Selasa, 18 Agustus 2009

28 Juni Hari Pahlawannya Orang Kalbar


28 Juni ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) setelah dilangsungkan seminar nasional pada mata acara Hut Kemerdekaan RI yang dihelat Pemprov Kalbar tahun 2006. 28 Juni ditetapkan sebagai HBD dengan Peraturan Daerah No 5 Tahun 2007 memiliki mata rantai tak terpisahkan dari peringatan proklamasi kemerdekaan.
Bagi kita di Kalbar menyambut dan mengisi kemerdekaan bukanlah ruang kosong yang tak berkesan. Kita juga seperti Surabaya yang terkenal dengan pertempuran 10 Nopember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Kita mempunyai 28 Juni yang mana sesuai Perda No 5 Tahun 2006 diperingati pula dengan pengibaran bendera setengah tiang. Nilai-nilai perjuangan para pahlawan yang telah gugur membela bangsa dan negara dituangkan lebih lanjut di dalam materi muatan lokal pelajar se-Kalbar.
Merujuk jumlah 21.037 jiwa korban Dai Nippon di Kalbar (1942-1945), dan mereka yang disungkup adalah para pejuang, maka tepat sekali dalam konteks merayakan Hut RI ke-64 kita juga melongok kembali masa perjuangan 1942-1945.
***
Pada Hari Berkabung Daerah (HBD) yang baru saja dilaksanakan di Monumen Daerah Mandor pada 28 Juni dua bulan yang lalu Harian Borneo Tribune menyebar angket pendataan ulang korban fasisme Jepang. Hasilnya di dapur redaksi menumpuk formulir yang dikembalikan. Salah satu di antaranya adalah Gusti Khaidir.
Gusti Khaidir adalah Gunco. Gunco sama dengan Camat untuk jabatan pemerintahan saat ini.
Nama Gusti Khaidir tidak tercatat dalam daftar para korban seperti dimuat Borneo Shinbun, tetapi perjuangan Gusti Khaidir dikenang selalu oleh warga, terutama ahli warisnya Gusti Basuni (alm) dan sang cucu yang kini menetap di Mempawah, Gusti Ibrahim Syaifiudin.
Menurut Gusti Ibrahim, almarhum Gusti M Khaidir adalah anak dari Panembahan Taufik Akamudin. Di dalam kerajaan Gusti Khaidir menduduki jabatan sebagai Panglima Kerajaan.
Pada masa penjajahan Jepang siapa saja yang berani melawan maka akan dibinasakan. Tidak hanya yang bersangkutan, tetapi juga anak dan istrinya. Mereka semua dibinasakan secara kejam, yakni diarak keliling kota untuk diperlihatkan kepada segala lapisan masyarakat. Bahwa siapa yang berani melawan akibatnya adalah ditangkap dan disiksa.
Tentara Jepang dinilai sudah berniat tidak baik. Mereka meminta daftar nama-nama para tokoh masyarakat dengan alasan akan mengadakan pertemuan. Pertemuan itu hanya kedok belaka di mana mereka akan menghabisi para cerdik cendikia tersebut. Gusti Khaidir yang berani melawan Dai Nippon menjadi korban fasisme Jepang.
***
Nama korban lain yang belum tercatat adalah Syarif Zeyn Almutahar bin Syarif Salim Almutahar. Kakek dari Effendy Asmara Zola ini bersama kerabat atau karib Almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie mengadakan perlawanan bawah tanah terhadap agresor tentara Dai Nippon. Keduanya gigih menolak bujuk rayu spion Nippon bernama Ismail.
Sultan sempat bersembunyi di Sungai Ambawang 11 hari pada Februari 1944. Syarif Zeyn bertahan di Pontianak karena jabatannya Mantri Blassting (Kantor Pajak). Pada hari Selasa, 22 Februari 1944 jam 13.00 Syarif Zeyn disungkup Nippon.
***
Laporan yang masuk ke redaksi Borneo Tribune terus mengalir. Subandi, S.Pd yang sehari-hari bekerja di Diknas Kota Pontianak juga adalah cucu dari korban fasisme Jepang.
Subandi berharap nama Ahmad Sri Alam dapat didaftar sebagai korban fasisme melawan penjajahan Jepang dalam rangka merebut kemerdekaan. Ahmad Sri Alam gugur bersama Abdul Thaha (kakek sepupu—namun terdaftar) serta Panangian Harahap asal Pontianak (terdaftar).




0 comments: