Selasa, 26 Agustus 2008

Jerit Rakyat karena Harga Elpiji

Pepatah yang mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula tepat untuk menggambarkan betapa masyarakat miskin semakin terhimpit dengan kenaikan Liquid Petrolium Gasses (LPG: baca, elpiji). Terlebih kenaikan itu menjelang bulan suci Ramadhan yang notabene kebutuhan warga meningkat demi menjamin kekhusukan beribadah.
Keluhan masyarakat itu disampaikan dalam berbagai pertemuan, forum dan kesempatan. Para wakil rakyat mampu menangkapnya. Mereka juga meneriakkan jerit si miskin. Mereka menilai, kebijakan pemerintah dalam hal ini Pertamina menaikkan harga elpiji—terlebih menjelang Ramadhan—tidak tepat dan tidak sesuai dengan hati nurani rakyat.
Pertamina terhitung sejak dua hari lalu menaikkan 9,5% harga elpiji untuk tabung ukuran 12 kg. Harga jual naik dari Rp.63.000,-/tabung menjadi Rp.69.000,-/tabung. Adapun harga jual elpiji kemasan 50 kg, dikurangi diskonnya dari 15% menjadi 10% atau dari harga Rp6.878,-/kg menjadi Rp7.255,-/kg. Dengan demikian harga dalam kemasan 50 kg naik dari Rp343.900,-/tabung menjadi Rp362.750,-/tabung. Sedangkan harga jual elpiji tabung 3 kg masih tetap seperti yang lama yaitu Rp 4.250/kg (Rp12.750/tabung 3 kg).
Alasan Pertamina menaikkan harga elpiji pada bulan Juli 2008 adalah untuk mengakomodir kenaikan biaya operasional dan distribusi sehubungan dengan naiknya harga BBM, serta masih belum mengakomodir harga bahan baku elpiji.
Untuk tahun 2008, rata-rata harga elpiji di Pasar Internasional (Ref harga CP Aramco) adalah sebesar 858 USD/MT dengan harga keekonomian Rp 11.400,-/kg. Dengan kenaikan tersebut di atas, Pertamina masih menanggung kerugian akibat penjualan elpiji kemasan 12 kg dan 50 kg sebesar Rp 6,5 triliun/tahun.
Terkait dengan harga jual elpiji nasional yang masih jauh dari harga keekonomian yaitu Rp11.400,-/kg, maka untuk selanjutnya Pertamina berencana untuk menaikkan harga elpiji kemasan 12 kg secara bertahap sebesar Rp500,-/kg per bulannya sampai mencapai harga keekonomiannya. Demikian juga untuk elpiji kemasan 50 kg akan dikurangi diskonnya secara bertahap dan selanjutnya disesuaikan sampai dengan harga keekonomian.
Kita berusaha memahami kesulitan Pertamina di mana dana Rp1,5 triliun itu juga dikeruk dari dana pajak rakyat. Tapi kita juga berempati dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat kecil sekarang ini di tengah himpitan kenaikan-kenaikan harga kebutuhan dasar. Ibaratnya kepala kita menoleh ke kiri sulit, ke kanan pun sulit. Ke mana-mana kita melihat kehidupan ini serba semakin sulit.
Tetapi sebegitu sulitkah hidup ini? Atau jangan-jangan, kita semua ini yang mempersulit diri sendiri. Padahal banyak alternatif positif yang bisa digali dalam hidup yang hanya sekali ini kita jalani.
Lantas bagaimana menyikapi hidup yang serba sulit seperti sekarang ini? Formula terbaiknya tentu saja kita semua harus mengencangkan ikat pinggang. Kita harus menggalakkan pola hidup hemat, terutama hemat energi.
Hemat energi itu tidak hanya elpiji, tapi juga bahan bakar kendaraan, termasuk bahan bakar diri kita sendiri, yakni kebiasaan makan kita. Oleh karena itu Ramadhan, sebagai bulan pelatihan untuk mengurangi makan dan minum menjadi momentum yang terbaik. Jadikan Ramadhan sebagai bulan latihan untuk berpola hidup sederhana.
Pada sisi lain kita harus kreatif mencari solusi alternatif baru. Baik dalam hal anggaran belanja negara (penghematan Rp 1,5 triliun Cq Pertamina) hingga daerah yang pro rakyat kecil. Alokasi dana harus ditujukan kepada mereka sehingga mereka mempunyai lapangan kerja yang layak, di mana mereka bisa mendapatkan penghasilan yang tinggi sehingga bisa membeli kebutuhan pangan dan sandang hidupnya. Hanya dengan cara seperti itu krisis ekonomi yang terus melilit seperti sekarang ini bisa kita atasi.




0 comments: