Rabu, 02 April 2008

The Best Seller Sastra AAC dan LP

Oleh: Nur’Is

Ke mana-mana orang membicarakan Ayat-Ayat Cinta (AAC).
Di rumah, keluarga saya membincangkan novel karya Habiburarrahman Elshirazy warga Semarang yang menetap di Cairo-Mesir itu.
Di Masjid Raya Mujahidin, saya berpapasan dengan Mantan Kepala BKIKD Kalbar, Ya’cob Mochsin, SH, MH dan di tangannya ada novel AAC. “Saya jarang dan hampir tidak pernah membaca novel, tapi karena orang ribut bercerita tentang Ayat-Ayat Cinta, Saya jadi tertarik pula untuk membacanya.”
Kata Ya’cob yang adik Dubes di Vietnam ini, selembar demi selembar AAC dibacanya. Ternyata sebagian besar waktunya terhisap dan terserap sehingga konsentrasinya terbetot. “Membaca novel ternyata sebuah aktivitas yang nikmat untuk mengisi masa pensiun. Kini Saya tertarik untuk menonton filmnya,” katanya.
“Konon untuk mendapatkan tiketnya pun sudah sangat antre. Tak urung ada orang yang menontonnya sampai meninggal,” imbuhnya tersenyum.
“Tapi mati bukan karena film Ayat-Ayat Cinta-nya, tapi sudah memang ajal sudah sampai. Rizki, jodoh, maut di tangan Tuhan.”
Ya’cob Mochsin yang pernah menjadi Kepala Biro Hukum Pemprov Kalbar dan bukan orang baru di kalangan media bangga menunjukkan novel AAC itu. Katanya, isinya bermutu, dan mencerminkan wajah Islam yang pas. “Bagus dibaca anak-anak remaja, pemuda dan juga kita-kita yang sudah tua,” ungkapnya.
Di dalamnya ada penjelasan bagaimana Islam itu adalah agama kasih-sayang, agama yang rasional, agama yang rahmatan-lil’alamiin (menjadi rahmat bagi lingkungan), dan agama yang fleksibel. Dijelaskan perkara-perkara rumit seperti cinta segitiga antara muslim-muslimah dan non muslim, poligami, beratnya mencari keadilan, penjara dunia, dan nilai-nilai kesabaran serta keikhlasan. Kesabaran dan keikhlasan pada akhirnya menjadi pintu menuju kebahagiaan dan kemenangan yang abadi.
Ya’cob Mochsin masih saja berceloteh soal adegan-adegan dalam kisah AAC yang pemeran utamanya Fachri, Maria dan Aisha tersebut kepada sejumlah kawan, sementara Saya meninggalkannya pergi. Maklum Jumatan.
Saya sendiri membaca AAC dalam suatu perjalanan dari Bogor, awal Februari lalu. Isinya memang menarik, karena untaian kata-katanya bernas. Setting lokasi Mesir digambarkan begitu sempurna oleh Abik—sapaan penulisnya yang dua tahun lebih muda dari Saya—laksana kita berada di daerah gurun pasir tempat sejumlah nabi diturunkan tersebut. Sebutlah di antaranya Musa dan Harun.
Saya mendapatkan novel itu sudah cetakan ke-17. Saya tergolong orang yang terlambat membaca kisah dinamis sekaligus idiologis tersebut.
Pada saat yang sama Saya sedang membaca novel menarik lainnya karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi (LP). Debut LP Saya rasakan tak kalah dengan AAC. Sama-sama bacaan pembangunan jiwa. Sama-sama edukatif.
Isinya mengharu-biru, menukik tajam hingga ke ulu hati. Batin saya tak kuasa hingga menjerit dan menangis.
Kisah Laskar Pelangi juga konyol, alami, tapi juga cerdas. Di bab awal saja kita sudah tergeli-geli mendapatkan tokoh-tokohnya yang ganjil, lokasi ganjil, dan pengalaman yang ganjil.
Dimensi kesederhanaan yang ditampilkan antiklimaks dengan kondisi sosiologis kita sekarang yang mendewa-dewakan materi. Benar-benar tak kuasa Saya menahan haru sehingga bola mata Saya basah. Air mata tumpah.
Istilah Saya kepada kawan-kawan, “Membaca Laskar Pelangi bisa tertawa sambil menangis berdiri...saking serunya.”
LP bersetting lokasi di Pulau Belitong, Riau. Kisahnya menunjukkan masyarakat Melayu yang miskin. Sekolah Dasar Muhammadiyah yang sudah mau roboh—yang dalam bahasa Andrea, jika disenggol kambing kawin pun sudah roboh—saking reaotnya—antagonis dengan tambang timah yang kaya di Belitong milik Pemerintah, Jakarta.
Ketika Saya baca, buku bersampul merah jambu itu sudah cetakan ke-9. Sama-sama best-seller dengan AAC. Sama-sama ditulis bernafaskan kultur Indonesia, dan sama-sama penulisnya sedang belajar di luar negeri.
Jika Abik di Cairo, Andrea di Prancis. Satu di Arab, satu di Barat. Dua kutub peradaban dunia.
Dalam setiap pertemuan dengan pelajar dan mahasiswa, kedua buku ini terus Saya populerkan yang sebetulnya sudah sangat populer dan tak perlu dipopulerkan lagi. Tapi keduanya tetap patut Saya kemukakan sedemikian rupa karena di tengah gersangnya karya-karya penulisan bergenre sastra di Kalbar, kedua novel best-seller ini menjadi perumpamaan memikat.
“Kalau mau menjadi penulis terkenal, belajarlah dari Abi dan Andrea Hirata. Pelajari motivasi menulisnya. Pelajari wawasannya. Pelajari setting lokasinya. Pelajari tokoh-tokohnya, dan bagaimana mesin (engine) serta makna (meaning) ditaburkan.”
Contoh yang relevan dari kedua novel best-seller tersebut menjadi oase di tengah kehidupan keindonesiaan kita yang gersang. Menjadi kaca yang bening dari fragmen kehidupan sehingga mampu menjadi cermin bagi kita semua untuk melakukan perbaikan demi perbaikan, dari keruhnya kehidupan.
Saya katakan terutama dalam aktivitas mata kuliah kepenulisan yang Saya ampu di kampus STAIN, maupun Kampus Jurnalistik Tribune Institute, inilah era kebangkitan penulis sastra yang selama ini mati suri di Nusantara. Terlebih kita di Kalbar.
Kalau Abik dan Andrea sudah memulai debut suksesnya, lalu kapan kita? Bukankah Kalbar juga punya banyak alur, kisah, dan setting sosiologis, politis, hingga idiologis yang tak kalah menarik? Sebut misalnya kisah genocida Jepang di Kalbar yang kita kenal dengan Peristiwa Mandor, kisah rusuh sosial dengan setting Sambas, Bengkayang, hingga gelombang pengungsian di Singkawang maupun Kota Pontianak.
Di Monterado dan Mandor ada sisa-sisa kejayaan Republik Lau Fong Pak, pemerintahan berbentuk demokrasi yang lebih tua daripada Amerika. Juga ada peninggalan-peninggalan Laksamana Cheng Ho, seorang nahkoda super hero dari Negeri Tirai Bambu.
Benar-benar kekayaan khazanah yang tiada tara.
Tentu masih banyak lagi ide-ide besar yang bisa dituliskan dengan genre sastra. Halus, lembut, dan pada gilirannya bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi pembangunan jiwa kemanusiaan, yakni bagaimana memanusiakan manusia.
Mahasiswa-mahasiswi dan trainee di Tribune Institute maupun diklat-diklat yang kerap dilakukan di kampus-kampus atau forum-forum kepenulisan di Kalbar Saya amati intensitas dan antusiasmenya sangat tinggi. Nyaris tiada hari di Tribune Institute tanpa mendapatkan undangan untuk memberikan pelatihan demi pelatihan.
Di Borneo Tribune saja jumlah mereka yang belajar secara aktif dalam waktu serentak mencapai 20-50 orang. Mereka belajar secara gradual.
Di dalam hati Saya terbersit doa, semoga di tangan-tangan mereka kelak lahir karya-karya yang bisa melambungkan nama Kalbar, sejajar dengan daerah-daerah lain, bahkan bangsa-bangsa lain. Syarat untuk mencapai ke arah itu pasti dan selalu pasti ada, karena di mana ada kemauan di situ ada jalan. Apalagi jika kita dapat mewujudkan iklim yang kondusif, di mana pemerintah, swasta, hingga tokoh-tokoh masyarakat memberikan perhatian ekstra dari rutinitas keseharian mereka.
Pemerintah dan swasta bisa bergandengan tangan melaksanakan lomba-lomba kepenulisan, pemilihan penulis terbaik—writer of the year—menerbitkan buku-buku terpilih, membagikannya ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Seperti yang sudah dilakukan tetangga kita, Malaysia.
Naskah-naskah itu dipelajari dan dibedah lagi dalam resensi buku di media-media, dipentaskan di teater-teater, diaransemen dalam bentuk tembang-lagu, bahkan difilmkan seperti AAC dan akan segera disusul denganLP. Dengan demikian kita dapat melipatgandakan kuasa pembelajaran seni, budaya, sastra, menjadi lebih luas.
Kita pun akan sanggup untuk itu karena sudah terbukti petatah-petitih tua para pendahulu kita: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Bahkan dalam pentas politik Pilkada Gubernur kemarin kita kembali menuai bukti: Bersatu kita menang. ■

1 comments:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://buku.infogue.com/the_best_seller_sastra_aac_dan_lp