Peresmian Media Center di KPU Kota Pontianak diliput secara luas. Bagi awak Borneo Tribune kontribusi serupa juga dilimpahkan karena panggilan tugas sekaligus persahabatan. Tak hanya sekedar panggilan tugas, persahabatan, tetapi juga silaturahmi serta penghargaan yang tinggi kepada komposisi baru KPU Kota di bawah kepemimpinan Viriyan Azis, SE, MM.
Awak Borneo Tribune tampil didampingi praktikan dari Bonn University. Mereka yang hadir bertiga: Mathias Waldmayer, Dorina Loise Schulte dan Christian Stegmann.
Kehadiran bule-bule ini tentu saja menarik perhatian. Tak urung oleh TVRI Pontianak.
“Boleh saya wawancarai salah seorang dari mereka?” tanya reporter TVRI, Agus. “Sebaiknya siapa yang saya wawancarai? Materinya apa ya?” sambungnya.
Nur Iskandar yang membawa rombongan mengatakan siapa saja di antara mereka boleh diwawancarai karena mereka sudah bisa berbahasa Indonesia. Mereka menjadi praktikan di Borneo Tribune dan Tribune Institute selain belajar Bahasa Indonesia, juga kepenulisan. “Mereka sudah piawai berkomunikasi dengan kita-kita.”
Agus mendekati Mathias. Mathias agak ragu diwawancarai, tetapi dia tampak berkemas-kemas. Kemeja motif kotak-kotak yang digunakannya dirapikan. Kerahnya dia angkat ke atas. Cakep.
Kamera menyorot ke wajahnya. Mikrofon dengan tulisan TVRI berada di depan muka, agak sedikit di bawah dagunya. Dan pertanyaan pun mengalir dari Agus soal perbandingan sistem pemilu di Indonesia dengan Jerman.
Mathias menjawab dengan jelas. Bahasa Indonesianya sangat lancar. Penguasaannya terhadap pesta demokrasi di dua negara juga mantap. Alhasil pemirsa dibuat paham bahwa di Jerman tidak pesta baligo laksana album raksasa di mana-mana seperti yang sedang terjadi di jalan-jalan Kota Pontianak.
Indonesia dan Jerman memang berbeda. Perbedaan itu yang bisa dimaknai dengan jangan terlalu berhura-hura. Apalagi buang-buang dana. Karena esensi dari demokrasi adalah bagaimana hak-hak rakyat tersalurkan dengan baik. Sebab jangan sampai seusai pesta demokrasi banyak yang jatuh miskin akibat biaya yang dikeluarkan sangat besar dan bahkan menambah angka kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan adalah musuh dari demokrasi.
Seusai wawancara, sore harinya liputan naik tayang. Banyak pemirsa yang menelepon ke kantor Borneo Tribune bahwa praktikannya tampil di layar televisi. Mereka memuji proses pembelajaran yang diterapkan di Borneo Tribune dan Tribune Institute.
Sebagai uluk salam dan terimakasih Tim Borneo Tribune dan Tribune Institute bertandang ke TVRI. Proses rekaman itu kembali disaksikan sekaligus dicopy sebagai kenangan praktikan kembali ke Jerman.
“Berita ini juga diminta TVRI Pusat lho,” lapor Agus. “Disaksikan secara nasional,” katanya.
Memang kadang kita tak menyangka bahwa hal-hal kecil berdampak besar. Seperti kata filosuf, dalam setiap keindahan pasti ada yang memandangnya.
Sabtu, 31 Januari 2009
Semangat Bersilaturahmi dan Ekspose di Televisi Nasional
Posted by Noeris at 05.12 0 comments
Senin, 19 Januari 2009
Fellowship Eka Tjipta Foundation
Suatu sore di lantai 33 BII Plaza Jalan MH Thamrin Jakarta duduk mengitari meja bundar bos Corporate Social Responsibility, Eka Wijayanti, Executive Director Eka Tjipta Foundation, Timotheus Lesmana, Penasihat Sinar Mas Group, Om San, Direktur Pantau Foundation, Andreas Harsono, dan saya. Kami bicara informal soal Widjaya Fellowship.
Widjaya Fellowship adalah ide besar! Upaya meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia di mana peserta fellowship yang sudah berumahtangga dibiayai Rp9 juta per bulan, sedangkan yang belum berumahtangga Rp5 juta per bulan. Standar tersebut diambil dari titik tengah gaji rerata wartawan di Indonesia serta hitungan profesional ala Aliansi Jurnalis Independen.
Ide besarnya tentu saja bukan jutaan uang tersebut. Tetapi corporate sebesar Sinar Mas Group mau berkecimpung di dunia media tanpa mereka mengembangkan bisnis media seperti grup-grup yang lain. Inilah sesuatu yang besar tersebut. Inilah sumbangsih yang baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Saat saya masuk ke Eka Tjipta Foundation (ETF), segera disambut dengan logo khas berwarna merah dengan bola-bola emas yang tersusun laksana planet, atau kelopak sari bunga. Di balik pintu terdapat resepsionis yang duduk manis melayani para tamu.
“Di sini kami berdiskusi,” kata Andreas Harsono sambil memperkenalkan para pucuk pimpinan ETF. “Di sebelah ini akan digunakan untuk perpustakaan sementara,” kata Om San menimpali.
Kami berkenalan dan bicara soal pendidikan. Bicara soal pemanfaatan peran media dalam demokrasi, serta peran media dalam kemajuan bangsa dan negara. Terutama soal Indonesia yang begitu tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain. Hatta, Vietnam sekalipun.
Ide besar itu laksana bola salju yang terus menggelinding. “Saya mau fellowship ini sudah berjalan Juni tahun ini,” kata Om San. Om San tipikal tokoh pendobrak yang pantang menyerah dengan aral melintang. Katanya, jika menunggu segalanya paripurna, tak akan pernah ada. Sebaliknya kesempurnaan bisa dicapai dengan sambil berjalan.
Timotheus sosok muda energik dan kritis tipikal perfeksionis. Dia ingin semuanya paripurna. Ia yakin proyek ini bisa berjalan mulus di awal tahun 2010.
Saya sependapat dengan Om San. Alasannya, dana yang dianggarkan tahap pertama ini Rp3,6 miliar untuk ukuran Simas yang raksasa itu tak ada artinya. Bandingkan dengan James Riady, bosnya Lippo Bank yang meluncurkan koran berbahasa Inggris dengan nama Jakarta Globe menyiapkan dana Rp500 miliar!
Ide besar fellowship ini terkoneksi dengan lima perguruan tinggi, masing-masing Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Driyarkara, Bina Nusantara dan Institut Kesenian Jakarta. Peserta fellowship yang digadang-gadang hanya 20 orang itu akan bebas mengambil mata kuliah sesuai keinginannya di lima perguruan tinggi bonafide tersebut. UI sudah terkenal sebagai kampus papan atas di Indonesia. Begitupula UIN dengan kajian keislamannya. Sedangkan Driyarkara adilihung di cabang ilmu filsafatnya, IKJ dengan seni budayanya, sedangkan Binus dengan teknologinya. ”Media massa sekarang sangat berkepentingan dengan kemajuan sain dan teknologi,” ulas Andreas yang semasa menjadi jurnalis di The Jakarta Post mendapatkan Nieman Fellowship serta oleh ETF diminta sebagai Direktur Eksekutif ETF Fellowship.
Berapa besar alokasi untuk jurnalis di Borneo? Hanya 1 orang! Di Jawa saja hanya dapat jatah 4 orang! Yakin kompetisinya akan sangat ketat! Ini sejarah besar dalam sejarah pendidikan jurnalisme di Indonesia.
Syaratnya? Pertama, harus lancar bicara dan menulis dalam bahasa Inggris. Kedua, membuat proposal tentang motivasi dan kegunaan mendapatkan fellowship tersebut. Ketiga, melampirkan tiga karya terbaik dalam 3 tahun terakhir. Keempat, tetek bengek administrasi yang lain yang bersifat normatif. Nah, adakah jurnalis Kalbar yang bakal mendapatkan serta mewakili 1 dari Kepulauan Borneo? Semoga. Dan sejak dini siapkan diri dengan matang, mumpung belum ketuk palu kegiatan launching Juni 2009 atau Januari 2010.
Posted by Noeris at 00.03 1 comments
Sabtu, 17 Januari 2009
Mencari Andrea Hirata Baru
Tetralogi Laskar Pelangi begitu menyihir mata baca di Indonesia, bahkan ke mancanegara. Nama Andrea Hirata melambung setinggi dan seindah pelangi. Novelnya tak hanya indah dibaca, tapi juga disaksikan di layar perak: Film Laskar Pelangi.
Anak pesisir Pulau Belitong itu berhasil mencampur-sarikan engine dan meaning dalam empat buku novelnya, masing-masing Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryama Karpov. Sebuah alunan harmoni yang indah antara anti klimak dengan klimak, antara miskin dan kaya, antara sengsara dan nikmat—yang akhirnya juga seperti film Sengsara Membawa Nikmat.
Membaca tetralogi Laskar Pelangi mengingatkan kita kepada masa kanak-kanak yang penuh suka cita. Bermain dengan penuh tawa dan canda, termasuk suasana belajar di sekolah atau sesama teman sebaya.
Mengikuti alur cerita Laskar Pelangi, kita merasa sebagai manusia yang dalam mengarungi hidup dan kehidupan penuh ancaman, tantangan, cobaan. Tetapi dengan dasar etos cinta yang tinggi, semua duka menjadi pelipur lara sehingga menjadi catatan suka cita. Suka dan duka berpilin terus menerus menjadi sebuah rangkaian kehidupan yang terus berputar. Terus menginspirasi selama tantangan diubah menjadi peluang serta masalah dijadikan vitamin untuk memperkokoh kebugaran.
Andrea Hirata berhasil melesatkan diri keluar dari keterjepitan ekonomi dan sosial yang paling bawah di Pulau Belitong, di mana sekolah SD-nya nyaris tutup karena tidak punya pelajar baru dan bangunan sekolahnya sudah reot, nyaris tumbang. Tetapi Andrea Hirata (di dalam novel bernama Ikal) berhasil menjadi doktor di Sorbone, Prancis. Ia melipatgandakan keberhasilan melahirkan teori baru di dalam disertasi doktoralnya di bidang informatika. Ia menebus keterkungkungan rekan-rekannya yang tidak seberuntung dia, kendati cerdas seperti Lintang.
Kisah novel Andrea adalah kisah sebuah catatan yang sangat berharga di bidang kepenulisan. Sukses story Andrea Hirata ini laik disuntikkan kepada siapa saja. Tak terkecuali kepada 60 pelajar SMP Aloysius Gonzaga yang bertandang di kantor redaksi Harian Borneo Tribune, Sabtu (17/1) kemarin. Mereka datang untuk belajar tentang koran, dan kepenulisan. Mereka punya kisah dan asa yang tak kalah menharu-birunya jika mampu menuliskannya—tentunya.
Terbukti. Pelajar aktif bertanya jawab di ruang redaksi yang penuh sesak. Mereka berkenalan dengan jurnalis-jurnalis andal. Di Borneo Tribune/Tribune Institute ada doktor linguistik, Dr Yusriadi. Ada jurnalis investigative yang berhasil mengawinkan dua award nasional (Mochtar Loebis Award dan Adiwarta Award) Muklis Suhairi, dan memiliki sastrawan, Asriyadi Alexander Mering.
Tak hanya 60 pelajar, guru Bahasa Indonesia, Ibu Natalis yang turut mendampingi bersama Kepala Sekolah serta dewan guru lainnya juga menyatakan ketertarikannya mengembangkan ilmu kepenulisan. “Kami tertarik untuk mengadakan training di bidang kepenulisan. Kami akan mengundang Borneo Tribune yang punya lembaga Tribune Institute,” ungkap Natalis.
Dewan Redaksi dan fungsionaris Tribune Institute menyanggupi untuk menjalin kerjasama. Diharapkan dari kerjasama itu dapat lahir Andrea Hirata-Andrea Hirata baru di Kalimantan.
Borneo Tribune dan Tribune Institute sejauh ini terus aktif mengembangkan ilmu komunikasi media lewat kerja-kerja praksis. Aktivitas menerbitkan buku dan menulis indah menjadi habbit atau kebiasaan selain kerja pokok menulis berita. Kerja-kerja ini adalah idealisme. Ibaratkan langit dan bumi, siang dan malam, laksana tangan kiri dan tangan kanan. Ya, ibaratkan Yin dan Yang.
Posted by Noeris at 02.27 0 comments
Rabu, 14 Januari 2009
Budaya, Kearifan Lokal dan Diskoneksi Generasi
Pay Jarot Sujarwo dari Pijar Publishing membacakan puisi soal nasib Istana Kadariah dan Warung Kopi Wenny. Isinya prihal problematika sosial dalam sudut pandang sastra.
Dr Leo Sutrisno, Fisikawan gaek dari Untan yang kerap menulis artikel di berbagai media mengemukakan teori-teori alam semesta yang berimplikasi bagi budaya dan kebudayaan umat manusia.
Diskusi menyoal Seni Budaya dan Kearifan Lokal yang berlangsung di Balai Kajian Sejarah, Sabtu (10/12) kemarin diikuti sekitar 30 peserta dari berbagai kalangan. Tampak pula Budayawan Kalbar, HA Halim Ramli, tokoh sastra Long Mizar, Edi Kumal, sineas Deny Sofian, peneliti liguistik STAIN, kandidat doktor Dedi Ari Asfar, jurnalis, aktivis dan mahasiswa.
Kearifan lokal, sebagaimana arti harfiahnya adalah kebijaksanaan atau keluesan yang bersifat mondial. Nilai-nilai yang berlaku, baik secara simbolik, linguistik, tradisi maupun norma yang berlaku universal. Nilai universal itu seperti kejujuran, tolong menolong, menjaga harkat dan martabat kemanusiaan, yang meliputi berbagai bidang. Baik itu politik, ekonomi, sosial, hingga religi.
Puisi yang dibacakan Pay dengan penuh ekspresi memang mendapat kritik pedas dari sejumlah tokoh, tetapi kritik pedas itu laksana jamu. Rasanya pahit, tapi menjadi obat penambah imunitas/kekebalan generasi muda untuk berkarya jauh lebih sempurna.
Pay menggunakan kata Keraton Kadariah. Oleh HA Halim Ramli dikoreksi menjadi Istana Kadriah. Pay membacakan buah maja yang terasa pahit, tetapi oleh Dr Leo Sutrisno disarankan dengan buah khas lokal Kalbar seperti cermai, atau boleh jadi mengkudu. “Ini dalam konteks muatan lokal.”
Pay mengelak dengan mengatakan ia tak jeli melihat nama Istana Kadariah. HA Halim Ramli mengatakan, kesalahan kecil besar artinya. Tidak boleh sastrawan menyesatkan.
Fenomena itu ditangkap Pimpinan Albarkah Center, Drs H Iswan sebagai diskoneksi sejarah. Tidak nyambung. Tidak mengait masa lalu dengan masa sekarang. Generasi tua dengan generasi muda terdiskoneksi. Sementara forum diskusi budaya seperti yang diselenggarakan Pijar bekerjasama dengan Canopy Indonesia dinilai sebagai forum yang tepat untuk saling asah, asih dan asuh.
Pay tak bodoh untuk mengelak. Dia mengatakan, “Keraton Kadariah itu yang biasa saya baca di koran.”
Jurnalis pun tersenyum. Media terkena pula getahnya. Hal ini menjadi catatan menarik, bahwa informasi yang menyesatkan bisa berdampak luas kepada sastra yang menyesatkan.
Bagi jurnalis Borneo Tribune, informasi harus dimasak sedemikian rupa sehingga matang dan siap saji. Dapur redaksi yang memasaknya menggunakan resep akurasi, balanching dan clearity. Rumus ABC. Sesuatu yang sederhana, tetapi berat untuk menjadi kenyataan sehari-hari.
Bagi Borneo Tribune, jika ada kesalahan, mesti segera diralat karena kerja budaya adalah kerja manusia. Manusia tidak luput akan kesalahan. Tetapi kesalahan yang berlarut-larut bukan kerja kebudayaan, tapi kecerobohan.
Berkenaan dengan kerja kebudayaan Harian Borneo Tribune menampilkan rubrikasi khusus. Telah dirilis rubrik Suara Enggang. Rubrik ini terbit setiap hari di halaman pertama dengan gaya penulisan kolom. Selebihnya kearifan lokal secara khusus terbit setiap edisi Minggu dengan nama Pandora.
Borneo Tribune berusaha selalu tampil terdepan untuk memuaskan selera pembacanya. Kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk mencapai kesempurnaan.
Posted by Noeris at 21.44 0 comments
Selamat Datang Tradisi Baru
Usai acara Borneo Tribune Award berupa “Man of The Year 2008” di Hotel Gadjahmada, 30Desember tengah malam, di jajaran kru redaksi susul menyusul masuk pesan ucapan selamat via telepon genggam masing-masing. Dan salah satu pesan yang berkesan itu adalah, “Selamat Datang Tradisi Baru.”
Tradisi baru yang dimaksud si pengirim SMS mengenai upaya memberikan penghargaan atas prestasi yang telah diraih putra-putri Kalbar di bidangnya masing-masing. Terlebih selama ini belum ada media yang berinisiatif memberikan penghargaan (award) kepada para koleganya kecuali mengkritiknya habis-habisan. Kritik diperlukan sebagai kontrol sosial, tapi pujian juga manusiawi untuk entertein. Sebaiknya memang berimbang.
Borneo Tribune sebagai media yang dilahirkan dengan titik tekan pendidikan sudah lama mengincar waktu yang tepat untuk melaksanakan Man of The Year tersebut. Pada tahun 2007 hal tersebut belum bisa dilaksanakan karena umur Borneo Tribune belum genap satu tahun. Borneo Tribune dilaunching/diluncurkan pada 19 Mei 2007.
Man of The Year yang dilaksanakan Borneo Tribune pada akhir tahun 2008 mencontoh pola penyelenggaraan Majalah Times, dan Times sudah menggelarnya sejak 1926. Kita sesungguhnya sudah sangat terlambat. Tapi better late than never.
Melihat pola pelaksanaan dengan mengikuti parameter liputan media, maka Borneo Tribune dengan segala daya dan upaya melakukan riset terhadap tiga bidang utama. Pertama, pendidikan; Kedua, pemerintahan; Ketiga, ekonomi dan bisnis.
Banyak tokoh yang di-list pada tiga bidang tersebut. Mereka adalah orang-orang yang sudah memberikan sumbangsih tanpa kenal lelah di bidangnya. Namun, pemenang tetaplah satu di tiga katagori tersebut.
Man of The Year bidang pendidikan jatuh kepada Ir HM Fanshurullah Asa, MT. Dia terpilih dengan nilai tertinggi karena inisiatif orisinilnya memotong gaji anggota DPR RI Dapil Kalbar (PAN) sebesar 50%. Ide ini belum pernah terjadi di Senayan. Gaji itu dia persembahkan dalam bentuk beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa yang berprestasi serta kurang mampu.
Sejak Ifan—sapaannya—menggantikan H Ishak Saleh dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) jumlah mereka yang diberikan beasiswa telah mencapai 1000 orang lebih. Lebih hebat lagi Ifan tidak pandang bulu bagi penerima beasiswa itu. Mereka dari kalangan multietnis, multiagama.
Di bidang pemerintahan terdiri dari kategori eksekutif dan legislatif. Kata pemerintahan secara hukum memang terdiri dari dua lembaga tersebut.
Man of The Year di kalangan eksekutif dimenangkan Drs Cornelis, MH. Apa nilai tertingginya? Jawabnya, Kalbar aman di tengah potensi konflik yang besar pasca Pilgub. Terutama dengan terpilihnya Cornelis-Christiandy (pasangan Kristen) di mana menurut UNDP, hal ini amat sangat riskan bagi politik plural di Indonesia.
Cornelis sejak terpilih berhasil memberikan ketenangan kepada para kepala dinas untuk bekerja dengan profesional. Dia terus menekankan, memilih “kabinet” dengan azas profesional, bukan like and dislike.
Mantan Bupati Landak yang diimage-kan dengan “aktivasi etnik—bersatu kita menang” juga membuka Rumah Dinas Gubernur menjadi “Rumah Rakyat”. Rumah negara itu pun kini tidak hanya dimasuki kalangan elit ekonomi dan politik, tetapi warga kampung paling udik sekalipun bisa menikmatinya. Sebuah terobosan besar nan berani.
Ir H Zulfadhli terpilih sebagai Man of The Year 2008 sebagai legislator ulung. Lebih-lebih Zulfadhli berusia muda. Dia adalah Ketua Dewan Provinsi termuda seluruh Indonesia dan bisa memimpin dalam suka maupun dukanya. Lihatlah tidak ada masalah pemerintahan yang tak dapat diperankan Zulfadhli. Bahkan Perda Inisiatif sangat subur di lembaganya. Anggaran Pendidikan meningkat tajam melebihi 100 persen, mengingat anggaran sebelumnya 6% menjadi 13%.
Di bidang ekonomi dan bisnis, eksistensi kepemimpinan H Djamaluddin Malik, SE, MM sangat besar. Dia berhasil membawa Bank Kalbar melebihi likiuiditas, sangat efisien, dan meraih sejumlah award di tingkat nasional. Jaringan Bank Kalbar melesat jauh serta berhasil menggarap ATM dengan on-line. Image yang berat untuk dilakukan Bank Pembangunan Daerah.
“Selamat Datang Tradisi Baru”. Tradisi ini tahun 2009 akan dilaksanakan dengan jauh lebih sempurna. Lebih hidup, lebih bergairah. Lebih nyeni. Lebih banyak bidang teladannya. Sampai jumpa di Borneo Tribune Award 2009.
Posted by Noeris at 21.30 0 comments