Rabu, 06 Agustus 2008

Wujudkan Kota Damai

calon Walikota dan Wakil Walikota Pontianak sudah ditutup. Tujuh pasangan kandidat mendaftarkan diri. Mereka adalah pasangan Sri Astuti Buchary-Eka Kurniawan (Setia Kawan), Harso Utomo Suwito-H. Awaluddin, Sutarmidji-Paryadi (Siip), M. Abduh-M. Thaha (Duta), Oscar Primadi-Hartono Azas (Obama), Haitami Salim-Gusti Hardiansyah (Hade) dan Gusti Hersan-Setiawan Lim.
Pasangan tersebut di atas laksana warna-warni pelangi. Mereka muncul dari aras yang berbeda-beda. Baik dipandang dari aspek partai politik, warna bendera organisasi, latar akademis, profesi, talenta, track record (rekam jejak) hingga tata cara mendaftar ke KPUD Kota Pontianak.
Setia Kawan mendaftar dengan deklarasi besar-besaran. Berbanding terbalik dengan Harso-H Kalut, Pasangan Siip dan Hersan-Lim. Ketiga pasangan ini menggunakan pola-pola kesederhanaan.
Warna-warni kesederhanaan agaknya lebih menonjol. Terlihat Pasangan Hade menggunakan perahu menyeberangi Sungai Kapuas yang menyimbolkan dekat dengan masyarakat, begitupula pasangan Hersan-Lim yang mengandalkan dukungan paling mendasar berasal dari keluarga.
Pasangan Siip, Duta, Obama dan Hade menggunakan akronim yang menjadi label “dagangannya”. Seperti jual-beli di pasar, sebuah produk—kendatipun dalam hal ini Pilkada—tetap harus mempunyai merk. Merk yang terbaik adalah yang unik, mudah diingat dan nyentrik.
Dari perhelatan Pilkada Kota, sejumlah tahapan sudah dilewati. Warna-warni pelangi itu beraneka ragam. Tetapi yang diharapkan warna-warni itu elegan, solid serta tidak bersifat semu.
Sejumlah pengamat menilai pasangan yang terbentuk dari 7 pasangan di atas masih bersifat semu. Tujuan utamanya baru pada tujuan jangka pendek meraih suara terbanyak. Sedangkan program-program bagaimana membuat Kota Pontianak menjadi lebih baik belum terlihat secara jelas.
Sosiolog, Gerry Van Klinken dalam workshop pendidikan pemilih bersama KPU Kota di Hotel Merpati, Sabtu (2/8) kemarin mengatakan para kandidat sejauh ini masih banyak menyajikan pendapat-pendapat umum sehingga relatif sama. “Belum ada isinya,” ungkapnya.
Isi yang dimaksud Gerry Van Klinken yang selama 7 tahun menjadi dosen di Universitas Setya Wacana dan 2 tahun di UGM adalah sesuatu yang jelas yang mudah dicerna sekaligus ditagih. Misalnya jika mengedepankan pendidikan yang bermutu, yang bermutu seperti apa? Apakah dia bersifat lintas etnis atau agama, atau bagaimana? Guru yang terlibat di dalamnya yang seperti apa? Berapa anggaran yang mesti dipasok untuk mencapai tujuan tersebut? Sehingga semuanya menjadi jelas. “Tidak selogan-selogan kosong yang kemudian deal-deal di belakang yang menentukannya,” ungkapnya.
Hal senada diberikan untuk bidang kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain. “Semuanya mesti jelas,” ungkapnya.
Gerry masih melihat peran penting figur karena figur menunjukkan kemampuan dalam memimpin serta masyarakat membutuhkan karisma. “Di AS saja figur masih dianggap penting,” ujarnya.
Workshop yang diikuti 20-an peserta dari berbagai latar belakang itu melihat 7 pasangan kandidat yang berasal dari “warna” beragam tidak boleh saling klaim bahwa yang tercantik adalah warna mereka sendiri, apakah jingga, oranye atau purple, karena kesemuanya adalah rangkaian pelangi yang indah yang diharapkan bisa mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Damai. Dan oleh karena itu pendidikan politik menjadi sangat penting, misalnya bagaimana mereka menggunakan hak suaranya, bagaimana mereka mengontrol pemerintahannya, dan bagaimana aspirasi-aspirasi itu dapat tersalurkan lewat jalan-jalan yang benar.
Warga pemilih mesti memandang warna-warni pelangi lewat parpol atau calon perseorangan itu sebagai satu kekuatan bersama untuk dimiliki secara bersama-sama. Tidak arogan menyatakan pihaknya paling unggul, sehingga seperti anak kecil memperebutkan layangan putus, jika tidak dapat, dan layangan itu didapatkan orang lain lantas dirampas, disobek atau dipatah-patahkan. “Kita menghendaki Pontianak menjadi pilot project pembangunan Kota Damai,” ungkap Direktur LPS-Air, Demanhuri Gustira.
“Sejauh ini Kota Pontianak adalah kota urban. Kalbar sendiri diketahui sebagai provinsi yang rawan konflik etnis, sehingga kita perlu mewujudkan Kota Pontianak sebagai Kota Damai,” tegasnya.
Hal senada dikemukakan Gerry Van Klinken. Dia berharap dalam perhelatan akbar Pilkada Kota Pontianak, semua prosedur demokrasi bisa berjalan aman dan kondusif. Tidak terjadi malapetaka yang justru merugikan banyak pihak.
Politik, apapun alasannya hanyalah alat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Agenda utamanya adalah bagaimana mewujudkan tatanan kota yang harmonis, di mana hak-hak setiap warga negara dapat diberikan, sehingga terwujud kesejahteraan dan kemakmuran.
Setiap pasangan kandidat mengusung visi kesejahteraan. Tidak ada yang berbeda, kecuali gaya atau style atau skala-skala prioritasnya. Oleh karena itu, menjadi komoditas pasar politik yang lazim dan lumrah, pemilik suara, yakni rakyat, kita ini umumnya untuk menentukan pilihan. Pilihan yang terbaik tentu yang kita pilih. Kandidat yang bermoral, egaliter, cakap, dan terbukti bisa memimpin.
Kini era keterbukaan seperti terbukanya mata kita melihat pelangi. Kita bisa check dan recheck. Kita pemilik suara saat ini yang menentukan wajah Kota Pontianak ke depan.



1 comments:

kangbob mengatakan...

Terlepas dari urusan job ataupun pekerjaan, Seorang Tantowi Yahya sudah menunjukan demokratisasi di kalangan keluarganya sendiri, dimana dia mengibarkan bendera untuk kemenangan Alex Noerdin sebagai cagub Sumsel. Di lain pihak Saudaranya sendiri, yaitu Helmi Yahya berjuang sendiri sebagai cawagub mendampingi Syahrial Osman.

Terlepas dari ada apa antara Tantowi dan Helmi, saya kira kita sependapat bahwa demokratisasi sudah diciptakan di kalangan keluarga. Saya tak dapat membayangkan bagaimana dukungan bapak, emak, mertua, keponakan, nenek, datok dan keluarga besarnya, apakah harus mendukung Helmi atau Tantowi.

Salut buat keluarga Pak Yahya.


Sementara itu, dalam proses pencalegan untuk berangkat ke senayan ataupun caleg di Daerah sudah ada beberapa orang yang memanfaatkan charisma, ketenaran dan popularitas bapaknya, emaknya, omnya, tantenya dan sebagainya.

Sebut saja, Pak Amin Rais anaknya jadi caleg dari PAN. Anak SBY sendiri katanya caleg juga. Anak Megawati juga caleg. Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya hal itu tidak terlalu salah, sepanjang yang jadi caleg tersebut memang mempunyai kemampuan.

Cukup sulit untuk menilai kemampuan orang yang belum dikenal, sehingga orang hanya akan menilai popularitas keluarganya. Karena mau tidak mau, suka atau tidak suka, prinsip buah jatuh pasti tak jauh dari pohonnya diberlakukan untuk urusan yang satu ini.


Salut juga buat nyonya Clinton yang mengkampanyekan saingannya dan meminta para pendukung untuk 100 % memilih Obama. Sekali lagi salut buat Partai demokrat…….. di Amerika.

. Apa sebenarnya yang dicari orang ?. Kepemimpinan kah ?. Ini kah ?, Itu kah ?. Saya jadi ingat ketika pemilihan Ketua RT. Dari 80 KK yang diundang, yang hadir hanya 30 an orang. Setelah ditanya-tanya. Ternyata takut dipilih katanya.

Lantas ketakutan akan apakah gerangan ?.
Ketika diangkat sebagai pemimpin, Sahabat Rasulullah sempat menangis sedih karena takut tidak mampu, takut masyarakatnya kelaparan, takut dan sangat takut.
Adakah perbedaan takut antara Sahabat Rasul dengan Ketua RT tadi ?.

Memang zaman sudah berubah. Ketika seseorang diangkat dan dilantik jadi Kepala Desa, Kepala Desa tersebut menangis. Tangis bahagia kaya tangis pengantin baru. Sampai-sampai ngadakan syukuran 7 malam.
Atau benar-benar sedih, biaya kampanye untuk jadi kepala desa terlalu gede, syukur kepilih, kalau tidak nanti telanjang bulat mau bunuh diri kaya calon bupati yang tak jadi.

Saya yakin dari 200 juta penduduk, banyak yang terlahir sebagai pemimpin dan mempunyai kemampuan memimpin. Hanya kesempatan yang mereka tidak miliki. Karena orang-orang tak akan tahu kemampuan mereka. Wong mereka tidak pernah mengenalkan diri.

Ternyata biaya memperkenalkan diri itu suangat mahal. Banyangkan untuk tayang beberapa menit saja, biaya untuk disiarkan di TVswasta bias puluhan bahkan bisa ratusan juta. Waw. Tak apa yang penting mereka dikenal orang. Karena yang mau milih yan orang-orang itu. Itu hak prerogatif orang-orang itu.
Beda dengan prerogatif presiden, presiden juga belum mau nunjuk orang jadi menteri nya, kalau presiden tak kenal orang itu. Kenalnya bagaimana ?. Ya terserah presiden lah Tentulah kinerja nya diperhatikan, dsb.dsb . Malu juga presiden kalau nunjuk menteri yang tak punya kemampuan. .


Semoga mereka yang sudah mengenalkan dirinya sendiri dapat membuktikan. Dan untuk mereka yang mampu tapi tak mampu- duitnya- perkenalkan diri anda lewat karya nyata lainnya, minimal dikalangan RT saja dulu. Jadi lah) …………….(ikg)