Gugur bungaku di taman bakti...
Ke haribaan ibu pertiwi...
Betapa hatiku tak akan pilu...
Telah gugur...pahlawanku....
Satu per satu tokoh pejuang di Kalbar anggota legiun veteran angkatan 1945 dipanggil keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mulai dari H Achmad Noor, H Ibrahim Saleh hingga Jumat (6/2) kemarin Kapten Inf Purn H Buskam Noor.
Pria kelahiran Kampung Manggis, Kabupaten Sambas pada 17 Agustus 1925 itu memulai karirnya dengan merantau. Ia sebatang kara di perantauan dengan menyelesaikan pendidikan di kemiliteran. Kala itu Republik Indonesia masih dalam suasana penjajahan Belanda dan sangat langka “biak-biak” Sambas terjun ke bidang militer.
Buskam Noor semasa mudanya kerap kali bercerita bahwa Kalbar di masa penjajahan Belanda hidup sangat sulit, pendidikan sangat terbatas, serta fasilitas-fasilitas publik tak semewah masa kemerdekaan. Hidup di masa sulit menyebabkan tantangan demikian tinggi. Hal itulah yang digunakan Opa sebagai cambuk kesuksesan dirinya sehingga tekun dalam belajar, bekerja dengan keras, hingga benar-benar menikmati era kemerdekaan.
Jalan-jalan raya di era kemerdekaan disaksikan Opa terus bertambah panjang dan menyentuh pedesaan-pedesaan. “Sewaktu Opa di militer, dari Pontianak ke Bengkayang, jalan berbatu dan berdebu. Berkendaraan sakit sekali, tidak semulus sekarang,” ungkapnya.
Kendati sulit merebut dan mempertahankan kemerdekaan—apalagi alat militer Indonesia kalah canggih dibandingkan Belanda atau menyusul kemudian Jepang, kehidupan di Kalbar kala itu lebih sulit lagi. Untuk itu Basrin—nama kecilnya—rela merantau dan memilih jadi anggota tentara, rela naik-terjun truk-truk militer dalam rangka latihan, ataupun menjalankan tugas kemiliteran. “Opa terampil naik dan lompat truk, membawa ransel dengan beban-beban berat, tetapi kemudian Opa juga pernah menjadi komandan upacara saat Jenderal Abdul Haris Nasution melakukan inspeksi di Kalbar,” tutur Opa.
Di usianya yang ke-20 Republik Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Buskam Noor telah turut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan rotasi tugas tidak hanya di Bengkayang, tetapi juga ke Kalimantan Selatan, maupun Jawa Tengah.
Kisah heroik semasa PKI bergerilya juga sempat menghampiri keluarga besar Buskam Noor yang berdomisili di Jl KH Akhmad Dahlan No 40 Kota Pontianak. Kala itu tentara RI yang berhasil menumpas G30S/PKI mendapatkan hak dan kewajiban “mendidik dan memelihara” anggota eks PKI. Buskam Noor “memelihara” seorang pemuda bernama Bujang.
Bujang bekerja dengan baik di dalam rumah, terutama membantu memasak, mencuci, membersihkan lantai, termasuk menjaga rumah. Putra-putri Buskam Noor sendiri sudah relatif dewasa, dan hanya si bungsu Sri Andi Novita Oktavianti yang masih dalam gendongan. Si bungsu yang akrab disapa Nita ini hanya berbeda satu tahun dari usia cucu pertama Buskam Noor bernama Rommy Irawan.
Di suatu pagi, Bujang mengasah golok. Prilaku ini tak disadari oleh anggota keluarga Buskam Noor. Ternyata golok yang diasah berjam-jam itu bukannya akan digunakan menebas rumput di halaman, tetapi akan menghabisi semua anggota keluarga.
Tragedi Bujang menyerang Opa dengan golok yang sudah diasahnya itu terkuak lantaran jam dinding maju 30 menit dari waktu sesungguhnya. Bujang ternyata masih belum “bersih” dari jejaring PKI. Sesama anggota telah mempunyai satu misi menghabisi anggota militer di masa anggota PKI “dirawat”.
Opa mengalami luka serius di perutnya. Usus yang bocor itu mesti dirawat di Rumah Sakit St Antonius. Menantunya yang bekerja di Kehakiman juga mengalami luka-luka serius, termasuk istri Opa, Oma yang nama lengkapnya Emi Rukiah.
Saat itu Nita dan Rommy Irawan yang masih dalam gendongan terlempar, tetapi selamat dari kibasan golok Bujang. Suwandi, menantu Opa sempat melepaskan tembakan ke udara untuk menjinakkan Bujang, tetapi Bujang tak surut meronta seperti orang gila. Heboh, tetangga berhamburan dan pasukan dari Korem, dahulu Kodam berdatangan ke tempat kejadian perkara. Mereka sigap mengamankan keadaan.
Bujang diamankan dan diinterogasi. Hasilnya mengejutkan. Ada rencana menghabisi para anggota militer melalui mereka yang diinapkan di rumah-rumah anggota militer.
Gubernur Sumadi turun tangan. Kemudian belajar dari sejarah seperti G30S/PKI di mana jenderal-jenderal dihabisi, dan dampak dari kejadian di kediaman Buskam Noor merubah kebijakan militer terhadap anggota PKI. Anggota yang dirumahkan kembali disel di penjara.
“Kami bersyukur jam di dinding dimajukan setengah jam,” ungkap putra sulung Buskam Noor, Ir H Ridwanto. “Jika jam dinding tak dimajukan waktu itu, habis kami semua,” ungkap mantan Kadis Pertanian di Kabupaten Sintang dua periode ini.
Buskam Noor-Emi Rukiah memiliki delapan orang putra-putri masing-masing Sri Andarmi (Mba Lie—alm), Ridwanto (Mas Iwan), Sri Adriyati Ningsih (Mba Mies), Sri Andriyati Lestari (Mba Lolo), Edi Rusdi Kamtono (Mas Tono), Benny Restiadi (Mas Benny—alm), Sri Andika Dewi (Mba Oncel) dan Sri Andi Novita Oktavianti (Chiepluk). Di saat pensiunnya dari militer, Buskam Noor dikaryakan di Dinas Pekerjaan Umum. Ir Said Dja’far mantan Kepala Dinas PU setelah Ir HDZ Arifin Hadi mendengar berita wafatnya H Buskam Noor sebagai berita kemalangan besar. “Satu per satu pejuang kita dipanggil ke haribaan Allah Swt. Beliau orang baik. Beliau pekerja yang lurus dan jujur,” ungkapnya seusai mendampingi Dirjen Ciptakarya, Ir Joko Yuwono meletakkan batu pertama rumah susun sewa di kawasan Jalan Komodor Yos Sudarso.
Buskam Noor yang berdisiplin militer hingga masa senjanya tetap bugar. Dia tak pernah sakit serius. Tak pernah pula dia mengeluh. Sekali-kalinya dia dirawat adalah akibat staminanya menurun sejak Minggu (1/2) dalam usia 84 tahun. Dia sudah tidak bisa makan dan minum sehingga dilarikan ke RS Soedarso.
Putra putri Buskam Noor pun berdatangan dari Jakarta, Malang dan Sintang. Opa mendapatkan perhatian penuh dari putra-putrinya.
Genap enam orang putra-putri mendampinginya, termasuk saya yang juga menantunya—yang baru pulang dari reportase di Aruk-Kuching maupun Oma, sang istri—Opa menghembuskan napasnya yang terakhir dengan tenang dalam iringan kalimah tayyibah. Tepat di hari sayyidul ayyam, penghulu dari segala hari, Jumat (6/2) pukul 11.00 WIB.
Opa seperti orang tersenyum di antara keluarga tersayangnya. Ia telah menyelesaikan perjalanan hidup dengan segala pahit getir maupun suka-duka kehidupan.
Berita wafatnya Opa segera menyebar ke keluarga dan kolega. Mantan Walikota dr H Buchary A Rachman seusai salat Jumat di Mujahidin segera ke rumah duka di kediaman Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pontianak, Ir H Edi Rusdi Kamtono, MM, MT. Tampak pula Walikota H Sutarmidji, SH, M.Hum, anggota legiun veteran, Drs H Daud Mountain, H Gusti Hersan Aslirosa berikut jajaran DPRD Kota Pontianak, dan ratusan pelayat lainnya.
Opa difardhu kifayahkan di rumah duka hingga dishalatkan buat pertama kalinya. Shalat kifayah kedua dilakukan di Masjid Ramadhan Jalan Parit Haji Husin II seusai shalat Ashar. Opa kemudian dimakamkan di samping pusara dua orang putra-putri yang terlebih dahulu mendahuluinya, Mba Lie dan Mas Benny. Juga berada di antara mertuanya Kek Senat Wijaya yang namanya diabadikan menjadi Gang Wijayasari, dan Nek Sapinah di pemakaman umum muslim Sungai Bangkong, Jalan Ali Anyang.
Isak tangis dan air mata keluarga yang mencintai Opa bercucuran seiring tabur bunga di atas pusara. Doa doa dimunajatkan untuk arwah di alam baka dan keselamatan keluarga yang masih harus berjuang di dunia nan fana.
Selamat jalan Opa. Selamat jalan pejuang. Sungguh, segala nilai kejuanganmu di masa hidup akan menjadi inspirasi bagi anak cucu dan generasi muda mendatang untuk terus berjuang, berjihad, mewujudkan Indonesia Merdeka yang sesungguhnya. Merdeka atas segala penjajahan, mewujudkan Indonesia yang cerdas dan bertakwa serta selamat bahagia dalam tatanan hidup dunia hingga akhirat. Amiin.
Minggu, 08 Februari 2009
Selamat Jalan Pejuang, Selamat Jalan Opa
Posted by Noeris at 03.57
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar