Selasa, 22 September 2009

Buka Puasa dan Persiapan Pawai Takbir Akbar

Orang mengatakan bahwa kinerja redaksi memang tiada kenal kata henti. Orang berpuasa, redaksi juga berpuasa. Orang berbuka, redaksi terus bekerja dengan menyisihkan waktu untuk terus bisa menikmati berbuka puasa bersama keluarga, rekan sekerja maupun handai taulan.
Seperti yang dapat Anda baca dari Borneo Tribune, bahwa liputan Ramadan terus berlanjut dari berbagai sisi. Mulai dari derap ibadah ritual, spiritual, hingga sosial dan budaya. Kinerja liputan tetap menukik sampai kepada rekam jejak kehidupan dari segala macam aspeknya, 24 jam.
Dua hari yang lalu Redaksi Borneo Tribune turut menyemarakkan buka puasa bersama ala tokoh Kalbar, Oesman Sapta. Hari berikutnya giliran kami yang mengundang keluarga dekat Borneo Tribune, terutama karyawan-karyawati serta keluarga untuk dapat berbuka puasa bersama.
Kegiatan buka puasa bersama di Borneo Tribune mengambil tempat di Gedung Tribune Institute diikuti tak kurang dari 60-an orang. Terdapat di dalamnya sejumlah tokoh seperti Maikhel Yan Sriwidodo, Andreas Acui Simanjaya, Syafaruddin Usman, Sri Nur Aeni, Pay Jarot Sujarwo dan dua orang warga negara asing, masing-masing Christian Kleissle dari Jerman dan Alena dari Bulgaria.
Buka puasa bersama yang lintas etnis dan agama ini sudah menjadi tradisi bagi Borneo Tribune. Tradisi untuk melihat bahwa ajaran memanage hawa nafsu adalah nilai universal yang diajarkan oleh seluruh agama. Maka tak ayal dalam undangan pun dituliskan, ”Buka Puasa Bersama sekaligus Dinner Party.”
Romo William Chang menyampaikan salam bahwa dia respek dengan acara ini namun sedang ada kegiatan di luar. Begitupula Kadispen Polda Kalbar yang sedang mewakili Kapolda berbuka puasa bersama di Hotel Mercure.
Buka puasa bersama sekaligus Dinner Party di Borneo Tribune dikatakan Alena sebagai pengalaman pertama buatnya. Tentu saja sangat berkesan.
Topik dialog menjelang berbuka puasa bersama adalah kamtibmas terakhir di Kota Pontianak dan sekitarnya. Terutama pasca kasus Tanjung Raya dan Punggur yang ibarat Gang 17 Jilid II. Kita berharap semua pihak bisa menahan diri karena di sinilah keberhasilan berpuasa, yakni kemampuan mengendalikan diri benar-benar diuji. Diuji tidak hanya sebulan Bulan Ramadan, tapi nanti 11 bulan berikutnya. Kita berharap semua pihak berhasil dalam training puasa sehingga Kalbar senantiasa kondusif, polisi senantiasa arif dan cepat-tepat dalam bertindak. Adapun masyarakat bisa menjadi polisi bagi diri sendiri.
Pembaca, kesibukan redaksi tidak hanya di lingkungan Tribune Plex, tetapi juga di Karimata 43. Di Sekber ini kami bekerjasama dengan para pihak terutama FLEGT Support Project serta Sekber 43 untuk menggelar seminar Conflict Resolution menghadirkan Farid Gaban serta Muhammad Yunus. Kegiatan ini juga ditutup dengan berbuka puasa bersama.
Sementara itu kegiatan lain yang sedang dipersiapkan adalah Borneo Tribune sebagai Event Organizer Pawai Takbir Akbar keliling Kota Pontianak. Rapat teknis telah dilakukan di tingkat Pemkot Pontianak dan Pemprov Kalbar. Menurut rencana start akan mengambil tempat di Pendopo Gubernur dengan serangkaian acara serta finish di Taman Alun Kapuas. Pemkot mengangkat Idul Fitri sebagai salah satu agenda pariwisata kota.
Pembaca, kami mohon dukungan Anda untuk suksesnya semua langkah langkah yang kami tempuh. Kesemua langkah itu adalah untuk kemajuan kita bersama. Karena: bersama kita bisa. Bersatu kita menang.



Baca selengkapnya..

Gang 17 Jilid II Terjadi di Tanjung Raya

Sikap tanggap aparat Polri patut diacungi jempol karena kembali berhasil menangani kasus kriminalitas murni yang melibatkan massa, Kamis (3/9) malam. Kasus Gang 17 yang terjadi November 2007 lalu kembali terulang di Tanjungraya dengan skala yang nyaris sama, hanya saja tingkat kerusakan ruko relatif sangat kecil.
Ruko yang dirusak massa bernama PD Cinta Damai. Toko ini semula berjualan fashion, namun berubah menjadi jualan air kelapa muda. Di ruko ini dahulu menetap Ibu Rita, tetapi Ibu Rita sudah berpindah ke Gang Peniti sejak tiga tahun yang lalu. Sebaliknya yang menjaga ruko adalah Bie Wong alias Apeng (26) beserta istri dan dua anaknya.
Entah mengapa di malam hari itu Apeng naik pitam. Ia meninju Tri Andika (17) yang dinilainya parkir sembarangan di depan ruko miliknya. “Kalau mau parkir parkir yang rapi jangan parkir seperti di rumah kamu dan saya lalu memindahkan motor dan di saat memindahkan motor saya langsung ditinju, saya sempat menangkis tinjunya pelaku,” jelas Andi di pemeriksaan kepolisian.
Dikatakan olehnya, walau sempat menangkis pukulan pelaku, namun sempat terkena imbas di pipi bagian rahang kiri. Atas kasusnya ini, Andi langsung membuat laporan di Polsekta Pontianak Timur dan saat itu juga korban langsung dibawa ke RS. Yarsi untuk mendapatkan visum. Kebetulan jarak tempat kejadian perkara hanya sekitar 100 meter dari Yarsi.
Perkara yang sebenarnya sepele ini segera menyebar dari mulut ke mulut. Tak pelak lagi massa yang berkumpul menjadi anarkis karena pintu ruko diketuk untuk perwakilan massa menjumpai Apeng tak kunjung dibukakan. Tak ayal, folding gate dirusak massa. Dampaknya polisi segera turun tangan dan sempat melepaskan tembakan hampa ke udara sebagai peringatan.
Seperti yang dilakukan polisi di Gang 17 di mana penghuni rumah dievakuasi, hal ini pula yang terjadi atas diri Apeng, istri dan anak-anaknya. Dan proses evakuasi ini tidak mudah di tengah kerumunan massa sekitar seribuan orang. Terlebih beredar pula isu-isu yang tidak sedap sehingga perlu dijelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Untuk mengamankan situasi, Kapoltabes Pontianak, Kombes Pol Moch. Asep Syahrudin bersama Kasat Operasi dan Kasat Reskrim serta ratusan anggota dikerahkan untuk mengamankan situasi. Mereka berjaga di TKP hingga larut malam. “Belum ada perintah penarikan, kami masih ronda di sini,” kata anggota bersenjata lengkap.
Sementara itu ibu kandung Apeng, Rita menelepon pekerjanya, Ana untuk mengisi kekosongan warung karena Apeng sekeluarga dievakuasi ke Mapoltabes. Ana yang aksen Melayunya amat sangat kental mengakui bahwa Rita adalah majikannya yang sangat baik. Bertahun-tahun menetap di Tanjungraya tak pernah ada masalah. “Saya juga dulu kerja di ruko ini, tapi sekarang ikut Bu Rita di Gang Peniti untuk bisnis rumah kost,” kata Ana ditemui lewat tengah malam kemarin.
Ana yakin kasus ini akan selesai dengan baik karena masing-masing pihak ingin hidup berdampingan secara damai. Terlebih nama toko yang digunakan Apeng pun PD Cinta Damai. Berdamailah karena damai itu indah.





Baca selengkapnya..

Minggu, 13 September 2009

Draft

Saya menghubungi sejumlah tokoh untuk "Seruan Pontianak". Ini baru draft. Tolong kasi masukan dan dukungan dengan memasukkan nama masing-masing.
Seruan Pontianak
Kami prihatin dengan ketegangan belakangan ini, antara beberapa warga Kalimantan Barat, yang dianggap Melayu, dan mereka yang dianggap Tionghoa. Sengketa-sengketa kecil, antar perseorangan, dari soal mobil BMW tergores, parkir motor hingga pengembalian sekaleng cat, bisa berujung perkelahian serius. Ada rumah dirusak. Ada kemarahan. Ada ketakutan.
Kami sadar Kalimantan Barat adalah kawasan rawan kekerasan berdarah. Perubahan sosial besar-besaran, sejak penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia, lantas tahun pengalaman 1950an serta masa Orde Baru, menciptakan banyak dinamika baru di Borneo. Kesultanan-kesultanan dipinggirkan. Batas-batas berubah. Kekuasaan bergeser dan keadaan populasi berubah. Kini pasca-Soeharto, Kalimantan Barat juga melihat perubahan besar lewat pemilihan umum dan sebagainya.
Jamie Davidson, seorang peneliti dari Universitas Washington, menyebut pembunuhan sekitar 3,000 orang Tionghoa pada 1967 sebagai “akar kekerasan” di Kalimantan Barat. Kekerasan berbuah kekerasan. Pada 1977, sekitar 600 orang Madura dibunuh di Sanggau Ledo. Pada 1999, giliran Sambas membersihkan orang Madura. Sekitar 3,000 orang Madura dibunuh dan 120,000 melarikan diri. Penderitaan mereka tentu jadi ingatan pahit kita semua.
Empatpuluh tahun ternyata tak membuat kekerasan menghilang dari Pontianak. Kelemahan penegakan hukum, ketiadaan policy pemerintahan yang bermutu serta ketiadaan upaya mencari kebenaran dan keadilan, membuat kekerasan berakar makin dalam di kawasan ini. Akibatnya, banyak warga Kalimantan Barat menekankan simbol-simbol etnik dan budaya secara tidak proporsional: Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Tionghoa dan sebagainya. Bila ada persoalan kriminal biasa, sebagian orang lantas menggesernya jadi persoalan kelompok etnik atau agama. Mereka menggerakkan “solidaritas semu” guna mobilisasi massa.
Namun kami ingat bahwa fitrah manusia adalah berbeda dan beragam. Perbedaan bukan alasan untuk melakukan kekerasan. Keragaman bukan alasan untuk saling bermusuhan. Manusia berkembang sesuai fitrahnya. Kita sekarang tak bisa memutar kembali arah jarum jam. Punya organisasi etnik budaya dan agama, juga bukan kejahatan namun ia perlu dijalani dalam suatu negara hukum. Hukum seharusnya berdiri tegak dalam masyarakat yang beragam. Kita perlu belajar menempuh jalan lurus, belajar dari kekerasan masa lalu demi masa depan yang lebih damai.
Oleh karenanya kami menyerukan warga Pontianak untuk membongkar akar kekerasan dalam masyarakat kita. Kami menyerukan warga Pontianak untuk belajar menyelesaikan perbedaan pendapat, dari soal goresan mobil hingga soal dagang, lewat cara-cara damai. Gunakan jalur hukum. Manfaatkan kantor polisi, kejaksaan dan pengadilan.
Kami juga menyerukan kepada para polisi, jaksa dan hakim di Pontianak untuk bekerja keras, tidak berat sebelah dan sejujur-jujurnya dalam menegakkan hukum. Kami sadar hukum bukan panglima di negara Indonesia. Kami sadar korupsi mengakar bersama dengan kekerasan. Namun kita perlu memanfaatkan ruang-ruang hukum yang ada, sesempit apapun, untuk memperkuat prinsip negara hukum.
Kami juga minta kepada pemerintah Indonesia, dengan kedudukan Jakarta maupun Pontianak, melakukan penyelidikan terhadap kejahatan-kejahatan hak asasi manusia dalam pembunuhan dan pengusiran orang Tionghoa tahun 1967 maupun pembantaian orang Madura pada 1977 maupun 1999.
Kami minta pemerintah membentuk komisi independen guna mencari para korban dan merekam kesaksian mereka serta menyelidiki mereka yang dianggap bertanggungjawab terhadap kekerasan-kekerasan tersebut serta menyelesaikan dengan tuntas lewat pengadilan.
Kami percaya selama orang belum bisa belajar dari sejarah masa lalu, mereka yang dulu melakukan pembunuhan massal, juga takkan takut untuk senantiasa bikin mobilisasi etnik, budaya atau agama, dan bila perlu, melakukan pembantaian lagi. Selama kebenaran dan keadilan tak ditegakkan, selama itu pula kita tak mengerti pentingnya hidup damai dalam persaudaraan yang tulus.

Pontianak, 19 September 2009 [TANGGAL SEMENTARA]



Baca selengkapnya..