Sabtu, 14 November 2009

100 Anak Ikuti Children Award

Debut baru dilansir Borneo Tribune selain koran baru Borneo Metro, yakni event Children Award. Children Award ini diselenggarakan oleh Borneo Tribune Organizer yang berada di bawah program kegiatan Tribune Institute.
Kegiatan Children Award mengisi ruang kosong penghargaan terhadap anak selain Borneo Tribune Award yang dianugerahkan kepada kalangan dewasa setiap akhir tahun. Tetapi benang merah antara Children Award dan Borneo Tribune Award tetap sama, yakni edukasi atau pendidikan.
Pada debut perdana Children Award yang mengambil tempat di Taman Gitananda atau Rumah Mimpi ini, jumlah pesertanya lebih dari 100 orang. Mereka sudah mengikuti technical meeting (TC) atau pertemuan teknis, Sabtu (14/11) kemarin sore. Di tingkat Play Group/TK terdiri dari tiga cabang kegiatan, masing-masing Lomba Mewarnai berjumlah 35 orang, Lomba Menyanyi berjumlah 16 orang dan untuk sementara Lomba Fashion Show berjumlah 29 orang. Adapun untuk level Sekolah Dasar; Lomba Menggambar berjumlah 41, Lomba Menyanyi berjumlah 12, Lomba Fashion Show berjumlah 9, dan Lomba Menulis berjumlah 8 orang (untuk sementara). Dikatakan sementara karena untuk lomba menyanyi pendaftaran diperpanjang sampai tanggal 21 November 2009 pukul 09.00. Untuk lomba Fashion Show pendaftaran diperpanjang sampai 28 November 2009. Lomba menulis pendaftaran diperpanjang sampai 5 November 2009.
Pelaksanaan Lomba Mewarnai dan Menggambar pada tanggal 15 November 2009 (hari ini, red). Lomba Menyanyi tanggal 22 November, Lomba Fashion Show 29 November, Lomba Menulis 6 Desember, dan Penganugerahan Children Award tanggal 12 Desember.
Untuk mewarnai dan menggambar dari hasil TC, kepada para peserta diharuskan hadir 30 menit sebelum dilaksanakan, pelaksanaan lomba dilangsungkan pada pukul 08.00. Untuk mewarnai peserta disediakan waktu 3 jam, sedangkan menggambar 4 jam. Untuk peralatan semua peserta menggunakan cryon. Alat bantu yang boleh digunakan untuk sket gambar hanya pensil.
Media mewarnai disediakan panitia di atas kertas A3, sedangkan untuk menggambar temanya akan disamapaikan pada saat akan dimulainya lomba. Hal ini menurut Zulkifli MS selaku Ketua Dewan Juri adalah demi membebaskan kreativitas dan imajinasi anak.
Untuk lomba menyanyi Play Group dan TK, adalah peserta memilih satu lagu dari 18 lagu yang disediakan panitia, sedangkan untuk tingkat SD, (kelas 3-usia 6-9) peserta membawakan satu buah lagu dari 13 lagu yang disediakan panitia, untuk seluruh peserta akan diberikan kesempatan untuk pengambilan nada , yaitu pada tanggal 21 November 2009, pukul 09.00-selesai di Taman Gita Nanda, sekaligus pengambilan nomor undian peserta.
Lagu untuk Play Group dan TK dinyanyikan oleh peserta sebanyak 2 kali pengulangan. Kritereria penilaian mengacu pada kualitas vokal dan penampilan.
Vini, vidi, vici. Kepada peserta diucapkan selamat berlomba. Kalah dan menang adalah hal yang biasa. Hal yang luar biasa adalah edukasi yang bisa dipetik pada setiap kompetisi, yakni fairplay.





Baca selengkapnya..

Rabu, 11 November 2009

Seruan Damai

Ini iklan Seruan Damai yang terbit setelah pertemuan di Mapolda soal solusi SP.
Seruan Damai

Bulat air karena buluh
Bulat suara karena mufakat

Setelah mendengarkan hadirin-hadirat berbicara pada pertemuan makan siang bersama Kapolda Kalbar dilanjutkan Diskusi Tentang Solusi Seruan Pontianak, Rabu (7/10) di Graha Khatulistiwa Mapolda Kalbar bersama 150 tokoh masyarakat, dengan ini kami menyatakan PERMOHONAN MAAF, sekaligus mencabut kata dan kalimat di dalam Seruan Pontianak apabila dinilai terlalu keras, kurang valid, serta proses yang kurang matang.
Semoga dengan peristiwa ini, kita semua warga Kalbar dapat mengambil hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Dan semoga silaturahmi yang terwujud dalam pertemuan tersebut dapat merajut perdamaian yang abadi di Kalimantan Barat.
a.n Penggagas Seruan Pontianak
Nur Iskandar



Baca selengkapnya..

Iklan Seruan Pontianak

Isi Seruan Pontianak lk seperti draft. Berita-beritanya bisa diikuti lewat berbagai media di Kalbar.



Baca selengkapnya..

"Maaf!" Solusi Seruan Pontianak

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

Pencarian solusi terhadap pro dan kontra terbitnya Seruan Pontianak (SP) di tiga media cetak Kalbar, yakni Pontianak Post, Borneo Tribune dan Tribun Pontianak, Senin (28/9) lalu, kemarin mencapai kata sepakat yaitu “permohonan maaf”.
Kesepakatan ini tercapai dalam dialog pencarian solusi SP yang digelar Kepolisian Daerah (Polda) Kalbar, di Graha Khatulistiwa, Mapolda, Rabu (7/10) kemarin.
Meski Pontianak diguyur hujan deras. Namun seluruh tokoh masyarakat Kalbar baik tokoh adat maupun tokoh agama, para penggagas SP, LSM, organisasi pemuda di Kalbar, Kerabat Kesultanan Kadriah, para pemimpin redaksi dari media cetak dan elektronik, AJI, PWI serta para wartawan-wartawati yang diundang hadir dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan yang didahului dengan makan siang ini berlangsung cukup alot. Berbagai pendapat terbitnya SP disampaikan oleh para tokoh Kalbar.
Dialog yang mulai pukul 13.00 diawali dengan penyampaian sambutan Humas Polda Kalbar, Suhadi, Gubernur Kalbar yang diwakili Asisten I Ignatius Lyong dan Kapolda Kalbar, Brigjend Pol, Erwin TPL Tobing.
Humas Polda Kalbar, Suhadi dalam sambutannya mengatakan pertemuan ini bertujuan untuk mencari kata mufakat terhadap adanya pro dan kontra terhadap terbitnya SP.
“Dialog ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dan bukan untuk menentukan menang dan kalah tapi bersama mencari solusi bersama,“ katanya.
Suhadi juga meminta media menempatkan fungsinya sebagai penyampai informasi, edukasi dan kontrol sosial. Karena itu, para jurnalis diharapkan dalam membuat berita di media dapat memperhatikan baik buruknya bagi Kalbar.
Asisten I, Ignatius Lyong meminta para tokoh masyarakat Kalbar untuk dapat menyikapi dengan bijak segala persoalan yang timbul di masyarakat.
“Kita di sini kumpul dalam suasana yang sejuk, semoga hati menjadi sejuk,“ ujarnya.
Dituturkannya, kita semua sepakat bahwa damai itu indah, karena itu kuburlah masa lalu yang pernah terjadi. Mari bersama kembali pada yang damai. Hanya dengan damai Kalbar bisa membangun, jika suasana damai, investor akan masuk karena itu damai harus berada di hati kita semua.
“Saya hargai para penggagas SP, di dalam SP memang ada yang baik tapi juga ada hal yang kurang baik. Untuk itu, yang kurang baik harus diperbaiki dan yang berbuat salah mesti dimaafkan. Itulah manusia, semua orang bisa berbuat keliru. Mari kita maafkan yang berbuat salah demi kedamaian di Kalbar,“ tegasnya.
Sedangkan Kapolda Kalbar, Brigjend Pol, Erwin TPL Tobing dalam sambutannya mengungkapkan kebahagiaannya karena meski hujan deras mengguyur Pontianak tapi tidak menghalangi para undangan hadir dalam dialog ini.
“Suatu kesenangan dan kebahagiaan saya, ramainya yang hadir di sini menunjukkan kita semua ingin damai,“ tuturnya.
Kapolda mengajak selagi masih dalam suasana Idul Fitri, mari saling memaafkan. Dialog yang diawali dengan lagu Indonesia Raya, ini bukan seremoni, tapi kita harus bersatu. Makna hujan hari ini adalah membawa kesejukkan.
“Tuhan punya kehendak, bapak-bapak hadir di sini bukan karena undangan saja tapi ini sudah menjadi kehendak Tuhan,“ ucapnya.
Kapolda mengakui sejak SP terbit 28 September lalu dirinya dikerumuni wartawan yang mempertanyakan seruan pontianak.
“Syukurnya, saya sudah baca pagi-pagi. Saya punya staf, saya suruh monitor dan saya buat langkah-langkah pencegahan,“ katanya.
Setelah timbulnya pro kontra terbitnya SP, Kapolda mengatakan dirinya langsung bersikap mengundang para penggagas SP. Setelah mengundang para penggagas SP ini, kita menggelar pres konfrens. Intinya Kalbar damai tergantung masyarakatnya. Kalau masyarakatnya mau heboh ya pasti heboh tapi kalau tidak ya tidak akan heboh.
Masalah SP ini bukan masalah besar, tapi akan menjadi masalah kecil jika kita tidak membesar-besarkannya.
Ditegaskannya, diskusi ini bukan ajang menghakimi. Tidak ada gunanya jika diskusi selesai tapi masalah tidak selesai.
“Apalagi semua tokoh masyarakat Kalbar ada di sini, masak kita tidak bisa menyelesaikan masalah kecil ini bersama-sama,“ ungkapnya.
Silahkan berkomentar atas terbitnya SP, tapi jangan emosi dan jangan terpancing.
Diungkapkan Kapolda Kalbar SP ini bagus tapi ada reaksi, pastinya ada mis dalam komunikasi. Ada yang tidak pas dalam penyampaiannya, karena itu penggagas harus menerimanya. Mungkin soal perencanaan, waktu dan cara penyampaian SP.
“Saat para penggagas menemui saya, saya bilang ini tokoh-tokoh muda yang potensial di bidangnya. Kata para penggagas SP tujuannya baik bukan menghancurkan. Hanya saja, saya melihat perencanaan kurang matang. Banyak yangt tidak dilibatkan,” ucap Kapolda.
Erwin mengingatkan di Kalbar memang sering terjadi konflik. Konflik terjadi sejak tahun 1967 atau bahkan tahun 1920-an.
Kapolda mengakui SP baginya pribadi adalah proses belajar bagaimana menangani masalah yang terjadi.
“Ini juga menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk menjadi dewasa,“ tegasnya.
Ditegaskan Kapolda jika ada konflik semua akan rusak. Maka nanti cari solusi bersama. Kalau SP dianggap salah ya minta maaf.
“Kita meminta jangan sumbat komunikasi. Jangan ada yang tidak terakomodir rasa keadilannya,” kata Kapolda.
Menutup sambutannya, Kapolda mengingatkan pertemuan ini bukan forum peradilan yang menghakimi. Jangan berkutat pada masalah kontraproduktif. Tapi bagaimana bersama memikirkan Kalbar ke depannya. Bagi yang salah jangan malu mengakui kekurangannya.s
Usai menyampaikan sambutannya, Kapolda Kalbar telah menunjuk Dekan Fakultas FISIP Untan, AB Tandililing sebagai moderator diskusi mencari solusi SP.
Dalam pembukaan dialog, Tandililing menyampaikan sesuai kata Kapolda Kalbar, dan Asisten I Gubernur Kalbar. SP jangan diperpanjang, tapi cari solusinya yang meredam masalah dalam diskusi ini.
Ia mengingatkan mungkin dalam SP ada yang tidak pantas atau respon terlalu reaktif. Mari berbincang-bincang dari hati ke hati jika SP ada masalah apalagi kita di Kalbar adalah satu keluarga besar.
Dikatakannya, damai tercipta karena integrasi. Konflik dan perdamaian itu ibarat dua sisi mata uang. Berbeda dan terjadi bergantian. Damai tidak bisa terus menerus ada begitu juga konflik bukan tidak bisa diselesaikan.
Memulai diskusi, Tandililing memberikan kesempatan para hadirin untuk mengungkapkan pendapatnya. Beberapa orang tunjuk tangan.
Kesempatan pertama diberikan pada Ali Anafia. Ia mengatakan dirinya tidak mengenal para penggagas SP. Ia ingin melihat para penggagas SP. Akhirnya, Tandililing meminta para penggagas SP maju ke depan memperkenalkan diri mereka. Sekitar belasan para penggagas SP akhirnya maju ke depan forum memperkenalkan diri. Mereka diantaranya, Nur Iskandar, Asriyadi Alexander Mering, Budi Rahman dan beberapa lainnya.
Usai memperkenalkan diri, para penggagas duduk kembali dan diskusi dilanjutkan.
Petrus, Presiden Front Pembela Dayak (FPD) menyampaikan SP ini ibarat bunga bau busuk. Penggagas harus mencabutnya, hanya ada dua solusi, hukum adat atau ditangkap.
Sementara itu, Hermanto Djuleng meminta forum menghadirkan Andreas Harsono dan Suwito. Kalau ia tidak hadir nothing to lost, lebih baik bubar karena pertemuan ini tidak ada manfaat.
Mendengar ini, Tandililing menanyakan pada para penggagas mengapa Andreas dan Suwito tidak hadir. Nur Iskandar menjawab, Andreas tidak bisa hadir karena menjadi saksi kunci pengadilan di Jakarta sedangkan Suwito tidak bisa hadir karena istrinya akan melahirkan.
Ketua DAD Kota Pontianak, Yakobus Kumis mendesak cabut seruan Pontianak dan para penggagas minta maaf pada publik bukan pada saya pribadi. Karena SP bukan hanya menyinggung Dayak tapi masyarakat Kalbar.
“Saya tidak ingin Kalbar ini dicap daerah kerusuhan,” tegasnya.
Ia mengungkapkan banyak dari daerah bilang mau turun ke Pontianak untuk menangkap para penggagas SP. Tapi ia meminta agar orang daerah tidak ikut campur, ini urusan masyarakat Kota Pontianak.
Usai Yakobus berbicara, Tandililing mempersilakan tokoh masyarakat Bugis di Kalbar, Burhanuddin Abdullah menyampaikan pendapatnya.
Ia mengungkapkan terbitnya SP ada hikmahnya. Dalam seruan itu ada ajakan. Ia mengaku akibat terbitnya seruan tersebut, dari daerah-daerah telepon pada dirinya. “Kita mau perang dengan siapa pak?“ ujarnya.
Ia meminta Polda Kalbar mengusut tuntas SP demi penegakan hukum. Jika dalam pengusutan tidak ditemukan unsur pidana, maka masalah selesai dan masyarakat pasti setuju.
Ia juga meminta para penggagas menyampaikan permohonan maaf pada publik dan penegakan hukum tetap jalan.
Setelah diskusi berjalan setengah jam. Tandililing meminta kesepakatan bersama para hadirin, sampai pukul berapa diskusi akan dilakukan. Akhirnya disepakati diskusi sampai pukul 14.00.
Pimpinan Redaksi Harian Berkat, Werry Syahrial mengungkapkan ada dua masalah yang akan membuat Kapolda berat, pertama kerja keras menenangkan di luar jurnalistik. Kedua masalah SP ini ada tanda-tandanya perang media. Bahayanya perang media bisa menghancurkan negara.
Apalagi jika media terus melakukan investigasi. Kalau pun media di stop pemberitaannya, Kapolda yang diberatkan. Apalagi kalau ini Kapolda yang memintanya, secara dunia jurnalistik Kapolda bisa disalahkan jika menyetop pemberitaan SP sampai di sini.
Ketua Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) Kota Pontianak, Syamsul Rizal juga mendesak penggagas minta maaf yang disampaikan kepada pers seperti seperti iklan SP yang sudah dimuat.
“Kita minta besok (hari ini, red) sudah ada permintaan maaf yang dimuat di koran,“ katanya.
Sulaiman yang juga diberi kesempatan untuk berbicara mengatakan dirinya setuju dengan seruan damai. Tapi sayang isinya saja mengungkit-ngungkit luka lama. Lebih baik para penggagas mengakui kekeliruan yang sudah dibuat dan mari kita bersama membuat seruan perdamaian Kalbar.
Sementara itu, Rektor Untan, Chairil Effendy menegaskan nama dirinya yang masuk dalam seruan pontianak karena pada beberapa waktu lalu ia di sms oleh Nur Iskandar tentang adanya seruan pontianak.
“Saya balas sms setuju dan akhirnya nama saya tercantum. Untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada masyarakat Kalbar. Saya juga telah memaafkan adik-adik saya para penggagas SP. Jadikan ini proses pembelajaran. Apalagi mereka sudah mengakui kekeliruan mereka,” katanya.
Chairil juga menyatakan Untan sebenarnya siap menggelar seminar perdamaian untuk membangun perdamaian yang abadi di Kalbar.
Ia meminta semua hadirin menjaga Kalbar karena ini daerah kita bersama.
Chairil meminta Polda Kalbar menindaklanjuti proses penyidikan ke Andreas Harsono karena Chairil menganggap Andreas masih bersikap memprovokasi masyarakat Kalbar di blognya.
Herman Ivo, tokoh Dewan Adat Dayak Kalbar mengatakan seruan pontianak bukan seruan damai. Belum ada seruan damai. SP, isinya bukan seruan damai tapi soal lain. Tujuan SP sebenarnya bagus hanya saja datanya diragukan dan ada kata-kata provokatif.
Ia menegaskan kalau para penggagas SP ini gentlement, pasti mereka akan meminta maaf dan mengakui kekeliruan mereka. Para penggagas harus memuat permohonan maaf di media yang sama. Meskipun pemerintah Kalbar sudah bilang maafkan saja tapi kalau nanti terulang kembali bagaimana? Harus ada proses pembelajaran di sini.
Ia juga meminta penggagas yang masih bikin persoalan di belakang agar lebih ditangani dengan tegas oleh Polda Kalbar.
Rafli, Kombespol, Direktur Reserse Polda Kalbar menyampaikan Polda sudah melakukan penyidikan sejak beberapa organisasi masyarakat datang ke Polda Kalbar.
“Sejak itu, kita respon dan kita sudah lakukan penyidikan. Kita panggil empat penggagas SP. Sudah kita dengar klarifikasinya dan sampai saat ini belum ada tindak pidana dalam SP. Ke 77 orang yang namanya tercantum dalam SP akan kita panggil satu persatu,” katanya.
Zulfidar dari Forum Mediasi Kalbar meminta semua pihak untuk bisa memaafkan kekeliruan para penggagas SP. Hari ini adalah mediasi, jika para penggagas SP meminta maaf sudah selesai masalahnya.
Setelah memberikan kesempatan pada semua tokoh. Akhirnya Tandililing mempersilahkan salah seorang penggagas SP, Nur Iskandar untuk berbicara.
Nur Iskandar pun mengatakan penerbitan SP ini sesuai dengan ilmu yang ia miliki. Dirinya melihat beberapa kejadian kriminal murni di Pontianak hampir saja berujung pada konflik komunal.
“Dari dasar inilah, saya bersama para penggagas lainnya membuat draf SP yang tujuannya untuk menyerukan perdamaian. Kalau ada kata-kata yang dianggap terlalu keras dalam SP, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada masyarakat Kalbar,“ tutur Nur Iskandar.
Setelah Nur Iskandar menyampaikan permohonan maaf dan bersedia menerbitkan permohonan maaf di koran yang sama. Akhirnya Tandililing menutup diskusi.
Suasana diskusi yang semua sempat tegang akhirnya berubah menjadi haru. Usai meminta maaf, Nur Iskandar disambut salam dan peluk kekeluargaan oleh para tokoh Kalbar.



Baca selengkapnya..

Kapolda Fasilitasi Dialog Seruan Pontianak

Riset Zis, Masyarakat Tidak Terlalu Ribut

Tantra/Hairul
Borneo Tribune, Pontianak

Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat, pukul 11.00 WIB pagi ini, Rabu (7/10) menggelar dialog menindaklanjuti ‘Seruan Pontianak’ (SP). 150 tokoh masyarakat, termasuk 77 statemenship SP diundang.
Selain mereka yang termasuk penyeru perdamaian sejumlah tokoh dan pengurus organisasi masyarakat, etnis, agama, Kerabat Kesultanan Kadriah, para pemimpin redaksi maupun wartawan-wartawati juga diundang.
Pertemuan ini sendiri untuk menindaklanjuti dan mencari solusi tentang SP agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.
“Rabu (7/10) ini, kita mengundang seluruh tokoh Kalbar mulai dari Dewan Adat Dayak Kalbar, Dewan Adat Dayak Nasional, Majelis Adat Budaya Melayu, Forum Komunikasi Pemuda Melayu sampai Kerabat Kesultanan Kadriah Pontianak,” ungkap Kabid Humas Polda Kalbar, Suhadi SW, Selasa (6/10).
Suhadi menjelaskan pertemuan ini digelar untuk menuntaskan persoalan terbitnya SP yang selama ini menjadi polemik. “Pertemuan sekaligus makan siang yang digelar di Graha Khatulistiwa Kalbar ini bertujuan menindaklanjuti dan mencari solusi tentang Seruan Pontianak agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya SP terbit di tiga media cetak Kalbar, Senin (28/9) di Pontianak Post, Tribun Pontianak dan Borneo Tribune. Ada 9 alinea di dalamnya yang berisi seruan damai, mempelajari sejarah konflik komunal dan tindakan preventif agar tidak jatuh korban lebih besar.
Penampilan iklan 1 halaman dengan disain kartunis mendapat reaksi pro dan kontra sehingga Kapolda didatangi sejumlah tokoh masyarakat. Kapolda kemudian mengundang sejumlah orang yang dinilai sebagai penggagas, Senin (5/10) dan hadirlah belasan orang antara lain Asriyadi Alexander Mering, Agustinus, Abdullah HS, Siddiq, Subro, Syamsuddin, Kristianus Atok, W Suwito, Nur Iskandar, Dwi Syafriyanti, Andreas Harsono. Usai memenuhi undangan yang dilengkapi dengan penelusuran maksud, tujuan dsb, penyeru perdamaian menggelar konferensi pers.
Suhadi menjelaskan dalam pertemuan yang difasilitasi Kapolda diagendakan para penggagas SP memaparkan kembali latar belakang, maksud dan tujuan sampai pada pendanaan terbitnya SP di tiga media lokal Kalbar. Setelah itu, diadakan dialog bersama untuk mencari solusi dari timbulnya pro dan kontra akibat terbitnya SP.
Suhadi berharap, pertemuan ini dapat membawa titik temu penyelesaian masalah terbitnya SP sehingga persoalan ini tidak berlarut-larut.
Sementara itu, salah seorang penggagas SP, Nur Iskandar menegaskan, ia bersama para penggagas SP lainnya siap menjelaskan sedetil-detilnya maksud dan tujuan terbitnya SP. “Kami akan sampaikan selengkap-lengkapnya mulai dari latar belakang, tujuan dan pendanaan hingga terbitnya SP. Kami juga siap menerima kritik, saran dan masukan dari semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi terbaik menindaklanjuti SP,” tegasnya.
Nur Iskandar juga mengungkapkan para penggagas SP akan hadir dalam dialog tersebut. Selain menjelaskan seluruh hal mengenai terbitnya SP, para penggagas SP juga akan mengajak peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk berdialog menindaklanjuti langkah selanjutnya membangun perdamaian di Kalbar yang abadi.

SP Hal Biasa
Sementara itu, mantan anggota DPRD Kalbar, Zainuddin Isman, menegaskan sebenarnya dari segi subtansi yang disampaikan, SP merupakan hal biasa dan sudah lama serta sering diungkap di pertemuan ilmiah dan akademis.
Menurut Zis--sapaan akrab Zainuddin Isman, pada seminar terakhir yang diikutinya di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) serta seminar yang digelar oleh Perancis membahas konflik di Indonesia termasuk Ambon, Kalbar dan Kalteng, data dan fakta juga dibahas dan diungkap melebihi isi SP. “Seminar ini dihadiri banyak peneliti. Nah, mengenai data di SP bukan hal yang baru dan SP itu hal yang biasa. Mungkin kondisi masyarakat secara sosiologis saja yang belum pas,“ nilainya.
Zis mengakui, dirinya saat ini sedang mengerjakan penelitian dengan 500 responden namun belum selesai. “Sangat mengejutkan bahwa 52% dari 300 kuisioner yang telah masuk, mereka menyatakan tidak tahu mengenai Seruan Pontianak. Artinya dari penelitian ilmiah ini, masyarakat tidak terlalu ribut, elit dan aktor sosial yang belum siap. Tidak ada persoalan,“ urai Zis.
Dari SP ini, nilai Zis, ada makna lain yang bisa diambil bahwa perjuangan untuk memahami keberagaman dan multikultur ini masih perlu waktu mengingat elit dan aktor sosial belum siap. “Seruan itu tidak bisa dipidana, tidak ada kata yang mengajak untuk berbuat tidak baik dan hemat saya,ini ajakan untuk kebaikan,“ pungkasnya.
Di tempat terpisah mantan anggota DPRD Kalbar, Syarif Abdullah Alkadrie, menegaskan apa yang disampaikan Seruan Pontianak merupakan apa yang pernah terjadi di Kalbar. “Ini fakta dan secara ilmiah maupun akademis sering dibahas. Kerusuhan ini sejak tahun 1967 dan berulangkali terjadi. Jangan dilihat membuka luka lama tetapi mari memandang ke depan untuk Kalbar yang satu dan utuh. Apa yang disampaikan di SP, sepengetahuan dan tafsir saya maknanya seperti itu,“ ucap Abdullah.
Abdullah mengajak untuk memaknai seruan ini bagaimana membangun Kalbar ke depan dalam bingkai satu dan utuh. “Kita yang hidup di Kalbar ini ke depan harus lebih aman dan damai tanpa pertikaian, memahami keberagaman dan pluralisme. Ke depan tidak ada lagi kasus-kasus kriminal perseorangan diseret-seret dan dipanas-panasi maupun dikait-kaitkan dengan etnis. Kriminal murni tetap kriminal, kita serahkan ke polisi menangani. Pihak keamanan pun harus tegas sehingga tidak merembet ke mana-mana,“ saran Abdullah.
Abdullah menyatakan juga tidak sepaham atas keinginan sejumlah orang yang mendesak untuk mencari aktor atau penggagas SP ini. “Kemarin para penggagasnya sudah memberikan penjelasan ke Polda dan niat mereka baik, mungkin ada redaksional di SP yang kurang tepat. Dan dalam hal ini mereka juga sudah menyatakan permohonan maaf. Tinggal ke depan bagaimana kita semua bisa bersama hidup lebih rukun membangun Kalbar satu dan utuh,“ imbau Abdullah.



Baca selengkapnya..

Polda Nyatakan Tidak Ada Unsur Pidana dalam SP

Suhadi: Media Jangan Memprovokasi

Tantra Nur Andi
Borneo Tribune, Pontianak

“Tidak ada ditemukan unsur pidana di dalam Seruan Pontianak (SP) karena SP tidak mengajak masyarakat berbuat konflik,” tegas Kabid Humas Polda Kalbar, Suhadi, Senin (5/9).
Penegasan Suhadi ini disampaikan dalam konfrensi pers usai Direktorat Intelkam Polda Kalbar mengundang empat penggagas SP. Suhadi mengatakan hasil kajian dari Dirintelkam Polda Kalbar setelah meminta empat penggagas SP yaitu Andreas Harsono, Nur Iskandar, Suwito dan A. Alexander Mering mengklarifikasi terbitnya Seruan Pontianak.
Dijelaskan Suhadi, Dirintelkam mengundang empat penggagas SP ini untuk menanyakan maksud, tujuan, latar belakang sampai siapa yang mendanai hingga terbitnya SP dimaksud.
Keempat penggagas ini dimintai keterangan oleh Dirintelkam Polda Kalbar dari pukul 11.00 hingga 15.00 WIB. Sekitar 20 pertanyaan diajukan Dirintelkam pada empat penggagas SP tersebut.
Tindak lanjut dari pertemuan Senin kemarin, lanjut Suhadi, rencananya Polda Kalbar akan mengundang seluruh tokoh masyarakat mulai dari DAD, MABM, MABT sampai Kesultanan Istana Kadariah Pontianak dan 77 orang yang namanya masuk dalam SP untuk memberikan penjelasan seputar Seruan Pontianak.
Suhadi juga meminta media massa tidak membuat tulisan provokatif yang justru memancing terjadinya konflik.
Sementara itu, empat penggagas SP yaitu Andreas Harsono, Nur Iskandar, Suwito dan A. Alexander Mering setelah dimintai keterangan tujuan dan maksud terbitnya SP oleh Dirintelkam juga menggelar konfrensi pers di ruang Dirintelkam.
Nur Iskandar menjelaskan terbitnya SP berawal dari beberapa kejadian terbaru terutama gangguan Kamtibmas. Atas dasar inilah, para penggagas SP membuat draf setelah acara buka puasa bersama yang digelar oleh Tribune Institute.
“Lahirnya SP ini bertujuan bagaimana mencegah terjadinya konflik di Kalbar,“ tegasnya.
Saat buka puasa bersama, sudah ada draf SP yang dibuat. Kemudian, ia mengirim sms kepada tokoh-tokoh masyarakat, mengajak mereka ikut menyerukan SP. “Saya minta tokoh-tokoh masyarakat yang saya kirim sms, untuk membaca draf SP di blog saya. Kalau ada kekurangan, saya minta masukan,” tuturnya.
Beberapa tokoh memberikan masukan pada draf tersebut dan langsung menyatakan bersedia bergabung dalam seruan tersebut.
Nur Iskandar juga menegaskan, pernyataan beberapa tokoh yang merasa terkejut dengan isi SP padahal namanya dimasukan dalam SP tidak salah. Karena tokoh-tokoh tersebut memang belum membaca draf SP sebelumnya. Namun setelah ada pertemuan dengan para tokoh yang merasa keberatan tersebut akhirnya para tokoh itu mengerti tujuan Seruan Pontianak.
A. Alexander Mering juga mengungkapkan kata-kata pembantaian dalam seruan pontianak tersebut dimuat karena memang tidak ada kata-kata lain yang bisa mewakili peristiwa terbunuhnya ribuan orang dalam konflik etnis di Kalbar.
“Kalau satu orang yang tewas akibat pertikaian, itu bisa dinamakan pembunuhan tapi jika yang tewas mencapai ribuan orang dalam pertikaian maka sebutan apa yang cocok selain pembantaian,” tegas Mering.
Mering menilai, kondisi damai di Kalbar saat ini sebenarnya belum menemui titik perdamaian abadi. Akar persoalan konflik belum terselesaikan dengan baik.
Sementara itu, Andreas Harsono menegaskan tidak ada yang mendanai secara khusus hingga terbitnya Seruan Pontianak. Tapi dana untuk iklan Seruan Pontianak itu didapat dari patungan para penggagas Seruan Pontianak.
Direktur Yayasan Insan Khatulistiwa (YIK) Kalbar, Nagian Imawan, menyambut baik upaya yang dilakukan Polda Kalbar. Dia melihat undangan terhadap empat pengagas itu sebagai upaya mengakhiri pro kontra terkait SP dimaksud.
Namun Nagian mengingatkan, Polda Kalbar dalam bekerja haruslah profesional dan proporsional, jangan karena tekanan pihak tertentu atau kelompok masyarakat tertentu.
”Demikian juga dengan masyarakt, janganlah berlebihan memandang SP tersebut, bila kurang berkenan masih ada ruang dialog. Dan saya yakin landasan kita jelas yakni akademis,” kata Nagian.
Menurut Nagian, dirinya melihat SP itu tujuannya jelas ingin menuntaskan kejadian-kejadian yang ternah terjadi di Kalbar agar kedepan jangan terulang lagi. ”Memang untuk menuntaskan suatu permasalah, persoalanya harus dibuka dulu agar bisa dicara solusi terbaiknya, dan itulah tataran akademisi selalu membedah persoalan lewat diskusi, lokakarya maupun seminar,” katanya lagi.



Baca selengkapnya..

Minggu, 08 November 2009

Buku Relasi Etnik Terapkan Budaya Hukum

Prof Esmi Guru Besar Sosiologi Hukum Undip
Buku Relasi Etnik Terapkan Budaya Hukum

Nur Iskandar
Borneo Metro, Pontianak
Jatuh ke tangan pakar sosiologi hukum, Prof Dr Esmi Warassih, SH, MS, tiga buku etnisitas karya peneliti utama YPB, Ir Kristianus Atok, M.Si atas sponsor Cordaid mendapatkan pujian. Selain menunjukkan sejarah konflik komunal di Kalbar, juga menggambarkan harapan hidup bersama secara damai.
“Buku ini bagus sekali. Saya senang mendapatkan banyak informasi dari buku ini,” kata mantan Rektor Universitas Pekalongan yang kini mengabdikan diri sebagai guru besar di Universitas Diponegoro, Semarang. Prof Esmi mendapatkan 3 buku yang turut disponsori oleh Borneo Tribune, Borneo Metro dan Tribune Institute ini dari tangan Dirut PT Borneo Tribune Press, W Suwito, SH, MH dan Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH, MH.
Pertemuan dengan Prof Esmi di sela kehadirannya di Pontianak untuk mengajar di program doktoral ilmu hukum di Universitas Tanjungpura, Sabtu (7/11). Undip bekerjasama dengan Untan untuk program strata 3 ilmu hukum. Program ini diikuti sejumlah dosen dan praktisi hukum di Kalbar.
“Buku ini tampilannya bagus, relatif tebal. Sekilas saya lihat isi di dalamnya sudah menerapkan komunikasi hukum dan budaya hukum,” tegas guru besar yang merupakan “anak emas” dari pakar sosiologi hukum Indonesia, Prof Dr Satjipto Rahardjo.
Baik Satjipto Rahardjo maupun Esmi menganut paham sosiologi hukum dengan perspektif bahwa hukum bukan tumpah laksana hujan dari langit. Hukum dibuat oleh manusia untuk mengatur dan mewujudkan tatanan yang tertib dan sejahtera. “Hukum tidak bergerak di ruang hampa yang abstrak, melainkan selalu berada dalam situasi sosial tertentu dalam lingkup manusia-manusia yang hidup,” katanya.
Buku relasi etnis yang akan dilaunching di Amphi Theatre Fakultas Kedokteran Untan (hari ini, red) menampilkan Prof Dr H Chairil Effendy, MS untuk membuka acara. Chairil selama ini dikenal sebagai pakar folk-lore atau sastra lisan. Ia juga sangat mengerti tentang geoetnopolitik relasi etnik di Kalbar. Tampil pula peneliti utama, Ir Kristianus Atok, M.Si alumni S1 dan S2 Untan yang kini tengah menyusun disertasi doktoral du University Kebangsaan Malaysia.
Pada kesempatan launching akan tampil keynote speech peneliti relasi etnik di tingkat SMA se-Kalbar, Dr Amrazi Zakso. Sedangkan pembedah buku menampilkan tokoh muda Madura, aktivis MiSem, Subro, pakar etnik asal STAIN, Dr Hermansyah dan pakar etnik yang terkenal dengan hipotesa 2020-nya, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Acara akan berlangsung sejak pukul 08.00-13.00.
Prof Esmi menyarankan agar buku-buku dan riset-riset etnis lebih diperbanyak lagi, karena dengan penulisan hasil riset bisa ditumbuhkembangkan kepada banyak hal positif lainnya. Sebutlah daerah Sebangki di Kabupaten Landak yang dihuni warga Dayak dan Madura, namun tidak pernah terjadi konflik komunal. Sebaliknya mereka hidup rukun, kompak, bersatu. “Ini contoh harmonisasi yang baik dan patut dijadikan suri tauladan. Suri tauladan itu merupakan bagian dari budaya hukum yang ditopang oleh sosiologi hukum,” imbuhnya.



Baca selengkapnya..

Karol Kerja Keras Merintis Karir Politik dari Dasar

Nur Iskandar
Borneo Metro, Pontianak

Nopember 2007 Karol Margret Natasa baru saja menyelesaikan kuliah kedokterannya. Ia duduk akrab ditemani adiknya Angel di kediaman orang tuanya di Gang Abdul Madjid. Kala itu ayahnya, Drs Cornelis, MH tengah sibuk berkampanye ke daerah-daerah di arena Pilkada Gubernur Kalbar.
Kakak adik itu begitu akrab. Angel kala itu sedang hamil tujuh bulan, sedangkan Karol sedang menyiapkan langkah menempuh hidup baru. “Saya belum tertarik dengan pentas politik,” ujarnya seraya mengajak menyeruput teh panas di ruang tamu utama.
Redaktur, reporter dan fotografer Borneo Tribune yang datang meliput Tanto Yakobus, Endang Kusmiyati dan Lukas B Wijanarko selain saya sendiri. “Trah politik tak akan bisa dielakkan. Karol punya aura politik yang bagus,” kata saya.
Karol masih mengelak. Ia tersipu dan sedikit tersedak mendapatkan nujum dadakan di kala senja memerah di ufuk barat Bumi Khatulistiwa waktu itu.
Hari berganti hari, waktu berganti waktu. Drs Cornelis, MH tampil sebagai pemenang di arena Pilkada Gubernur. Kemenangan itu sudah tertera di akhir Nopember disusul pelantikan pada Januari 2008.
Karol yang kerap mendampingi ayahnya sebagai dokter di masa-masa kampanye tersambar energi retorika ayahnya yang singa podium atau macan mimbar. Sengatan energi untuk membawa perubahan dalam dealektika pembangunan nasional telah bertubi-tubi menghantui pikirannya.
Tak pelak, saat Taruna Merah Putih sebagai sayap PDIP dikembangkan ke Kalbar, Karol adalah orang yang tepat. Pinangan Muarar Sirait selaku Ketua Umum TMP Pusat disambut dengan semangat membara oleh Karol. Sejak saat itu resmilah Karol berada di jalur politik PDIP.
Karol punya “inner dynamic” laksana dinamit. Ledakan pertama terlihat saat namanya yang duduk sebagai nomor urut tiga untuk Pemilu Legislatif DPR RI mampu menembus angka bilangan pembagi pemilu. Dia menghimpun suara di atas rata-rata nasional. Dua ratus ribu lebih suara sah hanya untuknya. Ia peringkat satu Kalbar dan bahkan peringkat kedua nasional setelah putra RI 1, Edhie Baskoro Yudhoyono asal Partai Demokrat.
Kemampuan belajar Karol bisa diikuti sejak usianya masih belia. Dia juga hadir di depan mata publik.
Saya menjadi saksi ketika Karol belum bergairah dengan suhu politik, tapi saya juga menjadi saksi bahwa Karol bukanlah anak bawang yang tumbuh di bawah ketiak ayahnya. Karol pekerja keras.
Kesan pertama saya adalah ketika dia menemani ayahnya menerima Borneo Tribune Award, akhir 2008. Dia bicara laksana diplomat di meja bundar di mana ada ayahnya, ibunya, dan Dirut PT Borneo Tribune Press, W Suwito, SH, MH.
Bicara gaya diplomat adalah ketika ayahnya bicara berapi-api di mimbar dengan kerap kali mendapat applaus ratusan hadirin, Karol menterjemahkan kata-kata ayahnya pada majelis meja bundar. “Bapak kalau sudah bicara lupa dengan lelah,” katanya.
Pada even lain, saat Angel melahirkan putranya. Cucu pertama Gubernur Cornelis. Karol berdiri menyambut tamu dengan ramah. Bukan dibuat-buat. “Ini anak bakal banyak dapat suara asal dia mau,” kata saya kepada kawan-kawan yang hadir di Pendopo. Mereka antara lain adalah mahasiswa dan mahasiswi Bonn University, Jerman.
Okelah jika publik menilai putri sulung Cornelis ini punya kans karena ayahnya, tetapi dalam kesaksian saya, saya melihat Karol lepas dari prediksi itu. Dia pekerja keras.
Bukti kerja keras yang tertangkap kru Borneo Tribune adalah saat Pilpres. Dia turun langsung dari TPS ke TPS melakukan monitoring. “Kita harus cek TPS TPS karena di sini kuncinya,” kata Karol.
Karol berjalan sendiri. Dia hanya ditemani seorang sopir. Bajunya merah. Perutnya sedang hamil tua ketika itu.
“Hamil tua masih sempat spot check begini?” kata saya yang juga mobiling dari TPS ke TPS selaku jurnalis. “Ya, kita harus cek. Kita harus kerja keras. Ini panggilan hati nurani,” tuturnya.
Karol sudah melahirkan. Sudah pula dilantik sebagai anggota DPR RI mewakili Kalbar di Senayan. “Saya minta dukungan rakyat Kalbar. Kita harus majukan Kalbar di dalam sistem NKRI,” ujarnya.





Baca selengkapnya..

Tiket Ludes di Under-Limit

Nur Iskandar
Borneo Metro, Pontianak

Tak mudah menjual tiket kendati harganya Rp 5.000 dengan tim artis kondang, Kangen Band. Biaya besar harus digelontor demi satu naluri nasionalisme: menggerakkan energi pemuda ke wilayah kerja positif.
Musik dan lagu punya elaborasi positif. Kangen Band bisa jadi teladan, bagaimana konkow-kongkow bisa melahirkan rupiah berkali lipat. Hanya dengan modal nekat, senar gitar, bas dan drum band. Lirik ditambah nada menyebabkan nama jadi tenar, rupiah keras mengalir ke kocek, serta melanglang buana ke berbagai kota nusantara.
Panitia yang tergabung dalam Taruna Merah Putih dipimpin Maskendari mesti kerja keras. Ia memimpin rapat ke rapat. Evaluasi teknis ke teknis. Mulai dari pemasangan spanduk dan baliho, hingga rigger rink.
“Soal tiket, wah payah, masih numpuk,” kata Maskendari saat rapat evaluasi teknis, Kamis malam yang lalu. “Semoga under limit (batas waktu akhir, red) tiket bisa ludes,” doanya.
Doa Maskendari terjawab. Tiket yang disebar di loket-loket tandas. Remaja dan pemuda bersemangat mengikuti ritual Sumpah Pemuda ala TMP.
Lapangan di Stadion Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie sempat diguyur hujan lebat. Tetapi tidak menyurutkan massa membeli tiket.
“Bang, masih ada jual tiket tidak?” tanya Torie dari TMP kepada Redaksi Borneo Tribune. “Ludes Torie, habis,” begitu suara jawaban yang terdengar. “Puji Tuhan,” selanya seraya pamit gembira.
Maskendari merasa lega. Dia melakukan pemeriksaan lapangan. Semuanya paripurna. Band telah check sound sejak siang sampai sore hari. Bendera merah putih telah terpacak dengan gagah di sisi kanan panggung, sedangkan sederet bendera TMP dengan manis menyeimbangi di sisi kiri stage. Adapun pada bagian tengah terpampang back-drop acara dengan dominan warna hitam dan merah.
Panggung dan kelengkapan atributnya tampak megah nan meriah pula di tengah lapangan hijau SSA. Acara yang didapuk dalam rangka menyemangati Hari Sumpah Pemuda ini bakal menyedot tak kurang dari 3.000-an pasang mata.
“Ini hasil kerja keras kawan-kawan TMP dibantu mitra kerja,” kata Andrew Yuen dari TMP. “Kalian silahkan ajukan ide, saya tinggal putuskan,” timpal Karol, Ketua TMP kalbar, anggota DPR RI dengan wajah sumringah.
Pemuda Kalbar di mana saja berada, jika ada ide ya jangan didiamkan begitu saja. Silahkan. Sekali lagi silahkan ke TMP, karena TMP menjadi saluran wadah yang tepat dan cepat. Ingat kata orang bijak, siapa cepat dia dapat.



Baca selengkapnya..

TMP Garap Grand Design Pemuda

Nur Iskandar
Borneo Metro, Pontianak

Wajah cantik yang ditopang tubuh mungil itu nyaris terbenam dipeluk sofa model panda di ruang tamu kediaman pribadi Gubernur Kalbar, Drs Cornelis, MH di bilangan Gang Pak Madjid, Jalan Danau Sentarum. Putri sulung Gubernur yang duduk sebagai anggota DPR RI dengan nama lengkap dr Karol Margret Natasa pada hari Kamis (29/10) memimpin rapat Taruna Merah Putih (TMP).
Agenda TMP menukik pada episentrum gerakan pemuda yang terukir dalam sejarah Republik Indonesia. Sumpah Pemuda. Sumpah yang diikuti pemuda dari Tanah Air dengan melahirkan gerakan monumental satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Itulah Indonesia.
Indonesia sebagai entitas nasional sempat dijajah Belanda hingga 3,5 abad lamanya karena tidak adanya persatuan dan kesatuan. Kesadaran pemuda yang disumpahkan pada 28 Oktober 1928 melecut semangat kepemimpinan nasional dengan elan vital persatuan dan kesatuan sehingga Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, 17 tahun berikutnya.
“Gerakan pemuda kini perlu digemakan. Kita sangat mementingkan gerakan pemuda, karena pemuda hari ini adalah jawaban Bangsa dan Negara kita 5, 10, atau 17 tahun yang akan datang. Sebaliknya, kita prihatin dengan berbagai problem kepemudaan seperti sempitnya lapangan pekjerjaan, kenakalan remaja, narkoba, hingga HIV/AIDS,” ungkap Karol di tengah rapat yang diikuti tak kurang dari 20-an anggota pengurusnya.
Dalam balutan T-shirt sederhana, Karol memimpin rapat dengan tegas dan bernas. “Kita garap grand design pemuda melalui TMP,” timpal dokter umum yang kini masuk dalam sistem tata negara, sebagai legislator Kalbar di DPR RI, Jakarta.
Grand design atau program besar kepemudaan itu tumbuh sebagai semangat nasionalisme yang ditanamkan founding fathers (pendiri bangsa), antara lain Dr Ir Soekarno dan kini ruhnya ditiupkan kembali oleh TMP sebagai sayap PDIP dengan ketuanya, Megawati Soekarno Putri. Karol memimpin TMP di Kalbar duet dengan ayahnya yang tak lain tak bukan Ketua DPD PDIP Kalbar. Maka grand design itu tak terlepas dari grand strategi pembangunan lokal, regional dan nasional.
“Semangat 28 Oktober dengan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa terus kita gelorakan. Salah satu caranya adalah pendidikan dan kebudayaan,” ujarnya.
Pada tahun lalu, di mana TMP baru dilahirkan, Karol memimpin gerakan bersepeda dengan tempat Taman Alun Kapuas. Ketika itu Karol menekankan pentingnya bagi generasi muda berpikir jauh ke depan menyelamatkan lingkungan dari gas emisi buangan. “Kita perlu menyelamatkan bumi dari gas rumah kaca,” tegasnya.
Sumpah Pemuda tahun ini, Karol memimpin TMP dengan hiburan massal seni-budaya bersama Kangen Band. Lokasi disiapkan di Stadion Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie dan diperkirakan akan disesaki oleh ribuan pelajar dan mahasiswa serta masyarakat umum.
“Hiburan adalah salah satu cara mengumpulkan remaja dan pemuda serta masyarakat umum. Dalam kerumunan massa itu kita sisipkan pesan-pesan semangat nasionalisme kebangsaan dan kepemudaan. Upaya-upaya seperti ini harus terus ada yang memelihara dan menjaga spiritnya karena pemuda adalah inti gerakan pembangunan di mana pun adanya,” kata Karol.
Kalbar menurut Karol harus bisa tampil ke pentas pembangunan nasional. Maka, melalui peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2009, pemuda Kalbar diajak tampil sebagai pioner sesuai dengan minat serta bakat masing-masing secara positif. “TMP menyerap dan membina energi potensial para pemuda Kalbar untuk bisa melesat secara nasional. Kebanggaan pemuda adalah kebanggaan bersama milik bangsa,” gugahnya seraya mengutip pendapat Bung Karno, “Berikan aku 10 pemuda, maka akan aku guncang dunia!”
Karol ternyata tidak hanya elok dan rupawan wajahnya, tetapi ide dan pemikirannya juga jauh maju ke depan. Tipikal kepemimpinan pemuda yang patut diteladani.




Baca selengkapnya..

Selamat Datang Borneo Metro

W. Suwito, SH, MH
Dirut PT Borneo Tribune Press

Tiada kata yang indah selain mengucapkan puji serta syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kasih bahwa dalam usia 2,5 tahun PT. Borneo Tribune Press melansir Harian Borneo Tribune, sudah mampu melahirkan koran baru dengan nama Borneo Metro.
Borneo Metro mengambil nama induknya, Borneo Tribune dengan terus mengedepankan kata Borneo. Borneo adalah pulau ketiga terbesar di dunia setelah Green Land di Amerika dan Papua di wilayah Timur Indonesia.
Dengan nama Borneo, ada semangat yang sama. Bahwa Borneo tidak hanya besar pulaunya. Tetapi juga harus besar pula medianya.
Sasaran koran induk Harian Borneo Tribune (HBT) adalah menuju koran nasional. Impian menjadi koran nasional ini bukanlah gertak sambal, atau tong kosong nyaring bunyinya, melainkan sudah dikemas sedemikian rupa dengan jejaring media secara regional Kalimantan serta Nasional.
Kita punya jejaring lokal, regional dan nasional bahkan internasional dengan baik. Modal jejaring itu telah membuat HBT tumbuh subur dan besar dengan kapasitas terpasang di 14 kabupaten-kota di Kalbar serta kontributor di sejumlah provinsi di Indonesia maupun sejumlah negara di Asean, Eropa dan Amerika.
Borneo Metro lahir sebagai jawaban atas kegundahan hati publik, bahwa mereka membutuhkan koran populis yang meletakkan dasar-dasarnya dari sisi edukasi atau pendidikan.
Borneo Tribune sebagai koran pendidikan dan koran publik berusaha memberikan jawaban itu. Jika Borneo Tribune “cool” dengan sisi edukatif, maka Borneo Metro masuk wilayah populis seperti hukum dan kriminal, namun soft, lembut, edukatif dari sisi pemberitaan berbeda dengan yang menghujat dan menghakimi, dengan memberikan tempat kepada yang terhakimi.
Borneo Metro disajikan dengan bentuk serupa The Sun atau Koran Tempo. Tata wajahnya di-make up sedemikian rupa sehingga merona dan mempesona.
Edisi perdana Borneo Metro sengaja diambil 1-11 karena menunjukkan angka tripel one. Satu, satu, satu. Angka tahun 2009 menunjukkan angka baik, kembar dan angka tertinggi sembilan.
Filosofi angka ini menjadi sejarah bagi kebangkitan koran daerah untuk menjadi tuan rumah bagi negerinya sendiri. Borneo harus memberikan tempat kepada Koran Borneo untuk tumbuh dan berkembang, sehingga menjadi Koran Publik yang bisa dibaca dan mendapat informasi murah. Apabila memungkinkan gratis bagi semua masyarakat, termasuk masyarakat di daerah pedalaman Borneo yang jauh dan belum tersentuh pembangunan. Janganlah kami diaborsi sebelum lahir. Janganlah Pendiri dan Pemiliknya dihakimi. Untuk itu kami mohon doa restu publik di mana saja seantero Bumi Borneo pada khususnya dan pembaca di mana saja pada umumnya.
Media ini kami lansir dengan harga terjangkau. Tetap seribu selamanya.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang mendukung Borneo Tribune.




Baca selengkapnya..

Seruan Damai yang Seru

Oleh Edi v.Petebang, wartawan, aktivis perdamaian
Sore sehabis magrib sekitar tanggal 7 September 2009 saya menerima pesan singkat dari Bung Nur Iskandar, karib saya sejak sama-sama mengelola koran kampus era 90-an yang kini menjabat Pemred Harian Borneo Tribun. Isinya kira-kira demikian "Sabtu, 19 September 2009 sekitar 77 tokoh akan membuat seruan damai. Draftnya silakan baca di blog saya atau blog tribun institute". Esoknya saya membaca bebeberapa kali draft "Seruan Pontianak" tersebut dan memikirkan apa dampaknya di masyarakat. Kemudian saya kirim usulan/saran terhadap isi draft SP tersebut. Intinya: secara esensi saya setuju; tetapi secara teknis dan kepatutan tidak setuju. Karena itulah saya mengusulkan dua hal: pertama, jangan memasukkan angka-angka dan penyebutan nama etnis; kedua, kata-kata yang dipakai jangan vulgar. "Jika dua usulan saya ini tidak bisa diakomodir, maka saya menolak namanya dimasukkan",pinta saya. Akhirnya nama saya pun tidak ada di SP tersebut.

Ketika membaca draft SP tersebut saya menduga pasti akan ramai dibicarakan orang. Ramai karena SP ini dimuat satu halaman penuh dan di tiga koran terbesar di Kalbar--sehingga pembacanya banyak. Kalau dimuat di media yang lebih kecil mungkin tidak terlalu ramai. Ramai karena setelah SP ini terbit media massa nasional, lokal dan regional memuat tanggapan pejabat/tokoh soal SP tersebut. Ramai karena kemudian sejumlah elemen organisasi masyarakat, terutama Dayak dan Melayu, proaktif merespon SP ini. Ramai karena kemudian sejumlah orang yang namanya tercantum di SP tersebut membantah telah menyetujuinya. Saya kira itu sebabnya sejumlah orang/tokoh kemudian membantah ini (seperti Dr.Chairil Effendi) karena tidak sempat membuka draft SP di internet. Tetapi karena di SMS seperti yang saya terima, maka setuju saja. Intinya akhirnya SP itu menjadi kontroversi, bahkan cenderung kontra-produktif dengan semangat awalnya, yakini berkontribusi untuk menjaga dan mengisi perdamaian di Kalbar. Seruan ini pun benar-benar seru.

Saya ditanyai beberapa orang, baik di luar Pontianak, di Pontianak maupun di kampung (Tebas, Singkawang, Nyarumkop, Ngabang, Ketapang, dll). Teman-teman dari daerah bertanya "kok ndak ada angin ndak ada hujan tiba-tiba ada seruan seperti itu? Maksudnya apa? Ini mengungkit luka lama,"telpon seorang teman dari Tebas, Sambas. Seorang teman, kadidat doktor di Cornell University, AS, yang meneliti soal konflik di Kalbar bertanya: "semarah itukah warga di Kalbar? ada apa sebenarnya?,"tanya via surat elektronik.

Mengapa SP itu menjadi kontroversi? Selama enam tahun terakhir saya, bersama rekan-rekan di credit union dan sejumlah organisasi non pemerintah, keluar masuk kampung di wilayah Kabupaten Sambas, Singkawang, Landak, Bengkayang, Kabupaten/Kota Pontianak. Menurut saya masyarakat kita belum siap untuk menerima informasi seperti yang disampaikan dalam SP tersebut. Di forum ilmiah oke-oke saja bicara vulgar, apa adanya. Tapi di masyarakat akan lain ceritanya. Angka yang disajikan dalam SP tersebut juga tendensius merujuk etnis tertentu. Kalau mau jujur bukankah etnis lain (yang tidak disebut dalam SP itu) juga puluhan, bahkan ratusan yang jadi korban? Kalau memang mau fair,mestinya semuanya dipaparkan.

SP ini memberikan pelajaran bagi kita semua, termasuk semua orang yang ingin berkontribusi dalam proses perdamaian di Kalbar ini agar lebih sensitive soal isu-isu etnis. Saya mengapresiasi penelitian Zainudin Isman (Zis) yang mengatakan bahwa 52% dari 300 respondennya tidak mengetahui SP tersebut. "Masyarakat tidak terlalu ribut, elit dan aktoir sosial yang belum siap. Tidak ada persoalan," kata Zis, seperti dikutip Borneo Tribun (7/10 hlm.2). Tiga respon saya terhadap studi ini. Pertama, jangan meremehkan yang 48%. Kedua, kalau 52% tidak peduli/tidak ribut, berarti masa depan kedamaian di Kalbar ini terancam. Karena kalau masyarakat sudah tidak peduli lagi dan tidak mau terlibat aktif dalam proses perdamaian, maka merupakan preseden buruk bagi perdamaian Kalbar. Ketiga, kalau memang benar warga akar rumput yang tidak peduli dengan SP itu; pertanyaannya warga yang mana/dimana? Warga Pontianak tentu beda persepsi dan pandangannya (tentang SP) dibanding warga Sambas, Bengkayang, Landak atau daerah yang lain pada masa silam pernah terjadi konflik kekerasan.

Kita semua sepakat bahwa damai adalah proses, bukan tujuan akhir. Karena itu semua orang (di Kalbar) harus berbuat, berkontribusi untuk menjaga, memelihara dan mengisi perdamaian di Kalbar dengan apa yang dia punya dan mampu. Konflik adalah kondisi yang sangat buruk dan merugikan semua orang. Sesungguhnya tidak ada yang menang atau kalah jika konflik. Saya sudah mengalami beberapa kali konflik kekerasan di Kalbar ini dan sungguh sangat merugikan. Semua jadi korban, semua sektor kehidupan terkena dampak negatifnya.

Kita patut bersyukur dalam satu dasawarsa terakhir ini kesadaran warga untuk tidak meng-etniskan criminal semakin tinggi. Ini terbukti tidak meluasnya konflik-konflik skeala kecil yang terjadi. Kita patut mengapresiasi aparat keamanan yang kini mempunyai sensitivitas etnis yang tinggi sehingga setiap tindak kriminal bernuansa etnis diberi perhatian khusus.

SP ini menjadi ramai diperbincangkan warga. Mari kita memakai media untuk secara berkala menyampaikan seruan damai yang benar-benar mendamaikan suasana.***

Pontianak, 6 Oktober 2009



Baca selengkapnya..

SERUAN PONTIANAK VS PERNYATAAN SIKAP BERSAMA: KEPEDULIAN & KEKECEWAAN

Oleh: Syarif Ibrahim Alqadrie
Sejak dalam perjalanan dari Pontianak sampai ke Bandung hingga pelatihan dimulai, telpon genggam (HP) saya selalu berdering yang berbentuk baik pembicaraan maupun SMS. Semua informasi itu berasal dari rekan-rekan saya dari beberapa kota di Jawa, Sumatera, Pontianak dan Singkawang; bahkan dari Copenhagen, Denmark dan Seoul, Korsel; serta diantaranya terdapat seorang anggota keluarga besar Qadriah di Jakarta. Mereka meminta komentar saya tentang ‘Seruan Pontianak’ (SP) yang dianggap “menghebohkan” dan reaksi terhadapnya dalam bentuk ‘Pernyataan Sikap Bersama’ (PSB) yang kemudian mendasari ramainya komentar tentang hal itu di KalBar. Kerabat saya ini meminta saya mendorong terciptanya kondisi tenang (cooling down) agar suasana kondusif di daerah ini dapat tercipta kembali.
Semua keinginan rekan-rekan itu terasa berat untuk dipenuhi, karena saya tidak termasuk orang yang memiliki kompetensi dan berkompetan melakukannya. Namun, karena saya menyenangi keadilan dan perdamaian serta tidak menyukai pemaksaan kehendak, maka saya juga ingin menyumbang pemikiran, walaupun mungkin belum tentu banyak orang menyetujuinya. Selain itu tulisan ini ingin menghargai keinginan rekan-rekan seperjuangan yang ingin mengetahui pendapat saya tentang apa yang sedang terjadi di KalBar.

Seruan Pontianak vs Pernyataan Sikap Bersama
Dimulai katanya dengan kepedulian dan keprihatinan tentang kondisi tidak gregetnya upaya mengurangi pelanggaran HAM di KalBar, SP yang ditandatangani oleh 77 tokoh, aktivis LSM dan perdamaian, pemerhati sosial dan akademisi, muncul pada tiga media cetak Pontianak, Senin 28/9 - 2009. Dua hari kemudian muncul reaksi dalam bentuk PSB yang ditandatangani oleh 11 lembaga dan organisasi Masyarakat Dayak, tidak termasuk Institut Dayakologi Research and Developmetn (IDRD), termuat dalam Pontianak Post, Rabu, 30/9-2009.
Reaksi terhadap iklan SP yang tertuang lewat PSB merupakan hal yang sangat wajar, beralasan dan tidak berlebihan. Penanda tangan PSB tidak sama sekali menolak seruan yang mengedepankan penegakan hukum dan HAM, bahkan mereka menghargainya. Keberatan itu hanya mengarah pada hal-hal teknis misalnya penggunaan lambang etnis, etika dan informasi data yang belum diklarifikasi kebenarannya. Karena itu, PSB menyesalkan tindakan pengungkapan kembali peristiwa dan luka lama yang merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi tanpa diinginkan oleh siapapun dan berpendapat upaya membuka kembali peristiwa itu hanya akan memancing masalah baru. Para tokoh adat Sambas juga bereaksi spontan terhadap SP tersebut (Equator, 2/10-09:1) yang mereka anggap hanya terbawa oleh isu HAM tanpa melihat perkembangan kondisi di Sambas sehingga SP itu mengganggu tata kehidupan masyarakat di kabupaten itu yang telah mulai kondusif itu.
Beberapa hari kemudian tidak sedikit kritikan dan komentar miring terhadap SP berhamburan baik di berbagai media cetak, audio dan visual maupun melalui “media” lisan berupa diskusi informal di kantor, dalam perkuliahan maupun dalam percakapan sehari-hari di warung kopi. Oleh karena sebagian besar dari komentar tersebut bernada memvonis dan tidak memberi jalan keluar bagi pemecahan masalah yang kontroversial itu, maka polemik berkenaan dengan SP versus PSB bertambah panas, sehingga perlu dicarikan jalan pemecahan yang lebih bersahabat jauh dari rasa dendam dan kebencian.
Jalan ke luar dimaksud dapat dianalogikan sebagai suatu sintesis yaitu upaya mencari jalan tengah dengan mempertemukan dua pendapat yang berhadapan sebagai tesis dalam hal ini SP dan antitesis yaitu PSB. Dengan demikian kehadiran tesis dan antithesis itu tidak sampai memancing polemik yang memperuncing suasana, tapi justru dapat dimanfaatkan sebagai ide-ide baru untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita masih peduli terhadap HAM dan di lain fihak kita seharusnya memahami posisi masing-masing dengan tidak begitu saja membuka luka lama.

Komentar dan Pemahaman.
Saya memang sudah membaca iklan SP dan PSB sebelum berangkat, namun karena kesibukan mempersiapkan bahan pelatihan, saya tidak fokus dengan hal tersebut. Karena itu, saya belum dapat berkomentar apapun apalagi menjelaskan tentang latar belakang timbulnya SP tersebut. Apa yang kita perlukan segera sekarang adalah bukan komentar yang berlebih-lebihan terhadap salah satu fihak dan mengurangi fihak lain, apalagi komentar yang memojokkan dan “mengipas-ngipas” fihak-fihak tertentu. Menurut hemat saya komentar semacam itu tidak bakal menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya akan memperburuk suasana yang sudah mulai tenang selama 8 tahun ini, dan baru kemudian 28/10 ada sedikit hal yang menghebohkan.
Betapa tidak, komentar-komentar terhadap SP sudah mulai meluas dan tidak lagi proporsional (Equator, 30/9-09:1). Ada komentar bernada memperingatkan untuk tidak terperangkap pada kepentingan pribadi (Ptk Post, 1/10-09:1), ada komentar bernada netral agar tidak membesar-besarkan masalah yang tidak perlu diperluas, ada juga yang menganggap para penggagas SP itu sebagai “provokator” yang tidak menyukai kondisi KalBar kondusif lalu menginginkan mereka dan 77 orang penanda tangannya meminta maaf dan diajukan ke pengadilan. Selain itu, adapula yang kurang yakin bahwa penggagas SP apalagi para penandatangannya dapat dipidana, karena aturan pelanggarannya tidak jelas (Equator, 3/10-09:1). Tidak kurang pula yang mengingatkan secara keras agar “tidak menggali bangkai” para korban pertikaian sebelumnya dengan tidak mengungkapkan tragedi lama. Tak kurang pula yang menganggap penggagas SP dan penanda tangannya “tidak senang” dengan pemegang pemerintahan yang ada di KalBar. Bahkan ada komentar aneh – justru ini mengkhawatirkan masyarakat demokratis yang cinta damai dengan akan timbulnya wajah baru dari karakter lama ORBA yang otoriter-- dengan mengaitkan SP sebagai bentuk lain dari “bahaya laten PKI” yang katanya perlu diwaspadai (Ptk Post, 2/10-09: 22).
Karena itu, dalam kondisi hampir tak menentu sepanjang tiga minggu ini, diam menurut saya adalah emas. Kalaupun komentar diperlukan, ia memerlukan bahwa kedua fihak, pro dan kontra, tidak dikonfrontir atau dipertemukan secara berhadap-hadapan untuk membela diri mati-matian dan menyerang dan memvonis habis-habisan, apalagi sampai diproses di pengadilan.

Perbedaan Pendapat dan Masyarakat Madani.
Sejumlah pengamat netral melihat bahwa perbedaan pendapat sebagai konsekuensi dari hal-hal yang kontroversi sekitar iklan SP dan PSB adalah hal yang wajar dalam masyarakat plural dan demokratis. Perbedaan pendapat adalah salah satu konsekuensi logis dalam berdemokrasi. Berdasarkan management konflik (Simon Fisher, Working With Conflict: Skill and Strategies for Action. NY, USA: Zed Books, 2000:1-16) perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih, antara kelompok dan antara negara dalam pengertian akademis disebut konflik dan secara umum belum mengandung kekerasan baik fisik maupun non-fisik atau mental dan sosial.
Karena itu, konflik adalah perbedaan pendapat yang belum sama sekali masuk ke dalam tataran kekerasan. Konflik kekerasan atau kerusuhan (violent conflict) dapat dicegah dengan kemauan dan kemampuan dalam mengelola konflik yaitu menerima, menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan. Biarkan perbedaan pendapat itu menghampiri dan berjalan bersama kita tanpa paksaan agar fihak lain “mengikuti” dan “setuju” dengan apa yang kita mau. Kalau karakter pemaksaan itu terjadi, itu berarti kekerasan telah diambang pintu dan ia telah merobohkan kebijaksanaan dan akal budi. Itulah yang pernah terjadi selama ini di daerah yang kita cintai ini –tentu juga disebabkan oleh faktor lain—selama 4 (empat) priode lingkaran 30 tahunan: 1900-an, 1930-an, 1960-an dan 1990-an (Alqadrie, The Pattern of Violent Conflict in West Kalimantan and its factors. Copenhagen, Denmark: NIAS, 2001). Khususnya pada periode lingkaran ke 3 dan ke 4, 1960-an dan 1990-an, telah terjadi lebih dari 14 kali pertikaian. Tanpa memahami sejarah dan menghormati perbedaan yang ada, peristiwa menyakitkan yang memang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya dikhawatirkan akan terjadi lagi.
Bagaimanapun upaya kita untuk tidak “menyukai” peristiwa yang mencoreng nama kita di dunia internasional yang membuat kita prihatin sebagai bangsa yang berbudi, memang tidak bisa kita lakukan dengan melemparkan realitas sejarah. Walaupun, kesemuanya itu adalah musibah, di luar keinginan kita dan semua fihak memang sudah menderita dan menjadi korban karenanya. Upaya pengingkaran pada realitas sejarah bukanlah keinginan dari hati nurani maupun kearifan kita sebagai putra dari sebuah bangsa yang besar. Masalahnya adalah memang kita masih memerlukan waktu sehingga kita siap untuk menerima realitas sejarah sehingga memudahkan kita diterima dalam masyarakat internasional dan sistem dunia. Penggagas SP tampaknya “tidak sabar” dan “tergesa-gesa.”
Apa yang kita butuhkan sekarang dan yang akan melahirkan serta memperkuat kembali marwah dan kearifan lokal kita adalah perenungan, kesadaran dan pemahaman terhadap posisi kita masing-masing. Bahwa ada satu fihak yang mungkin terdorong dan berkewajiban untuk mengingatkan akan kealpaan kita dan fihak lain mungkin berhak untuk berkeberatan dan menolak sesuatu yang dianggap berlebihan dan mencoreng wajah kita, adalah perbedaan pendapat yang perlu disikapi dengan karakter multikulturalisme dalam pluralisme yang sudah ada sejak masyarakat Madani di Mekah sekitar 1450 tahun yang lalu.

Ide Baru dan Keberanian Moril
Terlepas dari pro dan kotra, SP telah “mengusik” ketenangan kita dengan ungkapannya yang “telanjang” tanpa tedeng aling-aling. Kita dapat mengatakan dengan suara lantang bahwa SP adalah bentuk kelancangan. Begitu beraninya sebuah seruan yang memuat ajakan untuk menegakkan hukum dan HAM di tengah masyarakat dunia –ditunjukkan oleh Negara adi daya dan sekutunya-- yang tidak konsisten dan memiliki standar ganda terhadap keadilan dan penegakan HAM. Bahkan di Indonesia sendiri, konsistensi hukum dan keadilan menjadi barang mewah dan langka. Ini adalah ide besar. Sayang kalau kita potong begitu saja dengan komentar “mematikan,” kita khawatir tidak ada lagi orang yang berani mengungkapkannya.
Oleh karena itu, beberapa pengamat netral melihat bahwa SP pada dasarnya ‘menyentak’ kesadaran kita dan membuat kita berfikir bahwa apa yang dilakukan oleh penggagas SP tersebut –yang tentu bukan terdiri dari satu atau dua orang saja— dan oleh para penanda tangannya –yang tentu telah mempertimbangkan masak-masak dengan segala resikonya— adalah sebuah ‘terobosan’ dan ‘keberanian moril.’ Terobosan “baru” ini, lanjut pengamat tersebut, seharusnya diberi ganjaran (reward) dan hukuman/sanksi (sanction) yang seimbang antara ide besar yang diungkapkan secara berani sebagai bentuk kerisauan mereka terhadap dunia dengan kelancangan mereka yang telah mengusik kondisi tenang yang mulai tercipta di bumi Khatulistiwa ini.
Mereka yang terlibat dalam SP itu telah menimbulkan kemarahan kita dan polemik berkepanjangan dalam masyarakat. Karena itu, kalaupun ada unsur pelanggaran dan gangguan terhadap ketentraman umum, kita setuju dengan proses hukum terhadap mereka yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, banyak pengamat optimis bahwa SP itu kemungkinan besar tidak akan sampai menciptakan konflik kekerasan horizontal baru baik antar etnis maupun antar generasi –seperti dikhawatirkan oleh seorang pengeritik. Bahkan sebaliknya SP itu tampaknya telah memulai era baru dalam mana putra-putra Indonesia yang lahir di daerah KalBar akan menjadi insan-insan yang humanis dan multikultural yang peka terhadap perdamaian, keadilan dan HAM.
Mengapa tidak? Penggagas dan penanda tangan SP tersebut tampaknya relatif lengkap terdiri dari berbagai kelompok etnis: seperti Dayak, Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, Madura, Banjar, Keturunan Arab (Alawiyyin), Sunda, Batak, Minang, Belanda, Manado, Aceh, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali, Ambon dan Gorontalo. Lagi pula, walaupun sebagian besar mereka merupakan generasi muda, namun tampaknya dari segi umur mereka juga sangat bervariasi dan dapat dibagi menjadi dua kelompok umur: di bawah 40 tahun dan di atas 41 tahun.

Kekuatan Sosial dan Cakrawala Global
Berdasarkan fakta sosial, budaya dan alamiah ini, penggagas dan penanda tangan SP terdiri dari unsur lintas antar etnis – bahkan bangsa, budaya, agama dan generasi (inter cross etnic –even citizen, cultural, religious and generation elements). Karena itu, KalBar seharusnya bangga terhadap mereka dan sangat beruntung dengan lahirnya kekuatan sosial yang mampu tidak saja merangkul semua potensi sosial budaya dan ekonomi di daerah ini yang tadinya terpisah atau tersegmentasi oleh kepentingan politik dan ekonomi sempit jangka pendek, tetapi juga menembus cakrawala global sehingga menjadi kekuatan sosial bersama kekuatan progresif lain di bagian dunia ini untuk mengikis ketidakadilan, dominasi dan pemiskinan yang dilakukan negara industri maju (NIM) terhadap bangsa-bangsa negara sedang berkembang.(NSB).
Para pengamat sosiologi etnis dan sosiologi hukum percaya bahwa apa yang tertera dalam SP tersebut mengenai tuntutan mereka agar pelaku kekerasan sepanjang periode ke 3 dan 4 lingkaran kekerasan 30 tahunan: 1960-an, terutama di kawasan pedalaman dekat (interior valley areas) tahun 1967 dan 1968, serta 1990-an, khususnya di Pesisir Utara tahun 1998 dan 1999, dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dan diseret ke pengadilan sebagai kejahatan kemanusiaan. Hal ini belum mungkin dilakukan sekarang karena dua hal: (1) Peristiwa yang terjadi secara beruntun itu merupakan musibah dan tragedi kemanusiaan yang tidak direncanakan sebelumnya; (2) Indonesia, khususnya KalBar, sebagai NSB masih memerlukan waktu cukup lama untuk masuk ke dalam jaringan sistem peradilan HAM apalagi untuk dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.
Peristiwa pelanggaran seperti itu tidak dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan asal tidak dilakukan secara terorganisir dan terencana atau dilakukan oleh pejabat resmi negara: tentara, polisi dan pejabat pemerintahan seperti pernah dilakukan oleh pejabat, petugas keamanan dan tentara Serbia terhadap rakyat Muslim Bosnia Herzegovina. Munculnya SP itu tampaknya dilandasi oleh dua motif: (1) ingin membuat kejutan (surprised) kepada dunia internasional yang memiliki data akurat dan yang tidak dapat disembunyikan bahwa rakyat KalBar akan siap memasuki sistem peradilan global tentang HAM dan kejahatan kemanusiaan; (2) Ingin mengajak para tokoh, pemuka masyarakat dan pejabat pemerintah daerah ini agar memiliki keberanian dan dukungan moril untuk memperkuat motif pertama. Ini perlu dimiliki mereka agar dunia internasional tahu bahwa mereka tidak terlibat dalam menggerakkan massa.
Karena itulah, menurut pengamat tersebut SP tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Tampilnya PSB sebagai reaksi dari SP sudah tepat, apalagi setelah itu lembaga masyarakat adat Dayak dan Melayu Sambas tidak lagi menunjukkan kemarahan mereka. Itu berarti bahwa sudah ada pemahaman di antara tokoh masyarakat KalBar tentang pentingnya menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat KalBar dan tokoh mereka bukan pelanggar HAM terbesar di dunia. Dua motif tadi dapat dilihat pada mereka yang menandatangani SP tersebut. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Dari 77 orang tersebut, lima di antaranya bergelar doktor, satu orang professor, dua orang setara dengan pejabat asselon satu, sekitar 50 dari mereka bergelar Master atau Magister Sains, hampir seluruh mereka beregelar sarjana satu, empat orang tokoh agama, dan sebagian besar mereka adalah aktivis perdamaian. Jadi menurut para pengamat, mereka seluruhnya memiliki motif yang jelas demi kebaikan dan peningkatan marwah Indonesia pada umumnya dan KalBar pada khususnya. Hal penting untuk dilakukan adalah mempertemukan para penggagas dan penanadatangan SP (kelompok “tesis”) dan penanda tangan PSB dan fihak lain yang berseberangan dengan SP ( kelompok “antitesis”)..
Besok siang (hari ini pukul 13.00) KAPOLDA KalBar akan mengambil inisiatif mempertemukan kedua kelompok ini (pada saat naskah ini dinaikkan sebagai edisi khusus peristiwa itu sudah terjadi, redaksi). KAPOLDA dengan seluruh jajarannya akan didukung sepenuhnya semua fihak yang netral, termasuk Jaringan Studi Konflik Indonesia (Indonesia Conflict Studi Network/ICSN). POLDA KalBar dan fihak netral dalam kasus ini merupakan kekuatan penyeimbang (kelompok sintesis) yang mempertemukan dua kekuatan utama KalBar yang tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dalam membangun KalBar. Kita percaya bahwa semua kekuatan sosial di KalBar termasuk Lembaga Adat Dayak dan DAD serta Lembaga adat Melayu Sambas sangat optimis akan keberhasilan KAPOLDA KalBar dalam merangkul semua fihak yang terkait dan mencairkan kondisi KalBar yang sedikit terganggu. Tidak salahnya para penggagas meminta maaf kepada mereka yang telah dirugikan secara moril dengan bersalaman dan berangkulan satu dengan lainnya di hadapan KAPOLDA dan pemuka masyarakat lainnya tanpa rasa dendam. Hal seperti ini perlu dilakukan karena ada hal yang lebih penting lagi dalam membangun KalBar dengan kebersamaan kita. Marilah kita berdoa. (Dosen FISIP UNTAN dan Direktur Indonesia Conflict Study Network/ICSN)


Baca selengkapnya..

Kronologi Cerita SP Selengkapnya

1. Kamis (3/9) malam terjadi kasus kriminalitas murni antara Bie Wong alias Apeng (26) dengan Tri Andika (17) di kawasan Jalan Tanjungraya. Seribuan orang menyemuti TKP dan Apeng serta keluarga dievakuasi. Modus operandi kasus ini mirip Gang 17 yang terjadi November 2007.
2. Berita dengan judul Gang 17 Jilid II Terjadi di Tanjungraya yang terbit di Borneo Tribune menjadi bahan diskusi Buka Puasa Bersama Lintas Etnis di Tribune Institute menyusul kasus kriminalitas murni yang terjadi di Punggur, juga melibatkan massa. Ada dorongan moril dan intelektuil untuk melakukan tindak pencegahan dini di kemudian hari sekaligus belajar akan sejarah kelabu di masa lampau.
3. Hasil diskusi di Tribune Institute terus berkembang ke dunia maya dalam diskusi sinergi melahirkan draft Seruan Pontianak. Tujuan Seruan Pontianak tentu saja membantu polisi melakukan tindakan preventif agar kasus kriminalitas murni seperti Gang 17 dan Tanjungraya serta Punggur tidak berkembang menjadi komunal. Belajar dari sejarah konflik di Kalbar, nyaris semua konflik besar dimulai dari hal ihwal yang kecil.
4. Draf awal SP dimuat di www.noeriskandar.blogspot.com pada 13 September 2009 dengan pengantar sbb: “Saya menghubungi sejumlah tokoh untuk "Seruan Pontianak". Ini baru draft. Tolong kasi masukan dan dukungan dengan memasukkan nama masing-masing.”
5. Pihak yang dihubungi via telepon, facebook, email dan SMS atau bertemu langsung sebagian besar setuju. Namun ada pula yang menolak.
6. Proses diskusi terus berlangsung, beberapa kata dan kalimat dalam draft diperhalus.
7. Rencana penerbitan di tiga media besar masing-masing 1 halaman penuh pada 19 September gagal karena dananya tidak cukup. Forum Diskusi menyimpulkan, jika iklan layanan masyarakat ini gagal, prosesnya sudah dinilai subur bagi tumbuhnya bibit perdamaian yang multi etnis karena di forum diskusi terdiri dari lintas etnis. Dana dihimpun dari sumbangan sukarela peserta diskusi, atau mereka yang bersimpati akan adanya seruan tindakan preventif.
8. Tiga media massa calon pemuatan iklan SP yakni Borneo Tribune, Tribun Pontianak dan Pontianak Post memberikan diskon harga yang sangat tinggi sehingga dana mencukupi untuk pemasangan iklan. Total dana lk Rp 10.500.000.
9. Disepakati penerbitan iklan pada Senin, 28 September 2009. Pertimbangannya pada hari Senin intensitas pembaca relatif tinggi. Terlebih terhitung hari pertama masuk kantor setelah Idul Fitri.
10. Malam pada saat materi iklan akan naik cetak di tiga media ada sejumlah “tokoh” mengundurkan diri, masing-masing Akil Mochtar, AR Muzammil dan Deni Sofian. Nama Akil dan Muzammil berhasil dihapus di 3 media saat naik cetak, hanya nama Deni yang masih terbit di Pontianak Post. Di malam itu terjadi komunikasi via telepon langsung antara Deni dan Nur Iskandar. Keduanya sudah saling maklum atas persoalan teknis percetakan. Intinya Deni sudah keluar dari list walau namanya tercetak di Pontianak Post.
11. Senin (28/9) Kapolda diwawancarai wartawan soal SP. Kapolda yang sudah membaca isi SP sebelumnya menindaklanjuti dengan teleconference kepada para Kapolres se-Kalbar sebagai langkah antisipasi. Kapolda minta kasus ini ditanggapi dengan arif dan bijaksana.
12. Sejumlah tokoh dikonfrontir wartawan soal namanya masuk di dalam list statemenship. Chairil Effendy, Gusti Suryansyah, Paulus Florus bereaksi. Reaksi ini terus membesar. Lantas muncul pro dan kontra. Nyaris saja niat baik penggagas SP menjadi kontra produktif. Menjadi bumerang.
13. Tokoh DAD, PFKPM, Kerabat Istana Kadriah dll datang menghadap Kapolda. Mereka menilai SP provokatif. Sejumlah media massa lokal kemudian menuding adanya dana internasional, dugaan neo-komunisme, upaya menggulingkan tampuk kepemimpinan daerah, bahkan tudingan provokator.
14. Terjadi pertemuan informal sambil makan malam bersama di Orchardz Hotel difasilitasi Romo Robini Marianto terhadap sejumlah tokoh. Pihak tokoh adat Dayak hadir Thadeus Yus, Yakobus Kumis, Atan Phalil dan Paulus Florus. Dari pihak penggagas hadir Asriyadi Alexander Mering, Yohanes Supriyadi dan Nur Iskandar. Di forum itu sudah disampaikan beberapa critical point dan permohonan maaf jika di dalam proses SP ada kesalahan dan kekurangan. Romo Robini kemudian mendapatkan amanah untuk membuat draft permohonan maaf.
15. Draft maaf dibahas di Seminari Siantan antara Romo Robini dan Nur Iskandar, namun karena sudah memasuki dini hari, keduanya lelah, draft harus dilanjutkan di pagi hari/sore hari.
16. Sejumlah tokoh antara lain Romo Robini, Utut, Romo William Chang, Kristianus Atok, Paulus Florus, Abdullah HS, Faisal Riza, Nur Iskandar dan Dwi Syafriyanti menindaklanjuti pembahasan draft maaf. Pembahasan deadlock pada beberapa hal krusial karena isi SP dinilai pro dan kontra. Masih debatable. Disimpulkan bahwa 77 statemenship harus berkumpul semua agar ada kekuatan hukum lantaran yang tertera namanya di dalam list bukan atas nama lembaga tetapi orang per orang sedangkan permohonan maaf berasal dari lembaga-lembaga.
17. Nur Iskandar dkk kemudian mengundang pertemuan di Gitananda pada Minggu (4/10) pukul 08.00 sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Tidak lempar batu sembunyi tangan. Hadir 16 orang. Beberapa menyampaikan pesan lewat SMS. Beberapa menyerahkan sepenuhnya terhadap mufakat para tokoh statemenship.
18. Tiga jam berembug dihasilkan 3 point. Pertama, kedepankan ruh SP. Kedua, lanjutkan pendidikan pluralisme. Ketiga, action plan seminar, workshop, diskusi, bedah buku, launching buku, jambore interfaith dll sebagai menjembatani adanya pro dan kontra.
19. Senin (5/10) empat penggagas diundang Dirintelkam Polda Kalbar di Mapolda. Empat nama yang disorot sebagai aktor intelektual SP masing-masing Andreas Harsono, Asriyadi Alexander Mering, Nur Iskandar dan W Suwito memenuhi undangan tersebut sejak pukul 11.00-18.00 WIB. Empat penggagas didampingi belasan statemenship lainnya. Seusai tanya-jawab di Mapolda dilaksanakan konferensi pers.
20. Kapolda melalui Kabid Humas, Suhadi SW menegaskan, “Belum ditemukan adanya unsur pidana di dalam SP” tetapi aparat terus mengikuti perkembangan kasus SP yang pro-kontra. Dalam konferensi pers wartawan menguliti maksud, tujuan, sumber dana, ihwal maaf dll.
21. Rabu (7/10) Kapolda mengundang seluruh statemenship, ormas, tokoh agama, tokoh adat, LSM, akademisi dll untuk makan siang bersama dilanjutkan dengan upaya mencari solusi Seruan Pontianak. Hadir lk 150 orang tokoh termasuk insan pers cetak maupun elektronik.
22. Kabid Humas di dalam pembukaan meminta pers memberitakan secara objektif tidak memantik provokasi. Kapolda menegaskan forum diskusi ini mencari solusi, bukannya ajang penghakiman untuk mencari siapa yang kalah dan menang. Tampil moderator Dekan FISIP Untan, Prof Dr AB tangdililing, MA.
23. Pada forum diskusi solusi SP disepakati adanya permohonan maaf disampaikan secara lisan dan ditindaklanjuti dengan penerbitan di tiga media massa yang sama seperti sebelumnya, yakni Borneo Tribune, Tribun Pontianak dan Pontianak Post.
24. Kapolda menilai permohonan maaf adalah sikap gentlement karena sejak guru besar sampai tokoh masyarakat sudah menyatakan yang dituntut adalah permohonan maaf. Kapolda juga menegaskan dengan kasus SP, ia belajar banyak bagaimana menyikapi situasi seperti ini secara arif dan bijaksana. Adapun catatan kritis buat Andreas Harsono kapolda akan menanganinya.
25. Kamis (8/10) iklan Seruan Pontianak telah menjadi Seruan Damai berisi permohonan maaf sesuai harapan di dalam diskusi di Mapolda Kalbar. Tribun Pontianak akibat faktor teknis memuat iklannya terlambat sehari. Sebab keterlambatan adalah faktor mis komunikasi, sama sekali bukan karena salah satu pihak mencederai kesepakatan bersama di Mapolda Kalbar.
26. Semua pihak berharap damai selalu bagi Bumi Kalimantan Barat pada khususnya dan NKRI pada umumnya. Mari kita jaga dan rawat secara bersama-sama. Damai harus dimulai dari hati dan pikiran serta tindakan kita masing-masing.



Baca selengkapnya..

Mari Jadikan Kasus SP Sebagai Proses Belajar Bersama

Sejak Iklan Seruan Pontianak (SP) terbit di Borneo Tribune, Tribun Pontianak dan Pontianak Post pada Senin (28/9) segera disambut pro dan kontra di tingkat elite maupun grass roots. Pro-kontra ini melahirkan polemik. Polemik yang tidak tertangani dengan baik akan menjadi kontra produktif, bahkan bumerang. Syukurlah Polda dan masyarakat mampu mengatasi berbagai titik kritis dalam kerangka penegakan supremasi hukum dalam tempo yang sesingkat-singkatnya sehingga kita bisa menjadikan kasus ini sebagai proses belajar bersama. Dan semoga segala hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya menebar benih damai ke lubuk hati untuk kemudian memancar ke segala penjuru mata angin nusantara, bahkan segala penjuru dunia. Bahwa orang Kalbar cinta damai.
Pada edisi khusus ini, sesuai dengan berbagai masukan, perlu ditampilkan kronologi kasus SP dari A sampai Z. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dengan demikian kita semua tidak seperti orang buta yang kenal gajah. Bagi yang baru memegang kakinya mengatakan gajah seperti pohon kelapa. Bagi yang baru memegang belalainya mengatakan gajah seperti ular. Bagi yang memegang kupingnya lantas mengatakan bahwa gajah itu tipis seperti daun. Kesemuanya tidak salah, tetapi belum sempurna. Yang sempurna adalah yang integral-komprehensif-menyeluruh.
Untuk menghindari bias, maka edisi khusus ini bukan liputan Borneo Tribune tetapi menerima tulisan luar. Ditampilkan ulasan akademik dari pakar konflik etnik dari Universitas Tanjungpura, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Beliau juga populer dengan hipotesa 2020-nya. Oleh karena itu pada tempatnyalah porsi halaman edisi khusus ini jatuh kepada Prof Syarif Ibrahim Alqadrie karena sesuai dengan kepakarannya.
Artikel Prof Syarif yang juga dikirimkan ke Harian Equator dan Pontianak Post dimuat pada edisi khusus hari ini. Edisi khusus SP juga memuat tulisan ringan Edi Patebang prihal SMS yang dia terima perihal ajakan masuk di Seruan Pontianak.
Edi yang aktif di Komnas HAM Kalbar cum jurnalis sempat membaca isi draftnya. Pegiat perdamaian ini sempat melakukan koreksi pada nama-nama etnis dan angka-angka dalam draft, namun karena saran-saran itu ditolak, maka ia pun menolak namanya untuk dicantumkan.
Edisi khusus ini juga memuat kronologi dengan petikan-petikan foto secara lengkap sehingga setiap pembaca bisa mengikuti sejak awal kisah SP sapai akhir secara general. Kronologi ini adalah dokumentasi otentik faktual atas rekam jejak peristiwa yang telah terjadi sepanjang proses, hingga ujung permohonan maaf.
Semoga dengan membaca edisi khusus ini semua kita dapat belajar banyak dari kasus Seruan Pontianak yang kemudian berujung pada Seruan Damai.



Baca selengkapnya..