomat berbuat tomat. Jika bertanam jambu berbuah jambu. Saya dengan HUT ke-63 RI hendak bertanam kebaikan, semoga juga berbuah kebaikan.
Selain mencangkok jambu air, saya juga menanam satu bibit jambu bol tanpa biji. Bibit unggul itu saya deret di belakang rumah. Dan semoga tumbuh subur serta produktif.
Memaknai hari besar dengan menanam pohon sejurus waktu kemarin juga jadi trend. Terutama menjelang KTT Climate Change di Bali. Dan karena KTT sudah selesai, semoga trend itu tidak ikut surut pula.
Saya mengulum senyum setiap kali lewat di depan rumah di mana saya dan ayah membangun sebuah jalan kecil sehingga menjadi Gang H Saleh 1 (nama kakekku). Di sana ada pohon jarak pagar.
Jarak pagar itu sudah berbuah produktif walaupun tanpa perawatan intensif. Jarak ini ditanam 3 tahun yang lalu. Pada 20 Mei 2006, Hari Kebangkitan Nasional.
Kawan! Pertanian tak jarang menginspirasi sekali. Sayang kalau pertanian kita abaikan. Oleh karena itu mari bersahabat dengan lingkungan dengan cara merawat dan memanfaatkannya.


Baca selengkapnya..

Mengisi Kemerdekaan

210 juta penduduk Indonesia. Berjuta kepala, berjuta pikirannya. Oleh karena itu tak salah jika orang mengatakan Indonesia adalah negara yang kaya. Tidak keliru jika dikatakan Indonesia adalah negara besar.
Emas yang ditambang di Kalimantan atau Papua tidak berarti apa-apa ketimbang menambang pikiran manusia. Bahwa manusia jauh lebih istimewa ketimbang logam paling mulia sekalipun.
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Ia adalah mikrokosmos di tengah makrokosmos jagad raya. Tapi manusia juga adalah makrokosmos dari supermikrokosmos sel-sel hidup di dalam jaringan hidup tubuhnya.
Manusia adalah khalifah. Manusia adalah pemimpin di muka bumi, sekaligus pemimpin bagi dirinya sendiri.
Dilihat dari sisi populasi, manusia Indonesia adalah kekuatan besar. Begitupula dilihat dari volume konsumsi, rakyat Indonesia adalah supermarket besar. Hanya sayangnya, populasi dan volume yang besar itu justru menjadi sasaran negara maju ketimbang produksi dalam negeri.
Indonesia sebagai negara besar, ibarat raksasa yang sedang tidur. Jika ada kesadaran kolektif, Indonesia berpeluang menjadi negeri adidaya baru di dunia. Pertanyaannya kapan? Jawabannya terpulang kepada diri sendiri. Apakah kita sudah merdeka? Apakah kita sudah lepas dari belenggu penjajahan. Penjajahan dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan jumlah penduduk yang besar, dan mendiami negeri kepulauan terbesar di dunia, agaknya ada sesuatu yang keliru jika masih terdapat busung lapar, rakyat miskin dan tidak makmur-sejahtera di negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Bisa hal tersebut korslet akibat penyakit malas, akibat rendahnya pengetahuan dan wawasan, akibat warisan devide et empera zaman Belanda, atau bisa terjadi karena pemerintah salah urus.
Proklamasi yang dikumandangkan 17 Agustus 1945 mengamanahkan agar terwujud tatanan yang berketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merdeka mengandung arti dan makna bebas. Bebas dari penjajahan politik, bebas dari penjajahan fisik, dan tentu saja kita juga ingin lepas dari penjajahan ekonomi. Kita tak ingin menjadi negara penghutang sehingga anak cucu kita lahir semua menanggung beban.
Oleh karena itulah, maka mengisi 63 tahun kemerdekaan RI, kita sebagai manusia Indonesia harus bisa melepaskan belenggu keterjajahan kita. Baik dari segi idiologi, politik, sosial, maupun budaya.
Kita harus maju dengan semangat kejuangan. Dengan semangat kedisiplinan. Dengan orientasi jauh ke depan.
Kita harus maju dengan pikiran. Karena hanya dengan pikiran teknologi bisa berkembang. Knowledge is a power. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan.
Pengetahuan saja tentu tidak cukup. Kita butuh keterbukaan dan saling merapatkan barisan. Kita perlu bersatu dalam visi dan misi yang sama. Fokus menghadapi segala rintangan sehingga Indonesia emas bisa dicapai.





Baca selengkapnya..

Sabtu, 16 Agustus 2008

Soft Launching Buku 50 Tahun Pembangunan Pertanian Kalbar


Budi Rahman
Borneo Tribune, Pontianak

Tak bisa dipungkiri pertanian adalah nafas kehidupan. Siapa yang berani menyangkal fakta bahwa kehidupan umat manusia sangat bergantung pada asupan makanan produk kaum tani?
Pertanian memang kalah mentereng dengan hingar bingar dunia politik atau entertainment namun kegagalan merawat sektor yang satu ini bisa berdampak sangat buruk bahkan bisa mengakibatkan kebangkrutan bagi sebuah negeri. Begitu besar peran sektor pertanian sebagai penyokong kelangsungan hidup manusia. Sayangnya tak banyak pihak yang dapat mencatat kronik perjalanan pembangunan pertanian di negeri ini.

Beruntung Kalbar, dari sekian banyak orang yang mengabaikan makna sebuah rekam sejarah ada seorang penulis daerah yang sehat pikir yang menyempatkan diri menulis perjalanan sejarah pertanian Kalimantan Barat. Dialah Nur Iskandar, sarjana pertanian lulusan Universitas Tanjungpura yang mengaku tergerak hatinya untuk mencatat perjalanan sejarah pembangunan pertanian di Kalimantan Barat, lengkap dengan intrik peristiwa yang melingkupi perjalan sejarah di bidang kebutuhan primer manusia ini.

“50 Tahun Pembangunan Pertanian Kalbar” demikian buku setebal 172 halaman ini diberi judul oleh sang penulis yang juga berprofesi sebagai jurnalis ini. Ada sebuah misi penting untuk merekam perjalanan sejarah pertanian Kalbar untuk warisan generasi mendatang yang diakui sang penulis. Sudah menjadi “bawaan lahir” kebanyakan masyarakat yang tuna sejarah adalah kerap membuat sebuah kebijakan yang tidak berpijak pada masa lalu dan tidak berpandangan ke depan.
Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk di ataslah karya yang ditulis dalam tempo kurang satu tahun ini dilakukan oleh penulis.
“Saksi-saksi sejarah pelaku pembangunan pertanian di Kalbar sudah banyak meninggal. Sementara catatan-catatan prestasi dan mimpi-mimpi yang mereka inginkan belum ada yang menuliskannya,” demikian Pimred Harian Borneo Tribune mengatakan alasan penulisan buku ini.
Nukilan kisah dan rangkuman sejarah yang ditulis oleh sang penulis ini dikemas dalam 12 bab. Mulai dari fase perintis pembangunan pertanian, transisi kekuasaan yang turut mewarnai kebijakan pembangunan pertanian hingga temuan-temuan fenomenal para pelaku pertanian diulas apik dengan gaya naratif yang memikat oleh penulis.
Buku ini tidak hanya menyajikan sebuah catatan sejarah yang dokumentatif namun juga mewartakan kisah di balik sebuah kebijakan dan profil tokoh sentral yang turut menyertai perjalan sejarah pertanian Kalbar yang ditarik 50 tahun ke belakang ini. Membacanya sepintas pembaca akan merasa seperti membaca koran dengan isi karya sastra. Asyik dan menghanyutkan. Pilihan diksi dan rangkaian kalimat dijalin dengan sentuhan seorang jurnalis yang kenyang pengalaman di dunia persuratkabaran ini.
13 Agustus ini buku yang sangat berguna sebagai penawar sakit alpa sejarah ini akan diluncurkan. Bertepatan dengan pembukaan pameran Kalbar Expo di PCC karya intelektual muda Kalbar ini akan di-soft launching.



Baca selengkapnya..

Jumat, 15 Agustus 2008

Persma STIT Mengawal Demokrasi di Singkawang


Pers mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Syarif Abdurrachman Singkawang berupaya tampil sebagai salah satu pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Melalui mimbar bebas akademis yang ditopang media kampus, Presma mengawal dan menjunjung tinggi demokrasi—khususnya di Kota Singkawang.
Pemimpin Redaksi Presma, Budi Wijaya dalam pelatihan jurnalistik yang digelar di Kota Singkawang 8-9 Juli lalu mengatakan, Presma akan mendidik anggotanya untuk menjadi agen penegak demokrasi yang profesional sebagaimana visi dan misi jurnalisme itu sendiri, yakni yang sesuai dengan undang-undang, di mana fungsi jurnalis adalah melakukan kontrol sosial selain menyajikan informasi, edukasi dan hiburan. Kontrol sosial adalah kata kunci dalam menegakkan demokrasi di mana suara rakyat adalah suara Tuhan.
Pelatihan selama dua hari yang bekerjasama dengan Harian Borneo Tribune dan Tribune Institute itu mengupas teknik-teknik dasar jurnalistik dan fotografi. Pemateri berasal dari redaktur dan fotografer di Borneo Tribune.
Pada 8 Juli tampil sebagai pemateri teknik-teknik dasar jurnalistik redaktur pendidikan sekaligus pelaksana harian Tribune Institute, Asriyadi Alexander Mering yang dibantu Ketua Biro Sambas, Agus Wahyuni dan Ketua Biro Singkawang, Mujidi. 20 peserta mengikuti dengan takzim di Kampus STIT.
Persma sudah mempunyai media sendiri dalam bentuk bulletin untuk menampung aktivitas para jurnalis kampus. Edisi Presma STIT ini sudah menginjak penerbitan ketiga dengan menampilkan laporan-laporan utama sekitar kampus. Pada edisi kedua Presma mengupas akreditasi yang dituntut mahasiswa pada STIT.
“Memang terasa bahwa pers mahasiswa adalah pilar demokrasi di kampus serta luar kampus karena tugas para jurnalis adalah memverifikasi data atau isu sehingga menjadi dapat dipercaya. Informasi yang benar menjadi pegangan banyak orang untuk bekal-bekal mereka mengambil keputusan di dalam hidupnya,” ungkap senior di Presma Endri.
Mahasiswa semester 6 ini mengatakan, memproduksi bulletin kampus bukan hal yang gampang karena menyangkut manajemen, pembagian tugas, biaya, waktu dan lain-lain, tetapi ilmunya luar biasa berguna. “Kami merasakan bahwa aktif di pers kampus benar-benar tempat berlatih mewujudkan iklim demokratis,” ungkapnya.
Asriyadi Alexander Mering dalam kupasannya mengatakan, tulisan yang baik menjadi informasi yang penting bagi pendidikan masyarakat. Bahkan menulis sama dengan mengabadikan kehidupan. Kehidupan pun menjadi abadi.
Oka, salah seorang mahasiswa yang ikut di dalam pelatihan tampak gembira. Di saat sesi fotografi yang diampu Jessica Wuysang dengan lokasi di Pantai Samudra, dengan blak-blakan mengaku bahagia. “Pelatihan seperti yang digelar Presma sangat berguna bagi kami. Kami sangat bahagia karena banyak ilmu-ilmu baru yang kami dapatkan di luar ilmu pendidikan agama di kampus,” ungkapnya.
Jessica Wuysang yang akrab disapa Maya mengajarkan teknik-teknik pengambilan gambar dengan kamera analog dan digital. Ia juga mengajarkan mahasiswa menggunakan kamera poket dan fasilitas-fasilitasnya.
Mahasiswa tidak hanya mendapatkan materi dan diskusi, tapi juga praktek. Mereka menulis dan memotret dengan disiplin fotografi news yang memikat.
Di dalam praktikum di Pantai Indah mahasiswa menjepret apa saja yang bagi mereka menarik dan mencari sudut-sudut pandang yang penting. Mereka bersemangat untuk menjadi penulis dan pemotret yang profesional sehingga menjadi pemasok informasi yang akurat dalam dinamika masyarakat yang makin kompleks dengan nama demokrasi.
Peserta tak urung berlari, melompat, bagaikan terbang, menari dan bernyayi untuk melihat rekaman gambar-gambar mereka. Jessica Wuysang juga membandingkan gambar-gambar jepretannya yang ada di laptop, dibandingkan dengan karya mahasiswa. Puluhan mahasiswa tertawa terbahak-bahak melihat diri mereka sendiri dalam berlatih. Ada yang melompat, terbang, berlari...
Diskusi makin seru dan ditutup dengan harapan-harapan, bahwa semua ilmu yang didapatkan untuk dapat dituangkan ke dalam bulletin presma untuk mengawal demokrasi diSingkawang. Mahasiswa harus memulai menerapkan ilmu yang didapatkan, karena ilmu yang dipraktikkan seperti pohon yang berbuah. Sebaliknya, ilmu yang tidak diamalkan sepertipohon rimbun tak berbuah.



Baca selengkapnya..

Back to Campus

Dr Garuda Wiko mengulas Metode Ilmiah saat menguji Dwi Syafriyanti dalam ujian tesis di PMIH Untan, medio Juni 2008. Saya, Yadi dan AA Mering turut hadir di ruang ujian yang bagi saya bukan hal baru. Dulu Sekretariat UKM Mimbar Untan di kompleks gedung ini. Bahkan lokal MU benar-benar menjadi lokal perpustakaan bagi PMIH Untan.

Ada memory yang berputar, ada semangat untuk belajar kembali secara akademis. Terlebih Garuda Wiko mengatakan, "Metode Fenomenologis yang digunakan adalah untuk membedah masalah yang diangkat. Selanjutnya biarkan fakta-fakta berbicara..."
Saya terkesima. Kepala saya medam. Berat rasanya. Apalagi saat itu saya juga sedang meriang terserang flu.
Saya pikir, "Fakta-fakta berbicara," adalah ilmu jurnalistik. Ilmu yang secara profesional terus saya geluti.
Nah, mulai detik itulah saya bulatkan tekat untuk kuliah lagi. Maka saya mendaftar di Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura. Saya mendaftar di malam hari sebagai orang paling terakhir!
Test dilakukan di tengah kesibukan kerja yang sangat padat. Alhamdulillah lulus dan jadwal Matrikulasi pun sudah menanti di akhir Juli-Agustus.
Di tengah kempas-kempus membiayai daftar ulang, sumbangan gedung dan biaya matrikulasi, pertemuan demi pertemuan dikelas terasa nyaman. Pola belajar orang dewasa sangat mengasyikkan. Terkadang muncul hal-hal lucu, bahkan nyaris keremaja-remajaan, atau bahkan kekanak-kanakan. Misalnya ada orang tua yang bertanya perlunya mendapatkan piagam, bertanya remeh-temeh yang tidak fokus, dan sesekali menjual senyum untuk dikenal dalam forum.
Bagi saya, sudah lama sekali merindukan belajar di kelas seperti ini. Ada diskusi. Ada perdebatan. Ada referensi-referensi. Menarik sekali.
Benar kata Dwi yang meraih Cum Laude dari S2 hukumnya, bahwa kelas belajar S2 adalah the real democration. Dan saya mulai menikmatinya.
Betapa senang belajar kembali soal metode ilmiah, soal sosiologi, soal bahasa akademis, soal teori-teori.
Spirit saya penuh dalam menempuh sesuatu yang memang saya gandrungi. Getar-getar di hati mendeburkan ungkapan, "Dengan ilmu yang saya peroleh dengan penuh semangat ini semoga membawa manfaat bagi diri untuk semakin bijak, semoga bermanfaat bagikeluarga dan kolega serta masyarakat luas. Ibarat padi, makin berisi makin merunduk dan padi itu sendiri bermanfaat sebagai sumber kalori dalam kehidupan."


Baca selengkapnya..

63 Tahun Merdeka

Besok, 17 Agustus merupakan hari keramat bagi Bangsa Indonesia karena merupakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. HUT kemerdekaan RI ke-63.
63 tahun tentunya bukan waktu yang singkat. Cukup tua untuk ukuran umur manusia. Walaupun tidak berarti muda untuk ukuran sebuah nation, sebuah negara bangsa.
Jika dideretkan jumlah presiden, sudah 7 pemimpin negara berpenduduk terbesar kelima di dunia ini. Mereka adalah Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrachman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejarah telah terukir di negeri yang terbentang dari Sabang hingga ke Marauke yang luasnya sama dengan Eropa plus Timur Tengah ini. Upaya mencari bentuk demokrasi yang sejati pun telah terbentang sejak kemerdekaan hingga masa panjang mengisi kemerdekaan.
Hitam putih jejak bangsa pun telah terekam. Jutaan rakyat merasakan perubahan demi perubahan.
Orde Lama dipimpin Bung Karno (1945-1966) penuh dengan heroisme dan revolusi. Fondasi negara berupa nasionalisme terpanggang hingga membara. Namun sayang, rakyat merindukan kesejahteraan dan tidak semata-mata retorika atau seni berbicara.
Orde Baru yang tampil pasca Gerakan 30 September 1965 dipimpin Soeharto memperbaiki citra Orla (1966-1998). Pembangunan mulai tumbuh. Namun sayang, penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme sudah berkarat di 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto menimbulkan gelombang protes.
Protes mahasiswa yang tak terbendung sehingga menduduki Gedung DPR-MPR melahirkan Orde Reformasi. Reformasi (perubahan) mengantarkan Wapres BJ Habibie menjadi ke RI-1 karena Soeharto, ”Bapak Pembangunan” mengundurkan diri.
Melalui pemilihan di MPR RI Gus Dur dan Megawati menjadi RI 1 secara berurutan. Lalu melalui pemilihan presiden secara langsung tahun 2004, terpilih secara aklamasi (61 persen) pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).
Lalu, apa artinya HUT Kemerdekaan ke-63 sekarang ini bagi kita? Tentu banyak. Bahkan banyak sekali, karena interpretasi terhadap Bangsa Indonesia itu tiada lain adalah diri kita sendiri.
Apa yang hendak kita lakukan, itulah yang akan mewarnai gerakan Bangsa Indonesia. Jika positif, positif. Negatif, negatif.
Misalnya kita punya prestasi di bidang apa pun, maka yang memetik harumnya juga adalah Bangsa Indonesia. Dan ini yang kerap kita lihat di arena olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi. Baik tingkat lokal, nasional hingga internasional.
Agaknya kita patut menjadikan alam kemerdekaan untuk melahirkan karya-karya yang mutual. Yang dirasakan oleh masyarakat luas. Terutama dalam konteks Kalbar yang dinilai sebagai ”Provinsi Ilegal”.
Kita sebagai individu dan makhluk sosial mesti berjuang mengubah citra ilegal itu menjadi legal. Caranya dengan patuh pada hukum, berbuat adil dan meningkatkan mutu SDM (Sumber Daya Manusia). Bagi pemerintah, tugas utamanya adalah mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good and clean governance.
Kita tidak boleh terpecah belah dan mau diadu-domba lagi. Karena kita sudah belajar dari sejarah. Akibat dua hal itulah kita dijajah Belanda hingga 3,5 abad lamanya. Dijajah pula oleh Jepang selama 3 tahun sehingga reputasi Bangsa kita hancur.
Kini 63 tahun Indonesia Merdeka. Kita harus eratkan persatuan dan kesatuan di segala lini. Ibarat sapu, jika berdiri sendiri ia mudah dipatahkan, tapi jika bersatu, ia akan teguh.



Baca selengkapnya..

Rumit Jika BKIKD Dirombak

Rencana perombakan Struktur Organisasi Tata Kerja Pemerintahan Daerah (SOTKPD) di mana Badan Komunikasi, Informasi dan Kearsipan Daerah (BKIKD) Kalbar akan dilebur bersama Perpustakaan mendapat respon dari Kepala BKIKD Kalbar Drs Herry Djaung dan Ketua Pansus SOTK di DPRD Kalbar Drs H Awang Sufyan Rozali.
Herry Djaung mengakui bahwa perombakan adalah hak prerogatif Gubernur Kalbar dengan berkoordinasi dengan DPRD Kalbar. Namun dia mengingatkan bahwa akan sangat rumit jika BKIKD dilebur kembali.
Hal tersebut berkenaan dengan UU yang mengatur peran BKIK yang terkait dengan Kementrian Infokom, database internet Pemprov Kalbar, Kimtas, dan pembinaan informasi di pedalaman-pedalaman Kalbar.
Berkenaan dengan tupoksi BKIKD, Herry Djaung berencana menunjukkan peran secara mendalam BKIKD setelah dirombak dari Departemen Penerangan kepada Badan Informasi Daerah (BID) serta sekarang menjadi BKIKD. “Upaya itu saya anggapsangat penting, karena perombakan BKIKD akan sangat rumit dalam implementasi teknisnya kelak,” ungkapnya.
Herry Djaung yang malang melintang di bidang kehumasan menyatakan lebih baikmenyesal dahulu daripada belakangan. “Akan banyak kerugian daerah jika BKIKD dilebur menjadi lembaga baru,” tambahnya.
BKIKD selama ini punya prestasi utama bagi Kalbar. Program Kimtas yang mengutakan pembinaan informasi masyarakat perbatasan mendapat penghargaan dari Menkominfo dan menjadi pusat belajar provinsi-provinsi yang berbatasan dengan Luar Negeri. Contohnya Sumatera dan Papua.
Herry Djaung sependapat bahwa SOPD berorientasi pada miskin struktur tapi kaya fungsi, namun jika struktur itu sangat diperlukan, memberikan banyak keuntungan, apalagi peleburannya menimbulkan kerumitan luar biasa—menyangkut perangkat yang terinstalasi sangat besar—perlu dipikir ulang dua-tiga kali.
Sementara itu di tempat terpisah, Ketua Pansus SOTK, Drs H Awang Sufyan Rozali mengakui bahwa trend yang sedang berkembang di forum pembahasan SOPD adalah peleburan BKIKD dengan Perpustakaan. “Agaknya tetap dilebur,” ujarnya.
Alasan peleburan semata-mata hendak memasukkan unsur kearsipan dengan perpustakaan lantaran dia searah serta sejalan. “Untuk informasi akan ditangani Kehumasan dan berkantor di Kantor Gubernur,” ujarnya.
Artinya, lanjut Awang, fungsi-fungsi utama akan tetap berjalan. “Kita hanya mengelompok-kelompokkan pekerjaan dan lembaga sehingga tidak tumpang tindih dan bekerja secara sinergis dan profesional,” ujarnya.
Kendati demikian, lanjut Awang segala sesuatunya masih belum final. Masih akan dibahas berbagai kemungkinan-kemungkinannya.



Baca selengkapnya..

Rp 1 Miliar untuk Dana Jaminan UKM

Walikota dr H Buchary A Rachman menegaskan bahwa Pemkot Pontianak tidak sekedar sesumbar berpihak kepada kelompok usaha kecil menengah (UKM) karena senantiasa terpinggirkan. Pemkot menganggarkan dana Rp1 Miliar sebagai penyertaan modal untuk UKM bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalbar serta pihak asuransi.
“Untuk mencairkan dana Rp1 Miliar yang sudah kita anggarkan dalam APBD 2008 dibutuhkan Peraturan Daerah atau Perda. Oleh karena itu kami mengajukan Raperda Penyertaan Modal Pemkot pada Bank Pembangunan Daerah Kalbar untuk Pola Kerjasama Kredit Daerah,” ujar Buchary di hadapan 21 anggota Dewan yang hadir dalam Rapat Paripurna yang terbuka untuk umum, Kamis (14/8) kemarin.
UKM yang membutuhkan modal dalam kegiatan usahanya hendak disalurkan oleh Pemkot melalui kerjasama mutualisma. Pemkot sebagai regulator atau penata laksana hanya membuat peluang. Selanjutnya UJM selaku pelaksana utama akan bekerjasama dengan Bank Kalbar. “Jika sukses, selain UKM untung, bank untung, Pemkot juga untung dari bunga. Begitupula pihak asuransi. Adapun pihak asuransi akan menjadi penopang karena kalau gagal, bisa tertanggulangi,” ungkapnya.
Dana Rp1 Miliar dinilai memang masih kecil, tetapi tahap pertama ini bersifat ujicoba. Jika berhasil, dana penyertaan itu akan ditingkatkan.
Buchary yakin dan percaya, jika model penyertaan modal ini berhasil, akan memacu pertumbuhan dan perkembangan UKM di Kota Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya. Pilot project ini juga untuk mendorong tumbuhnya UKM-UKM baru, terbentuknya lapangan kerja baru serta peningkatan sektor riil di Kota Pontianak.
Rapat Paripurna dibuka oleh Plt Ketua DPRD Syuaib Karim karena Ketua DPRD definitif Gusti Hersan Aslirosa sedang non aktif karena terkait pencalonan dirinya sebagai kandidat Walikota Oktober mendatang. Dia mengatakan, rapat paripurna ini kuorum walaupun hanya diikuti oleh 21 dari 40 anggota Dewan. Hal tersebut karena ada 7 anggota sudah minta izin, dan seorang sakit. Hanya 7 anggota dewan yang mangkir tanpa pemberitahuan.





Baca selengkapnya..

Imigrasi, Jangan Terulang 3 Kali

Apa yang terjadi dengan Imigrasi Kota Pontianak? Benarkah hanya semata-mata fasilitas E Office terputus, layanan pun terhenti begitu saja sehingga konsumen dirugikan?

Penggunaan E Office yang terintegrasi secara nasional adalah suatu upaya peningkatan pranata teknologi yang patut diapresiasi. Tujuannya sangat baik, di mana paspor online dan data terbuka secara nasional menutup peluang pemalsuan, praktik percaloan dan sekaligus paspor tunggal.
Yang kita sesalkan gangguan serupa sempat terjadi 10 hari sebelumnya. Cara menyikapinya juga sama. Sebagian besar pegawai diam sehingga ada penilaian miring terhadap Imigrasi yang tak berorientasi pada mutu layanan publik yang prima.
Mutu layanan yang prima itu adalah komunikasi yang terbuka, yang bukan berdiam diri saja lantas menonton dari warung kopi.
Apa yang terjadi di Imigrasi dua hari lalu sangat masygul. Sama masygulnya dengan kisah terdahulu saat E Office mengalami gangguan pusat.
Kejadian tersebut tentu saja membuat ratusan pemohon yang telah mengantre marah. Mereka tidak bisa terima dengan perlakuan Imigrasi yang seenaknya menutup pelayanan tanpa komunikasi yang prima.
Emosi warga begitu wajar, walau kita tak ingin terjadi anarkisme atau pengrusakan barang-barang seperti kaca atau boks pengaduan. Dan semestinya Imigrasi Pontianak mengantisipasi hal tersebut. Pegawai adalah soko guru masyarakat.
Mengutip teori kriminal, hal buruk bisa terjadi akibat niat dan kesempatan. Jika kesempatan terbuka, terjadi hal negatif.
Logikanya, jika Imigrasi bersifat terbuka, berkomunikasi dengan transparan, dan menjelaskan dengan “hati” maka publik pasti akan bisa mengerti. Imigrasi sesungguhnya bukan tidak punya solusinya.
Solusi itu bernama Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang berlaku hanya untuk sekali keberangkatan. Namun keperluan yang benar-benar mendesak yang bisa menggunakan SPLP, seperti orang sakit, atlet yang harus bertanding, ataupun keperluan dinas yang tak bisa ditinggalkan.
Kita kuatir, karena Imigrasi adalah kantor yang tergolong “elit” maka sikap pegawainya memang “elit” pula. Tak ingin langsung bersentuhan dengan rakyat jelata yang butuh penjelasan riil.
Konsensus komunikasi terbuka dan bicara dari “hati ke hati” ini yang patut dibangun. Selain tentunya Imigrasi menyiapkan tenaga terampil yang bisa mengatasi gangguan-gangguan terputusnya jaringan pendataan yang bernama E Office itu.
Dua kali pengalaman pahit itu cukup. Hanya keledai yang jatuh ke lubang hingga dua-tiga kali.





Baca selengkapnya..

Sabtu, 09 Agustus 2008

Tetap Ada Peluang Emas

Kesuksesan, apapun bentuknya, dicapai setiap orang dengan melalui sebuah proses. Ketika proses itu sedang berlangsung, praktis melibatkan energi, waktu, dan biaya.
Kesuksesan tidak take for granted. Ia tidak hadir seperti durian runtuh, tetapi melalui tahap demi tahap seperti maniki anak tangga.
Tentu dalam menapaki tangga demi tangga itu tujuannya harus jelas. Terlebih posisi yang hendak dicapai masih jauh.
Tujuan yang jelas tersebut harus dapat terbayang di depan mata seperti lukisan sehingga bisa diuraikan secara detil objeknya, warna-warnanya, sehingga jarak yang jauh pun terasa dekat oleh karena dampak apresiatifnya.
Seorang peraih nobel mengatakan daya apresiasi itu laksana mimpi, “Semakin jelas mimpi-mimpi itu, semakin dapat dia digambarkan, maka semakin jelas langkah-langkah untuk ditempuh sehingga mimpi bisa menjadi kenyataan.”
Persoalan mencapai sukses perlu peras keringat, banting tulang dan tak pernah berhenti untuk berpikir kritis adalah sebuah fakta tak terbantahkan. Setiap peluang harus dimanfaatkan secara maksimal.
Dalam situasi dan kondisi di mana daya survival diuji, ide dan kreativitas semakin tergali lebih dalam lagi. Dan yang diuntungkan adalah masyarakat luas.
Ide dan kreativitas adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat kita sekarang. Terlebih tekanan hidup semakin kuat sedangkan sumber-sumber energi serba terbatas.
Uniknya, ide dan kreativitas itu akan semakin kaya jika ada tantangan-tantangan keras. Untuk itu tantangan-tantangan keras itu amat sangat dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan ini.
Tantangan, seberapapun keras dan kritisnya harus dihadapi dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas sehingga ancaman seberapa pun besarnya dapat berubah menjadi peluang emas. Peluang emas itu tetap ada.





Baca selengkapnya..

Respon Ramalan Ansela Buat Bang Andreas

Mas Andreas yang baik, soal ramalan kan soal ilmu pengetahuan juga. Pendekatan ilmu hasilnya bisa benar, bisa tidak. Oleh karena itu baiknya memang dijadikan warning. Yang baik dipelihara, yang buruk dieliminir.

Btw, soal mati memang tidak perlu ditakuti. Sebab kalau takut, ya tak usah hidup kan?

Saya sendiri berpandangan, bahwa mati hanya soal waktu saja. Dan kita sudah punya pengalaman mati, yakni dikala tidur (mati sementara) dan saat bersin (sepersekian detik kita mati karena tak ada aktivitas lainnya kecuali jeda).

Oleh karena itu hidup dan mati seperti soal buka dan tutup mata saja. Buka hidup. Tutup mati.

Cuma sebagai jurnalis, walau sudah mati masih ada kehebatannya. Apa? Meneruskan liputan :)

Istilah saya, liputan di alam barzakh.

Wah, liputan di alam setelah dunia so pasti seru tuh Mas :) Kita bisa liput bagaimana Bung Karno, Bung Harto dan Bung-Bung lainnya.

Perlu juga dicari jalan keluarnya nanti, di mana hasil liputan itu kelak akan dimuat? Ntar terancam dibunuh lagi....


Baca selengkapnya..

Rabu, 06 Agustus 2008

Diskusi Berkala

Secara berkala Borneo Tribune menggelar diskusi dengan menghadirkan pakar-pakar di bidangnya. Tujuannya tiada lain adalah untuk peningkatan kapasitas agar dicapai peningkatan integritas serta profesionalitas.
Peningkatan kapasitas dan profesionalitas ini menjadi prioritas karena kompetisi ditentukan oleh manusia, bukannya semata-mata benda. Kendati eksistensi benda-benda jelas saling berinteraksi untuk memacu inspirasi sehingga mimpi-mimpi mudah menjadi kenyataan.
Manusia memang diciptakan Tuhan sudah dengan perlengkapan yang super canggih. Hardware dan software-nya secara utuh, dengan kapasitas yang nyaris tak terbatas. Hanya kesadaran individu saja yang kadang-kadang lemah sehingga kurang menggunakan energi potensialnya untuk berpacu dengan waktu dan kesempatan.
Konteks antara peningkatan kapasitas insan pers dengan lingkungan masyarakat sangat erat. Pers ibarat mata dan telinga masyarakat. Dengan informasi yang jelas, masyarakat dapat menyerap data dan fakta serta analisanya secara utuh menyeluruh. Media kerap menyebutnya dengan laporan yang komprehensif.
Laporan yang komprehensif mejadi referensi bagi pembaca untuk bekalnya mengambil keputusan yang tepat di dalam memecahkan permasalahan-permasalahannya.
Insan pers yang mempunyai kapasitas dan profesionalitas, mengetahui standar operational procedure sehingga ibarat dokter, akan mampu menangani secara bertanggung jawab. Wartawan bisa mengolah fakta-fakta menjadi pencerahan bagi masyarakat luas. Dan hal itulah yang dilakukan Borneo Tribune dengan diskusi-diskusi internal maupun eksternalnya.
Setakat ini di dapur redaksi hadir mantan atase pendidikan dan kebudayaan Aria Djalil dan disusul pada 29 Juli kemarin bersama pakar sosiologi, Gerry Van Klinken.
Kedua pakar tersebut memberikan pencerahan. Suatu objek dikupas secara analitis, sistematis, runtut serta gamblang.
Semoga pencerahan itu mampu kami tuangkan lewat karya-karya jurnalistik di Borneo Tribune dan turut memberikan sumbangsih pembangunan buat Kalbar. Kepada pembaca kami mohon doa restunya.





Baca selengkapnya..

Wujudkan Kota Damai

calon Walikota dan Wakil Walikota Pontianak sudah ditutup. Tujuh pasangan kandidat mendaftarkan diri. Mereka adalah pasangan Sri Astuti Buchary-Eka Kurniawan (Setia Kawan), Harso Utomo Suwito-H. Awaluddin, Sutarmidji-Paryadi (Siip), M. Abduh-M. Thaha (Duta), Oscar Primadi-Hartono Azas (Obama), Haitami Salim-Gusti Hardiansyah (Hade) dan Gusti Hersan-Setiawan Lim.
Pasangan tersebut di atas laksana warna-warni pelangi. Mereka muncul dari aras yang berbeda-beda. Baik dipandang dari aspek partai politik, warna bendera organisasi, latar akademis, profesi, talenta, track record (rekam jejak) hingga tata cara mendaftar ke KPUD Kota Pontianak.
Setia Kawan mendaftar dengan deklarasi besar-besaran. Berbanding terbalik dengan Harso-H Kalut, Pasangan Siip dan Hersan-Lim. Ketiga pasangan ini menggunakan pola-pola kesederhanaan.
Warna-warni kesederhanaan agaknya lebih menonjol. Terlihat Pasangan Hade menggunakan perahu menyeberangi Sungai Kapuas yang menyimbolkan dekat dengan masyarakat, begitupula pasangan Hersan-Lim yang mengandalkan dukungan paling mendasar berasal dari keluarga.
Pasangan Siip, Duta, Obama dan Hade menggunakan akronim yang menjadi label “dagangannya”. Seperti jual-beli di pasar, sebuah produk—kendatipun dalam hal ini Pilkada—tetap harus mempunyai merk. Merk yang terbaik adalah yang unik, mudah diingat dan nyentrik.
Dari perhelatan Pilkada Kota, sejumlah tahapan sudah dilewati. Warna-warni pelangi itu beraneka ragam. Tetapi yang diharapkan warna-warni itu elegan, solid serta tidak bersifat semu.
Sejumlah pengamat menilai pasangan yang terbentuk dari 7 pasangan di atas masih bersifat semu. Tujuan utamanya baru pada tujuan jangka pendek meraih suara terbanyak. Sedangkan program-program bagaimana membuat Kota Pontianak menjadi lebih baik belum terlihat secara jelas.
Sosiolog, Gerry Van Klinken dalam workshop pendidikan pemilih bersama KPU Kota di Hotel Merpati, Sabtu (2/8) kemarin mengatakan para kandidat sejauh ini masih banyak menyajikan pendapat-pendapat umum sehingga relatif sama. “Belum ada isinya,” ungkapnya.
Isi yang dimaksud Gerry Van Klinken yang selama 7 tahun menjadi dosen di Universitas Setya Wacana dan 2 tahun di UGM adalah sesuatu yang jelas yang mudah dicerna sekaligus ditagih. Misalnya jika mengedepankan pendidikan yang bermutu, yang bermutu seperti apa? Apakah dia bersifat lintas etnis atau agama, atau bagaimana? Guru yang terlibat di dalamnya yang seperti apa? Berapa anggaran yang mesti dipasok untuk mencapai tujuan tersebut? Sehingga semuanya menjadi jelas. “Tidak selogan-selogan kosong yang kemudian deal-deal di belakang yang menentukannya,” ungkapnya.
Hal senada diberikan untuk bidang kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. “Semuanya mesti jelas,” ungkapnya.
Gerry masih melihat peran penting figur karena figur menunjukkan kemampuan dalam memimpin serta masyarakat membutuhkan karisma. “Di AS saja figur masih dianggap penting,” ujarnya.
Workshop yang diikuti 20-an peserta dari berbagai latar belakang itu melihat 7 pasangan kandidat yang berasal dari “warna” beragam tidak boleh saling klaim bahwa yang tercantik adalah warna mereka sendiri, apakah jingga, oranye atau purple, karena kesemuanya adalah rangkaian pelangi yang indah yang diharapkan bisa mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Damai. Dan oleh karena itu pendidikan politik menjadi sangat penting, misalnya bagaimana mereka menggunakan hak suaranya, bagaimana mereka mengontrol pemerintahannya, dan bagaimana aspirasi-aspirasi itu dapat tersalurkan lewat jalan-jalan yang benar.
Warga pemilih mesti memandang warna-warni pelangi lewat parpol atau calon perseorangan itu sebagai satu kekuatan bersama untuk dimiliki secara bersama-sama. Tidak arogan menyatakan pihaknya paling unggul, sehingga seperti anak kecil memperebutkan layangan putus, jika tidak dapat, dan layangan itu didapatkan orang lain lantas dirampas, disobek atau dipatah-patahkan. “Kita menghendaki Pontianak menjadi pilot project pembangunan Kota Damai,” ungkap Direktur LPS-Air, Demanhuri Gustira.
“Sejauh ini Kota Pontianak adalah kota urban. Kalbar sendiri diketahui sebagai provinsi yang rawan konflik etnis, sehingga kita perlu mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Damai,” tegasnya.
Hal senada dikemukakan Gerry Van Klinken. Dia berharap dalam perhelatan akbar Pilkada Kota Pontianak, semua prosedur demokrasi bisa berjalan aman dan kondusif. Tidak terjadi malapetaka yang justru merugikan banyak pihak.
Politik, apapun alasannya hanyalah alat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Agenda utamanya adalah bagaimana mewujudkan tatanan kota yang harmonis, di mana hak-hak setiap warga negara dapat diberikan, sehingga terwujud kesejahteraan dan kemakmuran.
Setiap pasangan kandidat mengusung visi kesejahteraan. Tidak ada yang berbeda, kecuali gaya atau style atau skala-skala prioritasnya. Oleh karena itu, menjadi komoditas pasar politik yang lazim dan lumrah, pemilik suara, yakni rakyat, kita ini umumnya untuk menentukan pilihan. Pilihan yang terbaik tentu yang kita pilih. Kandidat yang bermoral, egaliter, cakap, dan terbukti bisa memimpin.
Kini era keterbukaan seperti terbukanya mata kita melihat pelangi. Kita bisa check dan recheck. Kita pemilik suara saat ini yang menentukan wajah Kota Pontianak ke depan.



Baca selengkapnya..