Selasa, 24 Juni 2008

Piala Eropa Buat Kalbar

Terdengar aneh: Piala Eropa buat Kalbar, sebenarnya tidak ada yang aneh.
Piala Eropa yang sedang berlangsung di Austria-Switzerland sejak Sabtu (7/6) kemarin telah memberikan informasi, pelajaran sekaligus hiburan buat kita di Kalbar. Provinsi yang tidak bisa dikatakan tidak—suka bola.
Di mana-mana orang berbicara tentang bola. Tidak hanya di koran-koran, majalah, radio dan televisi, tapi juga sampai ke warung-warung kopi. Bahkan intensitas jumlah penonton bareng di warung kopi semakin meningkat menuju laga semifinal dan final yang bakal jatuh pada Minggu (29/6) mendatang.
Jika kita menyempatkan waktu keluar rumah dan memasuki jalan Tanjungpura serta Gajahmada, maka akan tampak deretan parkir kendaraan bermotor jauh lebih panjang daripada biasanya. Meja kursi di warung-warung kopi penuh. Nyaris tak ada kursi yang kosong, kendati sudah dini hari. Maklum, pertandingan di perdelapan final seluruhnya dihelat pada pukul 01.45 WIB.
Tentu tidak hanya di sepanjang jalan Tanjungpura dan Gajahmada di Kota Pontianak saja penonton menyemut. Aktivitas nonton bareng juga marak di kota-kota kabupaten dan kecamatan di seantero Kalbar. Mereka menikmati aksi-aksi akrobatik para atlet tenar maupun mega bintang dunia seperti Ronaldo, Ballack, Nuno Gomez, Padolwski, Van Nielstroy, Donadoni dan lain-lain.
Segudang informasi telah dan akan terus kita terima melalui akses informasi yang tiada tara besarnya di era kesejagatan ini. Muatan informasi itu bagaikan air bah muntah lewat radio, televisi, koran, majalah, tabloid, hingga analis-analis sepakbola.
Bobot informasi itu tidak hanya fokus di bidang olahraga, tapi juga menyentuh ranah industri, bisnis, pariwisata, hingga budaya. Dapat dilihat betapa besar persiapan yang harus dilakukan, melibatkan puluhan ribu petugas, melibatkan investasi dana yang miliaran.
Mampukah kita melakukan even-even sebesar ini? Kalau belum seperti Piala Eropa, lalu kapan? Sampai kapan kita hanya bisa menjadi penonton?
Lapangan bola dengan para aktor kesebelasan tampil sudah mengalahkan elegannya para selebritis. Tak urung kepala negara menyempatkan diri menonton dan menyemangati tim kesebelasan, wakil dari negaranya.
Kekalahan tim mampu menyuramkan suatu negara. Sebaliknya, kemenangan sebuah tim bisa mengharu-birukan suatu negara secara total.
Lihatlah Jerman yang melibas Portugal secara dramatis 3-2. Sedikitnya 14.000 warga secara spontan berkumpul di Bundaran Kota Berlin. Mereka konvoi sekaligus mengibar-kibarkan bendera Jerman sebagai ungkapan rasa sukacita. Di sini kita belajar tentang nasionalisme gaya baru. Nasionalisme tumbuh jika ada prestasi yang mengatasnamakan negara.
Kapan kita di Kalbar bisa begitu? Apa yang bisa kita andalkan? Apakah desain persepakbolaan kita akan bisa mencapai titik jitu itu? Kalau belum dalam satu dasawarsa ini, lalu kapan? Sampai kapan kita hanya bisa menjadi penonton saja?
Gol-gol yang tercipta dengan kelas dunia menunjukkan desain yang rapi dari sebuah serangan. Bola dilesakkan dari kaki ke kaki. Bola itu melewati garis-garis yang sulit karena harus menembus pertahanan lawan yang memagar betis secara rapat. Sama sekali bukan perkara mudah menggoreng bola untuk disarangkan ke jala gawang lawan. Terlebih di unit web ada kiper laksana spiderman. Sekali tangkap, bola lekat.
Bola tidak hanya bergerak dari kaki ke kaki, tapi juga melibatkan intelejensi. Melibatkan kepakaran. Melibatkan ilmu pengetahuan dan skill atau keterampilan. Melibatkan arsitektur bola sejak zaman primitif hingga mutakhir. Melibatkan manajemen yang rapi.
Si bundar tak akan melekat di kaki seorang atlet jika atlet tersebut tidak berlatih dengan penuh disiplin. Mega bintang Zinedine Zidane berujar, “Saya berlatih dua kali lipat dari biasanya orang-orang berlatih.”
Hasilnya? Zidane menjadi maestro yang belum terkalahkan nilai transfernya hingga saat ini. Nilai transfer puncak yang diterimanya mencapai Rp 700 miliar. Mengalahkan APBD Kota Pontianak dalam satu tahun.
Coba pikir dengan cermat, siapakah warga Kalbar yang punya gaji sebesar Rp 700 miliar dalam satu tahun? Tidak ada. Tapi Zidane membuktikannya.
Lalu sampai kapan kita berdiam diri? Para atlet bola yang kita tonton itu telah bergelimang materi dan prestasi. Kita jika berkeinginan menuju ke gudang prestasi seperti itu juga perlu kerja keras. Kerja keras seperti dicontohkan Zidane. Bekerja dua kali lipat lebih keras dari apa yang dilakukan oleh orang-orang lainnya.
Tak dapat dibayangkan, jika warga Kalbar yang totalitasnya mencapai 4 juta jiwa ini. Jika semuanya pekerja keras, tak akan ada lahan tidur yang tidak produktif. Semua berbuah. Semua menghasilkan uang. Semua menghasilkan materi dan prestasi.
Jika kita belum mampu mengukir prestasi di lapangan hijau sepakbola, minimal lapangan hijau pertanian kita. Jangan hanya ditonton, tapi diolah.
Luas Kalbar yang 1,5 kali luas Pulau Jawa plus Bali mengandung kekayaan yang tiada tara. Semua itu tergantung kepada penduduk Kalbar untuk menjawabnya dari satu sudut pandang bola Piala Eropa.
Piala Eropa yang finalnya akhir bulan ini akan menobatkan salah satu dari tim yang digdaya, tapi pemenangnya bisa jadi Kalimantan Barat. Why? Tentu, jika warga Kalbar bisa memetik pelajaran yang sangat berharga dari Piala Eropa. ■




0 comments: