Selasa, 18 Agustus 2009

Tahu Data Begini, Apa yang Harus Dilakukan?


Olaf adalah pekerja DED yang punya perhatian mendalam soal kabut asap dan debu di Kota Pontianak. Dia punya banyak rekan ekspaktriat yang hengkang dari Kalbar akibat kabut asap dan debu.
Olaf membuka website Pemkot Pontianak. Di situs resmi ini Wakil Walikota Pontianak menegaskan bahwa udara Kota Pontianak sudah berbahaya. Indeks ISPU sudah 300 ppm. Angka standarnya 200 ppm.
Saya mengatakan kepada Olaf bahwa situasi seperti ini oleh warga Kalbar khususnya Kota Pontianak masih dianggap biasa. “Wah kalau saya tak kuat. Saya susah bernapas,” ungkapnya. Saya pun mendorong Olaf tak keluar ruangan jika tak diperlukan. “Sebaiknya tetap berada di dalam agar terhindar dari partikel debu,” kata saya.
Olaf semakin risau karena bosnya dari DED Jerman akan bertandang ke Kalbar. “Saya harus tahu bagaimana kualitas udara di sini,” imbuhnya.
Kami kemudian ke Badan Lingkungan Hidup. Ersa dan pimpinannya menyambut dengan ramah. Kepada kami Ersa memberikan print out pemantauan ISPU. Di dalam print out tersebut tak satu dua hari indeks berada di takaran 400 ppm. Tandanya sudah amat sangat berbahaya. “Tak ada istilah amat sangat berbahaya. Kalau sudah berbahaya ya bahaya saja,” kata Ersa.
Saya melihat grafik ISPU. Tanda bahaya sudah di bilangan garis warna hitam. Warna kematian. Kalau tidak sehat angkanya merah. Tandanya awas!
Olaf tampak mengeryintkan jidatnya. “Apa yang bisa dilakukan setelah tahu angka seperti ini?”
“Kami sudah sarankan kepada Walikota untuk mengeluarkan surat dilarang membakar,” kata Ersa.
“Kami juga membagikan masker secara gratis selain imbauan-imbauan,” lanjutnya.
Olaf melihat hal itu belum fokus. Ia sebagai ekspaktriat belum melihat adanya kebersamaan warga mengatasi masalah besar ini. “Lihat anak-anak yang dibonceng dengan kendaraan. Mereka punya badan mungil, kecil. Hati dan jantungnya masih bersih. Tegakah kepada mereka diberikan udara kotor dengan partikel debu yang halus yang bisa menyebabkan mereka radang pernapasan? Tidak kasihan?” retorikanya.



0 comments: