Jumat, 06 Juni 2008

Kullu Nafsin Djaaikatul Maut

Begitu bangun pada pukul 05.00 WIB dari ruang mushala kantor Harian Borneo Tribune saya langsung cek layar kaca handphone. Terlihat ada pesan yang belum dibuka. Dan ketika saya buka, inilah isinya:
Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Telah b pulang k rahmatullah Ananda Chadari HM Nurdin HAR jam 00.1.d k bumikan jam 9.30.Tks.
Hatiku pilu mendapati pesan singkat itu. Sepupu sekaliku itu sudah jatuh sakit sejak sebulan terakhir ini tapi tak sempat aku besuk. Kesibukan telah benar-benar membenamkanku dan menjadi jauh dengan keluarga.
Saat putra pamanku itu opname di RSA, aku harus berangkat ke Sintang dalam rangkaian roadshow. Abangku pun begitu. Dia berangkat ke Singkawang. Sehingga yang pergi membesuk hanya ibunda dan adik bungsuku. Aku hanya bisa titip salam. Dan kini Chadari telah tiada. Dia pergi untuk selama-lamanya.
Aku basuh mukaku yang masih belum sempurna benar sebab baru bangun dari tidur. Berwudhu dan kemudian salat subuh. Di dalam ritual ini aku berdoa semoga Chadari khusnul khatimah.
Sebelum meninggalkan kantor, saya cek semua komputer dan pintu. Ada beberapa komputer yang masih menyala dan ditinggal begitu saja oleh reporter yang tentu saja kurang menghargai watt listrik, padahal kita sedang krisis energi listrik. Begitupula printer.
Di pagi yang masih biru itu saya menuju ke rumah. Kepada paman yang kujumpai di depan rumah ibundaku di Sungai Raya dan kepada abang kandungku HM Nur Hasan kukabarkan berita duka yang kuterima via SMS. "Ya, kami sudah tahu," kata mereka. "Kita akan melayat pada pukul 8."
Di rumah saya terhibur dengan panggilan si bungsu, Nada. Wajah lucunya menyiramkan energi positif yang berkali lipat sehingga aku rasanya kuat bekerja seharian. Nada dan Ocha sumber inspirasiku.
Istriku tak bisa ikut serta. Dia harus mengurusi Nada yang pagi hari mesti menjalani proses rutin: mandi, makan, bobo. Maklum masih 9 bulan. Sementara Ocha saya angkut masuk TK.
Saya menyetir mobil sekalian bersama ibunda, adikku Ida Afiyanti serta putranya, Dawam. Juga ikut kakak iparku Kak Ida, adik iparku Moeis dan keponakanku Tasya.
Tepat pukul 8.15 kami sudah tiba di bilangan jalan HM Suwignyo. Rumah duka sudah disesaki keluarga, tetangga dan handai taulan.
Pada jam begini saya sudah pada gelombang salat jenazah yang ketiga. Jenazah Chadari sudah selesai dimandikan dan dikafankan. Berarti tinggal 1 fardhu kifayah lagi yang mesti dilakukan, yakni menguburkan.
Chadari punya cerita tersendiri denganku. Ia salah satu penggagas foto bareng kami para pria sepupu sekali. Kebetulan orang tua kami keturunan H Abdurrachman punya 6 putra-putri. Nah kami ber-6 mewakili cucu-cucu HAR.
Yang paling getol untuk menggelar foto bareng Laskar Cucu HAR tersebut adalah Iqbal dan Chadari. Itu yang aku ketahui.
Iqbal yang mahasiswa UMP putra dari H Tajudin Fattah-Hj Azizah HAR telah terlebih dahulu menghadap ke haribaan-Nya. Iqbal tewas dalam laka lantas usai salat Jumat lk 5tahun yang lalu. Kini, Chadari menyusul wafat juga hari Jumat. Uniknya, Chadari yang putra H Nurdi HAR-Hj Zubaedah ini juga anak bungsu laki-laki.
Sepupu sekaliku yang bungsu dari saudara-saudara mereka adalah Abdusyakir. Dia kini sudah berumah tangga. Istrinya pernah keguguran dan kini sedang mengandung bayi pertama--kalau saya tak keliru sudah 6 bulan.
"Kir, hati-hati lho. Yang tersisa dari foto itu tinggal 4 orang. Dan yang pergi duluan semua bujangan. Untung Akir udah merid," goda saya.
"Saya juga bilang begitu ke Wak Ma--bibi ibunda Khalifudiansyah--kini bekerja di Bank Kalbar. Saya mau bilang hati-hati Wak Ma, tapi saya urungkan," katanya mengulum senyum. Maksud Akir yang suka guyon ini dia ingin meledek Wak Ma--Hj Rahmah HAR--bahwa bisa saja ajal mendatang adalah...
"Tapi saya urungkan. Wak Ma nyerocos bangga bahwa dulu Dian berambut panjang, tapi sekarang dia sudah rapi dan ganteng pula..."
Foto kami memang rapi. Pakai jas dan dasi. Kami Laskar Cucu HAR bangga dengan foto itu, bahkan dicuci cetak dengan ukuran besar, lalu dipajang di dinding rumah, atau di album kenangan.
Sepupu satu lagi putra dari Hj Siti - H Rivai H Abbas. Namanya Shalahuddin. Dia kini menjadi PNS PTA di Ketapang. Dia sudah menjadi ayah dari dua buah hatinya.
Di antara kami berenam, dua sudah mangkat, dua bertugas di luar daerah, dan hanya aku dan Akir yang bisa bersama mengurusi Chadari hingga ke pemakaman.
Akir tampak menyambut tamu. Aku sendiri hanya bisa menyempatkan pagi ini untuk all out. Mulai dari ikut mensalatkan, ikut memikul dan menguruk tanah pusara. Setelah ikut mengaminkan tahlil dan talkin, aku kembali terbenam dalam agenda kegiatan yang bertumpuk-tumpuk dan tak pernah habis diuruk.
Saat memikul keranda jenazah, saya terbayang memikul jenazah dari Ka'bah ke Ma'la di Kota Mekah. Memang ketika menyelenggarakan ibadah haji tahun 2006-2007 lalu, saya belasan kali ke Ma'la yang di kompleks pekuburan itu ada istri Rasulullah Sayidinatul Khadijah. Nama yang mirip nama ibundaku.
Saya juga terbayang memikul jenazah dari Raudah ke Makam Baqi di Kota Madinah.
Saya mendapat penjelasan dari H Djuni Hamidi (Alm) bahwa memikul jenazah pahalanya sangat besar. Apalagi di Haramain.
Saya setuju, kendati bukan bertujuan secara ekonomis untuk menumpuk pahala. Saya merasakan memikul jenazah dan memakamkannya ada banyak ilmu yang saya peroleh. Bahwa hidup dan mati itu batasnya amat tipis. Setipis kulit ari. Setipis kelopak mata. Saat kita buka, hidup. Saat kita menutup, mati.
Kita diajarkan untuk bersyukur saat bangun tidur karena tidur adalah kematian yang singkat. Kita juga dianjurkan bersyukur ketika bersin, karena bersin juga kematian yang sepersekian detik.
Kini, mumpung masih hidup, beriman dan beramallah, karena tidak putus amal ibadah anak cucu Adam kecuali tiga. Sidqah jariyah. Ilmu yang bermanfaat. Anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.
Chadari meninggal karena komplikasi. Paru-paru dan ginjal. Ia perokok berat sejak usia remaja. Tentu hal ini tak laik ditiru, walau kita yang tidak merokok bukan berarti tidak merokok karena kita tergolong perokok pasif yang bisa juga terkena paru-paru.
Ketika menguruk tanah, saya berpapasan dengan Ibrahim. Ia sepupu dua kaliku. Sapaan akrabnya Yem. Yem tenang-tenang saja menguruk tanah sambil di bibirnya melekat sebatang rokok. Dia kempas-kempus menarik dan membuang candu dari hidungnya. Sementara yang dimakamkan adalah salah satu dari korban rokok.
Saya pikir, iklan rokok itu hebat sekali. Bahkan kematian di depan mata pun tak mudah memutus hubungan mesra dengan rokok.
Bacaan talqin yang dipersoal warga Muhammadiyah yang dinilai khilafiyah bahkan bid'ah (sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Nabi) selalu menarik perhatianku. Kendati memang mungkin tidak ada dalam anjuran ritual ibadah, tapi manfaatnya kurasakan besar. Banyak sekali nasihat-nasihat emas di dalamnya, seperti kutipan ayat, "Kullu nafsin dzaa ikatul maut!" Artinya: Setiap makhluk hidup pasti mati..."
Begitupula ayat-ayat tentang ajal yang semakin menambah keimanan. Di mana kita karena iman bukannya semakin takut dengan mati, tapi mendekatkan diri kepada Tuhan. Toh kematian adalah menghadap Tuhan.
Kalau saban hari sudah biasa menghadap Tuhan, minimal salat 5 kali sehari, maka kenapa takut mati? Bahkan kalangan sufi merindukan kematian...
Usai menyelenggarakan fardhu kifayah, saya salat Jumat di Masjid Quba, dekat rumah. Uniknya sang khatib mengurai tentang maut. Sesuatu yang berangkaian dengan kenyataan yang sedang saya hadapi sejak subuh tadi.
Begitupula saat saya menemani penasihat hukum HBT, Dwi Syafriyanti saat menemui Dr Hermasnyah dalam rangka menyongsong seminar S2-nya pada Sabtu (7/6) sore saya mendapatkan untaian emas soal hidup dan kehidupan. Menurut dosen yang punya idealisme tinggi--walau dinilai killer oleh para mahasiswanya akibat gigih mempertahankan syarat-syarat keilmiahan--tidak putus amal ibadah oleh kematian kecuali sidkah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya. Katanya, jika dikaji secara mendalam ketiga unsur tersebut, semuanya mengarah kepada satu hal: menebar kemanfaatan kepada lingkungan. Itulah yang disebut nilai universal yang di mana saja berlaku sama.
Hermansyah yakin, suatu saat orang akan bicara tentang keadilan, kejujuran, kebaikan, idealisme...Pertahankan idealisme itu kawan.





0 comments: