Pemerintah berkomitmen menyudahi praktik korupsi. Caranya dengan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU). Begitu yang kita ikuti melalui acara yang digelar Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Kalbar dengan seluruh jajaran aparat penegak hukum di Kalbar, Selasa (2/12).
MoU yang diteken membuktikan bahwa pemerintah punya political will atau keinginan kuat memberantas penyakit paling berbahaya bagi masyarakat tersebut. Sebab uang rakyat yang dikorup menyebabkan pemberdayaan masyarakat tidak pernah berangkat naik, terkecuali meng-kaya-kan oknum-oknum tertentu. Yang terjadi di kalangan rakyat adalah pemiskinan. Pemiskinan yang setaraf dengan pembodohan dan penghisapan hak-hak orang lain.
Orang-orang kaya tertentu dari jalan korupsi kerap sulit disentuh hukum karena hukum bisa dibeli. Oknum di lembaga peradilan telah kongkalikong dengan rupiah. Rupiah menjadi segala-galanya karena kehidupan yang materialistis, konsumeristis dan permisif (serba boleh).
Syukurlah jika pemerintah yang punya power atau kekuatan menyadari posisi ini. Sadar-sesadar-sadarnya sehingga membubuhkan tanda-tangan buat sepakat tidak korupsi lagi. Sepakat untuk mempercepat proses vonis kasus-kasus korupsi sesuai dengan atribut dan tata hukum yang berlaku di NKRI.
Kita ketahui bahwa negara ini berazaskan hukum. Hukum harus menjadi panglima.
Setakat ini kita lihat ada MoU karena memang hukum belum menjadi panglima. Oleh karena itu sekecil apapun arti dari MoU tersebut tetaplah punya makna yang sangat dalam. Bukan penghias bibir belaka. Tak sekedar dekorasi seperti lips stick. Terutama dari political will itu kita menunggu aksi nyata atau political action.
Demokrasi berlandaskan hukum yang kita idam-idamkan harus kita akui masih bersifat utopis. Idaman Indonesia emas yang madani, yang sejahtera, yang adil dan bermartabat masih bagaikan jauh panggang dari api. Korupsi masih menetas di sana sini. Jumlah kasus korupsi bukannya berkurang, melainkan bertambah-tambah.
Akibat terus bertambah itulah pemerintah merasa perlu mencapai pemerintahan yang bersih dan berwibawa dengan cara membuat komitmen bersama. Semakin sering komitmen ini ditegaskan akan semakin baik karena janji adalah utang dan utang harus dibayar. Jika tidak di pengadilan dunia, ya pengadilan moral, sampai akhir zaman kelak.
Dalam kerangka mencapai hasil yang cepat, kita ada baiknya belajar sampai ke negeri China. Di China disiapkan 100 peti mati bagi para koruptor. Satu peti mati khusus buat kepala negara, kepala daerah, atau pada akhirnya kepala kantor.
Ini sugesti yang baik karena esensinya adalah keteladanan. Keteladanan ini yang sekarang amat sangat kita butuhkan sehingga pemberantasan korupsi bukan hal yang utopis.
Ketika sampai pada tingkat keteladanan, kita semua bisa menjadi teladan. Caranya dengan memulai dengan pola hidup sederhana. Kita tidak tergantung pada kebendaan dan kemewahan. Kita biasakan diri berpuasa dari segala nafsu kepemilikan harta benda maupun kekuasaan hingga tak cukup tujuh turunan.
Indonesia sendiri tak sedikit tipe leader yang bisa diteladani dan bersih dari kasus korupsi. Sebutlah Mohammad Hatta, KH Agus Salim hingga di jajaran termuda seperti Kapolri Hoegeng, Hakim Bismar Siregar, Ali Sadikin.
Nah kita butuh Hatta Hatta muda. Kita perlu new-new Agus Salim. Kita mencari Hoegeng Hoegeng belia. Kita search Bismar Bismar pemula. Kita harus ciptakan suasana yang kondusif bagi lahirnya Ali Sadikin Ali Sadikin. Tegas dan keras terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kamis, 04 Desember 2008
Utopia Pemberantasan Korupsi
Posted by Noeris at 01.22
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 comments:
I hope we need not have to pay the police every time we register our name at the Entikong CIQ. If we have to, why not, but the police must give us receipt.
Thats a good point friend :)
Posting Komentar