Kabar banjir dari Sintang kembali mengingatkan kita pada musibah bencana alam yang bisa datang lebih sering di tahun ini dan tahun-tahun mendatang. Perubahan iklim yang begitu cepat disertai dengan pola tingkah laku manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan menyebabkan alam marah kepada kita.
Sudah sering kita melihat bahwa akibat ulah tangan-tangan manusia yang jahil berdampak kemarahan alam yang begitu dahsyat. Lumpur gas Sidoarjo, misalnya. Kerugian negara akibat eksploitasi tambang tersebut sudah triliunan rupiah.
Musibah tsunami juga demikian adanya. Kendati tsunami adalah retakan lempengan batu di kerak bumi dan disusul oleh gelombang pasang, namun para ilmuan sudah mengingatkan akan adanya bencana itu. Hanya karena kejahilan manusia yang telinganya mendengar—tapi tak mendengar—bermata tapi tak melihat, dan berhati tapi tak merasa—menyebabkan ratusan ribu jiwa harus melayang dalam sekejab mata.
Banjir di Kabupaten Sintang yang menimpa ratusan kepala keluarga juga kembali mengingatkan kita pada ketidakramahan alam akhir-akhir ini. Kita selaku pemimpin di muka bumi harus menyikapinya dengan seserius mungkin.
Gerakan menanam pohon seperti yang dilakukan dalam menyambut KTT Climate Change di Bali mestinya tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Gerakan tersebut harus punya nilai tambah dan makna yang jauh lebih mendalam.
Bukan hanya pohon itu ditanam begitu saja. Pohon-pohon itu mesti dirawat dan dipelihara. Dan bukannya ditanam untuk kemudian dibiarkan begitu saja, entah hidup, entah mati. Sama-sama dibiarkan masa bodoh.
Gerakan menanam sejuta pohon atau lebih jangan hanya sekedar gerakan simbolik dan menjadi kegiatan pejabat, politisi, dan top manager semata-mata untuk kepentingan publikasi atau ikut-ikutan latah. Tapi harus tergerak sekaligus menggerakkan kesadaran diri paling dalam untuk merawat apa yang ditanam dan pepohonan yang sudah tumbuh dengan baik juga mendapatkan perhatian seserius mungkin.
Aktivitas penebangan hutan secara liar (illegal logging) yang tak pernah surut dari lingkungan kita bagian dari sesuatu yang memprihatinkan. Ironi.
Puluhan ribu balok kayu terguling di badan sungai Kapuas Hulu, Sintang maupun Ketapang. Illegal logging yang menampar keseimbangan alam sehingga guncang lantaran hutan bagian penting dari siklus hidrologi.
Ketiga hutan gundul, mata rantai hidrologi menjadi hancur. Uaca pun jadi cepat berubah. Hujan bisa turun tanpa henti di luar musimnya.
Dampak dari hujan yang turun berhari-hari, apalagi ditambah dengan air pasang, maka banjir akan segera menggenangi daerah-daerah rendah atau daerah sekitar sungai. Rakyat yang hidup di sekitarnya mendapat dampak buruk kerusakan lingkungan hidup.
Bantuan yang pemerintah berikan seperti mie instan menunjukkan tanggung jawab sosial yang patut dipuji, tetapi akan lebih kukuh lagi jika sumber malapetaka terdahsyatnya diobati. Yakni ketidak-ramahan kepada lingkungan.
Banjir di Sintang mengingatkan kita warga Kalbar untuk berhati-hati pada lingkungan. Jaga lingkungan dari segala tindak kerusakan yang terkecil hingga terbesar, sebab besok atau lusa, jangan-jangan tempat tinggal kita yang tertimpa musibah banjir, atau sebaliknya kekeringan. □
Rabu, 02 April 2008
Banjir di Sintang Suatu Peringatan
Posted by Noeris at 10.18
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar