Minggu, 08 November 2009

SERUAN PONTIANAK VS PERNYATAAN SIKAP BERSAMA: KEPEDULIAN & KEKECEWAAN

Oleh: Syarif Ibrahim Alqadrie
Sejak dalam perjalanan dari Pontianak sampai ke Bandung hingga pelatihan dimulai, telpon genggam (HP) saya selalu berdering yang berbentuk baik pembicaraan maupun SMS. Semua informasi itu berasal dari rekan-rekan saya dari beberapa kota di Jawa, Sumatera, Pontianak dan Singkawang; bahkan dari Copenhagen, Denmark dan Seoul, Korsel; serta diantaranya terdapat seorang anggota keluarga besar Qadriah di Jakarta. Mereka meminta komentar saya tentang ‘Seruan Pontianak’ (SP) yang dianggap “menghebohkan” dan reaksi terhadapnya dalam bentuk ‘Pernyataan Sikap Bersama’ (PSB) yang kemudian mendasari ramainya komentar tentang hal itu di KalBar. Kerabat saya ini meminta saya mendorong terciptanya kondisi tenang (cooling down) agar suasana kondusif di daerah ini dapat tercipta kembali.
Semua keinginan rekan-rekan itu terasa berat untuk dipenuhi, karena saya tidak termasuk orang yang memiliki kompetensi dan berkompetan melakukannya. Namun, karena saya menyenangi keadilan dan perdamaian serta tidak menyukai pemaksaan kehendak, maka saya juga ingin menyumbang pemikiran, walaupun mungkin belum tentu banyak orang menyetujuinya. Selain itu tulisan ini ingin menghargai keinginan rekan-rekan seperjuangan yang ingin mengetahui pendapat saya tentang apa yang sedang terjadi di KalBar.

Seruan Pontianak vs Pernyataan Sikap Bersama
Dimulai katanya dengan kepedulian dan keprihatinan tentang kondisi tidak gregetnya upaya mengurangi pelanggaran HAM di KalBar, SP yang ditandatangani oleh 77 tokoh, aktivis LSM dan perdamaian, pemerhati sosial dan akademisi, muncul pada tiga media cetak Pontianak, Senin 28/9 - 2009. Dua hari kemudian muncul reaksi dalam bentuk PSB yang ditandatangani oleh 11 lembaga dan organisasi Masyarakat Dayak, tidak termasuk Institut Dayakologi Research and Developmetn (IDRD), termuat dalam Pontianak Post, Rabu, 30/9-2009.
Reaksi terhadap iklan SP yang tertuang lewat PSB merupakan hal yang sangat wajar, beralasan dan tidak berlebihan. Penanda tangan PSB tidak sama sekali menolak seruan yang mengedepankan penegakan hukum dan HAM, bahkan mereka menghargainya. Keberatan itu hanya mengarah pada hal-hal teknis misalnya penggunaan lambang etnis, etika dan informasi data yang belum diklarifikasi kebenarannya. Karena itu, PSB menyesalkan tindakan pengungkapan kembali peristiwa dan luka lama yang merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi tanpa diinginkan oleh siapapun dan berpendapat upaya membuka kembali peristiwa itu hanya akan memancing masalah baru. Para tokoh adat Sambas juga bereaksi spontan terhadap SP tersebut (Equator, 2/10-09:1) yang mereka anggap hanya terbawa oleh isu HAM tanpa melihat perkembangan kondisi di Sambas sehingga SP itu mengganggu tata kehidupan masyarakat di kabupaten itu yang telah mulai kondusif itu.
Beberapa hari kemudian tidak sedikit kritikan dan komentar miring terhadap SP berhamburan baik di berbagai media cetak, audio dan visual maupun melalui “media” lisan berupa diskusi informal di kantor, dalam perkuliahan maupun dalam percakapan sehari-hari di warung kopi. Oleh karena sebagian besar dari komentar tersebut bernada memvonis dan tidak memberi jalan keluar bagi pemecahan masalah yang kontroversial itu, maka polemik berkenaan dengan SP versus PSB bertambah panas, sehingga perlu dicarikan jalan pemecahan yang lebih bersahabat jauh dari rasa dendam dan kebencian.
Jalan ke luar dimaksud dapat dianalogikan sebagai suatu sintesis yaitu upaya mencari jalan tengah dengan mempertemukan dua pendapat yang berhadapan sebagai tesis dalam hal ini SP dan antitesis yaitu PSB. Dengan demikian kehadiran tesis dan antithesis itu tidak sampai memancing polemik yang memperuncing suasana, tapi justru dapat dimanfaatkan sebagai ide-ide baru untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita masih peduli terhadap HAM dan di lain fihak kita seharusnya memahami posisi masing-masing dengan tidak begitu saja membuka luka lama.

Komentar dan Pemahaman.
Saya memang sudah membaca iklan SP dan PSB sebelum berangkat, namun karena kesibukan mempersiapkan bahan pelatihan, saya tidak fokus dengan hal tersebut. Karena itu, saya belum dapat berkomentar apapun apalagi menjelaskan tentang latar belakang timbulnya SP tersebut. Apa yang kita perlukan segera sekarang adalah bukan komentar yang berlebih-lebihan terhadap salah satu fihak dan mengurangi fihak lain, apalagi komentar yang memojokkan dan “mengipas-ngipas” fihak-fihak tertentu. Menurut hemat saya komentar semacam itu tidak bakal menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya akan memperburuk suasana yang sudah mulai tenang selama 8 tahun ini, dan baru kemudian 28/10 ada sedikit hal yang menghebohkan.
Betapa tidak, komentar-komentar terhadap SP sudah mulai meluas dan tidak lagi proporsional (Equator, 30/9-09:1). Ada komentar bernada memperingatkan untuk tidak terperangkap pada kepentingan pribadi (Ptk Post, 1/10-09:1), ada komentar bernada netral agar tidak membesar-besarkan masalah yang tidak perlu diperluas, ada juga yang menganggap para penggagas SP itu sebagai “provokator” yang tidak menyukai kondisi KalBar kondusif lalu menginginkan mereka dan 77 orang penanda tangannya meminta maaf dan diajukan ke pengadilan. Selain itu, adapula yang kurang yakin bahwa penggagas SP apalagi para penandatangannya dapat dipidana, karena aturan pelanggarannya tidak jelas (Equator, 3/10-09:1). Tidak kurang pula yang mengingatkan secara keras agar “tidak menggali bangkai” para korban pertikaian sebelumnya dengan tidak mengungkapkan tragedi lama. Tak kurang pula yang menganggap penggagas SP dan penanda tangannya “tidak senang” dengan pemegang pemerintahan yang ada di KalBar. Bahkan ada komentar aneh – justru ini mengkhawatirkan masyarakat demokratis yang cinta damai dengan akan timbulnya wajah baru dari karakter lama ORBA yang otoriter-- dengan mengaitkan SP sebagai bentuk lain dari “bahaya laten PKI” yang katanya perlu diwaspadai (Ptk Post, 2/10-09: 22).
Karena itu, dalam kondisi hampir tak menentu sepanjang tiga minggu ini, diam menurut saya adalah emas. Kalaupun komentar diperlukan, ia memerlukan bahwa kedua fihak, pro dan kontra, tidak dikonfrontir atau dipertemukan secara berhadap-hadapan untuk membela diri mati-matian dan menyerang dan memvonis habis-habisan, apalagi sampai diproses di pengadilan.

Perbedaan Pendapat dan Masyarakat Madani.
Sejumlah pengamat netral melihat bahwa perbedaan pendapat sebagai konsekuensi dari hal-hal yang kontroversi sekitar iklan SP dan PSB adalah hal yang wajar dalam masyarakat plural dan demokratis. Perbedaan pendapat adalah salah satu konsekuensi logis dalam berdemokrasi. Berdasarkan management konflik (Simon Fisher, Working With Conflict: Skill and Strategies for Action. NY, USA: Zed Books, 2000:1-16) perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih, antara kelompok dan antara negara dalam pengertian akademis disebut konflik dan secara umum belum mengandung kekerasan baik fisik maupun non-fisik atau mental dan sosial.
Karena itu, konflik adalah perbedaan pendapat yang belum sama sekali masuk ke dalam tataran kekerasan. Konflik kekerasan atau kerusuhan (violent conflict) dapat dicegah dengan kemauan dan kemampuan dalam mengelola konflik yaitu menerima, menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan. Biarkan perbedaan pendapat itu menghampiri dan berjalan bersama kita tanpa paksaan agar fihak lain “mengikuti” dan “setuju” dengan apa yang kita mau. Kalau karakter pemaksaan itu terjadi, itu berarti kekerasan telah diambang pintu dan ia telah merobohkan kebijaksanaan dan akal budi. Itulah yang pernah terjadi selama ini di daerah yang kita cintai ini –tentu juga disebabkan oleh faktor lain—selama 4 (empat) priode lingkaran 30 tahunan: 1900-an, 1930-an, 1960-an dan 1990-an (Alqadrie, The Pattern of Violent Conflict in West Kalimantan and its factors. Copenhagen, Denmark: NIAS, 2001). Khususnya pada periode lingkaran ke 3 dan ke 4, 1960-an dan 1990-an, telah terjadi lebih dari 14 kali pertikaian. Tanpa memahami sejarah dan menghormati perbedaan yang ada, peristiwa menyakitkan yang memang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya dikhawatirkan akan terjadi lagi.
Bagaimanapun upaya kita untuk tidak “menyukai” peristiwa yang mencoreng nama kita di dunia internasional yang membuat kita prihatin sebagai bangsa yang berbudi, memang tidak bisa kita lakukan dengan melemparkan realitas sejarah. Walaupun, kesemuanya itu adalah musibah, di luar keinginan kita dan semua fihak memang sudah menderita dan menjadi korban karenanya. Upaya pengingkaran pada realitas sejarah bukanlah keinginan dari hati nurani maupun kearifan kita sebagai putra dari sebuah bangsa yang besar. Masalahnya adalah memang kita masih memerlukan waktu sehingga kita siap untuk menerima realitas sejarah sehingga memudahkan kita diterima dalam masyarakat internasional dan sistem dunia. Penggagas SP tampaknya “tidak sabar” dan “tergesa-gesa.”
Apa yang kita butuhkan sekarang dan yang akan melahirkan serta memperkuat kembali marwah dan kearifan lokal kita adalah perenungan, kesadaran dan pemahaman terhadap posisi kita masing-masing. Bahwa ada satu fihak yang mungkin terdorong dan berkewajiban untuk mengingatkan akan kealpaan kita dan fihak lain mungkin berhak untuk berkeberatan dan menolak sesuatu yang dianggap berlebihan dan mencoreng wajah kita, adalah perbedaan pendapat yang perlu disikapi dengan karakter multikulturalisme dalam pluralisme yang sudah ada sejak masyarakat Madani di Mekah sekitar 1450 tahun yang lalu.

Ide Baru dan Keberanian Moril
Terlepas dari pro dan kotra, SP telah “mengusik” ketenangan kita dengan ungkapannya yang “telanjang” tanpa tedeng aling-aling. Kita dapat mengatakan dengan suara lantang bahwa SP adalah bentuk kelancangan. Begitu beraninya sebuah seruan yang memuat ajakan untuk menegakkan hukum dan HAM di tengah masyarakat dunia –ditunjukkan oleh Negara adi daya dan sekutunya-- yang tidak konsisten dan memiliki standar ganda terhadap keadilan dan penegakan HAM. Bahkan di Indonesia sendiri, konsistensi hukum dan keadilan menjadi barang mewah dan langka. Ini adalah ide besar. Sayang kalau kita potong begitu saja dengan komentar “mematikan,” kita khawatir tidak ada lagi orang yang berani mengungkapkannya.
Oleh karena itu, beberapa pengamat netral melihat bahwa SP pada dasarnya ‘menyentak’ kesadaran kita dan membuat kita berfikir bahwa apa yang dilakukan oleh penggagas SP tersebut –yang tentu bukan terdiri dari satu atau dua orang saja— dan oleh para penanda tangannya –yang tentu telah mempertimbangkan masak-masak dengan segala resikonya— adalah sebuah ‘terobosan’ dan ‘keberanian moril.’ Terobosan “baru” ini, lanjut pengamat tersebut, seharusnya diberi ganjaran (reward) dan hukuman/sanksi (sanction) yang seimbang antara ide besar yang diungkapkan secara berani sebagai bentuk kerisauan mereka terhadap dunia dengan kelancangan mereka yang telah mengusik kondisi tenang yang mulai tercipta di bumi Khatulistiwa ini.
Mereka yang terlibat dalam SP itu telah menimbulkan kemarahan kita dan polemik berkepanjangan dalam masyarakat. Karena itu, kalaupun ada unsur pelanggaran dan gangguan terhadap ketentraman umum, kita setuju dengan proses hukum terhadap mereka yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, banyak pengamat optimis bahwa SP itu kemungkinan besar tidak akan sampai menciptakan konflik kekerasan horizontal baru baik antar etnis maupun antar generasi –seperti dikhawatirkan oleh seorang pengeritik. Bahkan sebaliknya SP itu tampaknya telah memulai era baru dalam mana putra-putra Indonesia yang lahir di daerah KalBar akan menjadi insan-insan yang humanis dan multikultural yang peka terhadap perdamaian, keadilan dan HAM.
Mengapa tidak? Penggagas dan penanda tangan SP tersebut tampaknya relatif lengkap terdiri dari berbagai kelompok etnis: seperti Dayak, Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, Madura, Banjar, Keturunan Arab (Alawiyyin), Sunda, Batak, Minang, Belanda, Manado, Aceh, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali, Ambon dan Gorontalo. Lagi pula, walaupun sebagian besar mereka merupakan generasi muda, namun tampaknya dari segi umur mereka juga sangat bervariasi dan dapat dibagi menjadi dua kelompok umur: di bawah 40 tahun dan di atas 41 tahun.

Kekuatan Sosial dan Cakrawala Global
Berdasarkan fakta sosial, budaya dan alamiah ini, penggagas dan penanda tangan SP terdiri dari unsur lintas antar etnis – bahkan bangsa, budaya, agama dan generasi (inter cross etnic –even citizen, cultural, religious and generation elements). Karena itu, KalBar seharusnya bangga terhadap mereka dan sangat beruntung dengan lahirnya kekuatan sosial yang mampu tidak saja merangkul semua potensi sosial budaya dan ekonomi di daerah ini yang tadinya terpisah atau tersegmentasi oleh kepentingan politik dan ekonomi sempit jangka pendek, tetapi juga menembus cakrawala global sehingga menjadi kekuatan sosial bersama kekuatan progresif lain di bagian dunia ini untuk mengikis ketidakadilan, dominasi dan pemiskinan yang dilakukan negara industri maju (NIM) terhadap bangsa-bangsa negara sedang berkembang.(NSB).
Para pengamat sosiologi etnis dan sosiologi hukum percaya bahwa apa yang tertera dalam SP tersebut mengenai tuntutan mereka agar pelaku kekerasan sepanjang periode ke 3 dan 4 lingkaran kekerasan 30 tahunan: 1960-an, terutama di kawasan pedalaman dekat (interior valley areas) tahun 1967 dan 1968, serta 1990-an, khususnya di Pesisir Utara tahun 1998 dan 1999, dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dan diseret ke pengadilan sebagai kejahatan kemanusiaan. Hal ini belum mungkin dilakukan sekarang karena dua hal: (1) Peristiwa yang terjadi secara beruntun itu merupakan musibah dan tragedi kemanusiaan yang tidak direncanakan sebelumnya; (2) Indonesia, khususnya KalBar, sebagai NSB masih memerlukan waktu cukup lama untuk masuk ke dalam jaringan sistem peradilan HAM apalagi untuk dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.
Peristiwa pelanggaran seperti itu tidak dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan asal tidak dilakukan secara terorganisir dan terencana atau dilakukan oleh pejabat resmi negara: tentara, polisi dan pejabat pemerintahan seperti pernah dilakukan oleh pejabat, petugas keamanan dan tentara Serbia terhadap rakyat Muslim Bosnia Herzegovina. Munculnya SP itu tampaknya dilandasi oleh dua motif: (1) ingin membuat kejutan (surprised) kepada dunia internasional yang memiliki data akurat dan yang tidak dapat disembunyikan bahwa rakyat KalBar akan siap memasuki sistem peradilan global tentang HAM dan kejahatan kemanusiaan; (2) Ingin mengajak para tokoh, pemuka masyarakat dan pejabat pemerintah daerah ini agar memiliki keberanian dan dukungan moril untuk memperkuat motif pertama. Ini perlu dimiliki mereka agar dunia internasional tahu bahwa mereka tidak terlibat dalam menggerakkan massa.
Karena itulah, menurut pengamat tersebut SP tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Tampilnya PSB sebagai reaksi dari SP sudah tepat, apalagi setelah itu lembaga masyarakat adat Dayak dan Melayu Sambas tidak lagi menunjukkan kemarahan mereka. Itu berarti bahwa sudah ada pemahaman di antara tokoh masyarakat KalBar tentang pentingnya menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat KalBar dan tokoh mereka bukan pelanggar HAM terbesar di dunia. Dua motif tadi dapat dilihat pada mereka yang menandatangani SP tersebut. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Dari 77 orang tersebut, lima di antaranya bergelar doktor, satu orang professor, dua orang setara dengan pejabat asselon satu, sekitar 50 dari mereka bergelar Master atau Magister Sains, hampir seluruh mereka beregelar sarjana satu, empat orang tokoh agama, dan sebagian besar mereka adalah aktivis perdamaian. Jadi menurut para pengamat, mereka seluruhnya memiliki motif yang jelas demi kebaikan dan peningkatan marwah Indonesia pada umumnya dan KalBar pada khususnya. Hal penting untuk dilakukan adalah mempertemukan para penggagas dan penanadatangan SP (kelompok “tesis”) dan penanda tangan PSB dan fihak lain yang berseberangan dengan SP ( kelompok “antitesis”)..
Besok siang (hari ini pukul 13.00) KAPOLDA KalBar akan mengambil inisiatif mempertemukan kedua kelompok ini (pada saat naskah ini dinaikkan sebagai edisi khusus peristiwa itu sudah terjadi, redaksi). KAPOLDA dengan seluruh jajarannya akan didukung sepenuhnya semua fihak yang netral, termasuk Jaringan Studi Konflik Indonesia (Indonesia Conflict Studi Network/ICSN). POLDA KalBar dan fihak netral dalam kasus ini merupakan kekuatan penyeimbang (kelompok sintesis) yang mempertemukan dua kekuatan utama KalBar yang tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dalam membangun KalBar. Kita percaya bahwa semua kekuatan sosial di KalBar termasuk Lembaga Adat Dayak dan DAD serta Lembaga adat Melayu Sambas sangat optimis akan keberhasilan KAPOLDA KalBar dalam merangkul semua fihak yang terkait dan mencairkan kondisi KalBar yang sedikit terganggu. Tidak salahnya para penggagas meminta maaf kepada mereka yang telah dirugikan secara moril dengan bersalaman dan berangkulan satu dengan lainnya di hadapan KAPOLDA dan pemuka masyarakat lainnya tanpa rasa dendam. Hal seperti ini perlu dilakukan karena ada hal yang lebih penting lagi dalam membangun KalBar dengan kebersamaan kita. Marilah kita berdoa. (Dosen FISIP UNTAN dan Direktur Indonesia Conflict Study Network/ICSN)


0 comments: