Kamis, 21 Agustus 2008

Menapis Residu Kasus Gang 17

Hasil diskusi kalangan akademik di Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic Understanding (CAIREU) yang menyimpulkan (sementara) bahwa masih ada residu pemilihan gubernur Kalbar tahun 2007 dan kasus Gang 17 patut menjadi fokus perhatian kita bersama. Kita tentu tak ingin terjadi instabilitas di Kota Pontianak menjelang Pilkada 25 Oktober mendatang, maupun pasca Pilkada tersebut.
Kita tak ingin terjadi instabilitas karena selama ini kita telah berhasil melalui titik-titik rawan yang kritis. Salah satu di antaranya adalah gejolak kriminalitas murni bertendensi etnik di Gang 17 sebagai bagian tak terpisahkan dari romansa kekalahan politik Melayu. Sebagaimana diketahui bersama di Pilgub Nopember 2007 tiga kandidat politisi Melayu masing-masing Usman Ja’far berpasangan dengan Laurentius Herman Kadir, Oesman Sapta berpasangan dengan Ignatius Lyong dan HM Akil Mochtar berpasangan dengan AR Mecer dapat dikalahkan oleh pasangan politisi Dayak-Tionghoa, Cornelis-Christiandy Sanjaya. Orang saat itu berhitung 3:1. Tiga kalah, 1 unggul.
Lepas dari siapa menang, siapa pecundang, kita telah berhasil melewati titik kritis kerawanan karena ada kedewasaan masyarakat luas jika dibandingkan dengan segelintir oknum yang berusaha berbuat tindakan anarkis secara sporadis. Massa yang dominan tak mudah tersulut agitasi dan provokasi Kasus Gang 17. Kasus Gang 17 terjadi akibat salah paham melibatkan oknum warga Tionghoa dan Melayu.
Kita juga bersyukur bahwa aparat bertindak cepat dan tepat. Untuk itu atas kerja keras polisi, kita angkat topi dan berharap di arena Pilkada Kota 25 Oktober mendatang, kinerja mereka jauh lebih baik sehingga ada jaminan keamanan yang lebih nyata di mata masyarakat.
Titik rawan Pilkada yang akan dimasuki Kota Pontianak ibarat luka lama kembali terbuka. Kenapa? Karena secara kasat mata, ada 7 pasangan kandidat yang menunjukkan indikasi pecah suara dan politisi Melayu bisa gigit jari. Ada satu pasangan yang bisa menjadi kuda hitam. Kuda hitam ini punya tendensi tampil sebagai pemenang. Rumus matematikanya menjadi 6:1.
Secara matematis, politisi Melayu yang tampil sebagai calon walikota ada 6 orang, sedangkan politisi Tionghoa satu orang. Fragmentasi suara mudah dibaca kendati ramal-meramal tak sekuat fakta sesungguhnya pada 25 Oktober ke depan.
Jika perhitungan kasat mata itu terjadi, kita tak ingin luka lama terbuka berdarah-darah. Kita berharap kedewasaan berpolitik masyarakat justru menguat, dan kekuatan keamanan teruji untuk unjuk gigi tanpa politik belah bambu antara etnis. Bagi kita semua etnis adalah sama. Sama-sama manusia.
Bagi kita, siapa pun pemenangnya, yang menang adalah rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Tuhan Maha Kuasa, yang kepada-Nya kita meminta.
Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat. Jika jagoan kita kalah, silahkan bertarung kembali 5 tahun mendatang secara fair. Adapun pemenang, silahkan bekerja dengan tenang. Silahkan buktikan janji-janji kampanye, dan membangun rakyat adil-sejahtera. Siapapun dia adanya.






0 comments: