Jumat, 13 Juni 2008

Ahmadiyah

Saya sedih melihat fenomena pembekuan aktivitas Ahmadiyah. Sedih karena mereka punya hak untuk beribadah menurut kepercayaannya. Sedih karena terjadi kekerasan. Sedih karena sebenarnya lebih banyak titik persamaan daripada perbedaan. Kenapa harus kekerasan? Tidakkah ada cara-cara dialogis yang lebih bermartabat?
Jalan keluar yang disampaikan banyak pihak adalah Ahmadiyah tegas saja menyatakan sebagai agama sendiri di luar Islam. Karena di dalam Islam, nabi akhir zaman adalah Muhammad SAW. Bukan Imam Mahdi.
Memang perasaan umat Islam juga harus ditoleran oleh kalangan Ahmadiyah. Sebab mereka masuk ke arena esensial: aqidah, di mana ikrar syahadatain menyebutkan: laa ilaaha ilallah, Muhammadar rasulullah. Artinya, tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Jelas di syahadat itu tidak ada menyebut Imam Mahdi. Dan kalaupun di dalam QS Ash Shaf disebut Mim Ba'dihismuhu Ahmad, saya pahami sebagai Ahmad tak lain adalah Muhammad SAW. Kenapa? Karena saat lahir, ibundanya, Siti Aminah menamainya Ahmad yang berarti terpuji, sedangkan kakeknya Abdul Muthalib memberinya nama Muhammad yang juga berarti terpuji. Klop-klop saja.
Selanjutnya dalam pengalaman batin beragama Islam saya merasakan Nabi Muhammad sebagai individu yang luar biasa. Masuk akal jika Beliau memang nabi akhir zaman.
Muhammad yatim piatu di umur belia. 6 bulan dalam kandungan sudah ditinggal wafat ayahnya Abdullah, pemuda yang baik hati, putra Abdul Muthalib si penjaga Ka'bag, warisan ayah dari para nabi, yakni Ibrahim.
6 tahun dalam belaian Siti Aminah selanjutnya juga wafat. 2 tahun dirawat kakeknya, Abdul Muthalib juga ditinggal wafat.
Jelas Muhammad adalah anak yang tumbuh tidak seperti anak-anak lainnya. Dia istimewa dilihat dari sudut manapun. Kita bisa sejarahnya, hadits-haditsnya yang bak mutiara. Yang tidak akan bisa lahir begitu saja tanpa campur tangan Allah.
Coba: mana ada orang yang sanggup mengatakan, "Andai engkau meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku, tak akan berhenti Saya berdakwah." Saya sebagai jurnalis belum pernah ketemu ada narasumber yang bicara begitu, bahkan buku-buku kecuali itu memang hadits Muhammad SAW.
Banyak tanda-tanda Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Tak cukup rasanya waktu untuk bercerita. Tapi ayat Quran menyebutkan, "Maa kana Muhammadun abaa ahadin min rijalikum, walakin Rasulullah wakhataman nabiyyin."
Ayat itu dituliskan besar-besar di pintu depan makam Nabi di Raudhah.
Pada hari Jumat tadi siang saat salat Jumat di masjid dekat kantor mata saya tertuju ke foto makam tersebut. Sejenak air mata saya menetes menyelami arti ayat tersebut.
Saya tak menguasai Bahasa Arab, juga bukan ulama, tapi saya maknai ayat itu sebagai, "Siapa yang mengaku-aku Muhammad sebagai ayahnya, bukan, Beliau adalah Nabi Akhir Zaman." Ini penegasan Allah SWT.
Saya memang tidak banyak tahu tentang Imam Mahdi. Tapi saya maknai bahwa Imam Mahdi adalah isyarat esensi bahwa sebelum kiamat tiba, syareat Islam akan tegak sempurna setelah kebahlulan menguasai bumi. Setelah dajjal merajai dunia.
Setelah kesempurnaan itu terwujud, qiamat pun tiba.


0 comments: