Minggu, 08 Februari 2009

Tok Ambok


Datok juga Ambok juga. Dalam pengertian Bugis, datok sama dengan kakek, ambok sama dengan bapak. Jadi, dua level menjadi satu. Inilah dwi fungsi kultural.
Nama Tok Ambok saya dapatkan dari keluarga saya sendiri. Tepatnya dari Suhairi, putra dari H Abdul Razak, cucu dari H Abdurrachman yang akrab kami sapa Tok Haji Kamang. Tok Haji Kamang adalah kakak kandung nenek saya, Hj Tahirah HM Husein.
H Abdul Razak—Wak Cak—mendidik Heri untuk menyapa Tok Haji Kamang dengan sapaan datok. Ia sendiri memanggil ayahnya dengan panggilan ambok. Tetapi karena Heri kecil sama dengan anak-anak kecil lainnya yang kebiasaannya meniru orang tua, maka lahirlah kreativitas kata Tok Ambok itu.
Sapaan Tok Ambok terdengar lucu, dan memang dalam pengertian sehari-harinya lucu lantaran penggabungan dua level sekaligus. Tapi kata Tok Ambok juga terndegar nyentrik sehingga menarik. Dalam ilmu marketing, kata ini ada ruhnya sehingga marketable.
Pada suatu hari saya mengatakan di antara teman-teman, bahwa beruntunglah kalian hidup di era kesejagatan di mana internet sudah merambah ke mana-mana. “Kalian bisa bekerja di satu komputer ke satu komputer lain, dari satu kota ke kota lain sehingga jarak dan waktu menjadi nisbi dan relatif. Di masa Tok Ambok dulu tak ada fasilitas secanggih begini,” kata saya.
“Zaman Tok Ambok dulu....,” kata saya “hidup prihatin. Gambar belum dikenal luas. Tetapi sekarang, foto bisa dikopi dan dodownload tanpa harus dicuci cetak. Bisa dikirim dari Pontianak ke Amerika dalam 5 menit dan sama persis. Bisa dibesarkan, bisa dikecilkan. Sangat canggih.”
Sejak saya bercerita begitu, teman-teman malah menyapa saya dengan sapaan Tok Ambok. Lucu. Hyperbolik. Tapi saya nikmati saja. Tak apalah menjadi Tok Ambo di kalangan generasi muda sesama anak muda.
Bagi saya kelucuan dan hyperbolik kisah Tok Ambok ini lucu yang memang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari di mana kompleksitas masalah kita makin runyam laksana benang kusut.
Cerita dan berita sama crowdednya. Padat, penat, terlebih masalah sosial kenegaraan kita laksana layangan putus. Melayang-layang tak tentu ke mana arah rimbanya.
Lihatlah, dari presiden ke presiden bicara perbatasan sebagai gerbang utama republik yang oleh karena itu mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Tetapi sejak Bung Karno, Soeharto, hingga Megawati dan SBY sekalipun, perbatasan kita tak kunjung dapat perhatian sebagaimana mestinya. Bahkan terakhir ada warga kita yang ditembaki oknum polisi PDRM dan tubuhnya dicabik-cabik. Duhai, betapa marwah kita direndahkan.
Yang lainnya lagi, belum tuntas daerah pemekaran wilayah diproses sesuai mekanisme undang-undang, Presiden sudah mengultimatum stop pemekaran daerah. Padahal jika kita telusuri dengan baik-baik, pemekaran wilayah adalah buah dari reformasi lantaran jauhnya rentang pelayanan pemerintah pusat kepada rakyat di kampung-kampung. Perihal tewasnya Ketua DPRD Sumut di tangan massa mesti diproses hukum sebagaimana mestinya, tetapi euforia pemekaran daerah juga mesti diproses hukum. Tidak boleh satu kasus menggeneralisasi kasus-kasus lainnya.
Negeri kita memang negeri yang aneh. Reformasi menjadi repotnasi. Hukum belum menjadi panglima. Demokrasi belum kukuh berdiri.
Oleh karena itu kreativitas kata Tok Ambok patut jadi sesuatu yang lucu dan menghibur lara intelektual kita. Apalagi jika kita maknai dwi fungsi kultural itu sebagai penggabungan dua sifat induk yang unggul. Inilah pengertian hybrid.
Dunia teknologi yang canggih kini berkompetisi melahirkan mesin-mesin hybrid. Mesin hybrid itu adalah mesin yang ramah lingkungan. Tiada polusi udara dan suara.
Kita mesti pula seperti Suhairi yang kreatif dengan cara melahirkan ide-ide hybrid sampai industri-industri hybrid. Dimulai dari kata-kata hybrid, bibit-bibit hybrid, hingga mesin-mesin hybrid. Ayo kita mulai dari diri sendiri.


0 comments: