Direktur Ruai TV, Drs Stefanus Masiun, SH baru saja menggelar lokakarya di media elektronik televisi miliknya. Lokakarya itu diikuti 40 peserta dari berbagai unsur dan disiplin ilmu.
“Isu apa sekarang yang paling mengancam? Jawabnya, di antara sekian banyak potensi konflik, berada di nomor satu adalah sawit,” ungkap aktivis LSM yang sempat menjadi kandidat Bupati Sekadau tersebut dalam diskusi panel yang digelar ANPRI di Hotel Gajahmada, Sabtu (14/6) kemarin.
Sawit satu nama yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sawit adalah jenis tanaman palma yang bagi Malaysia adalah anugerah sehingga negara tersebut makmur dari industri minyak kelapa sawit.
Sawit juga sudah tidak asing bagi Indonesia karena di Sumatera, nyaris perkebunannya dipenuhi sawit. Bahkan di Mbah Jambi, terkenal sebagai sentra pembibitan unggul sawit di Asia Tenggara.
Kemakmuran Malaysia dihadapkan pada sempitnya lahan yang mereka miliki. Apalagi sekarang CPO bisa diolah menjadi biodiesel sehingga menjadi alternatif atas krisis energi bahan bakar fosil yang naiknya harga mencapai 125 USD/barel.
Uang yang banyak menyebabkan mereka ekspansi. Salah satu daerah tujuan ekspansi sekaligus investasi adalah Kalbar, karena Kalbar berbatasan darat langsung dengan Malaysia.
Investasi sawit sendiri di Kalbar tergolong gila-gilaan. Nyaris semua kabupaten punya izin perkebunan sawit. Total arealnya tak kurang dari 4,5 juta hektar.
Justru di sana pula potensi konflik itu berada. Bukan hanya potensi konflik berupa bencana alam akibat monokultur seperti meledaknya serangan belalang atau punahnya orang utan, tapi juga dampak kemanusiaan di mana proses pembebasan lahan tak jarang abai dengan keadilan. Konflik terus berkecamuk tanpa melihat unsur etnis lagi. Lihat contoh kasus baku tembak di Melawi. Termasuk demo demi demo anti sawit yang tak jarang berakibat kaca kantor perkebunan berderai dan sejumlah tersangka ditangkap.
Pengakuan yang sama disampaikan tokoh masyarakat, Thadeus Yus dan Makarius Sintong saat berdialog dengan Kapolda yang diwakili Kadispen, Suhadi SW, Senin (19/5) silam. Kata mereka warga banyak mengeluhkan kepada mereka soal ketidakadilan dari ekspansi sawit ke daerah mereka. Khususnya soal pembebasan lahan.
Laporan-laporan tersebut diabsahkan oleh Sidik anggota Perwakilan Komnas HAM Kalbar. “Di lembaga kami laporan tertinggi memang konflik sawit,” ujarnya. Konflik etnis realitasnya telah bergeser.
Senin, 16 Juni 2008
Konflik Etnik Bergeser ke Konflik Sawit
Posted by Noeris at 06.43
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar