Entikong, Rabu, 4 Februari 2008 pukul 04.30 WIB. Sedih dan bangga bercampur baur ketika berada di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Bangga karena sedikit banyak ada juga perubahan di PPLB Entikong. Sedih karena Indonesia seperti raksasa yang sedang tidur sehingga dengan tidur panjangnya itu harta bendanya dikuras para pihak yang tidak bertanggungjawab.
Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektar hutan wilayah Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia. Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing butuh perhatian serius jika tidak ingin kasus Sipadan-Ligitan terulang.
Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antarpelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal logging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Departemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia.
Jalan-jalan tikus sepanjang perbatasan memang banyak sekali. Peluang ekspor-impor gelap juga sangat memungkinkan.
Dibutuhkan kekompakan dari semua lapisan masyarakat Indonesia untuk mengentaskan masalah-masalah tersebut di atas. Tidak boleh ada ego sektoral dalam mengubah halaman belakang menjadi garda terdepan bangsa.
Ego sektoral dan lemahnya tata cara kerjasama menyebabkan perbedaan antara Malaysia dan Indonesia sangat kentara. "Lama sekali perjalanan antara Kuching ke Pontianak," ujar Andre seorang warga Jerman yang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke Kota Pontianak.
Andre terbang dari Jerman ke Sarawak. Rekannya Dorina Luise Schulte yang magang di Borneo Tribune - Tribune Institute menemuinya di Kuching. Mereka menikmati pariwisata di Jiran. "Nuris, senang sekali di Sarawak," tulis SMS Dorina kepada saya. "Di sini banyak sekali objek wisata," sambungnya.
Saya tahu turisme di Jiran digarap apik. Mulai dari tata kelola alamnya, tata kotanya, hingga oleh-olehnya. Semua disatu-padukan menjadi sajian yang unik. Mereka berhasil menjual kemolekan Borneo.
Pariwisata Sarawak memang kategori maju. Mereka mendisain kota dan desanya dengan perencanaan yang matang. Tidak tambal sulam, tapi konsisten. Mereka bahkan menyewa konsultan khusus untuk itu. Dan hasilnya seperti dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri. Infrastrukturnya berkualitas tinggi. Jalan-jalan rayanya membentang sejak kota hingga desa-desa.
"Untuk ke perbatasan Aruk dari Kota Kuching dapat ditempuh 1,5 jam saja," kata Andi yang menjadi sopir rombongan kami. "Terdapat banyak jalur ke Aruk. Saya tahu ada tiga," kata Andi lagi.
Ruas jalan ke perbatasan dari arah Jiran sudah bercabang-cabang. Semua mulus dan berkualitas. Wajar jika jalan itu menjadi magnet bagi ekonomi berupa arus orang dan barang. Orang itu seperti TKI-TKW, baik legal maupun ilegal. Begitupula sayur-mayur, sembako, hingga kayu. Baik legal maupun ilegal.
Alhasil, jalan, listrik, air dan telekomunikasi di Jiran sudah oke punya. Sangat jauh meninggalkan saudara tuanya yang masih terseok-seok menata "rumah-tangganya" yang tak jarang untuk urusan membangun patung naga di Singkawang pun "ributnya" tak ketulungan.
Sarawak yang multietnis dan agama sudah menikmati banjirnya turis hingga 4-5 juta per tahun. Kita? Semua orang bisa menjawabnya.
Andre tiba di Pontianak tengah malam. Matanya merah. "Ratusan kilometer pastinya dari Kuching ke Pontianak," komentarnya saat saya jemput di depan Hotel Orchardz.
Menurut Andre, perbedaan utama antara Kuching dan Kalbar adalah jalannya. Di Sarawak jalannya lebar-lebar dan besar, sedangkan di Kalbar jalannya sempit dan setiap lima menit ada lubang. "Persis tak bisa tidur nyenyak di sepanjang jalan," ujarnya tertawa.
Andre ketiban sial pula. Saat perdana ke Kalbar terjadi banjir di Sekayam. Ia terpaksa ganti mobil angkutan umum. Tubuhnya yang jangkung hampir 2 meter melengkung di kursi yang tidak empuk. Kursi yang tak bisa ditekuk buat tidur. Maklum bis besar terpaksa parkir di pinggir jalan dan ia naik bis ekonomi. Ia merasa tersiksa sekali.
Dalam hal transportasi di negara kita ini juga belum kompak. Pengusaha masih bertahan dengan mobil-mobil tua. Bank-bank sungkan mengucurkan kredit lunak buat pengusaha agar mudah berusaha. Hasilnya? Itulah kata Andre.
Jika citra jalan dan kendaraan yang tersedia di Kalbar seperti ini, bagaimana cara kita berkompetisi dalam hal pariwisata? Bagaimana kita hendak memenuhi harapan jika PPLB Aruk dan Badau dibuka? Bahwa kita hendak meningkatkan ekonomi rakyat kita seperti juga seringkali diungkapkan Bupati Sambas Ir H Burhanuddin A Rasyid dan Bupati Kapuas Hulu Drs H Abang Tambul Husin?
Saat Dirjen Ciptakarya, Joko Yuwono, bertandang ke PPLB Aruk, Bupati Burhanuddin begitu berharap infra struktur dibantu sehingga dengan dibukanya PPLB Aruk kelak, rakyat Sambas akan meningkat pendapatan per kapitanya. Begitupula harapan Bupati Tambul Husin saat menyambut enam Dirjen meninjau PPLB Badau. "Jika rakyat tidak berinisiatif memanfaatkan peluang, bisa-bisa Jiran yang mendulang keuntungan besar karena modal besar mereka," kata Tambul.
Jika tata cara evolusi yang terjadi di Indonesia terus berlangsung lambat, maka kita akan terus digilas roda sejarah sebagai bangsa terbelakang. Terkecuali ada konsolidasi yang kuat sehingga terjadi partisipasi aktif di segala lini dan sanggup mengubah evolusi lambat menjadi evolusi cepat. Menjadi revolusi. Revolusi yang dibahasakan gerakan tahun 1998 bernama reformasi.
Gubernur Kalbar, Cornelis, menyatakan revolusi itu perlu. Revolusi itu dimulai dari revolusi cara berpikir dan bertindak. Revolusi cara berpikir dan bertindak akan menyebabkan terjadinya revolusi sosial ke arah yang positif di mana setiap rakyat bukan menjadi beban, tetapi bisa mengambil keputusan-keputusan yang cerdas di dalam kehidupannya.
Misalnya rakyat merasa tertantang untuk memelihara hasil-hasil pembangunan. Rakyat tidak menggunakan jalan di luar tonasenya. Rakyat cepat lapor jika ada kontraktor yang nakal. Aparat cepat menindak jika terjadi kemungkaran serta tidak sengaja membiarkannya sebagai objek sapi perahan. Dengan demikian seluruh komponen bergerak bersama ke arah kemajuan. Tak terkecuali dalam hal membangun perbatasan.
Sabtu, 28 Februari 2009
Butuh Revolusi Bangun Perbatasan
Posted by Noeris at 03.49 0 comments
Gus Sholah Kunjungi Borneo Tribune
Adik kandung mantan Presiden RI, KH Sholahuddin Wahid bertandang ke dapur redaksi Harian Borneo Tribune seusai pelaksanaan Konvensi Nasional Capres RI 2009-2014 yang dihelat di Gedung Taman Budaya Kota Pontianak, Selasa (24/2) kemarin. Pria berkacamata, cucu pendiri Nahdlatul Ulama—KH Hasyim Asy’ari—yang kerap disapa Gus Sholah itu hadir dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Integritas Bangsa (DIB). Beliau didampingi sekretarisnya di DIB, Natan Setiabudi dan Pimpinan Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) Lius Sungkharisma.
Kehadiran tiga tokoh pengusung Capres Alternatif lewat jalur konvensi nasional ini disambut langsung Pemimpin Redaksi Harian Borneo Tribune, Nur Iskandar, Wapemred Tanto Yakobus dan Redaktur Pelaksana, Muklis Suhairi serta Manajer Percetakan, Ukan Dinata.
Kehadiran tiga tokoh penting dalam menawarkan solusi bangsa khususnya melalui jalur Capres Alternatif ini setelah menimbang jumud dan bekunya jalur parpol. Parpol dinilai benar-benar rumit, penuh intrik sehingga sampai saat ini yang terbentuk barulah Blok S (SBY), Blok J (JK) dan Blok M (Megawati). Adapun alternatif yang muncul dalam konvensi bertambah sedikitnya empat pilihan baru. Mereka adalah Rizal Ramli, Yudhi Crisnandi, Marwah Daud Ibrahim dan Bambang Sulistomo. DIB menekankan pada “Selection” tidak sekedar “Election”.
Sebaliknya kunjungan Gus Sholah dkk ke Borneo Tribune adalah suatu penghargaan yang besar bagi kami. Pada gilirannya, kunjungan ke dapur redaksi juga menandakan betapa rendah hati para pemimpin DIB yang jauh lebih senior dalam pengalaman maupun wawasan. Mereka ingin dekat dan lekat kepada media yang punya idealisme, sementara kami pun menyambut ibarat pepatah, “kecil telapak tangan, nyiru kami tadahkan,
menyambut hangat untuk belajar serta mendengarkan petuah-petuah orang-orang tua.
Ketiga tokoh yang sudah tampil konvensi bersama mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, anggota DPR RI Komisi Pertahanan Dr Yudhi Crisnandi, politisi dan aktivis ICMI Dr Marwah Daud Ibrahim, serta putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo juga sudah duduk semeja bersama tokoh Ciganjur Sri Sultan Hamingkubono X, Wiranto, hingga Fadel Muhammad. Mereka melalui DIB mendapatkan apresiasi yang tinggi dalam konteks mencari solusi siapa calon pemimpin terbaik Bangsa Indonesia 2009-2014. Mereka sudah tampil di enak kota, sedangkan Pontianak adalah kota konvensi ke-7 dari 12 provinsi target.
“Setidaknya kita membuka mata rakyat dengan pendidikan politik yang benar. Mestinya Parpol juga melakukan konvensi,” kata Gus Sholah saat bincang-bincang serius tapi santai di meja rapat redaksi. Gus Sholah menyebut kematangan konvensi di AS seperti antara Hillary Clinton Vs Obama di Partai Demokrat dengan kemenangan Pilpres pada Obama sebagai sebuah edukasi politik yang patut diteladani di Indonesia.
Gus Sholah datang dengan pakaian sederhana, dan kopiah hitam lengket di kepalanya. Kiyai moderat putra Wahid Hasyim yang satu ini—yang dinilai lebih mudah diajak berdiskusi ketimbang kakak kandungnya—Gus Dur yang hoby zig-zag—menikmati teh panas dan penataan wajah halaman di komputer sebelum materi surat kabar naik cetak.
Gus Sholah sempat melihat dari dekat mesin cetak yang dimiliki Borneo Tribune, bertanya tentang tiras, distribusi, dan pendapatan bisnis media berumur 21 bulan ini. Semua pertanyaan itu dijawab dengan lugas oleh Nur Iskandar yang mengaku sejak kecil memang mengidolakan Gus Sholah karena pemikirannya yang moderat serta santun kepada orang tua. Maklum polemik di Pondok Pesantren Jombang warisan leluhurnya jadi pusat perhatian media massa era 80-an waktu itu.
Dua tokoh yang mendampingi Gus Sholah, Natan Setiabudi dan Lius Sungkharisma juga asyik nimbrung menyoal politik kebangsaan, kaderisasi kepemimpinan nasional, masalah-masalah ke depan hingga peran serta media massa untuk mendidik publik. “Kami kagum dengan Borneo Tribune yang bisa berdikari lepas dari pemodal besar di Jakarta atau Jawa. Kami mendoakan agar Borneo Tribune bisa tetap eksis dan unggul dengan idealismenya untuk mewarnai Kalimantan,” ungkap ketiganya dalam aroma pembicaraan kekeluargaan.
Kedatangan rombongan pada pukul 17.30 itu tanpa terasa larut hingga 18.30. Gus Sholah menyempatkan diri melihat-lihat kondisi dapur redaksi bahkan mengetik sebuah konsep di meja Redpel. Adapun Natan Setiabudi sempat-sempatnya memeriksa tampilan wajah halaman satu yang akan segera diterbitkan dan kebetulan di edisi saat itu headlinenya soal DIB Mencari Capres Alternatif.
Keakraban dan penghormatan akan perjuangan intelektual serta sosial dari para tokoh-tokoh bangsa memang menjadi perhatian utama Borneo Tribune. Sikap “polite” para tokoh yang datang ini gayung bersambut dengan “polite-nya” anak-anak muda. Masing-masing pihak mengedepankan asah, asih, asuh. “Hanya dengan keteladanan kita semua bisa mencapai asah, asih dan kasih dalam satu genggaman. Satu genggaman visi-misi strategis membangun Bangsa Indonesia berkelanjutan.”
Posted by Noeris at 03.29 0 comments
Rabu, 25 Februari 2009
Cari Capres Baru
Selasa, 24 Februari kemarin Dewan Integritas Bangsa (DIB) yang diketuai Gus Sholah--adik kandung Gus Dur--melaksanakan Konvensi Nasional Capres RI 2009-2014 di Gedung Taman Budaya Kota Pontianak. Hadir empat peserta konvensi masing-masing putra Bung Tomo--Bambang Sulistomo, Dr Marwah Daud Ibrahim, Dr Rizal Ramli dan Dr Yudhy Crisnandi. Konvensi dihadiri 250 undangan, empat orang tim pakar, masing-masing Drs Gusti Suryansyah, M.Si (pengamat politik), Drs HM Ali Nasrun, M.Ec (pengamat ekonomi), Prof Dr Redatin Parwadi, MA (pengamat korupsi) dan Dr William Chang (ruhaniawan sekaligus pengamat sosial). Acara selama 4 jam ini diliput media cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional.
Saya selaku moderator acara itu merasa puas pada misi acara ini. Catatan saya, bahwa di tengah centang perenangnya masalah-masalah bangsa dan kebangsaan kita masih ada sekelompok kecil orang yang mau berpikir. Khususnya berpikir alternatif dengan memunculkan Capres-Cawapres alternatif.
Gus Sholah saat saya temui di malam hari sebelum acara dimulai menjelaskan tentang visi DIB menggelar konvensi. Bahwa mereka memang secara murni ingin memberikan alternatif pilihan yang lebih banyak dari sekedar Blok S, Blok M dan Blok J yang muncul baru-baru ini.
Pekerjaan Gus Sholah dkk tentu tidakmudah. Mereka tidak berada di ranah parpol dan menyatakan tidak mau menjadi broker di kalangan parpol.
Buktinya, dari penyelenggaraan kemarin, apresiasi masyarakat luas sangat besar. Ini membanggakan hati saya. Bahwa kepedulian rakyat atas bangsa dan negaranya masih sangat besar selama pintunya dibukakan. Nah, DIB membuka pintu itu. Selain DIB siapa elan vital bangsa kita yang membukanya? Tidak ada! Padahal Capres dan Cawapres adalah isu sentral yang penting dan strategis dan sangat menentukan perjalanan bangsa hingga 5 tahun ke depan.
Penampilan Rizal Ramli, Marwah Daud Ibrahim, Yudhy dan Bambang tidak mengecewakan. Mereka bicara soal isi perut bangsa sampai ke tulang sum sumnya. Wawasan peserta terbentang luas hingga perbandingan antara negara-negara. Ditambah lagi catatan-catatan kritis Tim Dewan Pakar. Sungguh politic education yang tinggi telah dilakukan DIB ke sejumlah provinsi. Sekedar catatan, bahwa Kalbar adalah daerah konvensi ke-7 setelah kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Jogja, Makassar hingga Medan.
Pertanyaan dan masukan undangan semakin membuat konsepsi menata masa depan bangsa makin sumringah. Saya yakin, empat di antara Capres peserta konvensi memang layak jadi RI 1 atau RI 2. At least sebagai anggota kabinet mendatang.
Rasanya, tidak rugi mengikuti konvensi. Besar sekali manfaatnya secara teknis prakmatis maupun idealisme-idiologis.
Posted by Noeris at 01.18 0 comments
Senin, 23 Februari 2009
My Lovely Nada n Ocha
Sepulang dari Ketapang Ocha (6 tahun) dan Nada (1,5 tahun) menyambut di pintu masuk rumah. Papa...papa, kata mereka.
Kerinduan anak-beranak tak terperi. Satu persatu kupeluk, kucium dan kulambung-lambung seperti kebiasaanku memperlakukan mereka sebagai wujud rasa sayang dan cintaku pada anak-anak. Akting ini tentu saja dengan ekstra hati-hati, kawan. Ya kuatir dong kalau jatuh...
Mereka berteriak, tertawa, kadang juga meringis. Mereka berani-berani takut atau takut-takut berani karena kulambung tinggi-tinggi dan kemudian kusambut kembali setelah dekat ke lantai. Wow, permainan nan berani.
Mereka senang dan asyik. Itulah hadiahku. Memberikan hadiah permainan lambung menjadi hobiku tersendiri meladeni mereka sembari ciluba-ciluba.
Kulepas rindu setelah semalam dua hari berada di Tanah Kayong, Tanah Kahyangan. Aku berada di sana untuk sebuah tugas yang besar: mendidik kepenulisan. Merubah peradaban lisan ke tulisan. Menulis bukankah untuk keabadian? Scripta manen, verba volent. Ucapan itu menguap, tulisanlah yang permanen.
Ocha dan Nada menggelar karpet dan kasur. Kami pun terus bermain hingga pukul delapan malam. Ini non stop dari sejak aku pulang menjelang magrib sekira pukul 17.30WIB.
Senang berada bersama Ocha dan Nada. Tak pelak aku cancel pertemuan dengan sejumlah mitra bisnis yang sudah kerang-kering sejak aku di airport Rahadi Osman, Ketapang. Kupikir semua bisa diurus kembali besok pagi. Ini waktu special for my love: Ocha dan Nada. Masa kecil mereka tak akan pernah kembali serta tak terbeli dengan apapun. Papa sayang kamu Nak :)
(Foto menunjukkan Nada dan Ocha sedang menikmati Es Teler 77 di depan Hypermart, A Yani Mega Mall, Minggu 22 Februari 2009 ditemani "nanny" mereka: Dewi dan Ira)
Posted by Noeris at 09.35 0 comments
Beatiful Sun Set in Tanjung Belandang, Ketapang Regency
Potensi pariwisata Kabupaten Ketapang tersebar luas sejak Taman Nasional Gunung Palong hingga Pantai Tanjung Belandang. Tanjung Belandang adalah salah satu daerah tujuan wisata pantai yang paling populer. Lokasi ini dapat ditempuh dengan jalan darat selama lebih kurang 30 menit.
Di Tanjung Belandang pantai terhampar luas dengan panorama sunset sangat indah. Sembari menikmati keindahan alam yang natural, pengunjung juga dapat menikmati kelapa muda, jagung bakar dan barbaque.
Kadisbudparpora Drs Yudo Sudarto, M.Si sudah merencanakan pengembangan fasilitas umum di daerah ini sehingga lebih refresentatif untuk pengembangan industri pariwisata yang berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Ketapang. Namun sayang, usulan tersebut masih harus tercoret di pena Dewan. Padahal negara-negara maju semua mengandalkan industri pariwisata, bahkan juga tetangga Indonesia seperti Malaysia, Thailand dan si kecil Singapura. Seyogyanya program tersebut patut mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik eksekutif, legislatif maupun masyarakat. Semoga.
Posted by Noeris at 09.27 0 comments
"Road Show Environtment Journalism" di Ketapang
Sejurus waktu yang lalu Harian Borneo Tribune melakukan Road Show (kunjungan terbuka) dengan tema Jurnalisme Lingkungan ke kabupaten-kota wilayah Pantai Utara. Narasumbernya freelancer Borneo Tribune di Bonn University, Jerman, Yanti Mirdayanti, MA.
Bermula dari Sambas dengan penyambutan Bupati Ir H Burhanuddin dan Wakil Bupati dr Hj Djuliarti Djuhardi, tim turun ke Kota Singkawang. Sambutan hangat sekaligus jamuan makan malam disuguhkan Walikota Hasan Karman, SH, MM yang notabene alumnus program master manajemen lingkungan. Kata bersambut, kalimat pun berjawab. Gayung bersambut.
Di Mempawah sambutan tak kalah hangat dilakukan dinas-instansi terkait. Kali ini tidak menggunakan ruang pertemuan pihak eksekutif melainkan legislatif. Jurnalisme Lingkungan Hidup digeber di ruang rapat paripurna DPRD Kabupaten Pontianak. H Rahmad Satria, SH, MH dan anggota Dewan. Sejumlah kepala dinas juga hadir di dalam pertemuan yang notabene menjelang KTT Global Warming di Bali, ketika itu.
Gerakan Jurnalisme Lingkungan Hidup atau Environment Journalism itu kami nilai penting karena siapa sih yang tidak ada kait mengait atau sangkut pautnya dengan lingkungan hidup? Padahal lingkungan hidup kita sekarang berubah dahsyat. Terbukti banjir dituai di mana-mana tanpa mengenal musim lagi. Begitupula badai, kekeringan, bahkan gempa.
Kita selaku khalifah atau pemimpin yang bertugas menjaga dan merawat bumi agar makmur dan sejahtera mesti berpikir keras. Kita mesti berbuat sesuatu. Dan bagi entitas Borneo Tribune sebagai media pendidikan serta Tribune Institute sebagai lembaga nirlaba bidang pendidikan kepenulisaan hal tersebut menjadi fokus pendidikan serta pelatihan.
Kami secara sadar dan terencana melakukan sosialisasi serta diklat ke diklat, hingga 21-22 Februari melakukannya kembali di hadapan 50-an peserta pemuda bekerjasama dengan Disbudparpora Pemkab Ketapang.
Ketapang kita ketahui sebagai buffer Kalbar. Di sini terdapat Taman Nasional Gunung Palong sebuah khazanah alam yang tiada banding keistimewaannya. Di Tanah Kayong ini juga terdapat pemandangan-pemandangan alam yang indah. Sebut salah dua contohnya Sungai Pawan dan Pantai Tanjung Belandang.
Jika pendekatan jurnalisme lingkungan hidup bisa dimanfaatkan dengan maksimal, maka kami telah membantu berbuat menyelamatkan lingkungan hidup yang amat sangat kaya energi potensialnya itu. Potensial membuat kita hidup aman, asri, damai serta sejahtera. Kenapa? Karena semua ciptaan Tuhan itu semua memiliki nilai ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya.
Borneo Tribune dan Tribune Institute selain memberikan sumbangsih skill yang dimiliki, juga sekaligus merajut silaturahmi kepada stakeholder. Kami juga memperkenalkan kepala-kepala biro kami kepada para pihak di berbagai elemen lembaga. Jika dahulu kami perkenalkan Budi Rahman (Kabir Sambas--kini Redaktur), Mujidi (Kabir Singkawang), Johan Wahyudi (Kabir Mempawah), maka kini kami perkenalkan Andry (Kabir Ketapang) sedangkan Gusti Iswadi yang selama ini menjadi Kabir akibat kesibukannya meningkat di Pemilu 2009, maka dia menjadi freelancer biasa di HBT.
Silaturahmi demi silaturahmi kami jalani. Semua terasa indah dalam bingkai kebersamaan. Terlebih jika ilmu yang kita timba semuanya mampu kita amalkan, maka ia ibarat pohon subur yang berbuah lebat. Buah lebat itu melahirkan bibit-bibit unggul pula. Bibit dan pohon subur yang menyelamatkan lingkungan. Visi-misi dari Road Show Environtment Journalism.
Posted by Noeris at 09.05 0 comments
Selasa, 17 Februari 2009
Interaktif Live Show Memberantas Ilog
Anton produser acara talkshow di Ruai TV mengontak apakah saya bersedia menjadi narasumber dari unsur media untuk mengkritisi penanganan illegal logging di Kalimantan Barat. Waktu pelaksanaannya, Senin (16/2) dari pukul 20.00-21.00 WIB. "Oke, saya ada waktu," kata saya.
Tertera di dalam term of reference bahwa tampil di televisi mesti satu jam datang lebih awal daripada waktu acara. Artinya pukul 19.00 saya sudah harus berada di Ruai TV.
Pekerjaan sehari-hari saya yang sudah bertumpuk-tumpuk, ditambah lagi mesti melayani mitra ke sana dan ke mari menyebabkan waktu 24 jam terasa kurang. Inilah yang dikatakan orang-orang bijak bahwa waktu kita yang atur. Jika bukan kita yang atur, maka waktu yang akan mengatur kita. Maksud saya adalah pekerjaan akan terus mengalir tiada kata henti. Jika kita tidak menyempat-nyempatkan, maka tak akan sempat.
Kenyataan pada pukul 18.30 saya masih berada di kantor. Di kantor masih ramai rekan-rekan bekerja sesuai dengan bagiannya, terutama pracetak dan mesin. Kantor masih ramai. Saya sendiri masih tertantang menyelesaikan satu proposal pilot project emas. Saya menyebut pilot project ini ibarat telur, pada saatnya nanti akan segera menetas. Lihat saja nanti kelahiran dan pertumbuhannya. Saya prediksikan fantastik.
Pukul 19.00 saya tancap motor Prima ke Siantan. Motor laju membelah jalan raya yang tak jarang macet. Saya tak sempat ganti baju seharian. Baju saya warna hijau tua, warna yang menurut TOR kurang cocok untuk pencahayaan di televisi.
Anton menyambut di muka pintu. Saya dihantarkan ke ruang dandan. Alamak, saya tipikal orang yang tak pernah berdandan. Kalaupun pernah didandani untuk talkshow di TVRI rasanya tak selengkap di Ruai TV.
Ipur yang menjadi host acara sudah pinter berdandan sendiri. Aku didandani petugas khusus. Tangan lentiknya menyapu wajahku. "Berbakat untuk buka salon kecantikan," pujiku. "Sering penuh order jika hari-hari besar," jawab cewek muda berkulit putih dengan baju seragam Ruai TV tersebut.
Giliran dandan berikutnya Ir Winarno yang mewakili Kadishut Cornelius Kimha. Berikutnya lagi Sulaiman Sembiring, aktivis lingkungan hidup dan advokasi dari Jakarta.
Interaktif di televisi ternyata membakar rasa ingin curhat warga. Ada tiga penelepon yang masuk. Mereka bicara kritis soal ilog. Mereka menyoal ketidak kompakan tim 18 sesuai Inpres No 5 Tahun 2005 prihal pemberantasan ilog. Mereka mengkritisi gaji pegawai yang rendah berbanding terbalik dengan service cukong-cukong kayu. Mereka bicara soal nasionalisme kebangsaan karena kayu terselundup ke Jiran.
Saya sendiri yakin bahwa kejahatan ilog adalah kejahatan yang terstruktur. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah melalui struktur itu. Ibarat kata pepatah di mana kepala pergi maka di situ ekor akan ikut.
Upaya kultur juga penting sebagai sub sistem. Di sini masyarakat harus ada alternatif pekerjaan dibandingkan menebang, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan dll.
Akses informasi kepada mereka harus dibuka. Mereka harus didampingi. Jurnalis berperan besar di sini untuk tak sekedar memberikan informasi, tetapi juga edukasi. Peran kontrol sosial berjalan menyatu dengan hatinurani.
Posted by Noeris at 02.46 0 comments
Sabtu, 14 Februari 2009
Ketika Saya Diulangtahunkan
Bangun tidur di subuh hari, Jumat 13 Februari kemarin ada yang berbeda. Sebuah kue dengan lilin di atasnya. Tertera angka 35.
Aku salat subuh dua rakaat. Aku bersyukur bahwa Aku masih bisa menikmati subuh hari dalam kondisi tubuh sehat wal afiat. Doa bangun tidur: Alhamdulillahi ladzi ahyana ba'dama amatana wailaihin nusur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan saya dari mati yang sementara)benar-benar Aku camkan dalam pikir dan zikir.
Anakku Ocha yang menyusul bangun tidur segera meributkan kue ulang tahun ini. "Papa ulang tahun..." godanya, "ayo hidupkan lilinnya," pintanya.
"Tunggu Nada dan Bunda bangun dulu. Kita kumpul bareng untuk meniup lilinnya." Ocha terus merayu-rayu. "Ayolah Papa..."
Bi Sumi, Ira dan Dewi tiga orang "nanny" di rumah sedang sibuk dengan pekerjaannya. Nada dan Bunda menyusul bangun, dan lilin dinyalakan serta Aku kemudian meniup lilinnya. Ocha yang sudah tak sabaran memotong kuenya. Miring lagi. Aku tersenyum melihat keinginan kuatnya menyervis Papanya. Dalam hatiku bahagia, betapa anak usia 5tahun ingin berbakti. "Nak, semoga Engkau tumbuh jadi anak yang shalehah..." doaku di dalam hati. Maklum di dalam hati kecilku ada rasa getir berkecamuk. Antiklimaks dengan kue ulang tahun yang ditiup apinya.
Sebagai bentuk kebersamaan, semua menikmati kue ini. Aku, Ocha, Nada, Bunda serta the three nanny. Alhamdulillah. Semoga manis hidup ini terus terasa sampai akhir hayat.
***
Ocha kuantar berangkat ke TK Mujahidin. Aku terus ke kantor. Di kantor Aku melaksanakan tugas rutin sebagaimana biasanya.
Email Aku buka. AlarmBell mengucapkan selamat ulang tahun buatku. Aku tersenyum. Betapa internet yang menguasai datakupun tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun. Sungguh service excellent yang patut dipelajari dan diamalkan dalam rangka human relation yang terpuji.
15 menit sebelum jam 12 siang Aku berangkat ke Mesjid Raya Mujahidin. Aku ingin menikmati khutbah Jumat di hari ulang tahunku di mesjid terbesar milik Kalbar ini. Ketika memasuki mesjid dengan doa: Allahummaftahli abwaka rahmatik (Wahai Tuhan bukakan pintu kemenangan dan rahmat-Mu) tangan kananku meraba dompet. Maksud hati hendak mengisi celengan mesjid, tapi di sinilah Aku sadar bahwa walletku tertinggal di rumah.
Khutbah jumat seperti mewejangiku soal kehidupan. Soal hidup setelah mati. Ini kumaknai sebagai esensi dari ulang tahun. Ulang tahun sesungguhnya bukan panjang umur, tetapi jatah umur yang diberikan Tuhan terus berkurang. Aku sekarang sudah 35. Jika merujuk hadits Nabi bahwa "Ummatku rata-rata 60-70 tahun" maka Aku sudah separoh perjalanan. Hidupku tinggal separoh. Jika merujuk angka rerata seperti hadits Nabi. Pastinya, entahlah. Terpenting Aku harus siap "pergi" at any time. Semoga khusnul khatimah dan terus melakukan reportase alam barzakh (serius?)
Usai salat dan zikir ditambah salat sunnah dua rakaat, Aku tancap motor pulang ke rumah. Tangan dan lambung sudah bergetar karena lapar. Sementara Ocha yang sudah berada di rumah sejak pulang sekolah merengek minta makan. Aku memasakkan mie instan sebagai menu tambahan. Dan tatkala mie sedang diseduh telepon genggamku pun berdering.
"Bang...Abang cepatlah ke kantor. Ada orang komplein iklan. Abang neh ngape jak tak bisa dihubungi," kata Hesti, staf marketing dengan suara gugup bukan alang kepalang.
Aku tersentak. Indomie terasa los di tenggorokanku. "Papa kenapa?" tanya Ocha. Di sebelahnya ada Nada yang sedang lucu-lucunya. Usianya satu tahun setengah. Cerigasan karena baru pandai jalan, berlari dan berbicara.
"Papa harus ke kantor," kataku.
Dua pasang mata nan lucu itu mengiringi langkahku menjauh. Duhai Ocha dan Nada, Papa cinta kamu Nak!
Helm kupasang. Motor ku-start. Di benakku berkecamuk aneka setting-background. "Komplain iklan apa ya? Apa di Borneo Tribune sudah banjir iklan?" pikirku.
"Kemana kawan-kawan yang lain? Masak tetek bengek begini masih harus Aku?"
"Apa mungkin Hesty yang belum kenyang makan asam garam dunia marketing media sehingga gugup begitu rupa?"
Aku terus tancap gas. Dalam batok kepalaku hanya ada satu kata: tanggung jawab! Apapun harus Aku hadapi secara gentlement!
Dan Aku pun mendisain bahasa tubuh untuk menghadapi sesiapapun yang datang komplain. Apakah dia orang baik-baik hingga preman sekalipun. "Walam yakhsya ilallah!" prinsipku. Tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Allah!
Dan sampailah ban motorku ke halaman parkir. Kulihat sepi-sepi saja. Hanya ada satu mobil Innova hitam dan sejumlah kendaraan roda dua.
Aku melirik ke Kantin Borneo Tribune. Seorang melambaikan tangan kepadaku. "Biasa saja," pikirku. Kaki terus berlomba melompati tangga naik menuju ruang redaksi di lantai dua.
Ruang tamu ketatap seraya melangkah. Sepi juga. Masuklah Aku ke ruang redaksi. Kulihat Wapimred Tanto Yakobus bekerja dengan serius. Headphone menutupi telinganya. "Dasar Tanto, orang komplain kok tidak dilayaninya," gerutuku dalam hati. Kutatap pula awak redaksi yang sedang bekerja. Manager Umum, Asriyadi Alexander Mering, sahabatku sedang menekuni laptopnya. "Siapa yang komplain," pikirku dalam hati. Hanoto duduk di meja kerjanya dengan serius. Begitupula Rizki Wahyuni, Rosalinda hingga Andika Lay.
Pintu ruang administrasi dengan sikap gagah perkasa kubuka. Sepi hanya ada Lina, Hesty dan Dwi Syafriyanti. Dan belum sempat Aku bertanya, serentak mereka bangkit berdiri dan menyanyikan lagu Happy Birthday To You....dst dst.
Allahu rabbi, jeritku dalam hati. Aku dikerjain anak-anak. Tapi Aku terima ini sebagai sesuatu yang unik. Lebih unik ketimbang dahulu di tahun millenium anak-anak SD kelas 5 dan 6 menghadiahiku kue tart ultah karena Aku mengajari mereka Bahasa Inggris. Berkesan. Luar biasa berkesan.
Tumpeng dinyalakan lilinnya. Lilin dan angka 35 itu di atas nasi kuning tiga tingkat. "Nasi tumpeng gaya baru," ledekku dalam hati. Aku sudah mengubah mindsetku dari siap siaga menghadapi orang komplein kepada acara bahagia ultahku yang terspesial. tak terduga. Luar biasa.
Awak redaksi dan staf kumpul semua. Dirut W Suwito ikut hadir memberikan ucapan selamat. Aku masih gamang. Kaget. Tapi senang juga. Ini bentuk perhatian teman, kawan, sahabat kepadaku.
Lewat tulisan ini kepada teman, sahabat, keluarga dan anak-anakku serta siapa saja yang membaca, Aku merasa sebagai manusia dimanusiawikan sebagai manusia. Puji serta syukur kepada Allah tak terkirakan atas kenikmatan hidup ini. Semoga dengan syukur ini Allah akan tambahkan nikmatnya kepada kita semua. Semuanya. Love for all.
Aku sadar bahwa Aku ini bukanlah siapa-siapa. Aku tak ada artinya tanpa orang lain. Aku perlu bimbingan, tegur sapa dari kalian semuanya.
Ingatkan jika Aku lalai. Tegur jika Aku lupa. Tawashau bil haq watawa shau bilshabr. Saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Hanya dengan pola komunikasi dua arah secara objektif dan imani kita terhindar dari kelompok orang-orang yang merugi.
Bagi yang berulang tahun di Bulan Februari dan bulan apa saja, saya pun mengucapkan met ultah yah...Dan bagi teman, sahabat, keluarga yang sedang sakit atau terluka, saya juga berdoa semoga lekas sembuh. Luka dan sakit semua ada obatnya. Insya Allah. Semua datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Posted by Noeris at 02.12 2 comments
Paripurna Komunikasi ala Semut
Sina Mande Waldelich salah seorang praktikan dari Bonn University pada hari Kamis (12/2) telah menyelesaikan masa praktikumnya di Harian Borneo Tribune dan lembaga nirlaba kepenulisan Yayasan Tribune Institute. Sina yang sudah lancar berbahasa Indonesia itu menyatakan akan melakukan perpisahan dengan suatu acara yang berkesan. Tapi modelnya seperti apa gerangan?
Dipikir-pikir ringan, tetapi ditelusur-telusuri sampai ke tingkat teknis ya berat juga bagi seorang Sina. Ringannya problema ini karena acara seperti apapun ukurannya bisa dirancang sedemikian rupa, termasuk rupa-rupa yang diperlukan. Namun ada juga sisi beratnya, yakni tak mudah bagi seorang kandidat master itu untuk mengerjakannya sendiri. Terlebih kondisi fisik Sina tidak sedang fit. Ia sakit dan mesti pulang berobat ke Jerman.
Timbang punya timbang, jalan keluar terbaik adalah gotong royong. Ibarat semut. Semut-semut jika bersua selalu menyapa. Di kalangan pelatihan ESQ bahkan dikembangkan “salam semut”.
Semut selalu berkomunikasi. Ini menandakan uluk salam untuk tukar-menukar informasi. Informasi dan komunikasi yang baik menjadi kunci kesuksesan hidup ala semut. Contoh alam ini laik jadi pelajaran yang amat sangat berharga.
Di komunitas semut beban sebesar apapun berhasil diangkut dengan sistem komunikasi yang baik serta bergotong royong.
Teman Sina yang masih praktikum di HBT-YTI seperti Dorina, Mathias dan Christian menerapkan komunikasi serta kegotong royongan dengan baik. Ketiga orang ini berkomunikasi dengan kru HBT dan YTI. Kesemua pihak pun saling bantu sekuat tenaga.
Acaranya seperti apa akhirnya diputuskan berupa “jagung bakar party” sekaligus disertai penyampaian kenang-kenangan, maupun pesan serta kesan. Lokasi acaranya ditetapkan di Tribune Plex Garden. Sebuah taman di halaman belakang W Suwito Associates, tempat yang pernah digunakan untuk lomba mewarnai di tingkat anak-anak saat first anniversary Borneo Tribune.
Saatnya acara tiba di malam hari, bulan pun bersinar terang. Mungkin bulan ingin mengabarkan kabar terbaiknya. Cuaca yang sebelumnya berkabut asap, juga relatif bersih. Udaranya segar, dan peserta party menyempatkan diri bermain bola, bersenda-gurau, evaluasi pesan dan kesan, merajut rencana-rencana ke depan seraya menikmati kudapan jagung bakar dan kue berlapis-lapis.
Sina dkk terkesan dengan acara ini. Semua pihak merasa bersyukur karena lepas dari satu beban. Tetapi setelah satu beban terlepas akan datang beban lainnya. Sama dengan satu persoalan mampu diselesaikan akan segera datang masalah-masalah lainnya.
Kita tidak perlu mengeluh karena setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan. Yakinlah, bahwa setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan. Tuhan pun menyatakannya demikian.
Ilmu pengetahuan membenarkannya. Praktik keseharian manusia meng-iya-kannya.
Sina kemudian dihantarkan ke Bandara Supadio. Ia kemudian terbang ke Jakarta, selanjutnya transit di Kuwait untuk kemudian kembali ke kampung-halamannya.
Tugas praktikan yang lainnya di HBT-YTI sendiri masih besar. Mereka akan melawat ke Ketapang untuk elaborasi program jurnalistik dan pariwisata. Materi, topik, pembagian tugas dilakukan dengan komunikasi ala semut. Melalui meeting atau rapat. Bahkan meeting-meeting itu diramu dengan kujutan acara ulang tahun sejumlah karyawan, seperti Alexander Mering pada 5 Februari, Nur Iskandar 13 Februari dan Tanto Yakobus 14 Februari. Bakal menyusul kemudian Ketua YTI, Dwi Syafriyanti, SH, MH pada 16 Februari.
Irama lagu happy birthday to you melantun iring-beriring di ruangan kantor. Irama doa dan harapan yang mengembangkan kebahagiaan. Kebersamaan diharapkan membuncah seiring masalah-masalah internal bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Semoga semua sehat, panjang umur dan murah rizki. Amiin.
Posted by Noeris at 02.01 0 comments
Jumat, 13 Februari 2009
SBY Agendakan Tinjau PPLB Aruk
“Dalam kondisi sekarang kami tiba di Aruk hanya dua jam,” kata Bupati Sambas, H Burhanuddin A Rasyid. Katanya, dahulu sebelum jalan ke Aruk dirintis, lamanya bisa 19jam.
Burhan datang bersama rombongan ke Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Aruk, Rabu (4/2) sekitar pukul 10.00 WIB dengan kendaraan roda empat. Tampak bersamanya Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalbar, Ir Jakius Sinyor, Kepala PDAM, Kacab PLN, serta sejumlah kepala dinas Pemkab Sambas. Para petinggi ini sengaja kumpul untuk menyambut kehadiran Dirjen Cipta Karya, Joko Yuwono.
Cuaca di pagi hari ini terlihat mendung. Awan bergelayut tebal sehingga bukit di sekitar kawasan Aruk dan Biawak di sempadan Malaysia hanya terlihat separoh. Di wilayah Kuching bahkan masih dilanda musim hujan yang “teruk”. Beberapa lokasi seperti Kampung Melayu di wilayah water front city dikeluhkan banjir. Keluhan banjir serupa terjadi di wilayah Sekayam Kabupaten Sanggau.
“Ini kondisi hujan dan jalan sebagian belum beraspal. Jika jalan kita sudah beraspal mulus seperti Malaysia, serta jembatan-jembatannya lebar tidak sesempit sekarang, pasti akan lebih cepat lagi,” ungkap Joko yang pernah menjadi staf PU Kalbar di masa kepemimpinan H Said Djafar.
“Saya bukan orang baru di Kalbar. Dahulu saya bekerja di Dinas PU Kalbar dalam rangka persiapan MTQ Nasional ke-14 di Kota Pontianak. Saya juga di tahun 1980-an itu sempat mengunjungi pembangunan PPLB Entikong,” ungkap Joko saat didaulat tampil memberikan kata sambutan di salah satu ruangan PPLB Aruk.
Joko sengaja hadir di PPLB Aruk untuk melihat kondisi terakhir pembangunan salah satu gate perbatasan Indonesia-Malaysia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang punya perhatian serius terhadap pembangunan perbatasan sangat berkeinginan hadir meresmikan secara langsung.
“Saya lihat persiapan PPLB Aruk progress sekali. Ini paling maju di antara delapan provinsi lain yang punya perbatasan dengan manca negara,” pujinya.
Saya yang turut hadir meliput bersama Agus dari SCTV dan Arthurio dari Tribun Pontianak turut melihat betapa besarnya bangunan PPLB Aruk. Jika dilihat dari wilayah NKRI, pagar masuk ditandai dengan besi stainless putih. Bangunannya dibuat artistik dengan menggabungkan unsur Melayu, Dayak dan China. “Sambas itu artinya tiga bahasa. Sam, tiga. Bas, bahasa. Jadi kami simbolkan dengan tiga gapura,” ungkap Bupati Burhanuddin di dalam kata sambutannya.
Bupati yang terpilih dua periode dengan Pilkada langsung secara mayoritas di atas 70 persen ini mengatakan, dia pernah mengunjungi Aruk dengan berjalan kaki. Lamanya melebihi 19 jam. Kondisi sekarang hanya tinggal 23 km yang belum diaspal, katanya.
Burhan yang punya disiplin ilmu pertanian ketika menjadi Kepala Dinas Pertanian berpikir, jika saja isolasi daerah dibuka, maka hasil-hasil pertanian akan mendapat pasar yang jauh lebih baik. Terlebih nilai tukar Ringgit lebih tinggi daripada Rupiah.
Benar saja, sejak terpilih sebagai Bupati Sambas dan Aruk mulai dibuka sesuai programnya, telah terjadi peningkatan ekonomi per kapita penduduk dari 700 USD/tahun menjadi 1000 USD/tahun. “Jika proyek pembangunan PPLB Aruk ini selesai dilakukan saya yakin pendapatan per kapita penduduk kawasan ini bisa meningkat menjadi 1500 USD,” ujarnya.
Burhan mempresentasikan tata ruang PPLB Aruk. Dikatakannya semua telah siap, baik Imigrasi, Karantina Hewan dan Tanaman, perumahan karyawan, sekolah unggul, pasar dan fasilitas-fasilitas publik. Burhan bahkan secara cerdas mengusulkan bantuan anggaran kepada Dirjen Cipta Karya seputar pengadaan jalan lingkungan, jembatan, air bersih di pemukiman dan fasilitas persampahan.
Burhan sesekali juga meminta kepala dinas atau lembaganya berdiri seperti Kepala Desa, Kepala PDAM, dan Kacab PLN. “Untuk listrik di PPLB Aruk sudah tidak ada masalah, sudah nyala sekarang. Cuma timbul masalah, sebelum PPLB diresmikan Pak SBY, siapa yang akan membayar?” ujar Burhanuddin seraya tertawa. Audien yang mendengar presentasinya dengan serius juga tertawa, karena setelah memecahkan satu masalah maka muncul masalah yang lainnya lagi.
“Saya katakan tidak mengapa. Biar saja tagihannya masuk ke Bupati Sambas. Terpenting PPLB Aruk segera dapat diresmikan,” lobi Bupati Sambas.
Joko seraya senyum memuji kepiawaian Bupati Burhanuddin melakukan inovasi dan pengembangan wilayah perbatasan. Katanya, PPLB masuk Kawasan Strategis Nasional (KSN). Oleh karena itu anggaran pusat selalu akan mengucur tergantung sejauh mana kesiapan daerah. Untuk itu Joko menyanggupi segala usulan Bupati Sambas seperti jalan lingkungan, air bersih, tata kelola persampahan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya.
“Kita bekerja sesuai program. Persoalan Pak SBY mau meresmikan atau sekedar melakukan kunjungan kita siap-siap saja. PPLB sudah masuk KSN,” kata Joko.
Joko menilai kedatangan SBY nanti lebih tepat meninjau karena di PPLB Jiran sendiri pembangunan gedungnya baru dimulai. “Saya tidak tahu apakah semua bisa terkejar dalam 3 bulan lantaran sudah Pemilu di Indonesia. Lebih tepatnya mungkin kunjungan sekaligus meresmikan jalan, jembatan, bahkan seperti usulan Bupati Sambas, ya meresmikan Kantor Bupati,” imbuhnya.
Seusai melakukan peninjauan PPLB Aruk, Joko beserta rombongan menuju PPLB Jagoi Babang, Bengkayang via Serikin. Sehari kemudian Joko meninjau PPLB Entikong dan melakukan penancapan tiang pertama rumah susun sewa di Jeruju, Kota Pontianak.
Akses jalan di Jiran (Sarawak) memang jauh lebih baik ketimbang di Indonesia (Kalbar). Arus transportasi terutama turis yang mencapai 5 juta jiwa di Sarawak akan mendapat akses alternatif jika PPLB Aruk dibuka. Mereka hanya 1,5 jam berkendaraan normal dari Bandaraya Kuching dan dua jam berikutnya sudah akan bisa menikmati Kota Sambas, dua jam berikutnya Kota Singkawang, 1,5 jam berikutnya Kota Mempawah dan dua jam berikutnya Kota Pontianak.
Sekilas tergambar, jika PPLB Aruk dibuka, maka arus orang dan barang antara kedua negara akan semakin meningkat. Diharapkan Bupati Sambas, terjadi perlipatan ekonomi di segala lini sehingga masyarakat sejahtera. Tentu harus dibarengi pula dengan persiapan menekan ekses-ekses negatif dari lancarnya arus transportasi orang dan barang tersebut.
Posted by Noeris at 04.07 0 comments
Minggu, 08 Februari 2009
Selamat Jalan Pejuang, Selamat Jalan Opa
Gugur bungaku di taman bakti...
Ke haribaan ibu pertiwi...
Betapa hatiku tak akan pilu...
Telah gugur...pahlawanku....
Satu per satu tokoh pejuang di Kalbar anggota legiun veteran angkatan 1945 dipanggil keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mulai dari H Achmad Noor, H Ibrahim Saleh hingga Jumat (6/2) kemarin Kapten Inf Purn H Buskam Noor.
Pria kelahiran Kampung Manggis, Kabupaten Sambas pada 17 Agustus 1925 itu memulai karirnya dengan merantau. Ia sebatang kara di perantauan dengan menyelesaikan pendidikan di kemiliteran. Kala itu Republik Indonesia masih dalam suasana penjajahan Belanda dan sangat langka “biak-biak” Sambas terjun ke bidang militer.
Buskam Noor semasa mudanya kerap kali bercerita bahwa Kalbar di masa penjajahan Belanda hidup sangat sulit, pendidikan sangat terbatas, serta fasilitas-fasilitas publik tak semewah masa kemerdekaan. Hidup di masa sulit menyebabkan tantangan demikian tinggi. Hal itulah yang digunakan Opa sebagai cambuk kesuksesan dirinya sehingga tekun dalam belajar, bekerja dengan keras, hingga benar-benar menikmati era kemerdekaan.
Jalan-jalan raya di era kemerdekaan disaksikan Opa terus bertambah panjang dan menyentuh pedesaan-pedesaan. “Sewaktu Opa di militer, dari Pontianak ke Bengkayang, jalan berbatu dan berdebu. Berkendaraan sakit sekali, tidak semulus sekarang,” ungkapnya.
Kendati sulit merebut dan mempertahankan kemerdekaan—apalagi alat militer Indonesia kalah canggih dibandingkan Belanda atau menyusul kemudian Jepang, kehidupan di Kalbar kala itu lebih sulit lagi. Untuk itu Basrin—nama kecilnya—rela merantau dan memilih jadi anggota tentara, rela naik-terjun truk-truk militer dalam rangka latihan, ataupun menjalankan tugas kemiliteran. “Opa terampil naik dan lompat truk, membawa ransel dengan beban-beban berat, tetapi kemudian Opa juga pernah menjadi komandan upacara saat Jenderal Abdul Haris Nasution melakukan inspeksi di Kalbar,” tutur Opa.
Di usianya yang ke-20 Republik Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Buskam Noor telah turut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan rotasi tugas tidak hanya di Bengkayang, tetapi juga ke Kalimantan Selatan, maupun Jawa Tengah.
Kisah heroik semasa PKI bergerilya juga sempat menghampiri keluarga besar Buskam Noor yang berdomisili di Jl KH Akhmad Dahlan No 40 Kota Pontianak. Kala itu tentara RI yang berhasil menumpas G30S/PKI mendapatkan hak dan kewajiban “mendidik dan memelihara” anggota eks PKI. Buskam Noor “memelihara” seorang pemuda bernama Bujang.
Bujang bekerja dengan baik di dalam rumah, terutama membantu memasak, mencuci, membersihkan lantai, termasuk menjaga rumah. Putra-putri Buskam Noor sendiri sudah relatif dewasa, dan hanya si bungsu Sri Andi Novita Oktavianti yang masih dalam gendongan. Si bungsu yang akrab disapa Nita ini hanya berbeda satu tahun dari usia cucu pertama Buskam Noor bernama Rommy Irawan.
Di suatu pagi, Bujang mengasah golok. Prilaku ini tak disadari oleh anggota keluarga Buskam Noor. Ternyata golok yang diasah berjam-jam itu bukannya akan digunakan menebas rumput di halaman, tetapi akan menghabisi semua anggota keluarga.
Tragedi Bujang menyerang Opa dengan golok yang sudah diasahnya itu terkuak lantaran jam dinding maju 30 menit dari waktu sesungguhnya. Bujang ternyata masih belum “bersih” dari jejaring PKI. Sesama anggota telah mempunyai satu misi menghabisi anggota militer di masa anggota PKI “dirawat”.
Opa mengalami luka serius di perutnya. Usus yang bocor itu mesti dirawat di Rumah Sakit St Antonius. Menantunya yang bekerja di Kehakiman juga mengalami luka-luka serius, termasuk istri Opa, Oma yang nama lengkapnya Emi Rukiah.
Saat itu Nita dan Rommy Irawan yang masih dalam gendongan terlempar, tetapi selamat dari kibasan golok Bujang. Suwandi, menantu Opa sempat melepaskan tembakan ke udara untuk menjinakkan Bujang, tetapi Bujang tak surut meronta seperti orang gila. Heboh, tetangga berhamburan dan pasukan dari Korem, dahulu Kodam berdatangan ke tempat kejadian perkara. Mereka sigap mengamankan keadaan.
Bujang diamankan dan diinterogasi. Hasilnya mengejutkan. Ada rencana menghabisi para anggota militer melalui mereka yang diinapkan di rumah-rumah anggota militer.
Gubernur Sumadi turun tangan. Kemudian belajar dari sejarah seperti G30S/PKI di mana jenderal-jenderal dihabisi, dan dampak dari kejadian di kediaman Buskam Noor merubah kebijakan militer terhadap anggota PKI. Anggota yang dirumahkan kembali disel di penjara.
“Kami bersyukur jam di dinding dimajukan setengah jam,” ungkap putra sulung Buskam Noor, Ir H Ridwanto. “Jika jam dinding tak dimajukan waktu itu, habis kami semua,” ungkap mantan Kadis Pertanian di Kabupaten Sintang dua periode ini.
Buskam Noor-Emi Rukiah memiliki delapan orang putra-putri masing-masing Sri Andarmi (Mba Lie—alm), Ridwanto (Mas Iwan), Sri Adriyati Ningsih (Mba Mies), Sri Andriyati Lestari (Mba Lolo), Edi Rusdi Kamtono (Mas Tono), Benny Restiadi (Mas Benny—alm), Sri Andika Dewi (Mba Oncel) dan Sri Andi Novita Oktavianti (Chiepluk). Di saat pensiunnya dari militer, Buskam Noor dikaryakan di Dinas Pekerjaan Umum. Ir Said Dja’far mantan Kepala Dinas PU setelah Ir HDZ Arifin Hadi mendengar berita wafatnya H Buskam Noor sebagai berita kemalangan besar. “Satu per satu pejuang kita dipanggil ke haribaan Allah Swt. Beliau orang baik. Beliau pekerja yang lurus dan jujur,” ungkapnya seusai mendampingi Dirjen Ciptakarya, Ir Joko Yuwono meletakkan batu pertama rumah susun sewa di kawasan Jalan Komodor Yos Sudarso.
Buskam Noor yang berdisiplin militer hingga masa senjanya tetap bugar. Dia tak pernah sakit serius. Tak pernah pula dia mengeluh. Sekali-kalinya dia dirawat adalah akibat staminanya menurun sejak Minggu (1/2) dalam usia 84 tahun. Dia sudah tidak bisa makan dan minum sehingga dilarikan ke RS Soedarso.
Putra putri Buskam Noor pun berdatangan dari Jakarta, Malang dan Sintang. Opa mendapatkan perhatian penuh dari putra-putrinya.
Genap enam orang putra-putri mendampinginya, termasuk saya yang juga menantunya—yang baru pulang dari reportase di Aruk-Kuching maupun Oma, sang istri—Opa menghembuskan napasnya yang terakhir dengan tenang dalam iringan kalimah tayyibah. Tepat di hari sayyidul ayyam, penghulu dari segala hari, Jumat (6/2) pukul 11.00 WIB.
Opa seperti orang tersenyum di antara keluarga tersayangnya. Ia telah menyelesaikan perjalanan hidup dengan segala pahit getir maupun suka-duka kehidupan.
Berita wafatnya Opa segera menyebar ke keluarga dan kolega. Mantan Walikota dr H Buchary A Rachman seusai salat Jumat di Mujahidin segera ke rumah duka di kediaman Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak, Ir H Edi Rusdi Kamtono, MM, MT. Tampak pula Walikota H Sutarmidji, SH, M.Hum, anggota legiun veteran, Drs H Daud Mountain, H Gusti Hersan Aslirosa berikut jajaran DPRD Kota Pontianak, dan ratusan pelayat lainnya.
Opa difardhu kifayahkan di rumah duka hingga dishalatkan buat pertama kalinya. Shalat kifayah kedua dilakukan di Masjid Ramadhan Jalan Parit Haji Husin II seusai shalat Ashar. Opa kemudian dimakamkan di samping pusara dua orang putra-putri yang terlebih dahulu mendahuluinya, Mba Lie dan Mas Benny. Juga berada di antara mertuanya Kek Senat Wijaya yang namanya diabadikan menjadi Gang Wijayasari, dan Nek Sapinah di pemakaman umum muslim Sungai Bangkong, Jalan Ali Anyang.
Isak tangis dan air mata keluarga yang mencintai Opa bercucuran seiring tabur bunga di atas pusara. Doa doa dimunajatkan untuk arwah di alam baka dan keselamatan keluarga yang masih harus berjuang di dunia nan fana.
Selamat jalan Opa. Selamat jalan pejuang. Sungguh, segala nilai kejuanganmu di masa hidup akan menjadi inspirasi bagi anak cucu dan generasi muda mendatang untuk terus berjuang, berjihad, mewujudkan Indonesia Merdeka yang sesungguhnya. Merdeka atas segala penjajahan, mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bertakwa serta selamat bahagia dalam tatanan hidup dunia hingga akhirat. Amiin.
Posted by Noeris at 03.57 0 comments
Progress Report ke Bonn University Jerman
Formalnya laporan perkembangan atau progress report ke Universitas Bonn (Bonn University) di Jerman, tetapi secara langsungnya di rubrik ini, pada hari ini, kami laporkan kepada publik. Intinya adalah apa saja yang telah dan akan dilakukan antara Borneo Tribune dengan lembaga nirlabanya Tribune Institute serta Bonn University.
Pertama, mahasiswa S1 dan S2 Bonn University belajar bahasa dan kebudayaan dengan magang alias internship programe di Borneo Tribune dan Tribune Institute. Tenggat waktunya 3-6 bulan.
Sejak 1 Oktober 2008 program ini dilaksanakan, praktikan satu per satu—hingga sekarang empat orang—di tahun 2009 akan bertambah 3 lagi—mencapai kemajuan dalam berbahasa dengan luar biasa. Parameternya adalah pergaulan sehari-hari di mana mereka berkomunikasi selama 6 hari berbahasa Indonesia dan sehari sesuai program English Day on Tribune berbahasa Inggris (setiap hari Sabtu).
Praktikan mengalami kemajuan dalam menerapkan mata kuliah Bahasa Indonesia yang ditimba bersama Yanti Mirdayanti, MA (dosen Bahasa Indonesia sekaligus freelancer Borneo Tribune) serta aktivitas keredaksian. Praktikan juga menulis bilingual, yakni Bahasa Indonesia serta Bahasa Inggris. Karya-karya ini menunjukkan betapa praktikan sudah bisa berbicara dan sekaligus menulis. Masing-masing dua saluran keterampilan ilmu komunikasi dan ilmu bahasa.
Cultural exchange juga dirasakan awak redaksi dan komunitas sosial melalui program ini. Ada pertukaran pengetahuan, pengalaman, hingga kebudayaan. Antara praktikan dan kru redaksi maupun pembaca ada saling belajar, saling mengisi, memberi dan menerima. Take and give.
Kemampuan berbahasa Inggris awak redaksi juga meningkat. Peningkatan berbahasa internasional ini membuka peluang kepada peningkatan pengetahuan, keterampilan dan setrusnya sehingga berdampak bagi pengambilan keputusan-keputusan secara cerdas. Publik juga memanfaatkan informasi publik di Borneo Tribune yang terus meningkat ini. Praktikan difasilitasi HBT dan YTI memenuhi undangan sekolah-sekolah, kampus-kampus, sampai komunitas-komunitas berbahasa Inggris.
Inilah esensi dari koran Borneo Tribune sebagai koran pendidikan. Pendidikan itu dimulai dari diri sendiri, di lingkungan kantor dan kemudian meluas ke luar. Tangan atau lembaga kami untuk menjangkau kegiatan luar yang lebih luas tidak hanya Borneo Tribune melalui korannya, tetapi juga Tribune Institute dengan aktivitas-aktivitas sosialnya.
Mendapat laporan perkembangan seperti karya-karya tulis praktikan, Bonn University selalu membahasnya. Karya-karya seperti artikel maupun opini selalu dicetak dan diperbanyak, lalu ditempel di pusat-pusat informasi Kampus Bonn.
Nama praktikan seperti Dorina, Mathias, Sina, dan Christian harum di Jerman, nama Borneo Tribune dan Tribune Institute juga naik daun di salah satu negeri Eropa itu. Pastinya, nama Kalbar dan Indonesia juga berjaya di negara kiblat teknologi dunia tersebut. Jerman!
Pembaca, begitulah laporan kami kepada publik. Begitupula laporan kami kepada Dirut PT Borneo Tribune Press, W Suwito, SH, MH. Para pihak saling lontar ide, harapan dan kerja maupun karya. Respon balik yang diperoleh memang jauh lebih bersemangat sehingga melecut adrenalin untuk berbuat dan berbuat jauh lebih taktis maupun strategis lagi. Bukan lagi talk less do more, tetapi talk more do more.
Posted by Noeris at 03.48 0 comments
Tok Ambok
Datok juga Ambok juga. Dalam pengertian Bugis, datok sama dengan kakek, ambok sama dengan bapak. Jadi, dua level menjadi satu. Inilah dwi fungsi kultural.
Nama Tok Ambok saya dapatkan dari keluarga saya sendiri. Tepatnya dari Suhairi, putra dari H Abdul Razak, cucu dari H Abdurrachman yang akrab kami sapa Tok Haji Kamang. Tok Haji Kamang adalah kakak kandung nenek saya, Hj Tahirah HM Husein.
H Abdul Razak—Wak Cak—mendidik Heri untuk menyapa Tok Haji Kamang dengan sapaan datok. Ia sendiri memanggil ayahnya dengan panggilan ambok. Tetapi karena Heri kecil sama dengan anak-anak kecil lainnya yang kebiasaannya meniru orang tua, maka lahirlah kreativitas kata Tok Ambok itu.
Sapaan Tok Ambok terdengar lucu, dan memang dalam pengertian sehari-harinya lucu lantaran penggabungan dua level sekaligus. Tapi kata Tok Ambok juga terndegar nyentrik sehingga menarik. Dalam ilmu marketing, kata ini ada ruhnya sehingga marketable.
Pada suatu hari saya mengatakan di antara teman-teman, bahwa beruntunglah kalian hidup di era kesejagatan di mana internet sudah merambah ke mana-mana. “Kalian bisa bekerja di satu komputer ke satu komputer lain, dari satu kota ke kota lain sehingga jarak dan waktu menjadi nisbi dan relatif. Di masa Tok Ambok dulu tak ada fasilitas secanggih begini,” kata saya.
“Zaman Tok Ambok dulu....,” kata saya “hidup prihatin. Gambar belum dikenal luas. Tetapi sekarang, foto bisa dikopi dan dodownload tanpa harus dicuci cetak. Bisa dikirim dari Pontianak ke Amerika dalam 5 menit dan sama persis. Bisa dibesarkan, bisa dikecilkan. Sangat canggih.”
Sejak saya bercerita begitu, teman-teman malah menyapa saya dengan sapaan Tok Ambok. Lucu. Hyperbolik. Tapi saya nikmati saja. Tak apalah menjadi Tok Ambo di kalangan generasi muda sesama anak muda.
Bagi saya kelucuan dan hyperbolik kisah Tok Ambok ini lucu yang memang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari di mana kompleksitas masalah kita makin runyam laksana benang kusut.
Cerita dan berita sama crowdednya. Padat, penat, terlebih masalah sosial kenegaraan kita laksana layangan putus. Melayang-layang tak tentu ke mana arah rimbanya.
Lihatlah, dari presiden ke presiden bicara perbatasan sebagai gerbang utama republik yang oleh karena itu mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Tetapi sejak Bung Karno, Soeharto, hingga Megawati dan SBY sekalipun, perbatasan kita tak kunjung dapat perhatian sebagaimana mestinya. Bahkan terakhir ada warga kita yang ditembaki oknum polisi PDRM dan tubuhnya dicabik-cabik. Duhai, betapa marwah kita direndahkan.
Yang lainnya lagi, belum tuntas daerah pemekaran wilayah diproses sesuai mekanisme undang-undang, Presiden sudah mengultimatum stop pemekaran daerah. Padahal jika kita telusuri dengan baik-baik, pemekaran wilayah adalah buah dari reformasi lantaran jauhnya rentang pelayanan pemerintah pusat kepada rakyat di kampung-kampung. Perihal tewasnya Ketua DPRD Sumut di tangan massa mesti diproses hukum sebagaimana mestinya, tetapi euforia pemekaran daerah juga mesti diproses hukum. Tidak boleh satu kasus menggeneralisasi kasus-kasus lainnya.
Negeri kita memang negeri yang aneh. Reformasi menjadi repotnasi. Hukum belum menjadi panglima. Demokrasi belum kukuh berdiri.
Oleh karena itu kreativitas kata Tok Ambok patut jadi sesuatu yang lucu dan menghibur lara intelektual kita. Apalagi jika kita maknai dwi fungsi kultural itu sebagai penggabungan dua sifat induk yang unggul. Inilah pengertian hybrid.
Dunia teknologi yang canggih kini berkompetisi melahirkan mesin-mesin hybrid. Mesin hybrid itu adalah mesin yang ramah lingkungan. Tiada polusi udara dan suara.
Kita mesti pula seperti Suhairi yang kreatif dengan cara melahirkan ide-ide hybrid sampai industri-industri hybrid. Dimulai dari kata-kata hybrid, bibit-bibit hybrid, hingga mesin-mesin hybrid. Ayo kita mulai dari diri sendiri.
Posted by Noeris at 03.39 0 comments