Senin, 16 Juni 2008

Liputan Sakaratul Maut

Saat saya mengatakan sah-sah saja kita buat reportase dari alam barzakh, ratusan peserta diklat jurnalistik tertawa. Saya katakan, Bill Kovack yang disebut nabinya jurnalisme Amerika mengatakan, "Journalism is the closest thing that I have to a religion." Secara harfiah, bahwa jurnalisme itu dekat dengan agama.
Nilai-nilai jurnalisme dengan nilai-nilai agama memang tidak bergeser sedikit pun, sama. Bahwa kabar yang disebar harus benar, tidak boleh bohong, jujur, menyampaikan, mendidik, menghibur, melakukan kontrol sosial. Nilainya sama. Bahkan dalam arti kata pun, jurnalis sama dengan reporter, sama dengan wartawan, sama dengan pembawa berita. Nabi berarti pula pembawa berita. Oleh karena itu pembawa berita cq wartawan sebenarnya punya idiologi kenabian.
Berita besar dalam Bahasa Arab disebut An Naba. Berita besar itu sendiri tiada lain tiada bukan disebut the last day, kiamat.
Kiamat sesungguhnya disebutkan sebagai bertabrakannya planet-planet di susunan tata surya atau andromeda. Tapi dalam takaran skala kecil, kematian, atau perkelahian.
Tak jarang saya berpikir, berita-berita bombastis kriminal atau artis memang mengadopsi "berita besar" agar menarik perhatian. Tak jauh-jauh dengan maknawi an Naba.
Tadi malam, Minggu (15/6) saya dihampiri Malaikat Maut. Nyawa saya ditarik dari tubuh. Saya menyadari bahwa maut sudah tiba, dan saya pasrah.
Bagaimana rasa maut itu bekerja? Inilah reportasenya.
Saya sedang berada di sebuah tempat yang tinggi. Tingginya setara tinggi pohon kelapa. Aman dan ibarat sedang menaiki kereta angin.
Istri saya, Andi melihat ke atas dari posisinya di tanah yang datar. "Mas, bisa turun nggak?" tanyanya.
"Bisa," kata saya.
"Tapi tak ada tangga turunnya. Hati-hati," ungkapnya dengan wajah prihatin.
Saya melihat wajah prihatin itu dengan memeriksa tempat saya berada. Boks seperti kotak kereta angin itu saya perhatikan. "Oh ya benar, tidak ada tangganya."
Saya berpikir harus hati-hati untuk melangkah turun. Dan saya tidak tahu lagi kenapa saya berada di kereta angin ini, dus tanpa dinyana, tubuh saya meluncur jatuh ke tanah.
Ada sepersekian detik saat melayang yang saya rasakan tubuh ibarat kapas yang jatuh. Berat badan saya seperti debu. Nyaris tak bisa ditimbang. Beginikah rasanya ajal menjemput nyawa?
Dari kondisi melayang itu saya sempat melihat gedung-gedung dan pemandangan di sekitar, terang dan terpikir dalam benak bahwa semua itu akan saya tinggalkan. Saya sudah akan mati meninggalkan muka bumi ini. "Goodbye everiting."
Di dalam hati saya sempat bertanya, "Sudah siapkah kamu menghadap Allah?"
Tubuh terus melayang jatuh. Terang seperti di tengah hari.
Tapi saya melihat wajah istri saya prihatin. Saya kecut juga meninggalkan orang-orang yang saya cintai, pekerjaan yang saya sukai, serta masih banyak amanah yang belum terselesaikan. Tapi mau apa lagi? Kalau ajal sudah tiba, semua full stop!
Saya memang menerangkan kepada para peserta diklat jurnalistik bahwa saya berpendapat bahwa mati tak usah ditakuti. Kematian pasti akan terjadi. Di mana dan kapan pun dia akan datang. Dan kini omongan itu harus saya buktikan sendiri tanpa kawan!
Dalam beretorika di depan massa, saya sering berkata, "Kita tidak tahu kapan dia si ajal itu akan datang. Tenggat waktu kematian adalah rahasia Tuhan, sebagaimana rahasia kelahiran dan juga jodoh serta rizki."
Saya berargumentasi, jika kematian diartikan sebagai keluarnya ruh dari jasad, maka bagaimana pula berpindahnya ruh dari alam ruh ke rahim? Bagaimana pula berpindahnya ruh dan jasad dari rahim ke dunia?
Saya katakan kepada peserta didik di diklat atau di ruang belajar kampus, bahwa kita sudah dua kali berpindah ruh kita. Pertama dari alam ruh ke alam rahim, kedua dari alam rahim ke alam dunia, dan ketiga--kondisi yang saat ini sedang saya alami adalah dari alam dunia ke alam barzakh, yakni sakaratul maut dan selangkah lagi saya akan masuk ke alam kubur.
Saya bertanya ke muka audiens diklat-diklat jurnalistik atau pengajian. "Bagaimana rasanya saat ruh kita pindah dari alam ruh ke alam rahim?" tak ada jawaban. Kalaupun ada pelajar atau mahasiswa yang nyeletuk menjawab, "Tidak tahu Pak!"
Ada juga yang menjawab, "Tidak sakit pak."
Selanjutnya dari alam rahim ke alam dunia, kita menjerit menangis. Tapi ibu yang dengan darah melahirkan kita tidak menangis. Ia tersenyum melihat buah cintanya. Sedangkan handai taulan di sekitar kita tertawa. Begitu bermaknanya kelahiran kita.
Sedangkan ketika kita masuk ke rahim bumi, kita tidak sempat menangis. Orang-orang di sekitar kita yang menangis.
Kenapa menangis?
Sakitkah kematian itu?
Saya sedang melayang. Dan tiba saatnya tubuh saya mendarat di tanah. "Bruk!" Tubuh saya terhempas.
Saya merasa ada hentaman keras. Saya seperti orang ngeden. Seperti perempuan yang akan melahirkan.
Proses itu sepersekian detik. Nyawa saya terbang. Saya tak sempat mengalami jaza' kematian yang panjang. Padahal tidak sedikit saya menyaksikan saat ruh ditarik itu memakan waktu berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Saat saya merasa ruh saya telah lepas dari jasad. Tubuh saya dipeluk sang istri. Saya terperanjat. Saya terbangun dari tidur. Rupanya saya bermimpi.
Saya rupanya kelelahan dalam keseharian bekerja dan tertidur di Mushalla kantor. Sudah pukul 02.30 WIB.
Saya segera turun dari kantor Harian Borneo Tribune dan menyetir menuju ke rumah. Sepanjang jalan saya menggigil.
"Begitukah rasa sakaratul maut itu? Entahlah."
Mimpi katanya adalah lompatan pulsa di otak. Mimpi katanya eter dari alam. Mimpi katanya petunjuk ilahi. Atau mimpi hanya sekedar kembang tidur?
Seorang rekan saat mendengar cerita saya mengatakan, "Bagus itu...mimpi meninggal berarti panjang umur."
Seorang rekan lagi mengatakan, "Mimpi itu mengingatkan kita untuk ekstra hati-hati..."
Saya tersenyum. Saya rasakan mimpi itu penuh arti. Sangat sensasi. Lalu saya rasakan sekarang setiap tarikan napas saya adalah bonus kehidupan dari Tuhan. Sebab, jika saja saat tertidur itu ruh saya benar-benar sedang ditarik, lalu bukannya mimpi, but, kenyataan...
Lepas dari benar atau tidaknya soal tabir mimpi, saya mohon respon dari pembaca naskah ini. Sekian dulu reportase saya pribadi dari liputan sakaratul maut yang saya alami sendiri. Semoga reportase sakaratul maut dari medan mimpi ini ada faedahnya bagi kita semua. Barakallah.


0 comments: