Selasa, 18 Agustus 2009

Merenda Semangat Sastra WS Rendra


Mengutip salah satu kalimat puitis WS Rendra, “Ia merenda kain mungil dan harapan…” kami sejumlah anak muda Kota Pontianak berkumpul di halaman Tribune Institute di bawah sinar bulan purnama. Kebetulan alamat kami di Jalan Purnama sehingga merenda kain mungil dan harapan terasa makin ritmis serta puitis. Puitisnya puitis yang alami. Terlebih Pay Jarot Sujarwo pimpinan Pijar Publishing juga membawa gitar serta melankolis membacakan sajak-sajak WS Rendra. Tepuk riuh pun bergemuruh. Applaus selalu lahir di setiap usai pembacaan sajak. Tak kalah semangatnya dengan film dokumenter karya Sumanjaya yang ditampilkan Pay. Film dokumenter itu adalah pembacaan puisi WS Rendra di Universitas Indonesia dan Institute Teknologi Bandung. Masing-masing berjudul Sajak Buat Mahasiswa dan Sajak Sebatang Lisong.
Acara “Mengenang WS Rendra” diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, Jumat (8/8) kemarin. Acara direncanakan hanya enam jam sebelumnya, di mana Pay berjumpa dengan saya untuk urusan penerbitan buku dan punya rasa yang sama untuk menghormati wafatnya penyair “ruar biasa” Wahyu Sulaiman Rendra pada Kamis malam dan dimakamkan pada Jumat siang. Prinsip kami sama: lebih cepat-lebih baik.
Pay bertugas menghubungi sejumlah rekan. Saya dkk menyiapkan tempat dan penganan. Alhasil terkumpul sekitar 20-an orang. “Pak Halim Ramli tak bisa datang karena baru saja keluar dari rumah sakit. Beliau menyampaikan salam saja. Pak Harun Das Putra juga tak bisa hadir karena ada halangan. Tetapi yang hadir di sini ada dari Komstain, mahasiswa aktivis, Madanika, penulis dan jurnalis,” ungkap Pay memandu acara. Acara dimulai sejak pukul 20.00 WIB.
Ada banyak hal penting yang menyeruak sepanjang acara yang berakhir 30 menit lewat tengah malam itu. Pertama bahwa jiwa sastra masih ada di Kota Pontianak walau menurut Kang Leman dari Taman Budaya jalannya “tertatih-tatih” sejak dahulu kala. Jiwa sastra itu mengundang hadir di forum yang sama lantas berbagi seni lewat pembacaan sajak maupun deklamasi. Tampillah Pay dengan puisi disertai musik, Asriyadi Alexander Mering, Budi Rahman, Rizki Wahyuni, Oong, Ali, Leman. Saya sendiri tidak membacakan puisi melainkan sedikit bercerita soal edukasi yang ditularkan WS Rendra secara langsung ke dalam jiwa dan pikiran saya.
Saya sebetulnya tak mengenal WS Rendra lebih dari apa yang saya pelajari di bangku sekolah ketika SD. Beruntung saat SMP saya aktif di Bengkel Teater Mujahidin. Di sini ada Yudhiswara, Odhys dan Mizar Bazarvio yang mendidik bersastra ria. Saya diikutsertakan dalam menyambut dan mengisi acara saat pentas “Selamatan Anak Cucu Sulaiman” di GOR Pangsuma Pontianak sekira tahun 1988. Ketika itu Rendra hadir bersama Adi Kurdi, Syamsul Rizal dan istrinya Ken Zuraida.
Malam sebelum tampil di GOR saya berdecak kagum dengan Rendra melalui kisah sastranya, juga pembacaan puisi-puisi Chairil Anwar yang dilakukannya. Saya masih terngiang-ngiang sampai sekarang cara WS Rendra membaca puisi Chairil berjudul Aku. Kala itu Rendra ada diskusi sastra bersama sastrawan maupun budayawan Kalimantan Barat.
Saya berdecak kagum kepadanya. Lebih berdecak kagum lagi manakala menyaksikan Rendra dkk tampil di GOR memanggungkan Selamatan Anak Cucu Sulaiman.
Decak kagum saya adalah penampilan team Bengkel Teater Rendra sangat hebat di depan melompongnya penonton. Menyedihkan sekaligus membanggakan. Di sini saya bisa memaknai prinsip Rendra bahwa seni untuk seni. Bukan seni untuk uang.
Ketika menyodorkan buku catatan harian saya, WS Rendra memberikan empat kalimat puitis: Kesadaran adalah matahari// Kesabaran adalah bumi// Keberanian menjadi cakrawala// Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Saya mengecamkan empat kalimat yang saya terima seperti wangsit di tahun 1988 itu. Saya hapal dan saya berusaha berjuang menjalankan komitmen. Tak terkecuali menyemai dan memelihara semangat sastra Rendra. Sastra pembebasan. Sastra yang merubah peradaban dari gelap menjadi terang. Seperti kalimat terakhir yang disebut-sebut Mas Willy.
Saya bersua dalam tempo lebih lama kepada Rendra sekitar 3 jam bersama saat Beliau diundang panitia Musik Kampus FT Untan tahun 1995. Selain Rendra juga hadir politisi Aberson Marley Sihaloho serta Sri Bintang Pamungkas. Saya wawancara khusus bersama Rendra di Kapuas Palace ditemani Syafaruddin Usman. Kapasitas kami ketika itu adalah reporter kampus Mimbar Untan.
Dalam wawancara 3 jam itu Rendra mengisahkan kilas balik hidupnya. Betapa ia anak militer yang diharapkan menjadi dokter justru tumbuh menjadi penyair. “Mau hidup apa dari penyair?” sinis keluarganya.
Rendra terus bercerita soal perjuangan hidupnya. Sampai kisah siksa di penjara serta nilai hidup yang amat sangat mahalnya. “Alangkah indah teriakan bocah manakala saya siuman dari pingsan di ruang gelap gulita,” ujarnya yang mengiris hati saya seperti sembilu. Saya terus terang tak pernah mengalami derita fisik seperti dirasakan WS Rendra. Tapi cukuplah kisahnya saya rekam sebagai pelecut untuk merealisasikan “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata….”
Rendra mentraktir kami minum jus jeruk dan pisang goreng. Ia memotivasi kami yang masih belia.
Diujung wawancara, saya kembali meminta kalimat kalimat bertuah dari Mas Willy. Ia pun memberikan sebuah lukisan sederhana. Sebuah bola dan garis. Di bawahnya ia menulis: Hadir dan Mengalir. Dua kata sihir bagi saya. Bahwa hidup ini memang esensinya bergerak laksana tawaf di muka kabah. Hadir dan mengalir. Justru tanpa mengalir kita mati terinjak-injak.
Kembali ke Malam Sastra WS Rendra. Kawan-kawan tampil mengapresiasi sajak-sajak si Burung Merak. Sajak yang bernas sekaligus memberontak. Laksana cambuk yang menyadarkan orang-orang dari tidur panjangnya. Sesuatu yang menjadi nilai seperti selama ini kita cari.
Catatan penting kedua adalah idealisme tercurah dengan momentum wafatnya WS Rendra. Kami saling bertukar pikiran dan perasaan. Kami juga mengagendakan malam-malam sastra seperti ini secara rutin, minimal sebulan sekali. Banyak tempat yang bisa menjadi pilihan. Selain di Borneo Tribune dan Tribune Institute juga Taman Gitananda atau Rumah Mimpi yang kami aktivasi melalui konsorsium bersama pihak Yayasan.
Pada 15-17 Agustus akan dihelat sejumlah acara berujung sastra di sana. Kita mengundang dan mengharapkan kehadiran penikmat dan pemerhati maupun siapa saja yang tertarik pada kesusastraan dalam konteksnya yang seluas-luasnya.
Kami mulai merenda kain mungil dan harapan…kami berharap gayung bersambut—kalimat berjawab. Salam sastra. Salam kebudayaan. Wafatnya WS Rendra bukan untuk ditangisi, tapi untuk dimaknai.






0 comments: