Entikong, Rabu, 4 Februari 2008 pukul 04.30 WIB. Sedih dan bangga bercampur baur ketika berada di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Bangga karena sedikit banyak ada juga perubahan di PPLB Entikong. Sedih karena Indonesia seperti raksasa yang sedang tidur sehingga dengan tidur panjangnya itu harta bendanya dikuras para pihak yang tidak bertanggungjawab.
Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektar hutan wilayah Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia. Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing butuh perhatian serius jika tidak ingin kasus Sipadan-Ligitan terulang.
Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antarpelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal logging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Departemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia.
Jalan-jalan tikus sepanjang perbatasan memang banyak sekali. Peluang ekspor-impor gelap juga sangat memungkinkan.
Dibutuhkan kekompakan dari semua lapisan masyarakat Indonesia untuk mengentaskan masalah-masalah tersebut di atas. Tidak boleh ada ego sektoral dalam mengubah halaman belakang menjadi garda terdepan bangsa.
Ego sektoral dan lemahnya tata cara kerjasama menyebabkan perbedaan antara Malaysia dan Indonesia sangat kentara. "Lama sekali perjalanan antara Kuching ke Pontianak," ujar Andre seorang warga Jerman yang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke Kota Pontianak.
Andre terbang dari Jerman ke Sarawak. Rekannya Dorina Luise Schulte yang magang di Borneo Tribune - Tribune Institute menemuinya di Kuching. Mereka menikmati pariwisata di Jiran. "Nuris, senang sekali di Sarawak," tulis SMS Dorina kepada saya. "Di sini banyak sekali objek wisata," sambungnya.
Saya tahu turisme di Jiran digarap apik. Mulai dari tata kelola alamnya, tata kotanya, hingga oleh-olehnya. Semua disatu-padukan menjadi sajian yang unik. Mereka berhasil menjual kemolekan Borneo.
Pariwisata Sarawak memang kategori maju. Mereka mendisain kota dan desanya dengan perencanaan yang matang. Tidak tambal sulam, tapi konsisten. Mereka bahkan menyewa konsultan khusus untuk itu. Dan hasilnya seperti dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri. Infrastrukturnya berkualitas tinggi. Jalan-jalan rayanya membentang sejak kota hingga desa-desa.
"Untuk ke perbatasan Aruk dari Kota Kuching dapat ditempuh 1,5 jam saja," kata Andi yang menjadi sopir rombongan kami. "Terdapat banyak jalur ke Aruk. Saya tahu ada tiga," kata Andi lagi.
Ruas jalan ke perbatasan dari arah Jiran sudah bercabang-cabang. Semua mulus dan berkualitas. Wajar jika jalan itu menjadi magnet bagi ekonomi berupa arus orang dan barang. Orang itu seperti TKI-TKW, baik legal maupun ilegal. Begitupula sayur-mayur, sembako, hingga kayu. Baik legal maupun ilegal.
Alhasil, jalan, listrik, air dan telekomunikasi di Jiran sudah oke punya. Sangat jauh meninggalkan saudara tuanya yang masih terseok-seok menata "rumah-tangganya" yang tak jarang untuk urusan membangun patung naga di Singkawang pun "ributnya" tak ketulungan.
Sarawak yang multietnis dan agama sudah menikmati banjirnya turis hingga 4-5 juta per tahun. Kita? Semua orang bisa menjawabnya.
Andre tiba di Pontianak tengah malam. Matanya merah. "Ratusan kilometer pastinya dari Kuching ke Pontianak," komentarnya saat saya jemput di depan Hotel Orchardz.
Menurut Andre, perbedaan utama antara Kuching dan Kalbar adalah jalannya. Di Sarawak jalannya lebar-lebar dan besar, sedangkan di Kalbar jalannya sempit dan setiap lima menit ada lubang. "Persis tak bisa tidur nyenyak di sepanjang jalan," ujarnya tertawa.
Andre ketiban sial pula. Saat perdana ke Kalbar terjadi banjir di Sekayam. Ia terpaksa ganti mobil angkutan umum. Tubuhnya yang jangkung hampir 2 meter melengkung di kursi yang tidak empuk. Kursi yang tak bisa ditekuk buat tidur. Maklum bis besar terpaksa parkir di pinggir jalan dan ia naik bis ekonomi. Ia merasa tersiksa sekali.
Dalam hal transportasi di negara kita ini juga belum kompak. Pengusaha masih bertahan dengan mobil-mobil tua. Bank-bank sungkan mengucurkan kredit lunak buat pengusaha agar mudah berusaha. Hasilnya? Itulah kata Andre.
Jika citra jalan dan kendaraan yang tersedia di Kalbar seperti ini, bagaimana cara kita berkompetisi dalam hal pariwisata? Bagaimana kita hendak memenuhi harapan jika PPLB Aruk dan Badau dibuka? Bahwa kita hendak meningkatkan ekonomi rakyat kita seperti juga seringkali diungkapkan Bupati Sambas Ir H Burhanuddin A Rasyid dan Bupati Kapuas Hulu Drs H Abang Tambul Husin?
Saat Dirjen Ciptakarya, Joko Yuwono, bertandang ke PPLB Aruk, Bupati Burhanuddin begitu berharap infra struktur dibantu sehingga dengan dibukanya PPLB Aruk kelak, rakyat Sambas akan meningkat pendapatan per kapitanya. Begitupula harapan Bupati Tambul Husin saat menyambut enam Dirjen meninjau PPLB Badau. "Jika rakyat tidak berinisiatif memanfaatkan peluang, bisa-bisa Jiran yang mendulang keuntungan besar karena modal besar mereka," kata Tambul.
Jika tata cara evolusi yang terjadi di Indonesia terus berlangsung lambat, maka kita akan terus digilas roda sejarah sebagai bangsa terbelakang. Terkecuali ada konsolidasi yang kuat sehingga terjadi partisipasi aktif di segala lini dan sanggup mengubah evolusi lambat menjadi evolusi cepat. Menjadi revolusi. Revolusi yang dibahasakan gerakan tahun 1998 bernama reformasi.
Gubernur Kalbar, Cornelis, menyatakan revolusi itu perlu. Revolusi itu dimulai dari revolusi cara berpikir dan bertindak. Revolusi cara berpikir dan bertindak akan menyebabkan terjadinya revolusi sosial ke arah yang positif di mana setiap rakyat bukan menjadi beban, tetapi bisa mengambil keputusan-keputusan yang cerdas di dalam kehidupannya.
Misalnya rakyat merasa tertantang untuk memelihara hasil-hasil pembangunan. Rakyat tidak menggunakan jalan di luar tonasenya. Rakyat cepat lapor jika ada kontraktor yang nakal. Aparat cepat menindak jika terjadi kemungkaran serta tidak sengaja membiarkannya sebagai objek sapi perahan. Dengan demikian seluruh komponen bergerak bersama ke arah kemajuan. Tak terkecuali dalam hal membangun perbatasan.
Sabtu, 28 Februari 2009
Butuh Revolusi Bangun Perbatasan
Posted by Noeris at 03.49
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar