Jumat, 29 Juni 2007

Permohonan Maaf Jepang Urus Bersama SBY

Nur Iskandar dan Tanto Yakobus
Borneo Tribune, Mandor

Luar biasa pemandangan di Taman Makam Juang Mandor, Kamis (28/6) kemarin. Ribuan orang memenuhi lapangan terbuka untuk berziarah. Bendera setengah tiang berkibar sepanjang jalan menandai Hari Berkabung Daerah di mana 21.037 jiwa tewas dibantai Dai Nippon Jepang secara bengis dan sadis.
Kendaraan roda empat—mulai dari milik pribadi hingga bus-bus carteran penuh di halaman parkir. Deret parkir itu sampai keluar ke jalur jalan raya Mandor. Ditaksir 3.000-an massa memenuhi pekuburan massal yang dikehendaki pula oleh keluarga korban menjadi Taman Makam Nasional.
Upacara yang berlangsung sejak pukul 09.15 itu berlangsung khidmat. Beberapa keluarga korban tak sanggup menahan air mata ketika terompet ditiup tim koor. Lagu kejuangan menggedar-gedor perasaan mereka. Terutama keluarga korban yang masih sempat menyaksikan orang tua atau keluarga mereka manakala diculik atau diciduk Nippon lantas disungkup dan dipenggal.
Salah seorang yang terisak menangis adalah Soewito Limin yang juga Ketua Umum Yayasan Budi Mulia. Isak tangis itu masih tersisa ketika pimpinan perusahaan Papa Sari ini diwawancarai. “Sehari sebelum papa diciduk saya sempat bilang kepadanya papa...” katanya. Soewito tak lagi sanggup mengurai kata-katanya. Bulir air matanya menetes membasahi pipi. Suaranya berat tercekat. Peristiwa itu benarbenar membuat luka di hati.
“Mamalah yang mengasuh saya sampai besar. Umur saya ketika itu 2 tahun 1 bulan,” ujar ayah empat anak yang semuanya lulusan luar negeri (AS dan Taiwan).
Hal senada dikemukakan Ketua ICMI Korwil Kalbar Drs H Ilham Sanusi. “Saya anak korban Jepang. Ayah saya ditangkap saat itu 44 tahun. Beliau adalah pegawai Duane atau Bea dan Cukai.”
Ilham yang kini Ketua Kadin UKM dengan mata berkaca-kaca mengenang cerita ibunya. “Setelah ayah ditangkap yang kembali hanya baju kerja, sepeda rally dan jam tangan. Siapa yang tak sedih,” ujarnya.
Ilham Sanusi menilai peringatan HBD kali ini meningkat dari tahun-tahun yang lalu. Penilaian serupa diungkapkan Soewito Limin, Panembahan Landak Gusti Suryansyah, Rektor Untan Chairil Effendi, Kadis Diknas Ngatman, Dekan FKIP Untan Aswandi, mantan anggota DPRD Kalbar Andreas Acui Simanjaya, Pemimpin Radio Divasi Zulfidar Zaedar Mochtar dan keluarga korban dari Tanjung Hulu Nurjamilah yang sempat diwawancarai di lokasi upacara. Namun kesemuanya berpandangan peningkatan harus terus dilakukan pada tahun-tahun mendatang, misalnya dengan lebih menyosialisasikan pemasangan bendera setengah tiang, pemuatan pelajaran di sekolah, serta mengundang menteri, pihak Kedubes Jepang, bahkan Presiden SBY agar masalah “genocida” ini bisa ditangani secara profesional dan proporsional.
Kalau dapat perhatian Pusat barulah pampasan Jepang yang diperuntukkan bagi pendidikan atau rumah sakit, atau demi kepentingan rakyat banyak di Kalbar dapat diajukan.
Prihal tersebut Gubernur Usman Ja’far merespon positif. Katanya, memang dari masa gubernur-gubernur terdahulu pun aspirasi ini sudah disampaikan kepada Pusat. “Kebijakan luar negeri memang tidak diotonomikan. Saya hanya bisa melaporkan aspirasi keluarga korban agar ada permohonan maaf Jepang itu ke Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Usman mengatakan sejak Perda HBD ditetapkan, Pemprov dan Pemkab Landak akan memagar lokasi Taman Makam Juang Mandor. “Ini prioritas pertama. Anggarannya dimasukkan dalam APBD.”
Berkenaan dengan rencana kedatangan Presiden SBY pada 9 Juli mendatang, berbagai aspirasi berkembang. “Bagus jika Presiden SBY dapat berkunjung ke Mandor. Beliau jadi bisa memperjuangkan secara langsung kepada Pemerintah Jepang,” ungkap mantan Kadis PU Kalbar, Ir H Said Dja’far.
Hal senada dikemukakan penjaga makam, A Samad. “Tiga bulan yang lalu sudah datang menteri Meutia Hatta. Beliau merasa terenyuh dengan kondisi makam di sini. Apalagi terlihat aksi PETI. Beliau putri Bung Hatta memang menghargai sejarah,” ujarnya seraya berharap SBY pun dapat hadir memperjuangkan hak-hak Mandor. □

Baca selengkapnya..