Kamis, 03 April 2008

Inspirasi Sabine Kugler Buat “Jurnalisme Kampung”

Oleh: Nur’Is

Nama Sabine Kugler akrab di telinga Saya karena nyaris setiap tampil dalam Kampanye Jurnalisme Lingkungan Hidup 14-20 Januari lalu di Sambas, Singkawang, Mempawah dan Kota Pontianak selalu disebut-sebut oleh Yanti Mirdayanti. Sang narasumber yang tak lain adalah freelancer Borneo Tribune yang menetap di Bonn-Jerman—Yanti Mirdayanti—menjadikan Sabine Kugler contoh yang eksentrik bagi jurnalisme lingkungan hidup.
Kata Mba Yanti—begitu Beliau akrab saya sapa sejak mengenalnya buat pertama kali di Massachussets University, Amhest, AS tahun 2002—Sabine Kugler adalah gadis cantik yang menulis pengalaman pribadinya berada di pedalaman Papua. Sabine hidup bersama suku Fayu, sebuah suku yang nyaris punah. Tetapi karena kegigihan keluarga dan tulisannya telah menyebabkan suku Fayu selamat dari kepunahan. Bahkan mengalir donasi internasional untuk menolong suku Fayu hingga saat ini seiring bukunya berjudul Jungle Child atau Anak Rimba laku keras. Best seller.
“Saya sudah membaca buku itu. Menarik sekali. Tapi teksnya dalam Bahasa Jerman, dan bukunya ada di Jerman,” ungkap Yanti. “Sabine Kugler yang berkulit putih, mata biru, rambut pirang berada di tengah suku terasing yang berkulit gelap, masih menggunakan cawat dan hidup berburu di lebatnya hutan belantara. Dia ikut makan hasil hutan termasuk kalajengking. Sebuah pengalaman hidup yang sangat menarik.”
Lebih menarik lagi manakala Sabine kembali ke Eropa. Dia shock. Jiwanya terguncang. Dia merasa lebih aman di hutan rimba ketimbang Eropa yang super modern. Dan di sini letak antagonisnya cerita nyata Sabine Kugler. Tetapi di situ pula magnet pemikatnya.
Kata Yanti dia tidak tahu pasti apakah buku bermutu itu sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia karena di sejumlah negara buku ini terus ludes. “Kalau ternyata belum, klik saja di internet pasti ada,” Yanti terus memprovokasi.
Ketika tiba di kantor Harian Borneo Tribune, Yanti tak pupus bercerita tentang Sabine Kugler, dan Asriyadi Alexander Mering yang akrab kami sapa Aa Mering—rada mirip Aa Gym—atau Aa Kim (seorang rekan di Kota Sanggau, si kutu buku yang jago jokes alias melawak)—segera menyambar pembicaraan. “Sebentar. Rasanya Saya pernah membaca buku itu,” katanya. “Entah di Kuching atau di internet,” ungkapnya.
Yanti Mirdayanti bagai disirami bensin, menyala-nyala semangatnya bercerita tentang keluarga Jerman itu. Ya ya ya, dapat dipahami karena Yanti menetap di Jerman dan lokasi cerita di Papua yang notabene wilayah NKRI. Dan ketika menyoal NKRI, Yanti amat sangat bangga dengan negeri zamrut khatulistiwa ini. Cuma sayangnya, katanya, missmanagement. Banyak bagian di republik ini yang salah urus sehingga 220 juta penduduknya nyaris seperti anak ayam mati di lumbung, Padahal, jika bagus memenejnya dalam arti tidak ada korupsi—apalagi para koruptor dengan rela hati mengembalikan uang korupsinya—pastilah rakyat sejahtera. Sebab apa sih di Indonesia yang tidak ada? Tambang? Gas? Kayu? Sejak di darat, di laut hingga di udara, Indonesia punya kekayaan yang luar biasa.
Saya coba buka internet. Klik nama Sabine Kugler, dan dalam sekejap muncul banyak entri tentang Jungle Child. Saya tergugah, apalagi si cantik Sabine juga muncul. “Kalau anak semanis ini tinggal di hutan, bagaimana pula reaksi suku Fayu?” pikir Saya.
Untungnya, baru-baru ini pada saat dolan-dolan di Gramedia Ayani Mega Mall saya seperti dipanggil-panggil pada sebuah sudut lemari pajangan yang di atasnya tertera tulisan besar: Novel. Ada Sabine Kugler di situ.
Nah, memori saya berputar keras. Ingatan Saya tertuju kepada Mba Yanti. Tangan Saya gemetar dan tanpa melihat lagi harganya berapa, teksnya Inggris atau Indonesia tak peduli. Apalagi buku itu hanya semata wayang—ketika itu.
Saya tak sempat membacanya di Gramedia karena perjumpaan dengan buku ini sudah dalam langkah menuju pulang dari mencari buku-buku lainnya, maka di rumah baru saya membolak-balik isinya. Saya pun berdecak kagum.
True story! Penuh dengan foto-foto memprihatinkan. Bahkan inilah suku paling primitif di Papua. Di mana sekujur tubuh penuh dengan tato, hidung dan kuping penuh dengan tusukan tulang-tulang halus yang menunjukkan keperkasaan para pria suku Fayu dan pada umumnya perempuan suku Fayu tidak menggunakan bra. Sehingga disebut dalam kisah Sabine dia takut nanti payudaranya pun melorot sampai ke lutut. Tapi sang ibu menenangkan. “Itu karena mereka tidak menggunakan bra.”
Dalam waktu singkat buku ini berpindah-pindah tangan. Mulai dari Aa Mering hingga Pimpinan YPPN, Yohanes Supriyadi. Buku ini juga beredar di puluhan masyarakat kampung ketika mereka mengikuti workshop di Pusat Studi Ekonomi (PSE) dengan salah satu topiknya bagaimana masyarakat kampung bisa menulis.
Kisah Sabine Kugler menginspirasi “Jurnalisme Kampung” agar kisah di pedalaman dapat dituliskan. Misalnya bagaimana dengan suku-suku Dayak di pedalaman Kalbar? Apakah sudah pernah terbukukan seperti kisah-kisah seperti Sabine Kugler itu? Atau bahkan lebih banyak lagi khazanah yang sesungguhnya jauh lebih menarik daripada itu?
Saya yakin haqul yakin masih banyak mutiara-mutiara yang tercecer di hutan-hutan Kalimantan Barat selama kita mau memungutnya.
Dengan jurnalisme kampung kita bisa menyajikan menu lain ke haribaan pembaca sehingga yang dieksplorasi dari pedalaman jangan melulu kayu (illegal logging) dan penambangan emas tanpa izin (illegal mining) yang sudah sering jadi makanan jurnalisme kampus. Sekali-sekali dong the true story ala jurnalisme kampung yang tentu saja bukan kampungan.
Jika inspirasi itu terwujud, kata-kata Benyamin S akan terbukti: muka kampung, gaji kota. Cerita boleh dari kampung, tapi menyadarkan masyarakat kota. ■

0 comments: