Minggu, 08 November 2009

Seruan Damai yang Seru

Oleh Edi v.Petebang, wartawan, aktivis perdamaian
Sore sehabis magrib sekitar tanggal 7 September 2009 saya menerima pesan singkat dari Bung Nur Iskandar, karib saya sejak sama-sama mengelola koran kampus era 90-an yang kini menjabat Pemred Harian Borneo Tribun. Isinya kira-kira demikian "Sabtu, 19 September 2009 sekitar 77 tokoh akan membuat seruan damai. Draftnya silakan baca di blog saya atau blog tribun institute". Esoknya saya membaca bebeberapa kali draft "Seruan Pontianak" tersebut dan memikirkan apa dampaknya di masyarakat. Kemudian saya kirim usulan/saran terhadap isi draft SP tersebut. Intinya: secara esensi saya setuju; tetapi secara teknis dan kepatutan tidak setuju. Karena itulah saya mengusulkan dua hal: pertama, jangan memasukkan angka-angka dan penyebutan nama etnis; kedua, kata-kata yang dipakai jangan vulgar. "Jika dua usulan saya ini tidak bisa diakomodir, maka saya menolak namanya dimasukkan",pinta saya. Akhirnya nama saya pun tidak ada di SP tersebut.

Ketika membaca draft SP tersebut saya menduga pasti akan ramai dibicarakan orang. Ramai karena SP ini dimuat satu halaman penuh dan di tiga koran terbesar di Kalbar--sehingga pembacanya banyak. Kalau dimuat di media yang lebih kecil mungkin tidak terlalu ramai. Ramai karena setelah SP ini terbit media massa nasional, lokal dan regional memuat tanggapan pejabat/tokoh soal SP tersebut. Ramai karena kemudian sejumlah elemen organisasi masyarakat, terutama Dayak dan Melayu, proaktif merespon SP ini. Ramai karena kemudian sejumlah orang yang namanya tercantum di SP tersebut membantah telah menyetujuinya. Saya kira itu sebabnya sejumlah orang/tokoh kemudian membantah ini (seperti Dr.Chairil Effendi) karena tidak sempat membuka draft SP di internet. Tetapi karena di SMS seperti yang saya terima, maka setuju saja. Intinya akhirnya SP itu menjadi kontroversi, bahkan cenderung kontra-produktif dengan semangat awalnya, yakini berkontribusi untuk menjaga dan mengisi perdamaian di Kalbar. Seruan ini pun benar-benar seru.

Saya ditanyai beberapa orang, baik di luar Pontianak, di Pontianak maupun di kampung (Tebas, Singkawang, Nyarumkop, Ngabang, Ketapang, dll). Teman-teman dari daerah bertanya "kok ndak ada angin ndak ada hujan tiba-tiba ada seruan seperti itu? Maksudnya apa? Ini mengungkit luka lama,"telpon seorang teman dari Tebas, Sambas. Seorang teman, kadidat doktor di Cornell University, AS, yang meneliti soal konflik di Kalbar bertanya: "semarah itukah warga di Kalbar? ada apa sebenarnya?,"tanya via surat elektronik.

Mengapa SP itu menjadi kontroversi? Selama enam tahun terakhir saya, bersama rekan-rekan di credit union dan sejumlah organisasi non pemerintah, keluar masuk kampung di wilayah Kabupaten Sambas, Singkawang, Landak, Bengkayang, Kabupaten/Kota Pontianak. Menurut saya masyarakat kita belum siap untuk menerima informasi seperti yang disampaikan dalam SP tersebut. Di forum ilmiah oke-oke saja bicara vulgar, apa adanya. Tapi di masyarakat akan lain ceritanya. Angka yang disajikan dalam SP tersebut juga tendensius merujuk etnis tertentu. Kalau mau jujur bukankah etnis lain (yang tidak disebut dalam SP itu) juga puluhan, bahkan ratusan yang jadi korban? Kalau memang mau fair,mestinya semuanya dipaparkan.

SP ini memberikan pelajaran bagi kita semua, termasuk semua orang yang ingin berkontribusi dalam proses perdamaian di Kalbar ini agar lebih sensitive soal isu-isu etnis. Saya mengapresiasi penelitian Zainudin Isman (Zis) yang mengatakan bahwa 52% dari 300 respondennya tidak mengetahui SP tersebut. "Masyarakat tidak terlalu ribut, elit dan aktoir sosial yang belum siap. Tidak ada persoalan," kata Zis, seperti dikutip Borneo Tribun (7/10 hlm.2). Tiga respon saya terhadap studi ini. Pertama, jangan meremehkan yang 48%. Kedua, kalau 52% tidak peduli/tidak ribut, berarti masa depan kedamaian di Kalbar ini terancam. Karena kalau masyarakat sudah tidak peduli lagi dan tidak mau terlibat aktif dalam proses perdamaian, maka merupakan preseden buruk bagi perdamaian Kalbar. Ketiga, kalau memang benar warga akar rumput yang tidak peduli dengan SP itu; pertanyaannya warga yang mana/dimana? Warga Pontianak tentu beda persepsi dan pandangannya (tentang SP) dibanding warga Sambas, Bengkayang, Landak atau daerah yang lain pada masa silam pernah terjadi konflik kekerasan.

Kita semua sepakat bahwa damai adalah proses, bukan tujuan akhir. Karena itu semua orang (di Kalbar) harus berbuat, berkontribusi untuk menjaga, memelihara dan mengisi perdamaian di Kalbar dengan apa yang dia punya dan mampu. Konflik adalah kondisi yang sangat buruk dan merugikan semua orang. Sesungguhnya tidak ada yang menang atau kalah jika konflik. Saya sudah mengalami beberapa kali konflik kekerasan di Kalbar ini dan sungguh sangat merugikan. Semua jadi korban, semua sektor kehidupan terkena dampak negatifnya.

Kita patut bersyukur dalam satu dasawarsa terakhir ini kesadaran warga untuk tidak meng-etniskan criminal semakin tinggi. Ini terbukti tidak meluasnya konflik-konflik skeala kecil yang terjadi. Kita patut mengapresiasi aparat keamanan yang kini mempunyai sensitivitas etnis yang tinggi sehingga setiap tindak kriminal bernuansa etnis diberi perhatian khusus.

SP ini menjadi ramai diperbincangkan warga. Mari kita memakai media untuk secara berkala menyampaikan seruan damai yang benar-benar mendamaikan suasana.***

Pontianak, 6 Oktober 2009



0 comments: