Polda Kalbar kembali mengamankan 13 ribu log kayu ilegal di Desa Labay, Sungai Martir, Kabupaten Ketapang, Kamis (17/4). Diamankan 4 truk, dua kapal, sejumlah chainsaw dan sepeda.
Tiga tersangka illegal logging dalam kasus yang baru ditemukan di pedalaman hutan lebat Il, An dan Ah dinyatakan buron. Ketiganya diimbau untuk menyerahkan diri sebelum masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).
Di TKP pedalaman Ketapang yang sudah berbatasan dengan Sanggau itu dengan mudah ditemukan para pekerja illegal logging. Mereka masih bekerja mengangkut kayu-kayu olahan di bawah pengawasan aparat karena kayu-kayu itu menjadi barang bukti, perlu dikumpulkan dan diproses hukum.
Di lokasi sawmill terdapat tidak kurang dari 20 pekerja. Di lorong-lorong kecil yang merupakan jalan keluarnya kayu-kayu olahan juga ditemukan sejumlah pekerja. Tidak ada dari mereka yang ditahan, kecuali diambil keterangannya.
Pelaku illegal logging berantai. Mereka mulai dari yang terkecil, yakni para penebang, kemudian para cukong, para backing, hingga para makelar.
Untuk memburu pelaku illegal logging di tingkat para pekerja tidaklah sulit. Mereka dengan lugunya bekerja untuk upah Rp 40-50 ribu perhari. Di mana dari upah rendah itu mereka hanya cukup untuk mengganjal perut. Kondisi mereka tetap miskin mutlak.
Pelaku illegal logging yang strategis untuk diburu dengan harapan tercapai titik zero (non) illegal logging adalah pemilik atau pemodal, alias cukong-cukong. Kepada mereka inilah pundi-pundi keuangan kayu yang “manis” menumpuk.
Keuangan yang menumpuk dari para cukong menyebabkan mereka mudah menggoda aparat dari lintas instansi. Laporan dari kasus di Ketapang yang melibatkan Mabes Polri, per pos keamanan mereka merogoh per bulan mencapai Rp 120 juta. Suatu angka yang selangit.
Harga jual kayu memang menggiurkan, terutama di luar negeri. Di Kuching, harga jual kayu asal Kalbar bisa meningkat 1000 persen. Jika di Kalbar Rp 700 ribu per meter kubik, di Kuching bisa Rp 7 juta. Angka yang sangat menggiurkan bagi cukong dengan mata bisnis—bukan mata ekologi apalagi sosial.
Pelaku illegal logging yang menjadi backing juga patut diburu. Mereka adalah siapa saja yang menjadikan punggungnya sebagai tameng pelindung, apakah mereka birokrat, politisi, atau polisi dan hakim/jaksa. Tak terkecuali tokoh-tokoh di manca negara. Mereka layak diburu sebagai target operasi kedua setelah para cukong. Karena hanya dengan cara ini dalam waktu singkat tindakan illegal logging bisa dicegah.
Jika para cukong diburu, maka pelaku illegal logging di tingkat penebang kayu, sopir di darat maupun di laut tak akan ada yang menggaji. Pada gilirannya mereka bisa mundur teratur mencari lapangan pekerjaan lain.
Pekerjaan memburu aktor-aktor strategis illegal logging merupakan pekerjaan yang penuh tantangan dari para polisi/polhut. Mereka harus siap tergoda dengan uang.
Tapi apalah arti uang, seberapa pun banyaknya jika kelak di depan kamera berjalan terbungkuk-bungkuk, muka tertutup dan tangan terborgol dan karir terkubur? Uang memang diperlukan dalam hidup, tapi hidup tidak akan mati tanpa uang.
Dalam hidup segala-galanya butuh uang, tapi uang bukan segala-galanya di dalam hidup. Alam perlu kita lestarikan karena dia harta warisan tak ternilai harganya dari para anak cucu setahun, 10 tahun, 100 tahun hingga miliaran tahun yang akan datang. ■
Rabu, 23 April 2008
Memburu Pelaku Illegal Logging
Posted by Noeris at 01.23 0 comments
Kamis, 17 April 2008
In Cold Blood Truman Capote
Oleh: NurIs
Nama Truman Capote melejit lewat karya adiluhungnya In Cold Blood, sebuah kisah nyata yang diangkat dari kasus pembunuhan berdarah dingin tahun 1959 yang terjadi di Holcomb, Kansas Barat.
Truman Capote warga asli New Orleans yang lahir 30 September 1942 punya keinginan sangat dalam menyajikan hasil reportase dalam bentuk novel. Di mana pembaca bisa mengikuti secara detil berbagai peristiwa yang biasanya hanya direportase secara spot-spot, kulit-kulitnya saja—sehingga dapat diserap, dikecap dan direkap hingga ke tingkat pragmatis, teoritis, psikologis, bahkan filosofis.
Truman Capote yang telah menuai sukses dari novel pertamanya Other Voices, Other Rooms sehingga menempatkan dirinya berada di papan atas penulis sastra Amerika butuh waktu 6 tahun untuk mereportase kasus pembunuhan berdarah dingin yang paling sadis terjadi di AS tahun 1959. Ia mewawancarai setiap orang penting dalam lingkaran pertama kasus kriminal paling menarik perhatian media AS ketika itu, ikut mengamati barang-barang bukti, mengikuti persidangan-persidangan di pengadilan, hingga dia sendiri pun mendapat penghargaan untuk menjadi satu-satunya jurnalis yang dibolehkan ikut dalam upacara penjagalan—hukum mati dengan cara digantung—dua pembunuh yang berhasil ditangkap: Dick dan Perry.
Pembunuhan itu nyaris tanpa motif dan menimpa keluarga paling bahagia, kaya, dan nyaris tanpa memiliki seorang musuh sekalipun di Holcomb. Mr Herbert William Clutter. Dia dikenal sebagai keluarga religius bahkan merupakan ketua pembangunan gereja, aktif di kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, panutan masyarakat dan pekerja keras. Ia merupakan Ketua Konferensi Organisasi Pertanian Kansas yang punya kantor pusat di Washington dan anggota Dewan Kredit Pertanian Federal.
Clutter mempunyai River Valley Farm sebuah ranch yang luas. Ia mempunyai empat orang anak.
Putri pertamanya disunting Donald Jarchow dan paling dibanggakannya hidup sukses. Putri keduanya bernama Baverly Clutter dan bahagia bersama suaminya.
Dua putri Clutter itu selamat dari pembunuhan yang punya target tanpa menyisakan satu orang saksi mata sekalipun sehingga siapapun yang ditemui di rumah target pasti harus dihabisi karena sudah berada di negara bagian lain. Sementara Nancy dan Kenyon bernasib malang sama dengan ayah ibunya dihabisi secara sadis.
Nancy. Dia gadis periang, rajin membantu kedua orang tuanya, cerdas serta berbakat di bidang akademis maupun sastra. Di masa-masa akhir hayatnya dia jawara memasak—terutama membuat kue pie—serta mendapat pujian atas penampilannya di panggung teater. Putri cantik ini rajin pula mengisi buku diary atau catatan hariannya.
Adik Nancy, si bungsu Kenyon tipikal pendiam, tapi cerdas di bidang otomotif. Remaja berkacamata ini menjadi tumpuan harapan ayahnya untuk meneruskan “kerajaan” pertanian River Valley Farm yang dimilikinya. Tapi semuanya pupus dengan kehadiran Dick dan Perry.
Membaca kisah nyata yang ditulis Truman Capote seperti membawa kita hadir dalam peristiwa itu. Banyak sekali informasi detil yang berhasil dikeduknya di dalam reportase sehingga kita mengenal Dick dan Perry jauh lebih dalam dibanding Dick dan Perry sendiri. Begitupula terhadap para korban, keluarga, polisi, hakim dan jaksa serta latar belakang daerah masing-masing. Deskripsi yang lengkap dan komprehensif.
Di dalam ranah jurnalistik reportase komprehensif kerap kali diajarkan, tapi tetap mempunyai keterbatasan jika dituangkan dalam bentuk berita biasa, sebutkah stright news atau feature sekalipun. Dia memang hanya mencakup jika dituangkan dalam bentuk buku. Tepatnya novel nonfiksi.
Kisah In Cold Blood membutuhkan waktu 6 tahun untuk reportase. Membutuhkan 474 halaman buku untuk dituliskan. Tapi pekerjaan Truman Capote ini tidak sia-sia karena terpilih sebagai salah satu buku terbaik sepanjang masa (Modern Library, April 1996) dan disebut-sebut sebagai a brilliant insight of criminal mind. Tak berlebihan jika kemudian In Cold Blood difilmkan. Bahkan In Cold Blood menginspirasi sineas untuk mengikuti jejaknya.
Capote sendiri pun difilmkan (2005) dan Infamous (2006). Aktor Hollywood Anthony
Edwards memerankan Dick Hickok, Eric Robert memerankan Perry Smith, dan Philip Seymor Hoffman dalam film Capote keluar sebagai peraih Oscar (2005) sebagai aktor terbaik.
Kisah In Cold Blood cocok untuk liputan kasus-kasus kriminal besar di Kalbar. Sebutlah kasus pembunuhan Agrefina Maria—Kasi Kumdang Departemen Hukum dan Perundang-undangan—Kalbar, kasus pembantaian keluarga Madani atau A Miu di Sungai Raya Dalam. Tapi siapa yang mau dan punya waktu menuliskannya? Siapa saja! Buku In Cold Blood bisa dijadikan referensinya. ■
Posted by Noeris at 08.43 1 comments
Kamis, 03 April 2008
Inspirasi Sabine Kugler Buat “Jurnalisme Kampung”
Oleh: Nur’Is
Nama Sabine Kugler akrab di telinga Saya karena nyaris setiap tampil dalam Kampanye Jurnalisme Lingkungan Hidup 14-20 Januari lalu di Sambas, Singkawang, Mempawah dan Kota Pontianak selalu disebut-sebut oleh Yanti Mirdayanti. Sang narasumber yang tak lain adalah freelancer Borneo Tribune yang menetap di Bonn-Jerman—Yanti Mirdayanti—menjadikan Sabine Kugler contoh yang eksentrik bagi jurnalisme lingkungan hidup.
Kata Mba Yanti—begitu Beliau akrab saya sapa sejak mengenalnya buat pertama kali di Massachussets University, Amhest, AS tahun 2002—Sabine Kugler adalah gadis cantik yang menulis pengalaman pribadinya berada di pedalaman Papua. Sabine hidup bersama suku Fayu, sebuah suku yang nyaris punah. Tetapi karena kegigihan keluarga dan tulisannya telah menyebabkan suku Fayu selamat dari kepunahan. Bahkan mengalir donasi internasional untuk menolong suku Fayu hingga saat ini seiring bukunya berjudul Jungle Child atau Anak Rimba laku keras. Best seller.
“Saya sudah membaca buku itu. Menarik sekali. Tapi teksnya dalam Bahasa Jerman, dan bukunya ada di Jerman,” ungkap Yanti. “Sabine Kugler yang berkulit putih, mata biru, rambut pirang berada di tengah suku terasing yang berkulit gelap, masih menggunakan cawat dan hidup berburu di lebatnya hutan belantara. Dia ikut makan hasil hutan termasuk kalajengking. Sebuah pengalaman hidup yang sangat menarik.”
Lebih menarik lagi manakala Sabine kembali ke Eropa. Dia shock. Jiwanya terguncang. Dia merasa lebih aman di hutan rimba ketimbang Eropa yang super modern. Dan di sini letak antagonisnya cerita nyata Sabine Kugler. Tetapi di situ pula magnet pemikatnya.
Kata Yanti dia tidak tahu pasti apakah buku bermutu itu sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia karena di sejumlah negara buku ini terus ludes. “Kalau ternyata belum, klik saja di internet pasti ada,” Yanti terus memprovokasi.
Ketika tiba di kantor Harian Borneo Tribune, Yanti tak pupus bercerita tentang Sabine Kugler, dan Asriyadi Alexander Mering yang akrab kami sapa Aa Mering—rada mirip Aa Gym—atau Aa Kim (seorang rekan di Kota Sanggau, si kutu buku yang jago jokes alias melawak)—segera menyambar pembicaraan. “Sebentar. Rasanya Saya pernah membaca buku itu,” katanya. “Entah di Kuching atau di internet,” ungkapnya.
Yanti Mirdayanti bagai disirami bensin, menyala-nyala semangatnya bercerita tentang keluarga Jerman itu. Ya ya ya, dapat dipahami karena Yanti menetap di Jerman dan lokasi cerita di Papua yang notabene wilayah NKRI. Dan ketika menyoal NKRI, Yanti amat sangat bangga dengan negeri zamrut khatulistiwa ini. Cuma sayangnya, katanya, missmanagement. Banyak bagian di republik ini yang salah urus sehingga 220 juta penduduknya nyaris seperti anak ayam mati di lumbung, Padahal, jika bagus memenejnya dalam arti tidak ada korupsi—apalagi para koruptor dengan rela hati mengembalikan uang korupsinya—pastilah rakyat sejahtera. Sebab apa sih di Indonesia yang tidak ada? Tambang? Gas? Kayu? Sejak di darat, di laut hingga di udara, Indonesia punya kekayaan yang luar biasa.
Saya coba buka internet. Klik nama Sabine Kugler, dan dalam sekejap muncul banyak entri tentang Jungle Child. Saya tergugah, apalagi si cantik Sabine juga muncul. “Kalau anak semanis ini tinggal di hutan, bagaimana pula reaksi suku Fayu?” pikir Saya.
Untungnya, baru-baru ini pada saat dolan-dolan di Gramedia Ayani Mega Mall saya seperti dipanggil-panggil pada sebuah sudut lemari pajangan yang di atasnya tertera tulisan besar: Novel. Ada Sabine Kugler di situ.
Nah, memori saya berputar keras. Ingatan Saya tertuju kepada Mba Yanti. Tangan Saya gemetar dan tanpa melihat lagi harganya berapa, teksnya Inggris atau Indonesia tak peduli. Apalagi buku itu hanya semata wayang—ketika itu.
Saya tak sempat membacanya di Gramedia karena perjumpaan dengan buku ini sudah dalam langkah menuju pulang dari mencari buku-buku lainnya, maka di rumah baru saya membolak-balik isinya. Saya pun berdecak kagum.
True story! Penuh dengan foto-foto memprihatinkan. Bahkan inilah suku paling primitif di Papua. Di mana sekujur tubuh penuh dengan tato, hidung dan kuping penuh dengan tusukan tulang-tulang halus yang menunjukkan keperkasaan para pria suku Fayu dan pada umumnya perempuan suku Fayu tidak menggunakan bra. Sehingga disebut dalam kisah Sabine dia takut nanti payudaranya pun melorot sampai ke lutut. Tapi sang ibu menenangkan. “Itu karena mereka tidak menggunakan bra.”
Dalam waktu singkat buku ini berpindah-pindah tangan. Mulai dari Aa Mering hingga Pimpinan YPPN, Yohanes Supriyadi. Buku ini juga beredar di puluhan masyarakat kampung ketika mereka mengikuti workshop di Pusat Studi Ekonomi (PSE) dengan salah satu topiknya bagaimana masyarakat kampung bisa menulis.
Kisah Sabine Kugler menginspirasi “Jurnalisme Kampung” agar kisah di pedalaman dapat dituliskan. Misalnya bagaimana dengan suku-suku Dayak di pedalaman Kalbar? Apakah sudah pernah terbukukan seperti kisah-kisah seperti Sabine Kugler itu? Atau bahkan lebih banyak lagi khazanah yang sesungguhnya jauh lebih menarik daripada itu?
Saya yakin haqul yakin masih banyak mutiara-mutiara yang tercecer di hutan-hutan Kalimantan Barat selama kita mau memungutnya.
Dengan jurnalisme kampung kita bisa menyajikan menu lain ke haribaan pembaca sehingga yang dieksplorasi dari pedalaman jangan melulu kayu (illegal logging) dan penambangan emas tanpa izin (illegal mining) yang sudah sering jadi makanan jurnalisme kampus. Sekali-sekali dong the true story ala jurnalisme kampung yang tentu saja bukan kampungan.
Jika inspirasi itu terwujud, kata-kata Benyamin S akan terbukti: muka kampung, gaji kota. Cerita boleh dari kampung, tapi menyadarkan masyarakat kota. ■
Posted by Noeris at 10.33 0 comments
Labels: Junalisme
Langkah Prima Mencukur Illegal Logging di Ketapang
Kabar baik dana sebesar Rp 208 miliar bisa diselamatkan dari kayu-kayu ilegal yang diangkut 19 kapal menuju Malaysia. kapolri Jenderal Sutanto dan Menhut MS Kaban bahkan sampai ke TKP untuk menyaksikan sendiri bahwa pada kenyataannya praktik illegal logging itu masih ada.
Tak ayal lagi 6 pejabat Dinas Kehutanan pun diperiksa, bahkan ditahan. Mereka akan diperiksa di Jakarta beserta 22 tersangka lainnya.
Data selengkapnya dari jumpa pers Kaban dan Sutanto yang digelar di Ketapang, Kamis (3/4) kemarin sbb:
Barang Bukti (BB)
12.000 M3(setara Rp 208 miliar)+ 19 unit kapal
BB tersebut dijaga 1 kapal induk berkapasitas 300 personil Polri
17 Tersangka Versi Polri terdiri dari 14 Nahkoda dan 3 pemilik kayu
22 Tersangka Versi Polda terdiri dari 14 ABK dan 7 pemilik. 2 di antaranya masih buron.
Mereka yang ditahan kemarin adalah Wijaya dan 6 pejabat Dishut Ketapang: NF, GA, AS, IS, BJ, dan SS.
Semoga saja praktik illegal logging ini bisa ditekan sampai nol karena oh hutanku sayang, hutanku malang...
Posted by Noeris at 10.05 0 comments
Rabu, 02 April 2008
Banjir di Sintang Suatu Peringatan
Kabar banjir dari Sintang kembali mengingatkan kita pada musibah bencana alam yang bisa datang lebih sering di tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Perubahan iklim yang begitu cepat disertai dengan pola tingkah laku manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan menyebabkan alam marah kepada kita.
Sudah sering kita melihat bahwa akibat ulah tangan-tangan manusia yang jahil berdampak kemarahan alam yang begitu dahsyat. Lumpur gas Sidoarjo, misalnya. Kerugian negara akibat eksploitasi tambang tersebut sudah triliunan rupiah.
Musibah tsunami juga demikian adanya. Kendati tsunami adalah retakan lempengan batu di kerak bumi dan disusul oleh gelombang pasang, namun para ilmuan sudah mengingatkan akan adanya bencana itu. Hanya karena kejahilan manusia yang telinganya mendengar—tapi tak mendengar—bermata tapi tak melihat, dan berhati tapi tak merasa—menyebabkan ratusan ribu jiwa harus melayang dalam sekejab mata.
Banjir di Kabupaten Sintang yang menimpa ratusan kepala keluarga juga kembali mengingatkan kita pada ketidakramahan alam akhir-akhir ini. Kita selaku pemimpin di muka bumi harus menyikapinya dengan seserius mungkin.
Gerakan menanam pohon seperti yang dilakukan dalam menyambut KTT Climate Change di Bali mestinya tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Gerakan tersebut harus punya nilai tambah dan makna yang jauh lebih mendalam.
Bukan hanya pohon itu ditanam begitu saja. Pohon-pohon itu mesti dirawat dan dipelihara. Dan bukannya ditanam untuk kemudian dibiarkan begitu saja, entah hidup, entah mati. Sama-sama dibiarkan masa bodoh.
Gerakan menanam sejuta pohon atau lebih jangan hanya sekedar gerakan simbolik dan menjadi kegiatan pejabat, politisi, dan top manager semata-mata untuk kepentingan publikasi atau ikut-ikutan latah. Tapi harus tergerak sekaligus menggerakkan kesadaran diri paling dalam untuk merawat apa yang ditanam dan pepohonan yang sudah tumbuh dengan baik juga mendapatkan perhatian seserius mungkin.
Aktivitas penebangan hutan secara liar (illegal logging) yang tak pernah surut dari lingkungan kita bagian dari sesuatu yang memprihatinkan. Ironi.
Puluhan ribu balok kayu terguling di badan sungai Kapuas Hulu, Sintang maupun Ketapang. Illegal logging yang menampar keseimbangan alam sehingga guncang lantaran hutan bagian penting dari siklus hidrologi.
Ketiga hutan gundul, mata rantai hidrologi menjadi hancur. Uaca pun jadi cepat berubah. Hujan bisa turun tanpa henti di luar musimnya.
Dampak dari hujan yang turun berhari-hari, apalagi ditambah dengan air pasang, maka banjir akan segera menggenangi daerah-daerah rendah atau daerah sekitar sungai. Rakyat yang hidup di sekitarnya mendapat dampak buruk kerusakan lingkungan hidup.
Bantuan yang pemerintah berikan seperti mie instan menunjukkan tanggung jawab sosial yang patut dipuji, tetapi akan lebih kukuh lagi jika sumber malapetaka terdahsyatnya diobati. Yakni ketidak-ramahan kepada lingkungan.
Banjir di Sintang mengingatkan kita warga Kalbar untuk berhati-hati pada lingkungan. Jaga lingkungan dari segala tindak kerusakan yang terkecil hingga terbesar, sebab besok atau lusa, jangan-jangan tempat tinggal kita yang tertimpa musibah banjir, atau sebaliknya kekeringan. □
Posted by Noeris at 10.18 0 comments
The Best Seller Sastra AAC dan LP
Oleh: Nur’Is
Ke mana-mana orang membicarakan Ayat-Ayat Cinta (AAC).
Di rumah, keluarga saya membincangkan novel karya Habiburarrahman Elshirazy warga Semarang yang menetap di Cairo-Mesir itu.
Di Masjid Raya Mujahidin, saya berpapasan dengan Mantan Kepala BKIKD Kalbar, Ya’cob Mochsin, SH, MH dan di tangannya ada novel AAC. “Saya jarang dan hampir tidak pernah membaca novel, tapi karena orang ribut bercerita tentang Ayat-Ayat Cinta, Saya jadi tertarik pula untuk membacanya.”
Kata Ya’cob yang adik Dubes di Vietnam ini, selembar demi selembar AAC dibacanya. Ternyata sebagian besar waktunya terhisap dan terserap sehingga konsentrasinya terbetot. “Membaca novel ternyata sebuah aktivitas yang nikmat untuk mengisi masa pensiun. Kini Saya tertarik untuk menonton filmnya,” katanya.
“Konon untuk mendapatkan tiketnya pun sudah sangat antre. Tak urung ada orang yang menontonnya sampai meninggal,” imbuhnya tersenyum.
“Tapi mati bukan karena film Ayat-Ayat Cinta-nya, tapi sudah memang ajal sudah sampai. Rizki, jodoh, maut di tangan Tuhan.”
Ya’cob Mochsin yang pernah menjadi Kepala Biro Hukum Pemprov Kalbar dan bukan orang baru di kalangan media bangga menunjukkan novel AAC itu. Katanya, isinya bermutu, dan mencerminkan wajah Islam yang pas. “Bagus dibaca anak-anak remaja, pemuda dan juga kita-kita yang sudah tua,” ungkapnya.
Di dalamnya ada penjelasan bagaimana Islam itu adalah agama kasih-sayang, agama yang rasional, agama yang rahmatan-lil’alamiin (menjadi rahmat bagi lingkungan), dan agama yang fleksibel. Dijelaskan perkara-perkara rumit seperti cinta segitiga antara muslim-muslimah dan non muslim, poligami, beratnya mencari keadilan, penjara dunia, dan nilai-nilai kesabaran serta keikhlasan. Kesabaran dan keikhlasan pada akhirnya menjadi pintu menuju kebahagiaan dan kemenangan yang abadi.
Ya’cob Mochsin masih saja berceloteh soal adegan-adegan dalam kisah AAC yang pemeran utamanya Fachri, Maria dan Aisha tersebut kepada sejumlah kawan, sementara Saya meninggalkannya pergi. Maklum Jumatan.
Saya sendiri membaca AAC dalam suatu perjalanan dari Bogor, awal Februari lalu. Isinya memang menarik, karena untaian kata-katanya bernas. Setting lokasi Mesir digambarkan begitu sempurna oleh Abik—sapaan penulisnya yang dua tahun lebih muda dari Saya—laksana kita berada di daerah gurun pasir tempat sejumlah nabi diturunkan tersebut. Sebutlah di antaranya Musa dan Harun.
Saya mendapatkan novel itu sudah cetakan ke-17. Saya tergolong orang yang terlambat membaca kisah dinamis sekaligus idiologis tersebut.
Pada saat yang sama Saya sedang membaca novel menarik lainnya karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi (LP). Debut LP Saya rasakan tak kalah dengan AAC. Sama-sama bacaan pembangunan jiwa. Sama-sama edukatif.
Isinya mengharu-biru, menukik tajam hingga ke ulu hati. Batin saya tak kuasa hingga menjerit dan menangis.
Kisah Laskar Pelangi juga konyol, alami, tapi juga cerdas. Di bab awal saja kita sudah tergeli-geli mendapatkan tokoh-tokohnya yang ganjil, lokasi ganjil, dan pengalaman yang ganjil.
Dimensi kesederhanaan yang ditampilkan antiklimaks dengan kondisi sosiologis kita sekarang yang mendewa-dewakan materi. Benar-benar tak kuasa Saya menahan haru sehingga bola mata Saya basah. Air mata tumpah.
Istilah Saya kepada kawan-kawan, “Membaca Laskar Pelangi bisa tertawa sambil menangis berdiri...saking serunya.”
LP bersetting lokasi di Pulau Belitong, Riau. Kisahnya menunjukkan masyarakat Melayu yang miskin. Sekolah Dasar Muhammadiyah yang sudah mau roboh—yang dalam bahasa Andrea, jika disenggol kambing kawin pun sudah roboh—saking reaotnya—antagonis dengan tambang timah yang kaya di Belitong milik Pemerintah, Jakarta.
Ketika Saya baca, buku bersampul merah jambu itu sudah cetakan ke-9. Sama-sama best-seller dengan AAC. Sama-sama ditulis bernafaskan kultur Indonesia, dan sama-sama penulisnya sedang belajar di luar negeri.
Jika Abik di Cairo, Andrea di Prancis. Satu di Arab, satu di Barat. Dua kutub peradaban dunia.
Dalam setiap pertemuan dengan pelajar dan mahasiswa, kedua buku ini terus Saya populerkan yang sebetulnya sudah sangat populer dan tak perlu dipopulerkan lagi. Tapi keduanya tetap patut Saya kemukakan sedemikian rupa karena di tengah gersangnya karya-karya penulisan bergenre sastra di Kalbar, kedua novel best-seller ini menjadi perumpamaan memikat.
“Kalau mau menjadi penulis terkenal, belajarlah dari Abi dan Andrea Hirata. Pelajari motivasi menulisnya. Pelajari wawasannya. Pelajari setting lokasinya. Pelajari tokoh-tokohnya, dan bagaimana mesin (engine) serta makna (meaning) ditaburkan.”
Contoh yang relevan dari kedua novel best-seller tersebut menjadi oase di tengah kehidupan keindonesiaan kita yang gersang. Menjadi kaca yang bening dari fragmen kehidupan sehingga mampu menjadi cermin bagi kita semua untuk melakukan perbaikan demi perbaikan, dari keruhnya kehidupan.
Saya katakan terutama dalam aktivitas mata kuliah kepenulisan yang Saya ampu di kampus STAIN, maupun Kampus Jurnalistik Tribune Institute, inilah era kebangkitan penulis sastra yang selama ini mati suri di Nusantara. Terlebih kita di Kalbar.
Kalau Abik dan Andrea sudah memulai debut suksesnya, lalu kapan kita? Bukankah Kalbar juga punya banyak alur, kisah, dan setting sosiologis, politis, hingga idiologis yang tak kalah menarik? Sebut misalnya kisah genocida Jepang di Kalbar yang kita kenal dengan Peristiwa Mandor, kisah rusuh sosial dengan setting Sambas, Bengkayang, hingga gelombang pengungsian di Singkawang maupun Kota Pontianak.
Di Monterado dan Mandor ada sisa-sisa kejayaan Republik Lau Fong Pak, pemerintahan berbentuk demokrasi yang lebih tua daripada Amerika. Juga ada peninggalan-peninggalan Laksamana Cheng Ho, seorang nahkoda super hero dari Negeri Tirai Bambu.
Benar-benar kekayaan khazanah yang tiada tara.
Tentu masih banyak lagi ide-ide besar yang bisa dituliskan dengan genre sastra. Halus, lembut, dan pada gilirannya bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi pembangunan jiwa kemanusiaan, yakni bagaimana memanusiakan manusia.
Mahasiswa-mahasiswi dan trainee di Tribune Institute maupun diklat-diklat yang kerap dilakukan di kampus-kampus atau forum-forum kepenulisan di Kalbar Saya amati intensitas dan antusiasmenya sangat tinggi. Nyaris tiada hari di Tribune Institute tanpa mendapatkan undangan untuk memberikan pelatihan demi pelatihan.
Di Borneo Tribune saja jumlah mereka yang belajar secara aktif dalam waktu serentak mencapai 20-50 orang. Mereka belajar secara gradual.
Di dalam hati Saya terbersit doa, semoga di tangan-tangan mereka kelak lahir karya-karya yang bisa melambungkan nama Kalbar, sejajar dengan daerah-daerah lain, bahkan bangsa-bangsa lain. Syarat untuk mencapai ke arah itu pasti dan selalu pasti ada, karena di mana ada kemauan di situ ada jalan. Apalagi jika kita dapat mewujudkan iklim yang kondusif, di mana pemerintah, swasta, hingga tokoh-tokoh masyarakat memberikan perhatian ekstra dari rutinitas keseharian mereka.
Pemerintah dan swasta bisa bergandengan tangan melaksanakan lomba-lomba kepenulisan, pemilihan penulis terbaik—writer of the year—menerbitkan buku-buku terpilih, membagikannya ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Seperti yang sudah dilakukan tetangga kita, Malaysia.
Naskah-naskah itu dipelajari dan dibedah lagi dalam resensi buku di media-media, dipentaskan di teater-teater, diaransemen dalam bentuk tembang-lagu, bahkan difilmkan seperti AAC dan akan segera disusul denganLP. Dengan demikian kita dapat melipatgandakan kuasa pembelajaran seni, budaya, sastra, menjadi lebih luas.
Kita pun akan sanggup untuk itu karena sudah terbukti petatah-petitih tua para pendahulu kita: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Bahkan dalam pentas politik Pilkada Gubernur kemarin kita kembali menuai bukti: Bersatu kita menang. ■
Posted by Noeris at 10.13 1 comments