Senin, 16 Juni 2008

Amankah Kalbar?

Merajut harmonisasi di Kalbar adalah proyek besar. Secara fisik kita melihat kondisi keamanan Kalbar sedang baik-baiknya. Di dalam kondisi terbaik itu patut bagi kita merajut benang keamanan lebih rapat, lebih kuat, dan lebih mengikat.
Dialog-dialog dan kerjasama yang sudah berlangsung saat ini dengan penuh kesadaran harus didesain, dipindai dengan indah, serta disosialisasikan agar membumi. Kedamaian yang indah itu akan menjadi hadiah utama bagi kehidupan masyarakat Kalbar.
Kondisi sosial politik di Kalbar seolah mengakui bahwa harmonisasi antaretnis di Kalbar yang dahulunya laten negatif, saat ini potensi konfliknya sedang mengecil. Bahkan cenderung tumbuh ke arah positif.
Mengecilnya bahaya laten tersebut seiring dengan terbukanya penerapan demokratisasi di Kalbar di mana puncak-puncak jabatan politik bisa diisi oleh siapa saja, selama mereka melalui proses politik yang benar seperti Pilkada.
Untuk proses pilkada gubernur yang berlangsung akhir Nopember 2007 lalu telah ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar yang baru, yakni pasangan Drs Cornelis, MH dan Drs Christiandy Sanjaya, SE, MM. Kemenangan ini secara etnis merupakan perpaduan kemenangan antara Dayak-Tionghoa, di mana kemudian disusul kemenangan Hasan Karman, SH, MM yang berpasangan dengan Drs Edy R Yacoub, M.Si refresentasi pasangan kemenangan Tionghoa-Melayu untuk Kota Singkawang. Kota Singkawang adalah kota terbesar kedua setelah Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Kedua proses pilkada yang aman, damai, sukses dan lancar tersebut adalah modal sosial kita di Kalbar yang tak dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia. Kita melihat Maluku Utara yang sampai saat ini berkecamuk akibat konflik Pilkada Gubernur. Begitupula yang terjadi di Sulawesi Selatan, provinsi yang notabene jauh lebih besar, lebih tinggi tingkat IPM-nya, hingga lebih mayoritas unsur-unsur etnisnya. Etnis Bugis.
Modal sosial Kalbar berupa keamanan yang stabil dalam dasawarsa terakhir harus terus dipupuk dan dipelihara. Termasuk menghadapi pilkada di Kota Pontianak, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau (Nopember 2008).
Kita mesti mengkaji kondisi stabil ini untuk merajut harmonisasi lebih hakiki. Terbukti dengan langgam kekuasaan yang ada sekarang, kondisinya relatif sama. Artinya, untuk mewujudkan kesejahteraan maupun keadilan adalah proses yang panjang. Dia tidak seperti membalik telapak tangan, atau pesulap, yang hanya dengan mengatakan bim salabim adra gadabra sapu tangan berubah menjadi uang. Kesejahteraan tidak serta merta dirasakan dengan cukup bergantinya gubernur, wakil gubernur, walikota, wakil walikota, bupati atau wakil bupati. Begitupula dengan pimpinan dan anggota DPRD yang notabene wakil-wakil rakyat.
Dalam proses mencapai kesejahteraan seperti yang diidam-idamkan masyarakat, di mana kebanyakan konflik juga akibat faktor-faktor ekonomi, jargon-jargon kampanye tidak bisa sekali kata langsung menjadi kenyataan. Dia terus berproses di mana membutuhkan kerja keras, membutuhkan waktu, dan membutuhkan kerjasama yang solid semua unsur masyarakat. Mulai dari pemerintah, wakil rakyat, tokoh masyarakat, akademis, hingga rakyat yang paling udik sekalipun.
Kerjasama yang solid, lintas etnis, agama, bahkan parpol adalah kondisi yang saat ini amat sangat kita butuhkan dalam mengisi stabilitas di Kalbar.
Memang benar, sudah tidak ada konflik etnik yang terjadi. Bahkan ada senggolan-senggolan sedikit yang dahulu menyebabkan person antaretnik terlibat kriminalitas, atau laka lantas, tapi tidak lagi meletup sebagai aksi anarkis massa seperti di bawah dekade 10 tahun yang lalu.
Kekebalan Kalbar sudah relatif terasa dan terbuktikan dengan kenyataan sekarang. Konflik lahan, konflik BLT, konflik illegal logging dan lain sebagainya kita pahami sebagai pergeseran arena konflik. Potensi konflik itu harus kita damaikan sejak dini.
Lalu, bagaimana kita merajut kedamaian yang abadi di Kalbar jika arena konflik itu telah bergeser? Jawabannya tiada lain, kita harus mulai dari diri sendiri. Dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kantor dan desa-kota sendiri.
Gerakan mewujudkan tatanan kedamaian harus dimulai dari hal yang kecil-kecil dan dimulai sejak dini. Misalnya kita tidak mudah terprovokasi, tidak mudah terhasut provokator, lebih memandang konflik sebagai peluang untuk mendamaikan dan memetik hikmah-hikmahnya.
Kita sudah lama belajar bahwa dalam konflik selalu yang kalah jadi abu, menang pun hanya menjadi arang. Artinya, sama-sama merugi.
Agar tidak merugi kita semua harus punya keyakinan yang sama bahwa masa depan harus dikreasi secara bersama-sama, saling ingat mengingatkan dalam kerangka berpikir objektif—tidak subjektif—yang benar, bukan yang illegal—serta dalam pola komunikasi yang santun serta beretika. ■




1 comments:

infogue mengatakan...

artikel anda bagus dan menarik bagi pembaca di seluruh nusantara,promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/amankah_kalbar_