Sabtu, 17 Januari 2009

Mencari Andrea Hirata Baru


Tetralogi Laskar Pelangi begitu menyihir mata baca di Indonesia, bahkan ke mancanegara. Nama Andrea Hirata melambung setinggi dan seindah pelangi. Novelnya tak hanya indah dibaca, tapi juga disaksikan di layar perak: Film Laskar Pelangi.
Anak pesisir Pulau Belitong itu berhasil mencampur-sarikan engine dan meaning dalam empat buku novelnya, masing-masing Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryama Karpov. Sebuah alunan harmoni yang indah antara anti klimak dengan klimak, antara miskin dan kaya, antara sengsara dan nikmat—yang akhirnya juga seperti film Sengsara Membawa Nikmat.
Membaca tetralogi Laskar Pelangi mengingatkan kita kepada masa kanak-kanak yang penuh suka cita. Bermain dengan penuh tawa dan canda, termasuk suasana belajar di sekolah atau sesama teman sebaya.
Mengikuti alur cerita Laskar Pelangi, kita merasa sebagai manusia yang dalam mengarungi hidup dan kehidupan penuh ancaman, tantangan, cobaan. Tetapi dengan dasar etos cinta yang tinggi, semua duka menjadi pelipur lara sehingga menjadi catatan suka cita. Suka dan duka berpilin terus menerus menjadi sebuah rangkaian kehidupan yang terus berputar. Terus menginspirasi selama tantangan diubah menjadi peluang serta masalah dijadikan vitamin untuk memperkokoh kebugaran.
Andrea Hirata berhasil melesatkan diri keluar dari keterjepitan ekonomi dan sosial yang paling bawah di Pulau Belitong, di mana sekolah SD-nya nyaris tutup karena tidak punya pelajar baru dan bangunan sekolahnya sudah reot, nyaris tumbang. Tetapi Andrea Hirata (di dalam novel bernama Ikal) berhasil menjadi doktor di Sorbone, Prancis. Ia melipatgandakan keberhasilan melahirkan teori baru di dalam disertasi doktoralnya di bidang informatika. Ia menebus keterkungkungan rekan-rekannya yang tidak seberuntung dia, kendati cerdas seperti Lintang.
Kisah novel Andrea adalah kisah sebuah catatan yang sangat berharga di bidang kepenulisan. Sukses story Andrea Hirata ini laik disuntikkan kepada siapa saja. Tak terkecuali kepada 60 pelajar SMP Aloysius Gonzaga yang bertandang di kantor redaksi Harian Borneo Tribune, Sabtu (17/1) kemarin. Mereka datang untuk belajar tentang koran, dan kepenulisan. Mereka punya kisah dan asa yang tak kalah menharu-birunya jika mampu menuliskannya—tentunya.
Terbukti. Pelajar aktif bertanya jawab di ruang redaksi yang penuh sesak. Mereka berkenalan dengan jurnalis-jurnalis andal. Di Borneo Tribune/Tribune Institute ada doktor linguistik, Dr Yusriadi. Ada jurnalis investigative yang berhasil mengawinkan dua award nasional (Mochtar Loebis Award dan Adiwarta Award) Muklis Suhairi, dan memiliki sastrawan, Asriyadi Alexander Mering.
Tak hanya 60 pelajar, guru Bahasa Indonesia, Ibu Natalis yang turut mendampingi bersama Kepala Sekolah serta dewan guru lainnya juga menyatakan ketertarikannya mengembangkan ilmu kepenulisan. “Kami tertarik untuk mengadakan training di bidang kepenulisan. Kami akan mengundang Borneo Tribune yang punya lembaga Tribune Institute,” ungkap Natalis.
Dewan Redaksi dan fungsionaris Tribune Institute menyanggupi untuk menjalin kerjasama. Diharapkan dari kerjasama itu dapat lahir Andrea Hirata-Andrea Hirata baru di Kalimantan.
Borneo Tribune dan Tribune Institute sejauh ini terus aktif mengembangkan ilmu komunikasi media lewat kerja-kerja praksis. Aktivitas menerbitkan buku dan menulis indah menjadi habbit atau kebiasaan selain kerja pokok menulis berita. Kerja-kerja ini adalah idealisme. Ibaratkan langit dan bumi, siang dan malam, laksana tangan kiri dan tangan kanan. Ya, ibaratkan Yin dan Yang.



0 comments: