Kamis, 26 Juni 2008

Kami Perlu Bantuan untuk Menulis Buku Tragedi Mandor--Genocida Jepang di Kalbar 1942-1944

Juni 1977 Gubernur Kalbar, Kadarusno meresmikan sebuah makam juang di Desa Kopyang, Mandor, lebih kurang 80 km dari Kota Pontianak. Makam juang itu untuk mengenang peristiwa "genocida" Jepang atas warga Kalbar yang terjadi dalam kurun waktu 1942-1944.
Genocida itu sendiri dipicu oleh gerakan para tokoh pejuang Kalbar untuk merebut kemerdekaan RI yang senapas dengan kesadaran nasional yang muncul di Kalimantan ketika itu.
Rapat para tokoh di Medan Sepakat dilarang. Para tokohnya ditangkap, disungkup dan dibunuh serta dimakamkan secara massal di Mandor. Jumlahnya menurut salah satu komandan lapangan yang bertugas menangkapi masyarakat, Yamamoto (saat disidang militer oleh sekutu) jumlahnya mencapai 21.037 jiwa. Bahkan menurut Yamamoto jika Jepang tidak kalah di berbagai wilayah penjajahan di Indonesia atau di dunia, targetnya 50.000 jiwa.
Jumlah rakyat Kalbar pada saat itu hanya sekitar 1 juta jiwa. Oleh karena itu lost 1 generasi para cerdik cendikia. Para raja semua dihabisi di seluruh kerajaan yang tersebar di Kalbar berikut karib-kerabatnya.
Akibat putus satu generasi itu kisah tentang tragedi ini tak terbukukan dengan baik sebagai pengalaman pahit sejarah serta bisa dijadikan pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Bahwa penjajahan dan perang hanya meninggalkan kebodohan, kemelaratan dan kesengsaraan.
Kami di Harian Borneo Tribune bekerjasama dengan Yayasan Tribune Institute sedang melakukan riset, mewawancarai ulang, menghimpun dan mempelajari kembali dokumen sejarah tersebut untuk kepentingan edukasi. Baik edukasi di Kalbar sendiri, maupun siapa saja yang kelak membaca buku lengkap Tragedi Mandor tersebut.
Kalbar dikenal sebagai daerah yang rawan konflik, oleh karena itu Monumen Mandor dapat dijadikan ikon pemersatu. Kenapa? Karena multi etnis, multi agama, bahkan berbagai warna kulit bangsa-bangsa juga terkubur di kuburan yang satu.
Kami menggugah siapa saja di milis WI untuk membantu kami apabila ada dokumen atau bahan yang bisa disumbangkan. Termasuk pusat-pusat riset, perpustakaan- perpustakaan, peneliti-peneliti yang bisa kami hubungi atau bekerjasama.
Proyek ini sangat penting bagi kedamaian di Kalbar karena Tragedi Mandor menjadi pelajaran kemanusiaan. Bahwa perang dan anarkisme tidak ada gunanya. Sebaliknya persatuan dan kerjasama diliputi semangat kemanusiaan, akan membawa bumi ini menjadi tempat hidup yang indah, aman dan nyaman serta sejahtera.

Wassalam
Nur Iskandar
Pemred Borneo Tribune



Baca selengkapnya..

Rabu, 25 Juni 2008

Summary Tragedi Mandor

Mengapa Harian Borneo Tribune dengan Yayasan Tribune Institute-nya getol membicarakan Tragedi Mandor? Ingin rasanya saya meluahkan apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan, dan apa yang ingin saya perbuat.

Sebagai jurnalis yang setia pada profesinya, saya tidak puas dengan reportase yang monoton. Di mana setiap tanggal 28 Juni reporter sibuk memberitakan upacara demi upacara. Pernyataan demi pernyataan, atau statement demi statement. Saya ingin berbuat sesuatu untuk menjadikan sesuatu itu sesuatu. Karena saya yakin sesuatu itu besar, bahkan amat sangat besar.
Betapa tidak besar, karena dari segi jumlahnya, korban genocida Jepang (1942-1944) mencapai 21.037 jiwa di kala jumlah rakyat Kalbar masih kurang lebih 1 juta jiwa kala itu. Sebuah tragedi kemanusiaan yang amat sangat besar sehingga Kalbar setback ke belakang setelah keemasan masa kerajaan-kerajaannya.
Para tokoh sering mengatakan bahwa Kalbar mengalami lost generation. Kalbar kehilangan satu generasi.
Generasi yang hilang itu adalah generasi pejuang. Mereka para nasionalis itu sedang menyusun gerakan perjuangan kemerdekaan, yang dikenal dengan perjuangan pemuda di Medan Sepakat.
Para pejuang seperti dr Rubini diculik. Kepalanya disungkup dengan karung, kemudian secara keji disiksa serta dipenggal kepalanya di Mandor.
Kala itu Mandor merupakan lokasi hutan rimba. Jaraknya 80 km dari Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi Kalbar.
Banyak lagi tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh akademik, bahkan mereka yang tahu baca-tulis diculik Dai Nippon. Mereka dijadikan romusha dan sebagian dihabisi di Mandor.
Aksi culik Dai Nippon berlangsung dengan kekerasan sehingga menumpahkan darah dan air mata. Apalagi harta, tak usah ditanyakan lagi. Emas, rupiah dan permata dikuras habis.
Saya pernah wawancara bersama kakak kandung Sultan Hamid, Ratu Perbu saat saya masih jadi reporter kampus tahun 1993-an. Beliau menceritakan bahwa harta benda yang dirampas Jepang tak terkirakan. Dan hal itu pula salah satu penyebab tidak lengkapnya harta benda pusaka di keraton Kadriah Pontianak. Penyebab lain tentu saja karena kemiskinan sedikit harta benda tertinggal dijual ahli waris demi mempertahankan hidupnya.
Saya merasakan derita dan nestapa itu. Apalagi di benak saya teringat Wak Sempo. Beliau nenek-nenek yang saya kenal di kampung saya di Sungai Raya Dalam, pinggiran kotamadya Pontianak.
Wak Sempo bercerita bahwa sebagai gadis, dia takut diculik Jepang. Untuk itu, katanya, jika tentara Jepang masuk kampung, para orang tua menyembunyikan anak-anaknya. Takut dijadikan jugun ianfu. Sayang, Wak Sempo tak bercerita lebih lanjut tentang hal itu. Mungkin karena saya masih anak-anak usia SD.
Tapi setelah saya jadi reporter, saya tahu ada jugun ianfu di Kalbar. Cuma sayang, satu sisi ini belum pernah dituliskan secara lengkap.
Jepang belum pernah membuka diri untuk kisah genocidanya di Kalbar.
Berikut sekedar cerminan penderitaan Kalbar lantaran leader-leadernya diculik dan disungkup, lalu dipenggal kepalanya secara tak berprikemanusiaan.
1. Tuanku Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Kerajaan Pontianak
2. Tuanku Muhammad Ibrahim Tsfioeddin, Sultan Kerajaan Sambas
3. Tuanku Gusti Abdul Hamid, Panembahan Kerajaan Ngabang
4. Tuanku Ade Muhammad Arief, Panembahan Kerajaan Sanggau
5. Tuanku Gusti Dja’far, Panembahan Kerajaan Tayan
6. Tuanku Muhammad Taufiek, Panembahan Kerajaan Mempawah
7. Tuanku Gusti Saoenan, Panembahan Kerajaan Matan/Tanjungpura, Ketapang
8. Tuanku Tengku Idris, Panembahan Kerajaan Sukadana
9. Tuanku Gusti Mesir, Panembahan Kerajaan Simpang
10. Tuanku Raden Abdoel Bahri, Panembahan Kerajaan Sintang
11. Tuanku Gusti Kelip, Panembahan Kerajaan Sekadau
12. Tuanku Syarif Saleh Alayidrus, Panembahan Kerajaan Kubu
Tak hanya 13 tokoh ini saja yang dihabisi. 21.037 jiwa lenyap dalam 2 tahun! Ada jurnalis, ada warga Tionghoa, Dayak, Melayu, dll.
Sepuh keluarga Mantan Kapolri, Hoegeng, kakek Roy Marten, keluarga Mantan Gubernur DKI Basofi Soedirman, adalah bagian dari korban Jepang di Kalbar.

Lagi-lagi ini kisah besar. Tak kalah jika dibandingkan derita Jepang atas Heroshima dan Nagasaki.

Peristiwa di Kalbar ini besar. Lebih besar daripada peristiwa westerling di Sulsel.

Peristiwa Mandor melibatkan Indonesia, Jepang, Australia yang menjadi tentara sekutu dan mengadili Jepang ketika itu, serta Malaysia. Kenapa? Karena sebagian rakyat yang tak kuasa menderita di Kalbar, melarikan diri ke Malaysia. Bahkan ada catatan seorang pastur yang masih hidup saat ini serta telah menulis buku tentang riwayat kekejaman Jepang saat itu. Dia disiksa. Kuku-kukunya dicabut. Sebuah kisah yang mirip apa yang dilakukan Jepang pada Sultan Muhammad. Raja keenam di Kota Pontianak.

Peristiwa Mandor sangat besar. Baik sekali dijadikan bahan pelajaran berharga. Bahwa perang hanya melahirkan korban.

Kita mesti riset kasus ini untuk bahan edukasi. Melibatkan Jepang dan Indonesia tentu saja. Lebih khusus lagi dalam koridor persahabatan, bukannya dendam.

Kita patut memberikan perhatian kepada para korban yang kini hidupnya miskin, tak bisa sekolah...

Wilayah Makam Mandor sendiri perlu dijadikan semacam monumen nasional (Monas). Kalau bisa why not?
Banyak pelajaran bisa diambil jika di sana bisa dibangun diorama, studio edukasi, tempat pelatihan kepemimpinan dll. Okelah, kita ambil sisi-sisi positifnya bagi pemekaran daerah dan pembangunan wilayah Kabupaten Landak dan Provinsi Kalbar.

Dialog demi dialog kami gelar, kecil maupun besar. Seminar demi seminar pun digelar. Hanya belum pernah melibatkan Prediden RI dan PM Jepang. Kalau itu terlalu besar, minimal melibatkan Gubernur Kalbar dan Dubes Jepang.

Kita perlu menyisihkan waktu untuk mengurusi korban korban ini. Hak-hak mereka perlu diberikan dalam tatanan pembangunan masyarakat dunia yang berkeadilan.

Tribune Institute mencoba membuka diri untuk berbuat sesuatu agar menjadi sesuatu. Sesuatu yang berarti itu adalah etos kejuangan yang diwariskan para pendahulu untuk kemudian diteruskan lagi oleh generasi muda dengan semangat kemanusiaan.






Baca selengkapnya..

Selasa, 24 Juni 2008

Kunjungan Akishino ke Indonesia Perlu ke Kalbar

Jepang salah satu Negara yang berbentuk kekaisaran di mana Pangeran Akishino memegang peranan penting dalam kekeluargaan kekaisaran. Saat ini dia adalah ahli waris tahta kekaisaran pada urutan kedua setelah abangnya Putra Mahkota Pangeran Naruhito yang belum memiliki anak laki-laki sedangkan Akishino telah punya anak laki Pangeran Hisahito sebagi garis pewaris langsung menduduki tahta kekaisaran berdasarkan suksesi yang dianut kekaisaran.

Said Dja’far/Freelancer
Borneo Tribune, Jakarta
Kunjungan orang yang terpenting dalam jajaran kekaisaran yang sangat dihormati bangsa Jepang ini berkunjung di Indonesia tanggal 18-24 Januari 2008 atas undangan resmi Pemerintah Republik Indonesia bersama istri dengan beberapa acara di antaranya menghadiri upacara pembukaan Tahun Persahabatan Indonesia-Jepang di Jakarta dan ini merupakan Peringatan 50 tahun Hubungan Diplomatik Indonesia–Jepang.
Hubungan Diplomatk yang terbentuk ini tentu tidak terlepas dari kondisi sejarah yang pernah terjadi sebelumnya di saat Jepang pernah menjajah Indonesia di tahun 1942-1945dengan segala duka dan penderitaan rakyat Indonesia pada waktu itu.
Hubungan yang baik ini tentu kita sambut dengan baik pula dalam rangka pergaulan Dunia agar tidak terjadi penindasan antara bangsa-bangsa sesuai dengan UUD 45 yang kita miliki.
Harapan kita hendaknya hubungan ini berdasarkan kejujuran, keikhlasan agar rasa terganjal di hati menjadi–ploong-dengan menghormati dan mengakui serta menyampaikan maaf atas segala kekeliruan yang pernah terjadi.
Kalimantan Barat merupakan bahagian dari wilayah NKRI tidak luput dari kawasan yang terjajah, bahkan dari Kalimantan Baratlah tentara Jepang menginjakkan kakinya yang pertama di Wilayah Nusantara ini dengan pasukan ankatan lautnya yang terkenal beringas dan kejam itu.
Di Kalimantan Barat pulalah terjadi pembunuhan massal dan biadab sebanyak 21.037 jiwa sebagian besar terkubur di makam Juang Mandor (lk 80 km dari Kota Pontianak).
Mundurnya Kalimantan Barat di segala bidang yang kita rasakan sekarang ini tidak terlepas terbunuhnya para cerdik cendiakawan,tokoh masyarakat dan pejuang sehingga hilangnya satu generasi di Kalimantan Barat yang sangat potensial.
Ada kecenderungan Pemerintah Jepang akan menutup-nutupi sejarah hitam yang dilakukannya agar generasi penerusnya sekarang ini tidak mengetahui peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
Sejarah tetap sejarah yang tak akan usang dimakan waktu.
Kiranya sebagai generasi sekarang Pangeran Akishino yang pernah ke Indonesia di tahun 1993 dan 1994 dalam rangka mengadakan riset tentang unggas untuk disertasi doktornya sangat disayangkan tidak ke Kalimantan Barat yang kaya akan unggas yang tidak terdapat di daerah lain seperti Enggang Gading, dsb-nya.
Jika kiranya Akishino berkunjung ke Kalbar pada waktu itu mungkin dia akan tertarik lebih dalam dan risetnya akan berobah bukan ke unggas tapi meneliti kerangka manusia yang ada di Mandor dan profesinya berubah akan menjadi seorang ahli forensik khusus akan penyebab kematian yang mengerikan itu.
Sayang momentum kedatangan beliau kali ini ke Indonesia, Pemerintah Kalimantan Barat tidak tanggap untuk mengundang Beliau berkunjung ke Kalimantan Barat mengadakan renungan suci di makam Mandor dengan demikian hubungan Persahabatan Indonesia-Jepang lebih bermakna baik bagi Indonesia terlebih rakyat dan para pewaris korban di Kalimantan Barat yang pernah terluka dan dengan kedatangannya akan menghilangkan rasa perih yang dirasakan sehingga akan terjalin rasa persahabatan yang mendalam penuh rasa memaafkan.
Kunjungan semacam ini tidak bisa menunggu datangnya dari Pusat karena di Jakarta pun banyak yang tidak tahu peristiwa ini pelanggaran HAM yang berat ini termasuk Menteri HAM yang pada waktu itu dijabat bapak Hasbalah M Saad. Oleh karenanya undangan datangnya harus dari inisiatif Pemerintah Daerah Kalimantan Barat.
Kita mengundang Beliau tidaklah salah bahkan suatu kehormatan baginya kalaupun tidak dapat berkunjung karena jadwal telah tersusun secara protokoler atau rasa kekhawatiran keamanan itu bukan soal, tapi yang penting agar Bangsa ini atau Sang Pengeran tahu sejarah Kalimantan Barat yang pernah diukir bangsanya itu supaya tidak terulang lagi ke masa depan.
Penulis sarankan kalaupun untuk kali ini tidak mungkin untuk mengundangnya, kiranya pada waktu ziarah tahunan tanggal 28 Juni 2008 di Mandor yang akan datang, apalagi sudah masuk agenda Hari Berkabung Daerah (HBD) di Provinsi Kalbar, Pemerintah Daerah mengundang setidak-tidaknya Duta Besar Jepang untuk Indonesia menghadiri pada Hari Bergabung Daerah yang telah ditetapkan melalui–Perda- itu, semoga! ■




Baca selengkapnya..

Polisi Berperan Besar Atasi Potensi Konflik Bola

Lihatlah stadion-stadion besar yang ada di Swiss dan Austria. Menampung 60 puluh ribuan penonton. Mungkin sama dengan 20 kali lipat stadion SSA yang terbesar berdiri di Kota Pontianak.
Bayangkan pula bagaimana luas lapangan parkir yang dibutuhkan menampung massa sebanyak itu. Bayangkan bagaimana massa itu masuk dan keluar, dan bagaimana macetnya jalan-jalan raya di sekitarnya.
Bayangan itu mengantarkan kita pada satu petugas, yakni polisi. Betapa polisi adalah profesi yang paling sibuk dalam menjamin keamanan dan kenyamanan warga sipil penonton.
Polisi sudah pasti jumlahnya juga tidak sedikit pula. Mereka disebar di titik-titik strategis jalan raya, lapangan parkir, pintu masuk stadion, hingga melingkari tribune di bagian depan. Kita bisa melihat mereka membelakangi lapangan bola melalui lensa kaca di televisi. Oh sungguh kasihan mereka tidak bisa menonton megabintang lapangan hijau melainkan menonton penonton yang sedu-sedan.
Di sini kita harus belajar menghormati polisi. Mereka rela berkorban demi kenyamanan penonton. Padahal polisi juga manusia. Mereka juga pasti punya rasa ingin tahu apa yang terjadi di lapangan.
Keterlibatan polisi tidak cuma di Swiss dan Austria, tapi juga sampai ke Bosnia. Antara melaporkan bahwa polisi terpaksa bekerja keras untuk mencegah bentrokan etnis di Mostar, Bosnia-Herzegovina setelah ribuan kaum muslim Bosnia dan Kroasia sama-sama turun ke jalan, menyusul kemenangan Turki atas Kroasia di perempat-final Euro 2008, Sabtu dinihari WIB.
Polisi harus menggunakan gas air mata untuk menjaga agar kedua kelompok tetap dalam posisi terpisah ketika terjadi saling lempar batu dan botol.
Keamanan juga ditingkatkan dengan menurunkan 1.000 orang polisi di selatan kota Mostar yang terpisah antara Krosia dan kelompok Muslim sejak terjadi perang etnis pada 1992-1995.
Pendukung tim nasional Krosia Bosnia selalu mendukung tim Kroasia, sementara sebaliknya, kaum Muslim justru mendukung tim yang menjadi lawan Kroasia.
Sebagian besar kaum Muslim Bosnia juga mendukung Turki di setiap turnamen internasional karena adanya hubungan sejarah selama lima abad kekuasaan Ottoman yang pernah menguasai kawasan Balkan.
Kota Mostar tetap terbagi antara kedua etnis selama hampir 13 tahun sejak berakhirnya perang etnis di Bosnia.
Ketegangan etnis masih tetap membara sampai saat ini dan kota tersebut juga sering dilanda kerusuhan saat pertandingan sepakbola dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2006, setelah pertandingan antara Kroasia dan Brazil, salah seorang pendukung cedera berat akibat terkena tembakan, dan enam polisi juga mengalami luka ketika pecah bentrokan antara Kroasia dan kelompok Muslim di Mostar.
Sementara di ibukota Sarajevo, kemenangan Turki atas Kroasia mendapat sambutan ribuan pendukung yang berpawai di jalan-jalan sambil mengibarkan bendera Turki serta meneriakkan "Allahu Akbar".





Baca selengkapnya..

Piala Eropa di The Roof Café--Nonton dalam Nuansa Elitis

Banyak pilihan untuk menikmati laga Piala Eropa. Bisa di rumah, di warung-warung kopi, atau di cafe-cafe.
Uniknya nonton bola kurang asyik jika seorang diri. Rasanya seperti makan sayur tanpa garam.
Menonton bola—apalagi sudah masuk ke babak semifinal dan final yang sangat mendebarkan itu—nonton bareng bersama sahabat-sahabat akan sangat menyenangkan. Kita bisa berbagi rasa dan asa. Kita bisa berbagi debar-debar di dada—apalagi jika kita punya jagoan yang sama atau musuh bersama. Atau sebaliknya, kita ingin mengukur sejauh mana analisis dan intuisi kita menemukan kesejatian kebenarannya.
Teriakan dukungan, caci maki akibat kesalahan yang dilakukan pemain di lapangan, tawa lepas jika ada diving yang konyol atau penampilan supporter yang beraneka corak dan ragamnya yang disorot lensa televisi bisa membuat kita tersenyum simpul bahkan tertawa renyah. Dan alangkah lucunya jika kita tertawa seorang diri di rumah di depan layar kaca tanpa ada lawan bicara. Kita laksana orang gila.
Sebaliknya jika nonton bareng ditemani camilan kecil, suasana akan berubah menjadi seperti pesta makan besar—big party. Walaupun nonton bareng itu pada dini hari seperti menonton laga Piala Eropa pukul 01.45 WIB. Kesegarannya bisa laksana pukul delapan malam.
Waktu yang bergulir 2x45 menit, atau bahkan perpanjangan waktu, hingga adu penalti seperti yang terjadi dalam laga Turki vs Kroasia tak akan terasa jika kita nonton bareng. Kantuk sama sekali tak kuasa menyerang.
Alternatif nonton bareng itu memang banyak. Tapi langka suasana sehebat di The Roof Cafe, lantai lima Hotel Peony pada bilangan gedung tinggi Jalan Gajahmada.
Jika Anda belum tahu betul Hotel Peony di mana, Anda akan mudah mendapatkannya karena terpampang sebuah spanduk mencolok berbunyi Nonton Bareng Piala Eropa. Penyelenggara nonton bareng ini Harian Borneo Tribune bekerjasama dengan Manajemen Hotel Gajahmada/Peony.
Nonton bareng sudah dihelat sejak Sabtu (7/6) silam dan akan mencapai peak, puncaknya pada Minggu (29/6) yang akan datang.
Tak sedikit penonton yang hadir menikmati layar lebar di The Roof Cafe ini. Mereka antara lain para pengusaha, birokrat, teknokrat hingga para wakil rakyat.
Legislator dari Partai Golkar, Adrianus Senen mengatakan, menonton di tempat seperti The Roof Cafe suasananya nyaman, segar, terjamin. Artinya tempat duduk dan pemandangannya menyenangkan, tidak padat, serta paling menyejukkan mata adalah pemandangan di balik kaca gedung. Kota Pontianak dengan temaram lampu di jalan serta kendaraan yang lalu lalang amat nyeni untuk diperhatikan dari ketinggian 30 meter.
Menonton bareng di The Roof Cafe hasil kerja bareng Borneo Tribune dan Manajemen Hotel Gajahmada/Peony penuh sensasi. Selain citarasa minuman, camilan dan makanan yang murah-meriah, juga longgar, bisa bercanda dengan leluasa, serta asri. Musik melankolis juga sayup-sayup terdengar melalui salon melodi, atau live music.
Tidak hanya para pria yang senang menonton bareng di The Roof Cafe. Kaum Hawa juga tidak ketinggalan.
Tak jarang suatu meja penuh dilingkari cewek-cewek berkulit kuning langsat ditemani rekan-rekan seusianya. Tampaknya mereka mahasiswa dan mahasiswi yang hendak reunian.
Tak jarang pula tampak advokat profesional seperti Dwi Syafriyanti, Santi dan Catur. Mereka tampak menikmati megabintang yang luwes memainkan bola, mendribling bola hingga tiba-tiba berteriak, “Goal!” Alamak, cewek-cewek juga ternyata gila bola juga sehingga tidak serta merta menjadi dunianya para pria.
The Roof Cafe berada di lantai lima Hotel Peony. Jika Anda memasuki ruang lobby, Anda harus menggunakan lift untuk naik ke gedung bertingkat di hotel berbintang dua ini. Lift akan berhenti di lantai empat dan kemudian diteruskan dengan tangga ke lantai lima.
Kedatangan Anda akan disambut petugas dengan pakaian khas hotel. Selanjutnya sebuah ruangan berbentuk L akan terbentang di hadapan Anda. Anda boleh berbelok ke kiri untuk yang suka kempas kempus merokok lantaran ini smoking area, tapi bisa juga berbelok ke kanan yang lebih mentereng.
Di ruangan ini terdapat tiga pesawat televisi dan sebuah unit layar lebar yang semua bisa menjadi pilihan untuk menikmati Piala Eropa. The Roof Cafe buka selama 24 jam non stop.
Menonton berlama-lama tak jarang kita mudah “bocor” apalagi jika dua kesebelasan tampil seru sehingga menegangkan. Kontraksi otot perut akan memeras zat cair untuk mencari di manakah toilet.
Di sinilah beda antara hotel dengan warung kopi. Ada dua unit toilet yang bersih dan indah. Kesehatan Anda benar-benar dijamin. Walaupun akibat banyak minum akan banyak juga bocornya, tapi sarana toilet yang tersedia canggih tak akan menyulitkan instabilitas biologis seperti itu.
100 tempat duduk tersedia di rungan yang lumayan luas ini. Anda bisa memesan sejak dini menyongsong laga semifinal dan final agar kebagian tempat. Demikian lantaran orang-orang elit butuh tempat yang elit pula.
Pada malam final panitia akan membagikan kuis berhadiah. Bagi yang beruntung, mereka akan membawa pulang TV 21 inch, kulkas, dispencer, DVD Player, magic jar, HP, kipas angin dan ratusan souvenir menarik lainnya. Jangan lewatkan kesempatan menarik ini. Nonton bareng semifinal dan final Piala Eropa di The Roof Cafe. Monggo Mas. Sile Bang. Tak usah malu-malu Pak Cik. Mak Cik.





Baca selengkapnya..

Piala Eropa Buat Kalbar

Terdengar aneh: Piala Eropa buat Kalbar, sebenarnya tidak ada yang aneh.
Piala Eropa yang sedang berlangsung di Austria-Switzerland sejak Sabtu (7/6) kemarin telah memberikan informasi, pelajaran sekaligus hiburan buat kita di Kalbar. Provinsi yang tidak bisa dikatakan tidak—suka bola.
Di mana-mana orang berbicara tentang bola. Tidak hanya di koran-koran, majalah, radio dan televisi, tapi juga sampai ke warung-warung kopi. Bahkan intensitas jumlah penonton bareng di warung kopi semakin meningkat menuju laga semifinal dan final yang bakal jatuh pada Minggu (29/6) mendatang.
Jika kita menyempatkan waktu keluar rumah dan memasuki jalan Tanjungpura serta Gajahmada, maka akan tampak deretan parkir kendaraan bermotor jauh lebih panjang daripada biasanya. Meja kursi di warung-warung kopi penuh. Nyaris tak ada kursi yang kosong, kendati sudah dini hari. Maklum, pertandingan di perdelapan final seluruhnya dihelat pada pukul 01.45 WIB.
Tentu tidak hanya di sepanjang jalan Tanjungpura dan Gajahmada di Kota Pontianak saja penonton menyemut. Aktivitas nonton bareng juga marak di kota-kota kabupaten dan kecamatan di seantero Kalbar. Mereka menikmati aksi-aksi akrobatik para atlet tenar maupun mega bintang dunia seperti Ronaldo, Ballack, Nuno Gomez, Padolwski, Van Nielstroy, Donadoni dan lain-lain.
Segudang informasi telah dan akan terus kita terima melalui akses informasi yang tiada tara besarnya di era kesejagatan ini. Muatan informasi itu bagaikan air bah muntah lewat radio, televisi, koran, majalah, tabloid, hingga analis-analis sepakbola.
Bobot informasi itu tidak hanya fokus di bidang olahraga, tapi juga menyentuh ranah industri, bisnis, pariwisata, hingga budaya. Dapat dilihat betapa besar persiapan yang harus dilakukan, melibatkan puluhan ribu petugas, melibatkan investasi dana yang miliaran.
Mampukah kita melakukan even-even sebesar ini? Kalau belum seperti Piala Eropa, lalu kapan? Sampai kapan kita hanya bisa menjadi penonton?
Lapangan bola dengan para aktor kesebelasan tampil sudah mengalahkan elegannya para selebritis. Tak urung kepala negara menyempatkan diri menonton dan menyemangati tim kesebelasan, wakil dari negaranya.
Kekalahan tim mampu menyuramkan suatu negara. Sebaliknya, kemenangan sebuah tim bisa mengharu-birukan suatu negara secara total.
Lihatlah Jerman yang melibas Portugal secara dramatis 3-2. Sedikitnya 14.000 warga secara spontan berkumpul di Bundaran Kota Berlin. Mereka konvoi sekaligus mengibar-kibarkan bendera Jerman sebagai ungkapan rasa sukacita. Di sini kita belajar tentang nasionalisme gaya baru. Nasionalisme tumbuh jika ada prestasi yang mengatasnamakan negara.
Kapan kita di Kalbar bisa begitu? Apa yang bisa kita andalkan? Apakah desain persepakbolaan kita akan bisa mencapai titik jitu itu? Kalau belum dalam satu dasawarsa ini, lalu kapan? Sampai kapan kita hanya bisa menjadi penonton saja?
Gol-gol yang tercipta dengan kelas dunia menunjukkan desain yang rapi dari sebuah serangan. Bola dilesakkan dari kaki ke kaki. Bola itu melewati garis-garis yang sulit karena harus menembus pertahanan lawan yang memagar betis secara rapat. Sama sekali bukan perkara mudah menggoreng bola untuk disarangkan ke jala gawang lawan. Terlebih di unit web ada kiper laksana spiderman. Sekali tangkap, bola lekat.
Bola tidak hanya bergerak dari kaki ke kaki, tapi juga melibatkan intelejensi. Melibatkan kepakaran. Melibatkan ilmu pengetahuan dan skill atau keterampilan. Melibatkan arsitektur bola sejak zaman primitif hingga mutakhir. Melibatkan manajemen yang rapi.
Si bundar tak akan melekat di kaki seorang atlet jika atlet tersebut tidak berlatih dengan penuh disiplin. Mega bintang Zinedine Zidane berujar, “Saya berlatih dua kali lipat dari biasanya orang-orang berlatih.”
Hasilnya? Zidane menjadi maestro yang belum terkalahkan nilai transfernya hingga saat ini. Nilai transfer puncak yang diterimanya mencapai Rp 700 miliar. Mengalahkan APBD Kota Pontianak dalam satu tahun.
Coba pikir dengan cermat, siapakah warga Kalbar yang punya gaji sebesar Rp 700 miliar dalam satu tahun? Tidak ada. Tapi Zidane membuktikannya.
Lalu sampai kapan kita berdiam diri? Para atlet bola yang kita tonton itu telah bergelimang materi dan prestasi. Kita jika berkeinginan menuju ke gudang prestasi seperti itu juga perlu kerja keras. Kerja keras seperti dicontohkan Zidane. Bekerja dua kali lipat lebih keras dari apa yang dilakukan oleh orang-orang lainnya.
Tak dapat dibayangkan, jika warga Kalbar yang totalitasnya mencapai 4 juta jiwa ini. Jika semuanya pekerja keras, tak akan ada lahan tidur yang tidak produktif. Semua berbuah. Semua menghasilkan uang. Semua menghasilkan materi dan prestasi.
Jika kita belum mampu mengukir prestasi di lapangan hijau sepakbola, minimal lapangan hijau pertanian kita. Jangan hanya ditonton, tapi diolah.
Luas Kalbar yang 1,5 kali luas Pulau Jawa plus Bali mengandung kekayaan yang tiada tara. Semua itu tergantung kepada penduduk Kalbar untuk menjawabnya dari satu sudut pandang bola Piala Eropa.
Piala Eropa yang finalnya akhir bulan ini akan menobatkan salah satu dari tim yang digdaya, tapi pemenangnya bisa jadi Kalimantan Barat. Why? Tentu, jika warga Kalbar bisa memetik pelajaran yang sangat berharga dari Piala Eropa. ■




Baca selengkapnya..

Bangun UPT Monumen Daerah Mandor--Tepatnya di Bawah Dinas Sosial

Gagasan pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT) merupakan gagasan yang mulia. Hal itu penting guna mengakomodir pengelolaan di kawasan Monumen Daerah Mandor dan hingga kini terus bergulir. Usulan itu semata-mata agar kawasan yang kaya akan sejarah pergerakan nasional di Kalimantan Barat itu tetap terjaga dan tidak dirusak oleh perorangan maupun kelompok tertentu yang pada akhirnya dapat mensirnakan sejarah perjuangan rakyat yang menelan sebanyak 21.037 korban jiwa pada 1942-1944.

Andry
Borneo Tribune, Pontianak

Untuk pembentukan suatu lembaga tentu harus difikirkan secara matang dari segala aspek yang ada. Tetapi yang jelas, terkait Monumen Daerah Mandor, Provinsi Kalbar telah pula memiliki Peraturan Daearah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat. ”Saya kira itu nanti bisa ditindaklanjuti. Sebab untuk pembentukan suatu lembaga itu harus difikirkan terlebih dahulu. Apakah cukup efektif,” ungkap Asisten Pemerintahan dan Hukum Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Drs. Mahfut Suhendro di Hotel Grand Mahkota, Selasa (24/6) kemarin.

Kata Mahfut, untuk membentuk suatu lembaga harus mengacu terhadap tugas, pokok dan fungsi dari lembaga yang berada di atasnya. Misalnya dalam hal ini menyangkut dengan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat. Dan tentu Dinas Sosial yang berwenang untuk membentuk UPT tersebut. ”Apakah itu perlu untuk dibuat atau tidak perlu. Itu tentu disesuaikan, difikirkan efisiensi dan efektifitasnya. Dan itu ada petunjuk-petunjuk tertentu kalau memang ada kemungkinan untuk pembentukan UPT itu,” ulasnya panjang lebar.

Dia menegaskan kalau usulan pembentukan UPT itu nantinya berada di bawah naungan Dinas Pariwisata, agaknya hal itu kurang tepap. Namun, mantan Sekwan DPRD Kalbar ini menyarankan agar gagasan ini tetap berada di bawah binaan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat.





Baca selengkapnya..

50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Jepang--Presiden SBY Harus Tahu Tragedi Mandor

Di tengah kesibukan mengurus negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menyempatkan diri untuk mendapatkan ilmu baru dari Negeri Sakura, Jepang.
Di Hotel Midplaza, Jakarta, Jumat (20/6), Presiden Yudhoyono dan Ibu Negara menghadiri upacara jamuan teh ala Jepang yang disebut Chanoyu.

Suhu (Grandmaster) jamuan teh yang bergelar Soshitsu XV, Genshitsu Sen, sengaja datang dari Jepang untuk menghidangkan teh kepada Presiden dan Ibu Negara.

Ia juga menjelaskan tata cara filosofi jamuan teh Jepang yang bermaksud memperhatikan dan menghormati sesama manusia.

Dalam tata cara Chanoyu, tuan rumah diwajibkan selalu memperhatikan kebutuhan tamu dan melupakan dirinya sendiri, sehingga tumbuh sifat memperhatikan orang lain.

Genshitsu Sen juga menjelaskan arti peralatan minum teh yang digunakan, seperti cawan keramik motif ombak berwarna kebiruan yang sengaja dipilih karena Indonesia adalah negara kepulauan.

Grandmaster juga menjelaskan arti kaligrafi Jepang yang dipajang di dinding, yang menuliskan harapan perdamaian dunia.

Sebelum minum teh hijau ala Jepang, Presiden dan Ibu negara mendapat sajian penganan Jepang yang didatangkan khusus dari Kyoto, yang disebut Chakaiseki.

Setelah itu, Grandmaster di hadapan Presiden dan Ibu Negara menyajikan teh hijau yang terlebih dahulu ditumbuk sebelum diseduh air panas dan dikocok.

Ibu negara pun didaulat untuk menyajikan teh yang kemudian dihidangkan kepada Presiden yang tersenyum lebar menyambutnya.

Perhelatan upacara minum teh itu diselenggarakan untuk memperingati 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang.

Presiden dan Ibu Negara yang terlihat santai dan menikmati upacara minum teh itu berulang kali mengucapkan "arigato" kepada Grandmaster Genshitsu dan Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kojiro Shiojiri.

Presiden dalam pidato penutupan menyatakan terima kasihnya karena persahabatan dan keakraban yang ditunjukkan Jepang sebagai sahabat Indonesia.

"Kami semua hari ini bertambah pengetahuan. Mudah-mudahan istri-istri kita rajin bikinkan teh hijau sehingga badan kita lebih sehat dan bisa jalankan tugas lebih baik lagi," tutur Presiden.

Ibu Ani Yudhoyono pun tersenyum lebar mendengarnya.

Alangkah indah pertemuan pucuk pimpinan RI bersama Dubes Jepang tersebut sebagai menandai 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang—sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara—SBY tahu Tragedi Mandor.
Apa artinya bagi kita di Kalbar? Bahwa sesungguhnya, Presiden RI sebagai penanggungjawab aras rakyatnya patut tahu tentang Tragedi Mandor. Jika saja SBY tahu akan Tragedi Mandor yang terjadi di Kalbar tahun 1942-1944—telah terjadi perjuangan rakyat melawan fasisme Jepang sekaligus upaya merebut kemerdekaan, SBY dapat menjadi pintu diplomasi soal hubungan Jepang dan Kalbar sebagai bagian dari NKRI.
Amat sangat disayangkan, selama ini, jika SBY berkunjung ke Kalbar, Pemprov belum mengagendakan orang nomor satu itu ke Monumen Daerah Mandor. Dengan demikian amat minim bahkan tidak ada pengetahuan sang Presiden akan Tragedi Mandor.
Dengan memperingati 50 tahun hubungan diplomatik RI-Jepang, sudah sepantasnya Tragedi Mandor masuk dalam agenda pembicaraan. Demikian lantaran tragedi tersebut belum pernah diselesaikan secara tuntas. Misalnya kasus pelanggaran HAM berat terhadap 21.037 jiwa anak manusia, putusnya satu generasi sehingga Kalbar tertinggal, jogun ianfu, romusha, dan lain-lain. Secara nasional, pejuang-pejuang Mandor juga tidak terdaftar dalam pahlawan nasional sehingga Monumen Mandor merana dalam kesendiriannya. Padahal sebagian besar korban adalah para pejuang selain rakyat jelata.
Jika SBY tahu, atau pernah berkunjung ke Mandor, maka masalah tragedi kemanusiaan 1942-1944 tersebut sedikit terobati dengan langkah-langkah konkret persahabatan disertai nilai-nilai kejuangan yang universal dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia yang dilimpahi rasa kasih sayang dalam koridor kesejahteraan bersama anak-anak penghuni planet dunia.




Baca selengkapnya..

DPRD Restui Pembentukan UPT Mandor--Sejarah Mandor Perlu Ditulis Kembali

Kawasan Makam Juang Mandor yang sekaligus merupakan situs cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang perlu dibentuk suatu Unit Pelayanan Teknis (UPT). Hal itu penting agar dapat melindungi kawasan bersejarah tersebut dari perbuatan yang dapat merusak maupun mereduksi eksistensi dari kawasan tersebut. Prinsipnya DPRD Kalimantan Barat sepakat bahwa kawasan Makam Juang Mandor (kini berubah nama menjadi Monumen Daerah Mandor sesuai Perda No 5 Tahun 2007, red) perlu dibentuk suatu Unit Pelayanan Teknis (UPT).
Andry
Borneo Tribune, Pontianak
”Pada prinsipnya saya mendukung pembentukan suatu UPT untuk mengelola kawasan Makam Juang Mandor. Karena sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat memang mengamanahkan beberapa poin penting,” tegas Wakil Ketua Pansus SOPD DPRD Kalbar, Drs. Zainuddin Isman, M.Phil di gedung DPRD Kalbar, Senin (23/6) kemarin.

Legislator PPP ini mengatakan amanah Perda yang pertama, yaitu mengukuhkan bahwa pada 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah. Dan kedua, kawasan Makam Juang Mandor ini merupakan situs cagar budaya atau Monumen Daerah. Oleh karena itu, Gubernur perlu segera menetapkan berapa luas wilayah kawasan Monumen Daerah Mandor yang sekaligus merupakan situs cagar budaya di Kalimantan Barat. Sebab, selama ini Undang-Undang tersebut masih belum dapat diimplementasikan lantaran belum diketahui secara pasti berapa sebenarnya luas dari kawasan tersebut. “Karena sejauh ini, baik pemerintah provinsi maupun Kabupaten Landak masih belum menetapkan berapa luas kawasan Makam Juang Mandor tersebut.”

Kemudian, amanah yang ketiga dalam Perda tersebut mengamanahkan bahwa sejarah pergerakan nasional di Kalimantan Barat, termasuk peristiwa Mandor harus kembali ditulis secara objektif dan proporsional. Dengan harapan agar sejarah tersebut dapat dituangkan dalam muatan lokal (mulok) di Kalbar.
”Itu masih belum dilaksanakan. Baru Hari Berkabung Daerah (HBD) yang telah ditetapkan dan pemasangan bendera setengah tiang di Kalbar. Kita minta kepada pemerintah provinsi agar di dalam perubahan APBD 2008 mendatang, penetapan lokasi dan penyiapan lokasi serta penulisan sejarah tersebut harus sudah dianggarkan.”

Dia juga mengaku sejauh ini sejarah yang ditulis mengenai peristiwa Mandor masih belum proporsional, sehingga perlu dilakukan penulisan kembali mengenai sejarah pergerakan nasional di Kalbar yang termasuk pula peristiwa Mandor. Agar sejarah mengenai beragam perjuangan pergerakan nasional di Kalbar maupun peristiwa Mandor dapat diketahui secara utuh oleh generasi penerus bangsa. “Itu penting,” ingat Zis sapaan akrabnya.

Wakil rakyat daerah pemilihan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu ini menegaskan pembentukan suatu UPT itu tidak perlu dicantumkan di dalam SOPD. Karena, gubernur berhak untuk membentuk suatu UPT. Dan pembentukan UPT itu ditetapkan berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub). Oleh karena itu, jelas dia, UPT itu tidak perlu dimasukkan di dalam rancangan SOPD secara eksplisit, melainkan perlu ada kesepakatan antaran Pansus SOPD DPRD bersama pihak eksekutif bahwa kawasan Monumen Daerah Mandor tersebut perlu dibentuk suatu UPT yang akan menangani secara khusus kawasan tersebut.
Dia menambahkan, ketika berbicara UPT, artinya ada kaitannya dengan eselon III. Dan eselon III itu tidak secara eksplisit diatur di dalam SOPD. Kendati demikian, dia menegaskan bahwa kawasan Monumen Daerah Mandor penting dibentuk suatu UPT.

Sementara itu, anggota DPRD Kalbar, H. Zainal Abidin, HZ mengatakan pihak eksekutif harus mengusulkan pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT) dalam draft SOPD yang diusulkan pihak eksekutif kepada legislatif. “Saya setuju bahwa UPT itu dibentuk untuk mengelola kawasan monumen yang bernaung di bawah Dinas Pariwisata. UPT ini akan kami perjuangkan di dalam pembahasan SOPD bersama pihak eksekutif,” tegas Zainal.

Legislator PPP ini menambahkan bahwa Monumen Daerah Mandor merupakan aset sejarah dan wajar kiranya pemerintah membentuk badan khusus berupa UPT yang menangani kawasan ini, sehingga kawasan ini dapat terjaga dari beragam perilaku yang dapat merusak lingkungan maupun situs cagar budaya yang ada di Kalbar.
“Kita berharap kepada pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dapat membentuk UPT yang bertugas secara khusus untuk menangani kawasan Monumen Daerah Mandor ini,” harapnya tulus.

Dia juga mengharapkan Pansus SOPD juga dapat memperjuangkan pembentukan UPT ini, sehingga gagasan yang dipaparkan Pimpinan DPRD terkait pembentukan UPT ini bisa segera terealisasi. ■



Baca selengkapnya..

“Tribune Institute Siap Menjalankan Amanah”


Suasana hening ketika usul demi usul diendapkan dalam Mandor Meeting di The Roof Cafe, Jumat (20/6) malam. Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH di hadapan 30 peserta angkat bicara.
“Tribune Institute siap sedia menerima dan menjalankan amanah yang sangat besar ini. Insya Allah Tribune Institute menjalankan amanah dengan penuh loyalitas, bahkan tanpa dikomando pun kami akan terus berjuang untuk Mandor,” ungkapnya memecah keheningan.
“Kami siap menjalankan amanah dengan memformulasikan kembali semua agenda yang telah pernah direkomendasikan baik oleh para ahli waris keluarga korban fasisme Jepang, usul para cerdik cendikia, maupun alur pemerintahan. Kami tentu mohon bantuan dan bimbingan dari kita semua karena Tribune Institute pun tak akan mungkin bekerja sendiri untuk tingkat lokal, nasional hingga internasional,” sambung kandidat magister hukum ini tegas dan fasih.
Dwi yang juga keluarga korban Mandor karena saudara kakeknya di Kerajaan Sintang juga diciduk Jepang serta kembali hanya tinggal nama mengatakan Tribune Institute memiliki jaringan yang cukup kuat secara lokal, nasional dan internasional. Untuk itu menurutnya, amanah Monumen Daerah Mandor akan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya—terlebih dengan dukungan Tim Pemikir—seperti diusulkan Dr Mardan Adijaya—Raja Mempawah.
Dwi berharap dukungan dan bimbingan agar program dapat berjalan dengan baik, termasuk seluruh testimoni maupun data berkenaan dengan fasisme Jepang di Kalbar untuk dapat disampaikan kepada Tribune Institute yang bersekretariat di Jalan Purnama, Kompleks Pinangsia No 2 Kota Pontianak.


Baca selengkapnya..

Big Design Mandor Diamanahkan Kepada Tribune Institute

“Kraton2 yg tergabung di dlm FSKN Kalbar memberikan amanah kepada Tribune Institute utk memfasilitasi Penyambutan, Pengisian dan Pemaknaan HBD setiap tahunnya melalui kerja2 progresif dan akuntabel utk pemuliaan harkat martabat anak bangsa yg menjadi korban keganasan Jepang di forum lokal, nasional a Internasional, baik dgn bekerja mandiri maupun dgn bekerjasama dgn Pemda, Pempus maupun LSM nasional dan masy Int’l.” Gusti Suryansyah, Ketua TPH-FSKN Kalbar.

Nur Iskandar
Borneo Tribune, Pontianak

Short Message Service (SMS) atau pesan layanan singkat itu saya terima pada pukul 00.32 WIB, hari Sabtu tanggal 21 Juni 2008. Pada saat itu saya, Dwi Syafriyanti selaku Ketua Yayasan Tribune Institute, dan Tanto Yakobus selaku redaktur Harian Borneo Tribune sekaligus designer website Mandor masih berada di The Roof Cafe tempat diselenggarakannya “Mandor Meeting” bersama stakeholder membicarakan langkah-langkah lebih lanjut terhadap big design (rancangan besar) gerakan “Mandor” yang telah memiliki payung hukum Hari Berkabung Daerah (HBD) serta Monumen Daerah Mandor melalui Perda No 5 Tahun 2007.
SMS yang dikirimkan Panembahan Landak itu adalah penegasan kembali atas kesimpulan akhir dari Mandor Meeting yang digelar di The Roof Cafe, Hotel Peony yang berlangsung sejak pukul 18.30-23.00 dan diikuti oleh sedikitnya 30 peserta. Mereka antara lain Drs Gusti Suryansyah, M.Si, Dr Mardan Adijaya, Drs Gusti Mulia, Ir Syarif Muhammad Herry, Turiman, SH, M.Hum, HA Halim Ramli, Drs M Zain, Moeliono (Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, mewakili HA Kadir Ubbe, SH, MM), Dra Sri Jumiadatin, M.Si (Karo Binsos Pemprov Kalbar), Paimin Slamet (Dinas Pendidikan Nasional mewakili Drs H Ngatman), Erick S Martio, Ir Andreas Acui Simanjaya, Zulfidar Zaedar Mochtar, SE, MM, Faisal Riza, ST, Nazirin, SH dan masih banyak lagi.
Saya selaku moderator sekaligus atas nama Harian Borneo Tribune yang menjadi fasilitator Mandor Meeting membuka kegiatan dengan penjelasan flash back bahwa tragedi yang terjadi di tahun 1942-1944 sangat besar artinya bagi Kalbar yang multietnis, multiras dan multi agama. Perjuangan rakyat melawan fasisme Jepang, yang gugur sebagai bunga kusuma Bangsa patut dikenang dalam buku sejarah kejuangan Bangsa Indonesia. Ironisnya, Tragedi Mandor yang genocidanya menunjukkan angka 21.037 jiwa luput dalam pelajaran sejarah nasional. Oleh karena itu perlu bagi generasi saat ini memperjuangkannya secara terus menerus ke Pusat, bahkan internasional. Demikian lantaran korban perang Jepang tidak hanya Kalbar, tapi juga China, hingga Amerika Serikat.
Pemprov Kalbar sebagaimana dituturkan Wiwiek dari Biro Binsos menegaskan bahwa sudah ada beberapa kali pertemuan membahas HBD yang jatuh pada 28 Juni mendatang. Misalnya BKIKD melakukan ekspose, dinas pendidikan melakukan lokakarya menyoal masuknya Mandor sebagai bahan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, maupun Dinas Pekerjaan Umum untuk mengelola tata ruang. Terlebih lokasi Mandor mengalami kerusakan akibat ulah penambang emas.
Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat seperti penjelasan Moeliono mengakui bahwa sejak Perda No 5 tahun 2007 terbit, urusan teknis HBD diserahkan ke Dinas Sosial. Biro Binsos hanya mengenai kebijakan-kebijakan strategis semata-mata. “Ini tahun pertama kami sebagai penyelenggara,” ungkapnya.
Menurut Moeliono pada 28 Juni mendatang upacara akan lebih khidmat karena peserta tidak dipaksa berdiri, melainkan disiapkan kursi. Acara juga akan lebih komplit dengan adanya komandan upacara, pemasangan foto-foto baru para pejuang, karangan bunga, serta kunjungan pelajar dan mahasiswa. Untuk perawatan Monumen Daerah yang sesungguhnya sama dengan Monas-nya Kalbar, Dinas Sosial mempunyai penjaga makam.
Dinas Sosial berupaya mengundang pihak di Pusat termasuk Kedubes Jepang. Namun diakui hal tersebut tidak mudah. Oleh karena itu dibutuhkan bantuan dari pihak-pihak yang punya akses ke sana seperti Tribune Institute.
Dinas Sosial melihat sangat banyak pekerjaan rumah mengenai situs Mandor. “Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kita harus bersatu,” usulnya.
Perwakilan dari Dinas Diknas Kalbar, Paimin Slamet di forum menyatakan sejak diterbitkannya Perda No 5 Diknas sudah menggelar seminar pada Desember 2007 dan merekomendasikan Mandor masuk dalam muatan lokal. Pembahasan lebih lanjut pada 24-28 Juni dalam waktu dekat ini.
Gusti Suryansyah dalam pertemuan Mandor Meeting mengaku apresiet terhadap apa yang dilakukan Harian Borneo Tribune bersama kepanjangan tangannya bernama Tribune Institute—sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang riset dan pendidikan serta kepenulisan—sehingga perjuangan Mandor tidak “mati angin”.
Kata dosen pasca sarjana di Untan ini, ahli waris keluarga korban Jepang sejak terbitnya Perda No 5 bersikap husnuzhan atau berbaik sangka. Tapi ternyata, sudah memasuki bulan Juni sama sekali tak terdengar rencana-rencana Pemprov tentang apa dan bagaimana HBD tahun 2008 ini. Oleh karena itu dia selaku Ketua TPH-FSKN Kalbar telah pula melakukan rapat di Kantor Magister Ilmu Sosial. Hasilnya mempertanyakan apa eksen dari Pemprov. “Syukur alhamdulillah pada hari ini kita bisa bertemu di forum ini,” ujarnya.
Melihat Pemprov kurang aktif mensosialisasikan HBD, Gusti Suryansyah sudah dua kali ekspose di radio, masing-masing Radio Divasi dan RRI. “Better late than never (lebih baik telat daripada tidak sama sekali),” sindirnya buat Pemprov. “Seperti menelan liur pahit,” ungkapnya gemas—yang sebelumnya tabik-tabik minta maaf kepada Dinas Sosial dan stakeholder yang hadir.
Gusti Suryansyah bicara cukup panjang. Katanya, Monumen Daerah Mandor adalah miniatur Indonesia (bila perlu didesain seperti Taman Mini Indonesia Indah, red) di mana ada multietnis, multikultural, ada genocida. Dll. “Anggaran dana Rp 75 juta ke Dinas Sosial sangat kecil. Sebagian terserap untuk konsumsi. Kita perlu menembus APBN,” usulnya mengenai perjuangan peningkatan status pejuang Kalbar menjadi pahlawan nasional.
“Tahun ini okelah upacara yang mengalami perluasan sedikit saja, tapi tahun-tahun mendatang harus lebih meningkat. Upacara HBD tidak hanya di Mandor, tapi juga di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, seperti upacara 17 Agustus,” imbuhnya.
Mengenai rencana seminar di Kedubes Jepang, Gusti Suryansyah mendukung. Tetapi menurutnya tidak perlu semua keluarga korban ikut serta, sebab dikuatirkan masih ada letupan emosi sehingga ajang akademis berubah menjadi caci maki—hadirin pun tertawa kecil.
Ketua MABT, Erick Martio angkat bicara. Dia yang juga cucu korban Mandor menunjukkan foto kakeknya yang tewas dipenggal Jepang bahkan fotonya dimuat di edisi Borneo Sinbun yang menghebohkan itu.
Dr Mardan Adijaya melakukan penekanan kepada rasa kebangsaan dan marwah ke-Indonesiaan. “Kalbar penuh dengan perjuangan. Kalbar ikut membentuk Republik ini. Oleh karena itu Monumen Mandor harus ada progresnya.”
Diakuinya bahwa masih banyak generasi muda yang tidak tahu cerita Mandor. “Anak-anak kita belum tahu HBD,” ungkapnya.
Mardan setuju perlu ada satu lembaga yang menangani Mandor seperti UPT (Unit Pelaksana Teknis). Lembaga ini yang mengelola secara langsung Monumen Daerah, tetapi lembaga-lembaga lain seperti forum kraton, PPKAJ dll tetap penting sebagai support system alias sistem pendukung.
Berkenaan dengan hal itu Mardan setuju big design gerakan Mandor seperti dikupas di atas diinisiasi oleh Tribune Institute. Pertimbangannya sama dengan Gusti Suryansyah, agar organisasi tidak gemuk, ramping, bekerja taktis dan cekatan.
Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH mengaku Mandor Meeting luar biasa menarik. Menurutnya Mandor tak lepas dari isu HAM yang menjadi konsentrasi masyarakat internasional.
“Mandor tidak berhenti pada sejarah. Ada pluralisme di sini. Persoalan Mandor tak sekedar permohonan maaf dari Jepang, tapi juga UU No 27 Tahun 2004 mengenai ganti rugi. Oleh karena itu seminar internasional dengan Jepang bukan hal yang mustahil,” ungkapnya seraya mengatakan kita dapat mengajak masyarakat internasional.
Budayawan HA Halim Ramli menyindir Pemprov yang menyiapkan 12 armada angkut. “Dahulu di zaman Gubernur Kadarusno disiapkan 42 bis sehingga 412 keluarga korban bisa diangkut.”
Sebagai penulis cum jurnalis, AHR—sapaannya—membayangkan setiap upacara dapat diikuti 5 ribuan massa. Demikian karena besarnya peristiwa Mandor tersebut. AHR menyatakan, perlu figur-figur seperti Kadarusno.







Baca selengkapnya..

Hari Berkabung Daerah Sudah di Depan Mata-Pemprov Siapkan Armada ke Mandor

Enam hari lagi Hari Berkabung Daerah (HBD), suatu hari yang ditetapkan sebagai memperingati hari kejuangan rakyat Kalbar melawan fasisme Jepang selama kurun waktu 1942-1945 dengan korban jiwa 21.037 jiwa sehingga pada saat itu Kalbar kehilangan satu generasi.
Pemprov Kalbar sebagaimana tahun-tahun sebelumnya menyiapkan upacara tingkat provinsi di Makam Juang—kini dengan dikeluarkannya Perda No 5 Tahun 2007 tentang HBD telah berubah menjadi Monumen Daerah—Mandor.
Akan bertindak sebagai inspektur upacara Gubernur Kalbar dan diikuti oleh ratusan pelajar dan mahasiswa serta ahli waris keluarga korban. Upacara ini juga melibatkan banyak pihak antara lain undangan lokal dan nasional.
Menurut rencana Dinas Sosial akan mengundang instansi vertikal di Pusat terkait peningkatan status Makam Juang menjadi Monumen Daerah, termasuk Kedutaan Besar Jepang, serta upaya memperjuangkan sejumlah pejuang menjadi pahlawan nasional.
Dinas Sosial juga menyiapkan armada angkutan bagi pelajar dan ahli waris keluarga korban sebanyak 12 bis. Bis-bis ini menunggu di halaman depan Makorem 121 ABW, serta di Keraton Kesultanan Kadriah Pontianak.
Upacara akan digelar pada 28 Juni sesuai dengan penanggalan ditemukannya kuburan massal tempat di mana para raja dan tokoh masyarakat dimakamkan oleh tentara Jepang. Dan pada 28 Juni itu pula diresmikan Makam Juang Mandor yang kini menjadi Monumen Daerah Mandor.
Selain menyiapkan armada angkutan, keluarga ahli waris korban, Dr Mardan Adijaya yang juga putra Drs H Jimmi M Ibrahim (alm) dan dikenal sebagai Panembahan Keraton Amantubillah Mempawah menyiapkan empat armada bis. Mardan akan mengangkut massa dari Kota Mempawah menuju Monumen Daerah Mandor tempat diselenggarakannya upacara.
Menurut rencana bis-bis ini akan bergerak pada pukul 6 pagi dan tiba di Mandor dua jam berikutnya. Pada pagi hari upacara dimulai sebelum matahari benar-benar menyengat.
Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, HA Kadir Ubbe, SH, MM melalui stafnya, Moeliono dalam acara dialog Mandor Meeting di The Roof Cafe, Hotel Peony, Jumat (20/6) malam di hadapan sekitar 30 peserta rapat dari para stakeholder mengatakan, baru kali ini Dinas Sosial menangani upacara HBD. Sebelumnya HBD ditangani oleh Biro Binsos Kantor Gubernur. ”Dana yang dialokasikan untuk HBD ini hanya Rp 75 juta,” ungkapnya.
Kepala Biro Binsos Provinsi Kalbar, Dra Sri Djumiadatin, M.Si dalam pertemuan itu mengatakan, Biro Binsos sudah mengantarkan pada kebijakan lahirnra Perda No 5 tahun 2007 sehingga menjadi tonggak bagi HBD maupun pengibaran bendera setengah tiang di seluruh Kalbar. Tapi dalam aplikasi teknisnya, sejak Perda itu diketuk palu sudah menjadi kegiatan teknis Dinas Sosial.
Termaktub dalam HBD dan Monumen Daerah adalah monumen, serta makam-makam massal. Adapun batas wilayah, perlu dibahas lebih lanjut sesuai semangat otonomi daerah bersama Pemkab Landak.







Baca selengkapnya..

Pemerintah Mestinya Bentuk UPT Makam Juang Mandor

Dengan ditetapkannya 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) dan Makam Juang Mandor sebagai Monumen Daerah sudah menjadi kewajiban Pemprov dan Pemkab Landak untuk bersama-sama menjaga, memelihara, mengembangkannya menjadi kebanggaan masyarakat serta menghormati para korban yang gugur akibat keganasan Jepang 1942-1945.



Andry
Borneo Tribune, Pontianak

Semenjak lahirnya peraturan daerah (Perda) tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat, dalam Paripurna DPRD Provinsi Kalbar, Senin (25/6/07). Sebenarnya DPRD Kalimantan Barat telah lama mendesak pemerintah provinsi untuk segera membenahi kawasan makam juang Mandor yang menjadi saksi bisu terhadap peristiwa berdarah pembantaian para kaum cerdik pandai, bangsawan maupun para pemimpin di daerah ini yang angkanya mencapai ribuan jiwa.
”Karena kawasan makam juang Mandor sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dan harus dilindungi oleh negara. Kita minta supaya kawasan ini segera direncanakan untuk dilakukan pembangunan secara refresentasi dan menjadi suatu kawasan yang dihormati untuk mengenang para pejuang kaum cerdik pandai, bangsawan maupun para pemimpin yang gugur dari daerah ini,” ungkap Ketua DPRD Kalimantan Barat, Ir.H Zulfadhli di rumah jabatan Ketua DPRD, Jumat (20/6) kemarin.

Sejauh ini, Legislator Partai Golkar ini memandang bahwa pemerintah provinsi Kalbar masih kurang memberikan perhatian yang serius terhadap pembangunan di kawasan tersebut. Semestinya, pasca lahirnya peraturan daerah (Perda) tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Senin (25/6/07), menjadi suatu konsekwensi dari pemprov untuk melakukan penataan sekaligus memelihara kawasan makam juang Mandor sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang berada di Kalbar. ”Itu konsekwensi yang harus dilakukan pemerintah provinsi terhadap penataan sekaligus pemeliharaan Makam Juang Mandor tersebut,” ulasnya menerangkan.

Bahkan kalau perlu, tambah Zulfadhli, pemprov dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertanggungjawab secara khusus untuk mengurusi tentang kawasan Makan Juang Mandor. Karena selama ini hal itu hanya diakomodir melalui biro sosial dan itu tentu tidak dapat mengakomodir secara luas mengenai kawasan tersebut. ”Mestinya pemerintah provinsi dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis yang dapat menata dan memelihara makan juang Mandor ini,” gagasnya cerdas.

Ketua DPRD Provinsi termuda seantero Indonesia ini mengatakan bahwa pembentukan Unit Pelaksana Teknis tersebut dapat bernaung di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Menurutnya, semestinya pemerintah harus tanggap memperhatikan hal ini. Terlebih saat ini pihak eksekutif maupun legislatif sedang membahas satuan organisasi perangkat daerah (SOPD) dan semestinya pihak eksekutif mengusulkan pembentukan UPT ini. ”Namun kita belum menemukan SOPD yang diajukan eksekutif yang menempatkan kawasan Makan Juang Mandor menjadi suatu unit pelaksana teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Inilah salah satu bentuk kurangnya perhatian dari pemeritah provinsi,” ujarnya mengkritik.

Sejauh ini mantan dosen ini mengaku prihatin dengan kondisi riil lingkungan alam yang berada di kawasan Makam Juang Mandor tersebut. Yang mana masih banyak ditemui beragam aktivitas yang dapat merusak lingkungan dan ekosistem di kawasan tersebut. Misalnya aktifitas penambangan liar maupun aktifitas lain yang mungkin dapat merusak kawasan tersebut.

Dan semestinya, imbuhnya menjelaskan, kalau kawasan tersebut telah ditata dan telah dilindungi oleh Perda, siapa pun tidak diizinkan untuk merusak lingkungan yang berada di kawasan Makam Juang Mandor itu, karena akan dikenakan sanksi. ”Dengan adanya Perda ini, semestinya pemerintah sudah kuat untuk mengambil beragam tindakan terhadap berbagai tindakan maupun oknum yang sengaja merusak kawasan Makam Juang Mandor ini,” tegasnya.

Ke depan, dia juga berharap agar Makam Juang Mandor ini tidak hanya sebatas simbol maupun monumen yang hanya diperingati selama satu tahun sekali, melainkan juga hendaknya kawasan ini dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata sejarah yang bisa menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kalbar.

Sebelumnya, sejarah baru terukir di Kalbar. Payung hukum situs kejuangan Mandor telah ketuk palu menjadi Perda. Delapan Fraksi di DPRD Kalbar menyatakan aklamasi dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Kalbar ke-VI yang dipimpin Ketua DPRD Ir H Zulfadhli, Wakil Ketua Yulhelmi, SE serta dihadiri 41 dari 55 anggota DPRD Kalbar. Turut hadir Wagub Drs LH Kadir beserta staf.

Paripurna dimulai pukul 09.00 WIB dengan 3 agenda sekaligus yaitu penyampaian pendapat akhir fraksi-fraksi terhadap Raperda tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat, penetapan Keputusan DPRD Provinsi Kalbar terhadap Raperda tersebut dan sambutan dari Gubernur yang disampaikan Wagub, Drs LH Kadir.

Dalam sambutannya Wagub LH Kadir menyampaikan, bagi Pemerintah Provinsi Kalbar pengajuan Raperda ini menjadi sangat prinsip dan krusial serta bernilai tinggi bagi kita semua. “Selain itu hal ini merupakan suatu terobosan karena merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki peraturan daerah tentang kepahlawanan. Sedangkan bagi pemerintah pusat tentunya hal ini merupakan kontribusi yang sangat besar dalam mewujudkan semangat nasionalisme serta memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai-bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.” Wagub penuh semangat. □



Baca selengkapnya..

Hari Ini Dialog Tragedi Mandor-Kupas Perda No 5 Tahun 2007

Tragedi Mandor adalah tragedi pembunuhan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa warga Kalbar yang terdiri dari para pejuang dan berbagai elemen masyarakat dalam melawan penjajah Jepang.

Penangkapan dan pembunuhan yang berlangsung dalam kurun waktu 1942-1944 berupa operasi gelap di mana tokoh-tokoh diculik dan disungkup. Penculikan dilakukan Dai Nippon pada malam atau dini hari. Mereka dibunuh secara keji dengan modus operandi kepala disungkup dengan karung.
Kegiatan Jepang melakukan hal tersebut menurut pengamat sejarah Drs Soedarto dalam dialog bersama siswa di Mandor dalam peringatan Hari Berkabung Daerah (28/6/2007) akibat kekalahan Jepang di berbagai belahan dunia, termasuk pemberontakan di Kalsel.
Jepang juga menangkap pejuang di Medan Sepakat, Kota Pontianak. Termasuk dr Rubini dkk.
Pada sisi yang lain diungkapkan, Jepang ingin meng-Jepangisasi Kalbar. Alasannya kalbar secara geografis dekat dengan Jepang. Oleh karena itu para cerdik cendikia dibantai secara sadis, dan meninggalkan anak-anak serta perempuan.
Sebelumnya, Jepang telah membombardir Kota Pontianak dengan kisah yang terkenal sebagai Bom Sembilan. Warga sipil yang tewas ketika itu mencapai puluhan jiwa. Di antara para keluarga korban hingga kini masih menyisakan saksi-saksi mata. Termasuk sejumlah anggota romusha atau para pekerja paksa.
Dukacita Kalbar itu sepi dari pemberitaan sejarah nasional. Oleh karena itu lewat berbagai seminar, dialog, dan diplomasi-diplomasi, lahirlah Perda No 5 Tahun 2007.
Pemda Kalbar telah menyerap aspirasi masyarakat sejak ditemukannya tulang belulang di lokasi makam massal di mana terdapat para raja di Kalbar, para cerdik cendikia, para guru, pengusaha, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat.
Menurut Soedarto, Gubernur Kadarusno memegang peranan sangat penting. Dia bekas anggota KNIL dan mantan anak buah Sultan Hamid II.
Saat Kadarusno mendengar ada penemuan tulang belulang di tengah hutan, dia memerintahkan untuk membongkar tempat tersebut. Ketika itu 28 Juni. Dan dibangunlah Makam Juang Mandor dengan arsitek Ir Said Dja’far serta diresmikan pada 28 Juni.
Pada 28 Juni sebagai waktu diresmikannya Monumen Makam Juang Mandor oleh Gubernur Kadarusno, ditetapkan pula sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD).
Perda No 5 mengatur pengibaran bendera setengah tiang. Dinas-Instansi terkait, terutama sekolah-sekolah dan rakyat keseluruhan diimbau untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada setiap tanggal 28 Juni.
Diharapkan dengan simbolisasi tersebut, tertanam nilai-nilai kejuangan bagi warga Kalbar untuk terus mengisi alam kemerdekaan dengan karya nyata. Mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Mereka yang terkubur itu adalah multiras, multietnis, multiagama. Sepatutnya bagi semua warga Kalbar bersatu padu, tidak mudah dipecah-belah dalam isu apapun. Ingat di Kalbar ada monumen perjuangan yang bernama Mandor.
Drs Soedarto setahun yang lalu berpendapat di Mandor tidak hanya patut menjadi Monumen Perjuangan Daerah tapi di kompleks tersebut juga sepatutnya menjadi arena medan belajar siswa, mahasiswa, peneliti dan warga Kalbar. Lokasi yang hanya berjarak 80 km dari Kota Pontianak itu bisa memajang foto-foto perjuangan, kisah-kisah Mandor secara detil, perpustakaan perjuangan Kalbar, semacam musium mini, bahkan studio di mana bisa ditayangkan film-film perjuangan.
Soedarto sepakat, Mandor menjadi medan belajar dengan memetik nilai-nilai kebaikan di dalamnya.
Pesan-pesan tersebut patut menjadi bagian dari pertemuan para tokoh pada hari ini, Jumat (20/6) di The Roof Cafe, Hotel Peony.
Harian Borneo Tribune yang bertindak sebagai fasilitator mengundang sedikitnya 30 tokoh. Mereka mulai dari pejabat Pemprov Kalbar, DPRD Kalbar, para tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM, maupun para keluarga korban. Dialog pada hari ini hendak menindaklanjuti Perda No 5 Tahun 2007 untuk disambut, diisi, dimaknai.





Baca selengkapnya..

Senin, 16 Juni 2008

Liputan Sakaratul Maut

Saat saya mengatakan sah-sah saja kita buat reportase dari alam barzakh, ratusan peserta diklat jurnalistik tertawa. Saya katakan, Bill Kovack yang disebut nabinya jurnalisme Amerika mengatakan, "Journalism is the closest thing that I have to a religion." Secara harfiah, bahwa jurnalisme itu dekat dengan agama.
Nilai-nilai jurnalisme dengan nilai-nilai agama memang tidak bergeser sedikit pun, sama. Bahwa kabar yang disebar harus benar, tidak boleh bohong, jujur, menyampaikan, mendidik, menghibur, melakukan kontrol sosial. Nilainya sama. Bahkan dalam arti kata pun, jurnalis sama dengan reporter, sama dengan wartawan, sama dengan pembawa berita. Nabi berarti pula pembawa berita. Oleh karena itu pembawa berita cq wartawan sebenarnya punya idiologi kenabian.
Berita besar dalam Bahasa Arab disebut An Naba. Berita besar itu sendiri tiada lain tiada bukan disebut the last day, kiamat.
Kiamat sesungguhnya disebutkan sebagai bertabrakannya planet-planet di susunan tata surya atau andromeda. Tapi dalam takaran skala kecil, kematian, atau perkelahian.
Tak jarang saya berpikir, berita-berita bombastis kriminal atau artis memang mengadopsi "berita besar" agar menarik perhatian. Tak jauh-jauh dengan maknawi an Naba.
Tadi malam, Minggu (15/6) saya dihampiri Malaikat Maut. Nyawa saya ditarik dari tubuh. Saya menyadari bahwa maut sudah tiba, dan saya pasrah.
Bagaimana rasa maut itu bekerja? Inilah reportasenya.
Saya sedang berada di sebuah tempat yang tinggi. Tingginya setara tinggi pohon kelapa. Aman dan ibarat sedang menaiki kereta angin.
Istri saya, Andi melihat ke atas dari posisinya di tanah yang datar. "Mas, bisa turun nggak?" tanyanya.
"Bisa," kata saya.
"Tapi tak ada tangga turunnya. Hati-hati," ungkapnya dengan wajah prihatin.
Saya melihat wajah prihatin itu dengan memeriksa tempat saya berada. Boks seperti kotak kereta angin itu saya perhatikan. "Oh ya benar, tidak ada tangganya."
Saya berpikir harus hati-hati untuk melangkah turun. Dan saya tidak tahu lagi kenapa saya berada di kereta angin ini, dus tanpa dinyana, tubuh saya meluncur jatuh ke tanah.
Ada sepersekian detik saat melayang yang saya rasakan tubuh ibarat kapas yang jatuh. Berat badan saya seperti debu. Nyaris tak bisa ditimbang. Beginikah rasanya ajal menjemput nyawa?
Dari kondisi melayang itu saya sempat melihat gedung-gedung dan pemandangan di sekitar, terang dan terpikir dalam benak bahwa semua itu akan saya tinggalkan. Saya sudah akan mati meninggalkan muka bumi ini. "Goodbye everiting."
Di dalam hati saya sempat bertanya, "Sudah siapkah kamu menghadap Allah?"
Tubuh terus melayang jatuh. Terang seperti di tengah hari.
Tapi saya melihat wajah istri saya prihatin. Saya kecut juga meninggalkan orang-orang yang saya cintai, pekerjaan yang saya sukai, serta masih banyak amanah yang belum terselesaikan. Tapi mau apa lagi? Kalau ajal sudah tiba, semua full stop!
Saya memang menerangkan kepada para peserta diklat jurnalistik bahwa saya berpendapat bahwa mati tak usah ditakuti. Kematian pasti akan terjadi. Di mana dan kapan pun dia akan datang. Dan kini omongan itu harus saya buktikan sendiri tanpa kawan!
Dalam beretorika di depan massa, saya sering berkata, "Kita tidak tahu kapan dia si ajal itu akan datang. Tenggat waktu kematian adalah rahasia Tuhan, sebagaimana rahasia kelahiran dan juga jodoh serta rizki."
Saya berargumentasi, jika kematian diartikan sebagai keluarnya ruh dari jasad, maka bagaimana pula berpindahnya ruh dari alam ruh ke rahim? Bagaimana pula berpindahnya ruh dan jasad dari rahim ke dunia?
Saya katakan kepada peserta didik di diklat atau di ruang belajar kampus, bahwa kita sudah dua kali berpindah ruh kita. Pertama dari alam ruh ke alam rahim, kedua dari alam rahim ke alam dunia, dan ketiga--kondisi yang saat ini sedang saya alami adalah dari alam dunia ke alam barzakh, yakni sakaratul maut dan selangkah lagi saya akan masuk ke alam kubur.
Saya bertanya ke muka audiens diklat-diklat jurnalistik atau pengajian. "Bagaimana rasanya saat ruh kita pindah dari alam ruh ke alam rahim?" tak ada jawaban. Kalaupun ada pelajar atau mahasiswa yang nyeletuk menjawab, "Tidak tahu Pak!"
Ada juga yang menjawab, "Tidak sakit pak."
Selanjutnya dari alam rahim ke alam dunia, kita menjerit menangis. Tapi ibu yang dengan darah melahirkan kita tidak menangis. Ia tersenyum melihat buah cintanya. Sedangkan handai taulan di sekitar kita tertawa. Begitu bermaknanya kelahiran kita.
Sedangkan ketika kita masuk ke rahim bumi, kita tidak sempat menangis. Orang-orang di sekitar kita yang menangis.
Kenapa menangis?
Sakitkah kematian itu?
Saya sedang melayang. Dan tiba saatnya tubuh saya mendarat di tanah. "Bruk!" Tubuh saya terhempas.
Saya merasa ada hentaman keras. Saya seperti orang ngeden. Seperti perempuan yang akan melahirkan.
Proses itu sepersekian detik. Nyawa saya terbang. Saya tak sempat mengalami jaza' kematian yang panjang. Padahal tidak sedikit saya menyaksikan saat ruh ditarik itu memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Saat saya merasa ruh saya telah lepas dari jasad. Tubuh saya dipeluk sang istri. Saya terperanjat. Saya terbangun dari tidur. Rupanya saya bermimpi.
Saya rupanya kelelahan dalam keseharian bekerja dan tertidur di Mushalla kantor. Sudah pukul 02.30 WIB.
Saya segera turun dari kantor Harian Borneo Tribune dan menyetir menuju ke rumah. Sepanjang jalan saya menggigil.
"Begitukah rasa sakaratul maut itu? Entahlah."
Mimpi katanya adalah lompatan pulsa di otak. Mimpi katanya eter dari alam. Mimpi katanya petunjuk ilahi. Atau mimpi hanya sekedar kembang tidur?
Seorang rekan saat mendengar cerita saya mengatakan, "Bagus itu...mimpi meninggal berarti panjang umur."
Seorang rekan lagi mengatakan, "Mimpi itu mengingatkan kita untuk ekstra hati-hati..."
Saya tersenyum. Saya rasakan mimpi itu penuh arti. Sangat sensasi. Lalu saya rasakan sekarang setiap tarikan napas saya adalah bonus kehidupan dari Tuhan. Sebab, jika saja saat tertidur itu ruh saya benar-benar sedang ditarik, lalu bukannya mimpi, but, kenyataan...
Lepas dari benar atau tidaknya soal tabir mimpi, saya mohon respon dari pembaca naskah ini. Sekian dulu reportase saya pribadi dari liputan sakaratul maut yang saya alami sendiri. Semoga reportase sakaratul maut dari medan mimpi ini ada faedahnya bagi kita semua. Barakallah.


Baca selengkapnya..

Konflik Etnik Bergeser ke Konflik Sawit

Direktur Ruai TV, Drs Stefanus Masiun, SH baru saja menggelar lokakarya di media elektronik televisi miliknya. Lokakarya itu diikuti 40 peserta dari berbagai unsur dan disiplin ilmu.
“Isu apa sekarang yang paling mengancam? Jawabnya, di antara sekian banyak potensi konflik, berada di nomor satu adalah sawit,” ungkap aktivis LSM yang sempat menjadi kandidat Bupati Sekadau tersebut dalam diskusi panel yang digelar ANPRI di Hotel Gajahmada, Sabtu (14/6) kemarin.
Sawit satu nama yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sawit adalah jenis tanaman palma yang bagi Malaysia adalah anugerah sehingga negara tersebut makmur dari industri minyak kelapa sawit.
Sawit juga sudah tidak asing bagi Indonesia karena di Sumatera, nyaris perkebunannya dipenuhi sawit. Bahkan di Mbah Jambi, terkenal sebagai sentra pembibitan unggul sawit di Asia Tenggara.
Kemakmuran Malaysia dihadapkan pada sempitnya lahan yang mereka miliki. Apalagi sekarang CPO bisa diolah menjadi biodiesel sehingga menjadi alternatif atas krisis energi bahan bakar fosil yang naiknya harga mencapai 125 USD/barel.
Uang yang banyak menyebabkan mereka ekspansi. Salah satu daerah tujuan ekspansi sekaligus investasi adalah Kalbar, karena Kalbar berbatasan darat langsung dengan Malaysia.
Investasi sawit sendiri di Kalbar tergolong gila-gilaan. Nyaris semua kabupaten punya izin perkebunan sawit. Total arealnya tak kurang dari 4,5 juta hektar.
Justru di sana pula potensi konflik itu berada. Bukan hanya potensi konflik berupa bencana alam akibat monokultur seperti meledaknya serangan belalang atau punahnya orang utan, tapi juga dampak kemanusiaan di mana proses pembebasan lahan tak jarang abai dengan keadilan. Konflik terus berkecamuk tanpa melihat unsur etnis lagi. Lihat contoh kasus baku tembak di Melawi. Termasuk demo demi demo anti sawit yang tak jarang berakibat kaca kantor perkebunan berderai dan sejumlah tersangka ditangkap.
Pengakuan yang sama disampaikan tokoh masyarakat, Thadeus Yus dan Makarius Sintong saat berdialog dengan Kapolda yang diwakili Kadispen, Suhadi SW, Senin (19/5) silam. Kata mereka warga banyak mengeluhkan kepada mereka soal ketidakadilan dari ekspansi sawit ke daerah mereka. Khususnya soal pembebasan lahan.
Laporan-laporan tersebut diabsahkan oleh Sidik anggota Perwakilan Komnas HAM Kalbar. “Di lembaga kami laporan tertinggi memang konflik sawit,” ujarnya. Konflik etnis realitasnya telah bergeser.



Baca selengkapnya..

Bahasa Berita Kasus Gang 17

Bahasa merupakan medium komunikasi. Komunikasi agar informasi, gagasan atau pesan yang ingin disampaikan diketahui oleh sasaran. Sasaran diharapkan memberikan respon atas apa yang diterimanya. Baik proaktif maupun inaktif. Dalam konteks bahasa pemberitaan Gang 17 adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu, untuk mengedukasi sekaligus sosial kontrol.
Bahasa yang tepat dalam kasus kericuhan di Gang 17 yang terjadi pada Rabu (6/12) malam kawasan Jalan Tanjungpura Kota Pontianak adalah agar dapat
menyebabkan informasi yang diterima bulat dan utuh tanpa bias. Masyarakat Kalbar disajikan berita secara utuh sehingga anasir serta isu-isu liar yang dapat menyebabkan suasana menjadi lebih keruh dan kontraproduktif dapat diminimalisir.
Jika bahasa yang digunakan mengambang, bisa menimbulkan multitafsir. Suasana edukatif bisa kandas. Masyarakat bisa lebih dilanda kecamuk, bahkan media bisa pecah seperti yang terjadi di Ambon.
Harian Borneo Tribune pada edisi Kamis (7/12) menyajikan berita dengan headline: "Kelahi Picu Pengrusakan Ruko". Angle-nya: Sejumlah rumah dan toko (ruko) serta mobil di sepanjang Jalan Kedah, Jalan Ketapang dan Jalan Tanjungpura Gang Tujuh Belas tadi malam rusak akibat lemparan batu. Pemicunya perkelahian pemuda sekitar pukul 19.00."

Latar Belakang Situasi
Pada hari Rabu (6/12) kemarin memang merupakan hari kelabu bagi Kota Pontianak. Banyak aksi massa yang anarkis pada hari itu.
Pukul 17.30 di kawasan Kampus STKIP terjadi kekerasan massa. Persoalannya bermula dari lapangan bola. Ketidakpuasan atas hasil pertandingan berbuntut ke luar. Oknum massa mahasiswa UPB menyerang dan melayangkan batu sehingga kaca berderai di Kampus STKIP. Kondisi yang saat itu sepi jadi heboh. Mahasiswa yang kost berhamburan ke luar dan mengejar massa yang buat huru hara. Mereka juga membawa sajam.
Sebelumnya di siang hari, UKM Mimbar Untan diserang ratusan mahasiswa Fisipol terkait pemberitaan beasiswa. Mereka menuntut penulis beritanya diadili. Aksi ini tergolong kolosal di lingkup akademik, tapi tak ada anarkisme di dalamnya. Kendati demikian polisi sudah siaga.

Telepon Bertalu-talu
Dapur redaksi Borneo Tribune yang sedang “memasak” berita dihadapkan pada situasi luar biasa. Tak pernah keadaan seperti ini. Telepon masuk bertalu-talu.
Saya ditelepon anggota DPRD Kalbar, Michael Yan Sriwidodo yang bertanya ada apa di Gajahmada? Saya katakan buntut dari aksi massa mahasiswa yang berkelahi gara-gara bola.
“Yang saya dengar lain,” katanya.
Saya segera cross-check dengan wartawan yang berada di lapangan. Agus Wahyuni yang patroli mengakui ada dua kasus yang berbeda. “Polisi ramai, massa juga ramai sekali,” ujarnya.
Kasus Gang 17 terjadi melibatkan massa. Meliput konflik seperti ini sangat sulit. Tidak gampang mendapatkan sumber-sumber primer. Bahkan nama-nama sumber primer pun belum akurat.
Sedikitnya 4 wartawan berada di lapangan. Mereka dapat informasi yang berbeda-beda. Untuk ini semuanya dipresentasikan untuk kemudian dicari solusi terbaik menuliskannya agar tetap informatif dan edukatif.
Telepon terus masuk bertalu-talu. Selain Michael Yan yang terus monitoring, juga advokat W Suwito, SH, MH. Terjadi pro dan kontra, apakah kasus yang masih sumir harus segera dimuat atau tidak?
Saya berkonsultasi dengan Direktur Pantau, Andreas Harsono. Dia jurnalis yang punya reputasi sangat baik dalam meliput konflik dan investigasi. Katanya lebih baik dimuat dengan syarat akurat. Berita yang faktual dan akurat akan menepis isu-isu yang bisa lebih negatif dari fakta sesungguhnya. “Tapi bahasanya harus elegan,” katanya.

Pro Kontra
Dapur redaksi tegang. Dimuat atau tidak?
Memuat berita adalah perkara mudah, tapi dampaknya esok hari siapa tahu? Borneo Tribune tak ingin gegabah.
Sejumlah redaktur menghendaki berita ini dimuat. Ada redaktur lainnya menolak dengan pertimbangan politis. Kasus Gg 17 dinilai punya sumbu dengan Singkawang di mana terpilih Walikota etnis Tionghoa: Hasan Karman. Di sisi lain ada sidang di Pontianak yang juga mengerahkan massa. “Tunggu saja sehari lagi. Matangkan dulu beritanya. Jangan sumir,” kata Yusriadi.
Pertimbangan lanjutannya adalah prediksi berhadapannya etnis Melayu dengan Dayak. Tionghoa hanya sasaran antara.
“Muat saja,” kata Tanto Yakobus dan Asriyadi Alexander Mering. Pertimbangannya, gaya Borneo Tribune pasti beda dengan segala disiplin jurnalistik dan profesionalisme yang dimilikinya. Oleh karena itu akan jadi referensi. “Kalau tidak dimuat, lalu media lain memprovokasi maka tak akan ada patokan warga Kalbar,” ujar Tanto.
“Hati-hati,” kata Fakun yang juga Kepala Pracetak dan Percetakan. Stevanus Akim lebih banyak diam. Tapi telepon sesama redaktur tetap bertalu-talu. AA Mering mengaku ditanyai Bupati Sanggau Yansen Akun Effendi dan Bupati Sekadau, Simon. Massa saat itu masih melakukan pengrusakan.
Para redaktur memberika jawaban yang menyejukkan. Ilmu jurnalistik yang balance jadi sandaran.

Presentasi Kasus
4 wartawan yang bertugas di lapangan: Agus Wahyuni, Sugeng Mulyono, Mujidi dan Lukas B Wijanarko presentasi pada pukul 23.00-24.00. Sumber primer masih sumir. Masih katanya-katanya-katanya. Hanya foto yang berbicara.
Saya tidak berani memuat siapa yang dijotos: Syarif Usman atau Syarif Usmar? Awal kasus yang dapat dipastikan hanya berkelahi, bukan background Pilkada. Keesokan harinya media semua salah memberitakan karena yang benar bukan Syarif Usman atau Syarif Usmar yang dijotos pria berinisial Iks, tapi adalah Syarif Mustafa Ibrahim (52).
Kesalahan menuliskan nama tak jarang berbuntut panjang. Bisa terjadi kekerasan berbalik ke media yang bersangkutan.
Akhirnya, dari presentasi yang diluahkan, saya memutuskan peristiwa ini dimuat. Fakta dan foto yang berbicara. Foto mewakili ribuan kata.

Berita Selengkapnya
Sejumlah rumah dan toko (ruko) serta mobil di sepanjang Jalan Kedah, Jalan Ketapang dan Jalan Tanjungpura Gang Tujuh Belas tadi malam rusak akibat lemparan batu. Pemicunya perkelahian pemuda sekitar pukul 19.00.
Dari keterangan beberapa warga kejadian bermula dari perkelahian dua orang warga. Satu di antaranya dari Gang Tujuh Belas.
Perkelahian berhasil dilerai beberapa warga. Selang beberapa lama, tiba-tiba ada sekelompok massa mendatangi rumah 122 A Gang Tujuh Belas padahal rumah tersebut sudah dijaga puluhan personil aparat.
Massa nekad memasuki rumah tersebut, tetapi berhasil dihalang petugas. Sempat massa bersitegang dengan petugas. Sempat terjadi pelemparan batu oleh beberapa warga yang mengenai atap rumah.
Setelah petugas berhasil mengevakuasi penghuni rumah menggunakan truk dari satuan Brimob, massa dengan bebasnya memasuki rumah tersebut. Kaca-kaca pun rontok.
Tak lama dengan cepat aparat bertambah banyak lalu menghalau massa keluar dari gang.
Sementara Wakapoltabes, AKBP Andi Musa yang saat itu sedang berada di lokasi kejadian mengatakan tersangka sudah diamankan polisi, dan untuk korban sementara sudah dirawat di rumah sakit.
Andi mengimbau agar masyarakat mempercayakan penanganan dan pengamanan kasus ini kepada polisi dan memberikan pemahaman kepada warga sekitar untuk tidak menciptakan suasana yang keruh. Hingga berita ini diturunkan keamanan Kota Pontianak sudah kondusif.
Andi menghimbau masyarakat jangan sampai melakukan tindakan berupa upaya- upaya yang bisa memprovokasi warga lain di Kalbar sehingga menimbulkan masalah. Untuk itu masyarakat harus cerdas dalam menyikapinya serta bisa menahan diri. Dalam setiap konflik kalah jadi abu, menang pun jadi arang. Jadi, sama-sama tak ada artinya. Keamanan mesti diperjuangkan utuh secara bersama-sama. Jangan menyesal datangnya belakangan. (terbit edisi Jumat 7 Desember 2007).

Bahasa Berita
Sumber berita primer tak berhasil ditemui. Mereka dalam lindungan aparat. Aparatlah satu-satunya yang menjadi sumber resmi. Sumber resmi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bahasa ekspose Borneo Tribune lebih menekankan “kelahi” dan “pengrusakan ruko”. Keduanya adalah hubungan sebab-akibat. Peristiwanya faktual sehingga ekspose Borneo Tribune bukanlah mengada-ada atau berita bohong.
Kelahi adalah hal sepele. Kejadiannya bisa di mana-mana. Tak perduli tua-muda dan kaya-miskin. Oleh karena peristiwa ini adalah kriminalitas murni, bukan etnis, bukan agama, bukan politis (Pilkada, red) maka dia diturunkan sebagai sebuah headline lantaran penting. Orang banyak mengaitkan dengan Pilkada Gubernur Kalbar di mana keluar sebagai pemenang sesuai pleno KPUD (27/11) adalah pasangan Cornelis dan Christiandy Sanjaya. Incumbent UJ-LHK kalah, termasuk OSO-Lyong dan Akil-Mecer.
Jika ada perkelahian, yang bertugas menanganinya adalah aparat kamtibmas dalam hal ini polisi. Ketika ekspose berita menggunakan bahasa, polisi sudah menangani para pelaku, dan serahkan kasus ini kepada polisi, maka media massa sudah mengkomunikasikan hal faktual. Informatif



Baca selengkapnya..

Hipotesis Ledakan 2020

Guru besar program master ilmu-ilmu sosial, Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie mengaku gundah gelisah. Dia menemukan sesuatu yang mencengangkan saat riset atas beasiswa dari Leiden, Belanda.
Pakar di bidang sosiologi ini menemukan referensi di Eropa bahwa ada ledakan-ledakan konflik yang anarkis di Kalbar dengan radius 30 tahunan. Maka Syarif Ibrahim pun menelitinya dengan seksama.
Dalam hipotesa Syarif Ibrahim Alkadrie yang kini tak hanya sekedar berteori-teori, tetapi turun langsung ke pedalaman-pedalaman Kalbar untuk memberikan sumbangan pemikiran demi manfaat atas sesama anak Bangsa agar terwujud kedamaian sejati di bumi pertiwi, disampaikanlah pendapat bahwa pada tahun 2020 Kalbar akan sampai pada titik kritis yang membahayakan. Titik kritis itu ibarat sumbu yang terus tersulut api sejak konflik tyerakhir tahun 2000 kemarin. Pada titik 2020 tersebut akan pecah lagi konflik etnis yang anarkis.
“Saya menyampaikan hal ini sebagai sebuah hipotesis dengan kalimat kerja—‘kalau’. Kalau potensi-potensi konfliknya dibiarkan begitu saja seperti cueknya pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah,” ungkap Syarif Ibrahim Alkadrie dalam diskusi panel yang diselenggarakan di Hotel Gajahmada, Sabtu (14/6) kemarin.
Syarif berharap sumber-sumber potensi konflik itu diatasi dengan kerja keras, sehingga hipotesa ledakan bisa dihindari. Dengan demikian 2020 menjadi sistem peringatan dini atau early warning system bagi para pengambil kebijakan untuk ancang-ancang penyelamatan.
Kerja keras itu disimbolkan dengan sosialisasi yang dilakukan Menkominfo dengan pemasangan papan reklame. Antara lain terpampang di muara jalan Purnama-Johan Idrus, bahwa etnis boleh berbeda—dilambangkan dengan kostum etnis—serta agama boleh berbeda—dilambangkan dengan rumah-rumah ibadah di belakang mereka—tetapi dapat berangkulan tangan dengan mesra. Bekerjasama secara berdampingan di dalam kehidupan sosial.
Kerja-kerja lapangan secara keras dan cerdas itu pula yang dilakukan ANPRI atau Aliansi untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi yang dikoordinatori oleh Edi Patebang.
Lembaga ini secara konsisten dalam dua tahun berjalan melakukan aneka kegiatan yang membumi.
ANPRI melakukan penguatan kritis masyarakat, pengembangan credit union rekonsiliasi lantaran hampir semua faktor konflik berakar kemiskinan sehingga efektif jika ditempuh via kredit kerakyatan. ANPRI juga melakukan pengajaran muatan lokal pendidikan multikultur untuk pelajar, promosi dan kampanye budaya damai serta peningkatan kapasitas aktivis ornop dan ornop perdamaian serta rekonsiliasi.
ANPRI secara cerdas menggambarkannya sebagai keberagaman dalam sebuah kapal yang berlayar. Genggam erat kebersamaan untuk menuju Kalbar sejahtera. ■



Baca selengkapnya..

Amankah Kalbar?

Merajut harmonisasi di Kalbar adalah proyek besar. Secara fisik kita melihat kondisi keamanan Kalbar sedang baik-baiknya. Di dalam kondisi terbaik itu patut bagi kita merajut benang keamanan lebih rapat, lebih kuat, dan lebih mengikat.
Dialog-dialog dan kerjasama yang sudah berlangsung saat ini dengan penuh kesadaran harus didesain, dipindai dengan indah, serta disosialisasikan agar membumi. Kedamaian yang indah itu akan menjadi hadiah utama bagi kehidupan masyarakat Kalbar.
Kondisi sosial politik di Kalbar seolah mengakui bahwa harmonisasi antaretnis di Kalbar yang dahulunya laten negatif, saat ini potensi konfliknya sedang mengecil. Bahkan cenderung tumbuh ke arah positif.
Mengecilnya bahaya laten tersebut seiring dengan terbukanya penerapan demokratisasi di Kalbar di mana puncak-puncak jabatan politik bisa diisi oleh siapa saja, selama mereka melalui proses politik yang benar seperti Pilkada.
Untuk proses pilkada gubernur yang berlangsung akhir Nopember 2007 lalu telah ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar yang baru, yakni pasangan Drs Cornelis, MH dan Drs Christiandy Sanjaya, SE, MM. Kemenangan ini secara etnis merupakan perpaduan kemenangan antara Dayak-Tionghoa, di mana kemudian disusul kemenangan Hasan Karman, SH, MM yang berpasangan dengan Drs Edy R Yacoub, M.Si refresentasi pasangan kemenangan Tionghoa-Melayu untuk Kota Singkawang. Kota Singkawang adalah kota terbesar kedua setelah Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Kedua proses pilkada yang aman, damai, sukses dan lancar tersebut adalah modal sosial kita di Kalbar yang tak dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia. Kita melihat Maluku Utara yang sampai saat ini berkecamuk akibat konflik Pilkada Gubernur. Begitupula yang terjadi di Sulawesi Selatan, provinsi yang notabene jauh lebih besar, lebih tinggi tingkat IPM-nya, hingga lebih mayoritas unsur-unsur etnisnya. Etnis Bugis.
Modal sosial Kalbar berupa keamanan yang stabil dalam dasawarsa terakhir harus terus dipupuk dan dipelihara. Termasuk menghadapi pilkada di Kota Pontianak, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau (Nopember 2008).
Kita mesti mengkaji kondisi stabil ini untuk merajut harmonisasi lebih hakiki. Terbukti dengan langgam kekuasaan yang ada sekarang, kondisinya relatif sama. Artinya, untuk mewujudkan kesejahteraan maupun keadilan adalah proses yang panjang. Dia tidak seperti membalik telapak tangan, atau pesulap, yang hanya dengan mengatakan bim salabim adra gadabra sapu tangan berubah menjadi uang. Kesejahteraan tidak serta merta dirasakan dengan cukup bergantinya gubernur, wakil gubernur, walikota, wakil walikota, bupati atau wakil bupati. Begitupula dengan pimpinan dan anggota DPRD yang notabene wakil-wakil rakyat.
Dalam proses mencapai kesejahteraan seperti yang diidam-idamkan masyarakat, di mana kebanyakan konflik juga akibat faktor-faktor ekonomi, jargon-jargon kampanye tidak bisa sekali kata langsung menjadi kenyataan. Dia terus berproses di mana membutuhkan kerja keras, membutuhkan waktu, dan membutuhkan kerjasama yang solid semua unsur masyarakat. Mulai dari pemerintah, wakil rakyat, tokoh masyarakat, akademis, hingga rakyat yang paling udik sekalipun.
Kerjasama yang solid, lintas etnis, agama, bahkan parpol adalah kondisi yang saat ini amat sangat kita butuhkan dalam mengisi stabilitas di Kalbar.
Memang benar, sudah tidak ada konflik etnik yang terjadi. Bahkan ada senggolan-senggolan sedikit yang dahulu menyebabkan person antaretnik terlibat kriminalitas, atau laka lantas, tapi tidak lagi meletup sebagai aksi anarkis massa seperti di bawah dekade 10 tahun yang lalu.
Kekebalan Kalbar sudah relatif terasa dan terbuktikan dengan kenyataan sekarang. Konflik lahan, konflik BLT, konflik illegal logging dan lain sebagainya kita pahami sebagai pergeseran arena konflik. Potensi konflik itu harus kita damaikan sejak dini.
Lalu, bagaimana kita merajut kedamaian yang abadi di Kalbar jika arena konflik itu telah bergeser? Jawabannya tiada lain, kita harus mulai dari diri sendiri. Dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kantor dan desa-kota sendiri.
Gerakan mewujudkan tatanan kedamaian harus dimulai dari hal yang kecil-kecil dan dimulai sejak dini. Misalnya kita tidak mudah terprovokasi, tidak mudah terhasut provokator, lebih memandang konflik sebagai peluang untuk mendamaikan dan memetik hikmah-hikmahnya.
Kita sudah lama belajar bahwa dalam konflik selalu yang kalah jadi abu, menang pun hanya menjadi arang. Artinya, sama-sama merugi.
Agar tidak merugi kita semua harus punya keyakinan yang sama bahwa masa depan harus dikreasi secara bersama-sama, saling ingat mengingatkan dalam kerangka berpikir objektif—tidak subjektif—yang benar, bukan yang illegal—serta dalam pola komunikasi yang santun serta beretika. ■




Baca selengkapnya..

Jumat, 13 Juni 2008

Ahmadiyah

Saya sedih melihat fenomena pembekuan aktivitas Ahmadiyah. Sedih karena mereka punya hak untuk beribadah menurut kepercayaannya. Sedih karena terjadi kekerasan. Sedih karena sebenarnya lebih banyak titik persamaan daripada perbedaan. Kenapa harus kekerasan? Tidakkah ada cara-cara dialogis yang lebih bermartabat?
Jalan keluar yang disampaikan banyak pihak adalah Ahmadiyah tegas saja menyatakan sebagai agama sendiri di luar Islam. Karena di dalam Islam, nabi akhir zaman adalah Muhammad SAW. Bukan Imam Mahdi.
Memang perasaan umat Islam juga harus ditoleran oleh kalangan Ahmadiyah. Sebab mereka masuk ke arena esensial: aqidah, di mana ikrar syahadatain menyebutkan: laa ilaaha ilallah, Muhammadar rasulullah. Artinya, tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Jelas di syahadat itu tidak ada menyebut Imam Mahdi. Dan kalaupun di dalam QS Ash Shaf disebut Mim Ba'dihismuhu Ahmad, saya pahami sebagai Ahmad tak lain adalah Muhammad SAW. Kenapa? Karena saat lahir, ibundanya, Siti Aminah menamainya Ahmad yang berarti terpuji, sedangkan kakeknya Abdul Muthalib memberinya nama Muhammad yang juga berarti terpuji. Klop-klop saja.
Selanjutnya dalam pengalaman batin beragama Islam saya merasakan Nabi Muhammad sebagai individu yang luar biasa. Masuk akal jika Beliau memang nabi akhir zaman.
Muhammad yatim piatu di umur belia. 6 bulan dalam kandungan sudah ditinggal wafat ayahnya Abdullah, pemuda yang baik hati, putra Abdul Muthalib si penjaga Ka'bag, warisan ayah dari para nabi, yakni Ibrahim.
6 tahun dalam belaian Siti Aminah selanjutnya juga wafat. 2 tahun dirawat kakeknya, Abdul Muthalib juga ditinggal wafat.
Jelas Muhammad adalah anak yang tumbuh tidak seperti anak-anak lainnya. Dia istimewa dilihat dari sudut manapun. Kita bisa sejarahnya, hadits-haditsnya yang bak mutiara. Yang tidak akan bisa lahir begitu saja tanpa campur tangan Allah.
Coba: mana ada orang yang sanggup mengatakan, "Andai engkau meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku, tak akan berhenti Saya berdakwah." Saya sebagai jurnalis belum pernah ketemu ada narasumber yang bicara begitu, bahkan buku-buku kecuali itu memang hadits Muhammad SAW.
Banyak tanda-tanda Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Tak cukup rasanya waktu untuk bercerita. Tapi ayat Quran menyebutkan, "Maa kana Muhammadun abaa ahadin min rijalikum, walakin Rasulullah wakhataman nabiyyin."
Ayat itu dituliskan besar-besar di pintu depan makam Nabi di Raudhah.
Pada hari Jumat tadi siang saat salat Jumat di masjid dekat kantor mata saya tertuju ke foto makam tersebut. Sejenak air mata saya menetes menyelami arti ayat tersebut.
Saya tak menguasai Bahasa Arab, juga bukan ulama, tapi saya maknai ayat itu sebagai, "Siapa yang mengaku-aku Muhammad sebagai ayahnya, bukan, Beliau adalah Nabi Akhir Zaman." Ini penegasan Allah SWT.
Saya memang tidak banyak tahu tentang Imam Mahdi. Tapi saya maknai bahwa Imam Mahdi adalah isyarat esensi bahwa sebelum kiamat tiba, syareat Islam akan tegak sempurna setelah kebahlulan menguasai bumi. Setelah dajjal merajai dunia.
Setelah kesempurnaan itu terwujud, qiamat pun tiba.


Baca selengkapnya..

Sabtu, 07 Juni 2008

Element ke-10 Bill Kovack

Kovach dan Rosenstiel memasukkan elemen ke-10: "Citizens, too, have rights and responsibilities when it comes to the news."
(Saya cuplikkan tulisan Farid Gaban yang saya petik dari hasil penelusuran rekan saya, Tanto di tuahtanto.blogspot.com).
Kovach dan Rosenstiel mengkaitkan elemen terbaru ini dengan
perkembangan teknologi informasi (internet khususnya) dalam beberapa tahun terakhir: munculnya blog dan online journalism serta maraknya jurnalisme warga (citizen journalism), community journalism dan media alternatif.
Ini elemen yang memang penting, sesuai dengan sub-judul buku asli
mereka: "What Newspeople Should Know and the Public Should Expect."
Teknologi informasi mutakhir memungkinkan orang, siapa saja,
memproduksi berita. Inilah era yang disebut oleh Alvin Toffler,
seorang futurolog pada 1980-an, sebagai era prosumsi (produksi dan konsumsi). Publik atau masyarakat bisa menjadi produsen dan konsumen sekaligus.
Munculnya blog, jurnalisme warga dan media alternatif sebenarnya
juga diilhami oleh kekecewaan publik terhadap media mainstream yang sekarang ada, sebagian besar karena kesalahan para wartawan dan pemilik media sendiri.
Tingkat kepercayaan publik terhadap media terus merosot. Di Amerika, misalnya, sebuah survai 1999 menunjukkan bahwa hanya 21% masyarakat yang menilai pers peduli pada rakyat, terjun bebas dari 41% pada 1987. Hanya 58% yang mengakui pers sebagai lembaga watchdog, turun dari 67% pada 1985. Kurang dari separo responden, 47%, yang percaya bahwa pers melindungi demokrasi.
Kecenderungan yang sama, kita bisa menduga, juga terjadi di Indonesia. Liberalisasi industri media setelah reformasi tidak serta merta meningkatkan pamor pers. Pengalaman pribadi saya justru menunjukkan bahwa masyarakat sekarang jauh lebih sinis terhadap media dan profesi kewartawanan, ketimbang 20 tahun lalu.
Liberalisasi itu sendiri menurut saya penting. Namun, nampaknya perlu diimbangi oleh peningkatan mutu karya jurnalistik serta ketaatan wartawan terhadap kaidah dan etika jurnalisme.
Kekritisan dan sinisme masyarakat terhadap media mainstream itu
penting dan bermanfaat. Masyarakat memang sebaiknya mamahami kaidah jurnalistik dan dengan begitu bisa mengontrol pers, yang pada gilirannya memacu wartawan dan pemilik media untuk kembali merenungkan eksistensinya sendiri: untuk apa sebenarnya jurnalisme ada?
Kovack dan Rosenstiel kembali mengingatkan kita para wartawan untuk mengkaji serta mengenali kembali prinsip-prinsip dasar jurnalisme agar kita tidak makin tersesat jauh dari publik. Dan khususnya dalam elemen ke-10, buku baru ini mengingatkan publik untuk ikut serta memperkaya jurnalisme dan mengontrol pers.
Jurnalisme terlalu penting untuk hanya dipercayakan kepada para
wartawan, atau mereka yang mengaku wartawan.

Baca selengkapnya..

Nonton Bareng di Tribune-Roof Cafe

Gawe besar Piala Eropa tidak dipandang sebelah mata akan menarik perhatian jutaan pasang mata di dunia. Pecandu bola akan kepincut untuk membelalakkan mata demi melihat megabintang lapangan hijau menggoreng bola dan kemudian menyarangkannya ke jala gawang lawan.
Nilai-nilai organisasi dan leadership akan terkuak lewat olahraga raksasa yang melibatkan banyak pemain, pelatih, dan penonton tersebut. Tidak saja melibatkan penonton secara langsung di daratan Eropa, tapi juga setiap sudut dunia—tak terkecuali kita di Kalbar melalui layar kaca atau layar lebar.
Team work yang dibangun dalam kesebelasan mana yang terbaik itulah yang unggul sebagai jawara tahun ini. Team work yang mampu menerapkan taktik dan strategi secara jitu, solid dan kompak akan mencium trofi kecintaan masyarakat bola Eropa.
Tidak boleh ada di antara pemain yang bermain sendiri, apalagi main mata dengan pihak lawan. Main sendiri atau main mata akan menyebabkan organisasi kesebelasan menjadi lumpuh sehingga takluk ditekuk. Dampaknya sudah pasti angkat koper pulang kampung.
Harian Borneo Tribune menjalin kerjasama dengan manajemen Hotel Gadjahmada untuk menggelar hubungan mutualisme di Piala Eropa 2008 ini. Borneo Tribune menggelar kuis-kuis dalam rangka Piala Eropa dan menuangkannya dalam laporan utama, sedangkan Hotel Gadjahmada yang mempunyai Roof Cafe yang luas menyediakan sarana dan prasarana bagi pecandu bola untuk menikmati laga bola Piala Eropa.
Tenggat waktu Piala Eropa itu sendiri nyaris genap 1 bulan penuh. Terhitung sejak 8 Juni hari ini. Hanya jeda dua hari saja menjelang perempat final maupun final tiada acara nonton bareng.
Tribune-Roof Cafe, begitu kami mengistilahkan nonton bareng yang tidak banyak “cincong” untuk MoU-nya. Di mana siapa saja boleh hadir menonton di lantai lima Gedung Hotel Peony—hotel group milik Gadjahmada Hotel—selama kapasitas ruangannya cukup. Ruangan ini cukup untuk menampung sekitar 100 kepala.
Terkait jadwal pertandingan yang paling dini dimulai pada pukul 23.00 dan item kedua dimulai pada pukul 01.45 WIB ditempatkan petugas khusus untuk melayani penonton. Terutama untuk menjamin keamanan dan kenyamanannya.
Layanan hotel yang prima tentu menunjukkan kelas yang berbeda dibandingkan nonton di pinggir jalan. Apalagi berada di lantai 5 sebuah gedung, akan memberikan nuansa yang berbeda di mana seantero Kota Pontianak yang gemerlap akan tampak asri memikat.
Tujuan kami mengadakan kegiatan nonton bareng ini tiada lain untuk memberikan layanan agar suguhan Piala Eropa yang kaya akan makna organisasi, manajemen dan leadership itu bisa dinikmati dengan aman dan nyaman. Sekaligus alternatif pilihan dari sejumlah alternatif yang bisa pembaca pilih dengan bebas dan merdeka.
Kami tidak hanya sekedar bertujuan menjamin mata untuk bersenang ria. Kami juga membuka pintu mata hati untuk kita berbenah diri di arena sportivitas. Terutama lewat sajian dialog, prediksi, dan sejumlah aktivitas indoor maupun outdoor yang akan segera kami luncurkan modus operandi kegiatannya.
Pembaca. Terimakasih Anda dengan setia mendukung eksistensi koran kami sehingga banyak program bisa kami hidangkan. Tanpa dukungan pembaca semuanya, kami tidak berarti apa-apa.





Baca selengkapnya..

Constantini

Constantini is a good name for Retret location in Sungai Ambawang. It takes 15 km away from Pontianak City.
We goes to Constantini at Saturday (7/6) for a special meeting talk about Tribune Institute. We want to explore so many thing about human resources in West Kalimantan espescially how to practiced excelent journalism. We discuss indeep about citizen journalism.
Citizen journalism more populer because Bill Kovack in new edition of his book said that not enough 9 element of journalism. He add one more. It is a citizen journalism.
AA Mering, Muklis and Tanto go with Me. We use motorcycle.
In a long street we saw a genuine nature. Green, clean, and favor of village flowers. This artery street will be a Trans Kalimantan broadway. Next time we think Ambawang growth as a new city.
Borneo Tribune try to be a citizen journalism paper. We make a grand design as a pilot project. The activity consist of two way. Direct and indirect. Lateral and structural. Indoor and outdoor. Education and culture. We hope, we'll be success.

Baca selengkapnya..

Jumat, 06 Juni 2008

Kullu Nafsin Djaaikatul Maut

Begitu bangun pada pukul 05.00 WIB dari ruang mushala kantor Harian Borneo Tribune saya langsung cek layar kaca handphone. Terlihat ada pesan yang belum dibuka. Dan ketika saya buka, inilah isinya:
Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Telah b pulang k rahmatullah Ananda Chadari HM Nurdin HAR jam 00.1.d k bumikan jam 9.30.Tks.
Hatiku pilu mendapati pesan singkat itu. Sepupu sekaliku itu sudah jatuh sakit sejak sebulan terakhir ini tapi tak sempat aku besuk. Kesibukan telah benar-benar membenamkanku dan menjadi jauh dengan keluarga.
Saat putra pamanku itu opname di RSA, aku harus berangkat ke Sintang dalam rangkaian roadshow. Abangku pun begitu. Dia berangkat ke Singkawang. Sehingga yang pergi membesuk hanya ibunda dan adik bungsuku. Aku hanya bisa titip salam. Dan kini Chadari telah tiada. Dia pergi untuk selama-lamanya.
Aku basuh mukaku yang masih belum sempurna benar sebab baru bangun dari tidur. Berwudhu dan kemudian salat subuh. Di dalam ritual ini aku berdoa semoga Chadari khusnul khatimah.
Sebelum meninggalkan kantor, saya cek semua komputer dan pintu. Ada beberapa komputer yang masih menyala dan ditinggal begitu saja oleh reporter yang tentu saja kurang menghargai watt listrik, padahal kita sedang krisis energi listrik. Begitupula printer.
Di pagi yang masih biru itu saya menuju ke rumah. Kepada paman yang kujumpai di depan rumah ibundaku di Sungai Raya dan kepada abang kandungku HM Nur Hasan kukabarkan berita duka yang kuterima via SMS. "Ya, kami sudah tahu," kata mereka. "Kita akan melayat pada pukul 8."
Di rumah saya terhibur dengan panggilan si bungsu, Nada. Wajah lucunya menyiramkan energi positif yang berkali lipat sehingga aku rasanya kuat bekerja seharian. Nada dan Ocha sumber inspirasiku.
Istriku tak bisa ikut serta. Dia harus mengurusi Nada yang pagi hari mesti menjalani proses rutin: mandi, makan, bobo. Maklum masih 9 bulan. Sementara Ocha saya angkut masuk TK.
Saya menyetir mobil sekalian bersama ibunda, adikku Ida Afiyanti serta putranya, Dawam. Juga ikut kakak iparku Kak Ida, adik iparku Moeis dan keponakanku Tasya.
Tepat pukul 8.15 kami sudah tiba di bilangan jalan HM Suwignyo. Rumah duka sudah disesaki keluarga, tetangga dan handai taulan.
Pada jam begini saya sudah pada gelombang salat jenazah yang ketiga. Jenazah Chadari sudah selesai dimandikan dan dikafankan. Berarti tinggal 1 fardhu kifayah lagi yang mesti dilakukan, yakni menguburkan.
Chadari punya cerita tersendiri denganku. Ia salah satu penggagas foto bareng kami para pria sepupu sekali. Kebetulan orang tua kami keturunan H Abdurrachman punya 6 putra-putri. Nah kami ber-6 mewakili cucu-cucu HAR.
Yang paling getol untuk menggelar foto bareng Laskar Cucu HAR tersebut adalah Iqbal dan Chadari. Itu yang aku ketahui.
Iqbal yang mahasiswa UMP putra dari H Tajudin Fattah-Hj Azizah HAR telah terlebih dahulu menghadap ke haribaan-Nya. Iqbal tewas dalam laka lantas usai salat Jumat lk 5tahun yang lalu. Kini, Chadari menyusul wafat juga hari Jumat. Uniknya, Chadari yang putra H Nurdi HAR-Hj Zubaedah ini juga anak bungsu laki-laki.
Sepupu sekaliku yang bungsu dari saudara-saudara mereka adalah Abdusyakir. Dia kini sudah berumah tangga. Istrinya pernah keguguran dan kini sedang mengandung bayi pertama--kalau saya tak keliru sudah 6 bulan.
"Kir, hati-hati lho. Yang tersisa dari foto itu tinggal 4 orang. Dan yang pergi duluan semua bujangan. Untung Akir udah merid," goda saya.
"Saya juga bilang begitu ke Wak Ma--bibi ibunda Khalifudiansyah--kini bekerja di Bank Kalbar. Saya mau bilang hati-hati Wak Ma, tapi saya urungkan," katanya mengulum senyum. Maksud Akir yang suka guyon ini dia ingin meledek Wak Ma--Hj Rahmah HAR--bahwa bisa saja ajal mendatang adalah...
"Tapi saya urungkan. Wak Ma nyerocos bangga bahwa dulu Dian berambut panjang, tapi sekarang dia sudah rapi dan ganteng pula..."
Foto kami memang rapi. Pakai jas dan dasi. Kami Laskar Cucu HAR bangga dengan foto itu, bahkan dicuci cetak dengan ukuran besar, lalu dipajang di dinding rumah, atau di album kenangan.
Sepupu satu lagi putra dari Hj Siti - H Rivai H Abbas. Namanya Shalahuddin. Dia kini menjadi PNS PTA di Ketapang. Dia sudah menjadi ayah dari dua buah hatinya.
Di antara kami berenam, dua sudah mangkat, dua bertugas di luar daerah, dan hanya aku dan Akir yang bisa bersama mengurusi Chadari hingga ke pemakaman.
Akir tampak menyambut tamu. Aku sendiri hanya bisa menyempatkan pagi ini untuk all out. Mulai dari ikut mensalatkan, ikut memikul dan menguruk tanah pusara. Setelah ikut mengaminkan tahlil dan talkin, aku kembali terbenam dalam agenda kegiatan yang bertumpuk-tumpuk dan tak pernah habis diuruk.
Saat memikul keranda jenazah, saya terbayang memikul jenazah dari Ka'bah ke Ma'la di Kota Mekah. Memang ketika menyelenggarakan ibadah haji tahun 2006-2007 lalu, saya belasan kali ke Ma'la yang di kompleks pekuburan itu ada istri Rasulullah Sayidinatul Khadijah. Nama yang mirip nama ibundaku.
Saya juga terbayang memikul jenazah dari Raudah ke Makam Baqi di Kota Madinah.
Saya mendapat penjelasan dari H Djuni Hamidi (Alm) bahwa memikul jenazah pahalanya sangat besar. Apalagi di Haramain.
Saya setuju, kendati bukan bertujuan secara ekonomis untuk menumpuk pahala. Saya merasakan memikul jenazah dan memakamkannya ada banyak ilmu yang saya peroleh. Bahwa hidup dan mati itu batasnya amat tipis. Setipis kulit ari. Setipis kelopak mata. Saat kita buka, hidup. Saat kita menutup, mati.
Kita diajarkan untuk bersyukur saat bangun tidur karena tidur adalah kematian yang singkat. Kita juga dianjurkan bersyukur ketika bersin, karena bersin juga kematian yang sepersekian detik.
Kini, mumpung masih hidup, beriman dan beramallah, karena tidak putus amal ibadah anak cucu Adam kecuali tiga. Sidqah jariyah. Ilmu yang bermanfaat. Anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.
Chadari meninggal karena komplikasi. Paru-paru dan ginjal. Ia perokok berat sejak usia remaja. Tentu hal ini tak laik ditiru, walau kita yang tidak merokok bukan berarti tidak merokok karena kita tergolong perokok pasif yang bisa juga terkena paru-paru.
Ketika menguruk tanah, saya berpapasan dengan Ibrahim. Ia sepupu dua kaliku. Sapaan akrabnya Yem. Yem tenang-tenang saja menguruk tanah sambil di bibirnya melekat sebatang rokok. Dia kempas-kempus menarik dan membuang candu dari hidungnya. Sementara yang dimakamkan adalah salah satu dari korban rokok.
Saya pikir, iklan rokok itu hebat sekali. Bahkan kematian di depan mata pun tak mudah memutus hubungan mesra dengan rokok.
Bacaan talqin yang dipersoal warga Muhammadiyah yang dinilai khilafiyah bahkan bid'ah (sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi) selalu menarik perhatianku. Kendati memang mungkin tidak ada dalam anjuran ritual ibadah, tapi manfaatnya kurasakan besar. Banyak sekali nasihat-nasihat emas di dalamnya, seperti kutipan ayat, "Kullu nafsin dzaa ikatul maut!" Artinya: Setiap makhluk hidup pasti mati..."
Begitupula ayat-ayat tentang ajal yang semakin menambah keimanan. Di mana kita karena iman bukannya semakin takut dengan mati, tapi mendekatkan diri kepada Tuhan. Toh kematian adalah menghadap Tuhan.
Kalau saban hari sudah biasa menghadap Tuhan, minimal salat 5 kali sehari, maka kenapa takut mati? Bahkan kalangan sufi merindukan kematian...
Usai menyelenggarakan fardhu kifayah, saya salat Jumat di Masjid Quba, dekat rumah. Uniknya sang khatib mengurai tentang maut. Sesuatu yang berangkaian dengan kenyataan yang sedang saya hadapi sejak subuh tadi.
Begitupula saat saya menemani penasihat hukum HBT, Dwi Syafriyanti saat menemui Dr Hermasnyah dalam rangka menyongsong seminar S2-nya pada Sabtu (7/6) sore saya mendapatkan untaian emas soal hidup dan kehidupan. Menurut dosen yang punya idealisme tinggi--walau dinilai killer oleh para mahasiswanya akibat gigih mempertahankan syarat-syarat keilmiahan--tidak putus amal ibadah oleh kematian kecuali sidkah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya. Katanya, jika dikaji secara mendalam ketiga unsur tersebut, semuanya mengarah kepada satu hal: menebar kemanfaatan kepada lingkungan. Itulah yang disebut nilai universal yang di mana saja berlaku sama.
Hermansyah yakin, suatu saat orang akan bicara tentang keadilan, kejujuran, kebaikan, idealisme...Pertahankan idealisme itu kawan.





Baca selengkapnya..