Rabu, 25 Juni 2008

Summary Tragedi Mandor

Mengapa Harian Borneo Tribune dengan Yayasan Tribune Institute-nya getol membicarakan Tragedi Mandor? Ingin rasanya saya meluahkan apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan, dan apa yang ingin saya perbuat.

Sebagai jurnalis yang setia pada profesinya, saya tidak puas dengan reportase yang monoton. Di mana setiap tanggal 28 Juni reporter sibuk memberitakan upacara demi upacara. Pernyataan demi pernyataan, atau statement demi statement. Saya ingin berbuat sesuatu untuk menjadikan sesuatu itu sesuatu. Karena saya yakin sesuatu itu besar, bahkan amat sangat besar.
Betapa tidak besar, karena dari segi jumlahnya, korban genocida Jepang (1942-1944) mencapai 21.037 jiwa di kala jumlah rakyat Kalbar masih kurang lebih 1 juta jiwa kala itu. Sebuah tragedi kemanusiaan yang amat sangat besar sehingga Kalbar setback ke belakang setelah keemasan masa kerajaan-kerajaannya.
Para tokoh sering mengatakan bahwa Kalbar mengalami lost generation. Kalbar kehilangan satu generasi.
Generasi yang hilang itu adalah generasi pejuang. Mereka para nasionalis itu sedang menyusun gerakan perjuangan kemerdekaan, yang dikenal dengan perjuangan pemuda di Medan Sepakat.
Para pejuang seperti dr Rubini diculik. Kepalanya disungkup dengan karung, kemudian secara keji disiksa serta dipenggal kepalanya di Mandor.
Kala itu Mandor merupakan lokasi hutan rimba. Jaraknya 80 km dari Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi Kalbar.
Banyak lagi tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh akademik, bahkan mereka yang tahu baca-tulis diculik Dai Nippon. Mereka dijadikan romusha dan sebagian dihabisi di Mandor.
Aksi culik Dai Nippon berlangsung dengan kekerasan sehingga menumpahkan darah dan air mata. Apalagi harta, tak usah ditanyakan lagi. Emas, rupiah dan permata dikuras habis.
Saya pernah wawancara bersama kakak kandung Sultan Hamid, Ratu Perbu saat saya masih jadi reporter kampus tahun 1993-an. Beliau menceritakan bahwa harta benda yang dirampas Jepang tak terkirakan. Dan hal itu pula salah satu penyebab tidak lengkapnya harta benda pusaka di keraton Kadriah Pontianak. Penyebab lain tentu saja karena kemiskinan sedikit harta benda tertinggal dijual ahli waris demi mempertahankan hidupnya.
Saya merasakan derita dan nestapa itu. Apalagi di benak saya teringat Wak Sempo. Beliau nenek-nenek yang saya kenal di kampung saya di Sungai Raya Dalam, pinggiran kotamadya Pontianak.
Wak Sempo bercerita bahwa sebagai gadis, dia takut diculik Jepang. Untuk itu, katanya, jika tentara Jepang masuk kampung, para orang tua menyembunyikan anak-anaknya. Takut dijadikan jugun ianfu. Sayang, Wak Sempo tak bercerita lebih lanjut tentang hal itu. Mungkin karena saya masih anak-anak usia SD.
Tapi setelah saya jadi reporter, saya tahu ada jugun ianfu di Kalbar. Cuma sayang, satu sisi ini belum pernah dituliskan secara lengkap.
Jepang belum pernah membuka diri untuk kisah genocidanya di Kalbar.
Berikut sekedar cerminan penderitaan Kalbar lantaran leader-leadernya diculik dan disungkup, lalu dipenggal kepalanya secara tak berprikemanusiaan.
1. Tuanku Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Kerajaan Pontianak
2. Tuanku Muhammad Ibrahim Tsfioeddin, Sultan Kerajaan Sambas
3. Tuanku Gusti Abdul Hamid, Panembahan Kerajaan Ngabang
4. Tuanku Ade Muhammad Arief, Panembahan Kerajaan Sanggau
5. Tuanku Gusti Dja’far, Panembahan Kerajaan Tayan
6. Tuanku Muhammad Taufiek, Panembahan Kerajaan Mempawah
7. Tuanku Gusti Saoenan, Panembahan Kerajaan Matan/Tanjungpura, Ketapang
8. Tuanku Tengku Idris, Panembahan Kerajaan Sukadana
9. Tuanku Gusti Mesir, Panembahan Kerajaan Simpang
10. Tuanku Raden Abdoel Bahri, Panembahan Kerajaan Sintang
11. Tuanku Gusti Kelip, Panembahan Kerajaan Sekadau
12. Tuanku Syarif Saleh Alayidrus, Panembahan Kerajaan Kubu
Tak hanya 13 tokoh ini saja yang dihabisi. 21.037 jiwa lenyap dalam 2 tahun! Ada jurnalis, ada warga Tionghoa, Dayak, Melayu, dll.
Sepuh keluarga Mantan Kapolri, Hoegeng, kakek Roy Marten, keluarga Mantan Gubernur DKI Basofi Soedirman, adalah bagian dari korban Jepang di Kalbar.

Lagi-lagi ini kisah besar. Tak kalah jika dibandingkan derita Jepang atas Heroshima dan Nagasaki.

Peristiwa di Kalbar ini besar. Lebih besar daripada peristiwa westerling di Sulsel.

Peristiwa Mandor melibatkan Indonesia, Jepang, Australia yang menjadi tentara sekutu dan mengadili Jepang ketika itu, serta Malaysia. Kenapa? Karena sebagian rakyat yang tak kuasa menderita di Kalbar, melarikan diri ke Malaysia. Bahkan ada catatan seorang pastur yang masih hidup saat ini serta telah menulis buku tentang riwayat kekejaman Jepang saat itu. Dia disiksa. Kuku-kukunya dicabut. Sebuah kisah yang mirip apa yang dilakukan Jepang pada Sultan Muhammad. Raja keenam di Kota Pontianak.

Peristiwa Mandor sangat besar. Baik sekali dijadikan bahan pelajaran berharga. Bahwa perang hanya melahirkan korban.

Kita mesti riset kasus ini untuk bahan edukasi. Melibatkan Jepang dan Indonesia tentu saja. Lebih khusus lagi dalam koridor persahabatan, bukannya dendam.

Kita patut memberikan perhatian kepada para korban yang kini hidupnya miskin, tak bisa sekolah...

Wilayah Makam Mandor sendiri perlu dijadikan semacam monumen nasional (Monas). Kalau bisa why not?
Banyak pelajaran bisa diambil jika di sana bisa dibangun diorama, studio edukasi, tempat pelatihan kepemimpinan dll. Okelah, kita ambil sisi-sisi positifnya bagi pemekaran daerah dan pembangunan wilayah Kabupaten Landak dan Provinsi Kalbar.

Dialog demi dialog kami gelar, kecil maupun besar. Seminar demi seminar pun digelar. Hanya belum pernah melibatkan Prediden RI dan PM Jepang. Kalau itu terlalu besar, minimal melibatkan Gubernur Kalbar dan Dubes Jepang.

Kita perlu menyisihkan waktu untuk mengurusi korban korban ini. Hak-hak mereka perlu diberikan dalam tatanan pembangunan masyarakat dunia yang berkeadilan.

Tribune Institute mencoba membuka diri untuk berbuat sesuatu agar menjadi sesuatu. Sesuatu yang berarti itu adalah etos kejuangan yang diwariskan para pendahulu untuk kemudian diteruskan lagi oleh generasi muda dengan semangat kemanusiaan.






1 comments:

ajir mengatakan...

ass, bang apa yang bang tulis benar sekali, tapi itu baru sebagian bak gunung es lah mas, yang membuat saya sedih adalah sedikit sekali masyarakat kalbar khususnya mengetahui banyak hal tentang mandor, bukti kongkrit bang tgl 28 juni adalah hari berkabung daerah tpi sedikit sekali yang memasang bendera setengah tiang , ndak tau kenapa, kita harap peran semua pihak lah terutama sekali media massa supaya lebih gencar dalam pemberitahan, kalau bagi saya sebagai mahasiswa dan sekaligus aktivis kampus inssa Allah akan terus berjuang,insa Alah tgal 28 maret kita akan ziarah kemakam juang mandor dalam rangka kegiatan PKWI kebetulan saya adalah ketua panitia pesertanya dari mhs PPKN STKIP PONTIANAK sekitar 350 orang, jika abang tertarik untuk mengekspos kegiatan positip ini n bisa bantu kami hub aja no saya bang : 0852 52 169019