Sabtu, 06 Desember 2008

Perjalanan Menuju Surga Bersama Nabi-nabi Palsu


"Atau Nabi-nabi Baru?
Oleh: Nur Iskandar

“Enggaaang...Enggaaaaaang!” Teriakku tanpa malu-malu saat ditunjukkan ada seekor enggang terbang melintasi anak Sungai Kapuas. Aku sampai berdiri seperti anak sekolah dasar dapat tugas menyambut iring-iringan Presiden. Sementara speedboat melaju dengan kecepatan tinggi laksana terbang. Tus...tuss....tusss. Kecepatan 40 tenaga kuda serta berpenumpang hanya enam orang termasuk motoris.
Jumlah penumpang mau lebih menjadi tujuh atau delapan boleh-boleh saja asal semuanya tahu tata cara berenang yang efektif dan efisien, karena berisiko tenggelam. Tanpa tahu tata cara berenang yang profesional, tentu tenggelam gaya batu dan munculnya kalau tidak di rumah sakit ya di koran-koran.
Aku berteriak karena enggang burung terkenal. Ia kukira lebih most famous ketimbang para selebriti di dunia. Bahkan enggang oleh masyarakat adat Dayak sudah dianggap dewa atau Tuhan.
Di memori kepalaku entri data enggang keluar cepat. Enggang yang kubaca di National Geografic dan internet punya karakteristik luar biasa. Ia satwa langka yang eksotik, “berprikebinatangan” karena kesetiaannya, hidup di tempat yang tinggi di dalam hutan laksana penjaga hutan—yang oleh para pencinta lingkungan kehidupan enggang sebagai parameter apakah hutan layak disebut virgin atau tidak. Enggang bahkan tinggi derajatnya daripada binatang yang punya label hutan seperti babi hutan maupun orang utan.
Malaysia yang sudah jauh lebih maju ekoturismenya dari Indonesia justru menjadikan enggang sebagai ikon pariwisata yang terpampang di mana-mana. Mereka menuliskan di bawah gambar enggang: the hiden paradise in the world. Artinya, surga yang tersembunyi di dunia.
Dahulu di saat 50 tahun Indonesia Merdeka, Aku berkendaraan roda dua bersama teman-teman kuliah dari Pontianak ke perbatasan. Aku yang reporter kampus Mimbar Untan mereportase Border Entikong di Kabupaten Sanggau. Mataku terpacak dengan papan nama besar bertuliskan Welcome to Sarawak. Selamat datang ke Sarawak.
Di papan nama yang tertancap di muka Border Tebedu itu ada gambar enggang gading yang besar dengan wajah nan eksotik. Di wilayah perbatasan kita sendiri tak ada maskot enggang. Enggang di kita rupanya kurang dihargai. Bahkan diburu dan dijual dengan harga tak pantas, lalu nyaris punah. Cara memburu yang paling kurang ajar tentu saja dengan merusak rumahnya. Hutannya. Ekosistemnya. Caranya dengan menebang pohon. Alasannya bermacam-macam. Bisa perdagangan kayu legal atau ilegal demi sesuap nasi, bisa pula karena pembukaan lahan pertanian dan perkebunan demi kesejahteraan rakyat atau Pendapatan Asli Daerah, maupun akibat populasi manusia yang terus bertambah.
Tragisnya tidak hanya enggang yang punah, tapi juga orang utan, ikan arwana, plasma nutfah atau keaneka-ragaman hayati. Dan sejak 1995 sampai 2008 dalam kesaksianku sendiri telah banyak hal-hal kurang ajar terjadi. Reok Ponorogo pun diklaim milik Malaysia karena pemilik sahnya sendiri si Bangsa Indonesia tak mampu mengurusnya. Lagu Rasa Sayange, kerajinan batik, sampai pulau-pulau terluar. Semua diklaim. Nyaris saja Tanjung Datu di ujung Sambas serta Ambalat di ujung Kaltim juga lepas menyusul dua rekannya si Pulau Sipadan dan Ligitan jika tak cepat-cepat diributkan media dengan kesediaan rakyat jelata menjadi relawan tentara.
Nuan. Tentu saja di dalam perjalanan reportase menuju Kecamatan Bunut Hilir ini lebih istimewa ketimbang perjalananku ke border Sarawak tempo hari. Sambutan langsung tidak hanya dengan gambar burung enggang yang terpampang di bilboard, tetapi enggang asli yang hidup, terbang lepas, bebas, merdeka. Terus terang nuan, ini adalah kali pertama aku melihat enggang terbang lepas di alam bebas. Aku mendapatkan kepuasan batin dan intelektual tersendiri. Wajarlah jika Aku pun berteriak lepas, bebas, merdeka, “Enggaaang....!” Sapaan yang setara dengan popularitasnya. Setara dengan Aku mau bilang salam sejahtera buat kamu wahai enggang, assalamualaikum...
Sejarah pertemuanku buat pertama kali dengan enggang yang terbang ini harus aku tuliskan. Aku harus pula menyampaikan kabar gembira ini kepada siapa saja sebagai pertanggungjawaban sosialku. Tanggung jawab sebagai sesama makhluk yang berkepentingan dengan kelestarian lingkungan. Sama-sama mau hidup. Sama-sama mau lestari. Sama-sama tak mau hilang dari peradaban. Kalau sudah punah, ya tinggal sejarah. Sejarah yang tak akan berulang karena Aku sadar bahwa orang-orang kurang ajar itu terus merusak hutan.
Lebih dari itu bagiku, menuliskan sesuatu yang luar biasa hebat ini adalah tanggung jawab profesiku. Profesi penulis ya menulis. Kalau penulis tidak menulis ya tak layak disebut penulis. Sebut saja tong kosong berbunyi nyaring. Dalam bahasa orang Malaysia disebut berbual-bual.
Tanpa malu-malu Aku pun menarik kertas kecil dari saku bajuku. Aku tuliskan, “Sejak melangkahkan kaki dari Kota Putussibau menuju Danau Lindung Empangau, Jumat (29/11) sekitar pukul 17.15. Kira-kira 45 menit sejak kami meninggalkan Lanting Taman Nasional yang berada di bawah jembatan penghubung antara Putussibau Selatan dan Putussibau Utara aku terkesima melihat enggang terbang.”
Burung itu terbang dengan sayap mengepak-ngepak. Tidak seperti elang yang empat-lima kali mengepak kemudian melayang seperti kelayang. Tidak juga seperti walet—si raja uang karena penghasilan sarang burungnya—yang terbang berombong-rombongan. Si enggang itu terbang solo karir tanpa pamer suara yang biasanya serak-serak parau serta menakutkan. Kata orang, suara enggang menandakan adanya kematian. Si enggang yang aku lihat itu terbang dengan paruh terangkat sejajar kepala dan badan. Entah dengan kaki-kakinya. Mungkin juga sejajar seperti kita berenang.
Hermayani dan Albertus yang duduk di kiri dan kananku tertawa lepas. Begitupula Lauren dan Anas yang duduk sederet dengan motoris di depan. Hanya Daud, sang motoris yang kulihat tidak tersenyum melihat tingkah polaku seperti orang kampung—dan memang orang kampung—tapi ini berkelakuan kampungan. Bahasa anak gaul di Pontianak. “Macam orang sepok laot jak.” Mungkin Pak Daud tak mengikuti perkembangan orang satu nih di belakang lantaran fokus menatap ke depan untuk membawa kami dengan aman dan nyaman serta tiba tepat pada waktunya.
“Benarlah baru kali ini Nuris melihat enggang terbang di alam terbuka?” tanya Hermayani yang juga aktivis World Wild Fund (WWF) Kapuas Hulu.
“Benar Bang,” kataku. Selama ini aku hanya melihat maskot Kalbar itu terpajang di ruang tamu rektorat Untan, buah tangan pelukis cum jurnalis dan budayawan terkenal Kalbar HA Halim Ramli. Di mana berkat kehalusan sentuhannya, enggang gading yang di paruhnya ada bunga tengkawang tungkul itu menjadi maskot, bahkan dijadikan motif baju seragam pegawai negeri hingga baju-baju seragam anak sekolah seantero Kalbar.
Jujur kuakui bahwa Aku memang pernah melihat enggang di Kebun Binatang Sungai Raya sewaktu masih SD sekitar tahun 1980-1986. Bulu-bulunya hitam dan paruhnya kuning. Tapi Bonbin itu kini sudah tutup. Binatang-binatang di sana sudah diungsikan ke Sinka Island Park Singkawang lantaran manajemen yang tidak profesional. Mudah-mudahan saja di Sinka Island Park lebih profesional sehingga tidak seperti keledai yang masuk ke lubang dua kali. Bonbin kuakui punya aspek edukasi ekologi selain punya daya tarik pariwisata. Bahkan di Thailand gajah menjadi sumber penarik income industri pariwisata. Begitupula onta di Timur Tengah.
Di lain tempat burung enggang hidup Aku lihat di kediaman Rektor Untan, Prof H Mahmud Akil, SH. “Tetapi meninggal Pak Mahmud, meninggal pula si enggang itu,” ujarku berseloroh. Kawan-kawan yang mendengar pun ketawa. Kukira mereka ketawa karena partisipasi saja, bukan karena ungkapan itu lucu. Sebab memang kalimatku tidak lucu-lucu benar. Yang lucu adalah kehidupan kita yang kurang ajar yang menyebabkan enggang jadi punah.
Rasa bangga dalam hatiku menyeruak melihat enggang terbang bebas. Menyembul-nyembul laksana tarian gelombang dari speed yang melaju deras. Sementara pikiranku melayang bersama enggang. Si enggang sendiri sudah hilang ditelan lebatnya dedaunan kayu bungur serta benuang.
“Enggang itu terbang sendiri ada ceritanya,” sambung Albertus yang akrab disapa Albert.
“Apa ceritanya?”
“Tanyakan dengan Lauren...”
“Bagaimana ceritanya Boy?” Tanganku mencolek kawan seangkatan kuliah itu saat di Fakultas Pertanian Untan. Angkatan 1992.
Rasa penasaranku menyeruak campur kesal karena Lauren tak segera menjawab. Dia hanya setor senyum dari wajah gantengnya itu. Baju cokelat batik yang dibelinya saat liburan di Jogja bersama anak dan istrinya berkecipak senada dengan jambulnya yang melepet dikibas angin kencang. Aku sebel sekali melihatnya seperti seringai kuda, sementara aku makin penasaran.
Aku tahu Lauren sengaja menikmati keadaan ini. Ia seperti bangga bisa menyuguhkan: ini loh keindahan alam Uncak Kapuas. “Uncak Kapuas gitu loooh,” seolah-olah dia menyeringai. Sebab sudah lama dia mengundang agar Aku bisa ikut pers tour ke Taman Nasional Danau Sentarum yang jauh lebih elok, tapi Aku tak kunjung punya waktu. Aku selalu mengirim reporter, fotografer atau redaktur. Baru Kamis (28/11) Aku memutuskan untuk bisa terbang ke Uncak Kapuas dalam kapasitas sebagai salah satu pembicara mengupas UU Keterbukaan Informasi Publik sekaligus menandai Peresmian Pusinfo Kehutanan hasil kerja bareng antara EC-Indonesia FLEGT Support Project dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemkab Kapuas Hulu. Panelis lainnya Bapak Abner Pangarimbuan mantan Kepala Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Kalbar yang kini top leader Forest Law Enforcement Goverment dan Trade (FLEGT), serta Kadishutbun, H Sjahrial Azhar.
Cerita enggang berlanjut. Albert yang punya hati lembut segera menyambut. “Enggang tipe makhluk yang sangat setia. Teruji jika ia kehilangan pasangannya,” ujarnya ke arah telinga kananku. Maklum berbicara di atas speed yang melaju dengan kecepatan tinggi, tus tuss tuusss, intonasi harus beradaptasi.
“Kalau pasangan si enggang mati atau ditangkap pemburu, maka si pasangan akan selalu mendatangi tempat terakhir di mana mereka berpisah. Hal itu akan dilakukannya berhari-hari lamanya sampai sore baru kembali lagi ke sarangnya. Setia sekali.”
Aku sedih mendengarkannya. Mataku berkaca-kaca sembari alam pikirku sebagai jurnalis mengembara ke berbagai kasus kriminalitas, ekonomi, hingga politik di ibukota. Tak sedikit keluarga pecah berderai lantaran affair yang artinya tidak setia. Tak satu dua kasus persahabatan putus karena tak segaris pilihan politis.
Kisah kesetiaan dan cinta kasih sepasang enggang sudah seperti cerita Rama dan Shinta, atau Rommy dan Juliet karya William Shakispeare. Wajar oleh masyarakat Dayak si enggang disimbolkan sebagai dewa atau bahkan Tuhan.
“Banyak pelajaran berharga dari makhluk lain. Selama kita mau mengambil pelajaran darinya.” Hermayani menimpali.
Hermayani adalah putra bungsu dari La Eka seorang yang religius. La Eka pernah bertugas di Uncak Kapuas dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan pada saat Hermayani belum lahir dari seorang ibu asal Sanggau. La Eka bekerja di Dinas Pertanian dan bangga anaknya aktif di WWF serta bertugas di tempatnya pernah berkelana naik turun speed dan lereng-lereng gunung dalam rangka menyuluh serta mendidik masyarakat.
Di kala La Eka bertugas enggang lebih umum lagi terlihat. Orang utan masih banyak. Hutan masih sangat lebat. Katanya ikan silok pun masih digoreng dan dimasak orang karena lumrah ada di mana-mana.
Pikiranku terus mengembara bertali-tali dengan struktur yang tidak jelas. Tetapi ada sambung menyambungnya dalam romansa kebahagiaan petualang. Sambungan yang jelas-jelas duduk di samping kananku adalah bahwa buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya. Like father like son.
Kalau dulu La Eka yang naik turun Kapuas Hulu. Kini putranya, Hermayani. Ia aktif melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat bersama rekan-rekannya di WWF atau partnership bersama NGO-s lain seperti WALHI, Riak Bumi, Dian Tama, Pancur Kasih, Institute Dayakologi termasuk dengan Tribune Institute lembaga nirlaba dari Borneo Tribune tempatku bekerja. Maka Aku menikmati benar perjalanan seusai tampil menjadi salah satu narasumber dalam Dialog Publik di Aula Bupati. Aku menikmati samudera lintas generasi. Aku menikmati keindahan pemandangan tepian anak Sungai Kapuas yang lebarnya sekitar 100 meter, kadang mengecil, kadang membesar, berkelok-kelok seperti ular yang sehari sebelumnya sudah Aku lihat dari badan pesawat Trigana Air. Bukan hanya berkelok-kelok seperti ular jika dilihat dari udara, tapi juga membentuk tipologi huruf-huruf yang berantakan. Kebanyakan S, I, R, U dan N. Sampai-sampai ingin sekali aku susun huruf itu menjadi NURIS. (Ei eit, ide celake. Narsis banget he he he...).
Di dalam perjalanan, Pak Daud sang motoris juga nyeni. Ia bersenyawa dengan speedboatnya. Berpacu dalam kecepatan tinggi seperti berpacu dalam melodi. Ia bisa mengompas lokasi dengan lewat jalan pintas. Ia jago memotong gelombang, piawai dalam melihat marabahaya terutama kayu hanyut atau sampah ranting maupun dedaunan. Suatu waktu Pak Daud unjuk kebolehan dengan hat trick. Menikung dengan potongan 90 derajat sehingga kami termiring-miring dibuatkannya. Pohon perdu putat yang berbunga harum nyaris ditabraknya. Kami berteriak, “Heit eiiit...” Dan itulah kesenangannya menggoda kami tanpa bicara.
Tak apalah. Aku nikmati saja mobil di atas air ini. Pohon-pohon besar masih setia menyapaku. Hutan ekosistem sungai itu tampak masih perawan karena hanya ada satu dua rumah dengan jarak yang amat jarang berada di bibir-bibir sungai. Agaknya rumah itu pun hanya rumah singgah bagi para nelayan, sebab rumah rumah mereka biasanya di pusat keramaian seperti dusun, desa hingga kecamatan.
Empangau sendiri berada di Kecamatan Bunut Hilir. Sebuah kecamatan dengan penduduk hanya 5.375 jiwa (2008). Kami hanya singgah dua kali di pusat keramaian setelah ngebut selama berjam-jam. Pertama buat rehat salat magrib sambil makan kerupuk basah. Kedua di kediaman Bapak Kepala Desa buat dinner atau makan malam.
Albert yang duduk di samping kananku hanya sekali dua berbicara. Tetapi jika berbicara dia seperti membaca. Ia memang orang pinter. Orang Tionghoa asal Sambas dan sedari kecil juga hidup di lanting. Sejak masa mahasiswa dia sudah terpilih sebagai asisten dosen. Seusai kuliah langsung diterima bekerja di WWF. Ia suka riset dengan sendirinya suka baca. Tidak suka berbual-bual.
Kalau kita bertanya ini dan itu, maka jawabannya berbab-bab. Berbuku-buku. Berpustaka-pustaka. Albertus Tjiu perpustakaan berjalan.
“Pepohonan yang tinggi besar itu pada umumnya jenis benuang. Kayunya jenis lempung yang tidak kuat untuk bahan bangunan. Oleh karena itu benuang bukan sasaran para pelaku illegal logging,” ungkapnya menjawab pertanyaanku tentang pohon-pohon besar yang banyak berdiri di sepanjang alur sungai.
“Bijinya cepat pecah kalau kena air, lalu tumbuh. Maka dia banyak di pinggir sungai,” imbuhnya.
Pohon besar lainnya adalah jenis bungur. Nah, kalau bungur aku sudah kenal. Ia banyak ditanam di halaman kampus Fakultas Pertanian. Bunganya berkelompok dan besar. Cuantiiik sekali jika mekar bersamaan. Maka kadang-kadang Aku berpikir apa alasan pemerintah daerah kabupaten atau kota tidak menjadikan bungur sebagai tanaman peneduh pinggir jalan dan mereka lebih memilih mahoni yang habitat Jawa itu? Mahoni tak ada bunga indahnya, sedangkan bungur jelas-jelas elok sekali. Asli aura Kalimantan. Kalau dia mekar berjamaah keindahannya tak kalah jika dibandingkan mekarnya bunga sakura di Jepang atau tulip di Belanda.
Saat dalam perjalanan banyak pohon bungur sedang mengeluarkan kelopak bunga berwarna ungu. Sayangnya belum semua kelopak bunga itu bermekaran. Jika sudah mekar semua, dapat dibayangkan betapa pretty-nya.
Tapi aku beruntung sekali sore ini. Langit cerah dan sebentar lagi matahari terbenam. Cakrawala jingga di ufuk barat menyemburatkan cahaya perak, tembaga dan kemudian keemas-emasan. Aku seperti berada di atas tumpukan harta karun yang mewah dan wah.
Dapat nuan bayangkan ketika pepohonan di kiri kanan mulai gelap menghitam, sementara awan comulus dan comulunimbus berganti-ganti motif seiring irama angin di atas sana. Lukisan alam membentang melebihi karya maestro Leonardo Da Vinci dengan lukisan Monalisanya, sehingga hanya napas panjang yang bisa kulepaskan sebagai bentuk keterpesonaan. Puji Tuhan. Alhamdulillahirabbil ‘alaamiin.
“Kalau begitu masih banyak enggang di sini Bang?” tanyaku kepada Albert.
“Masih, walaupun memang tidak banyak lagi.”
“Saya kira sudah punah semua, sebab begitu yang saya tangkap dari berbagai pustaka yang saya baca.”
“Ada dua jenis enggang yang masuk appendix satu yang artinya keras dilindungi. Yang pertama adalah jenis enggang gading. Nama latinnya Helmeted Hornbill. Ada juga yang menyebutnya rangkong gading. Kedua enggang badak atau rangkong badak. Nama latinnya Rhinoceros Hornbill. Saya kira yang tadi terbang itu adalah enggang badak karena ekornya agak pendek.”
Aku mengakui bahwa Aku bangga bisa melihat secara langsung enggang hidup di alam tak peduli mau badak atau mau gading, sebab selain enggang menjadi maskot Kalbar, juga maskot Harian Borneo Tribune. Logo dari Borneo Tribune dan Tribune Institute sama-sama enggang. Kalau di Borneo Tribune enggang yang distilir sedangkan Tribune Institute enggang yang berbaju rompi, membawa kamera dan berspatu boot. Fakun, kawanku di kantor menuliskan file-nya di komputer dengan nama enggang lagak. Maksudnya enggang yang agak gaya.
Kami di Borneo Tribune riset secara mendalam untuk menemukan maskot ini. Ada tawaran menggunakan simbol orang utan, ikan arwana, Sungai Kapuas, Tugu Khatulistiwa dan akhirnya pilihan jatuh kepada enggang. Alasannya enggang indah dan setia. Simbolisasi yang cocok dengan mission statement Borneo Tribune yakni idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
“Minta tolong nomor handphone Nuris,” kata Albert. Ia mengeluarkan telepon genggam dari sakunya.
Aku mengeluarkan kartu nama dari tasku. Satu buat Albert. Satu buat Herma dan satu lagi buat Lauren. Sementara Pak Daud anteng-anteng saja. Itu artinya dia tak butuh kartu namaku. Tak penting baginya dan malu bagiku menawar-nawarkan. Siapalah Aku ini. Sadar diri nuan.
“Di sini ada logo enggangnya,” kataku.
“Wah kami juga bangga bisa bawa Pemred melihat enggang secara langsung,” kata Herma yang pernah mengecap bangku kuliah di UGM dan menamatkan Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta.
Angin dari haluan terus menyibak-nyibak rambut kami. Mata terasa cukup pedas dihantam rambut sendiri. Baru Aku sadar mengapa sedari awal sang motoris, Pak Daud menggunakan topi. Aku iri kenapa lupa tak memakai topi. Pak Daud diam-diam jauh lebih pinter. Memang benarlah kata orang, diam berarti emas.
***
“Nuris lihat ke atas,” kata Albert.
“Ada banyak kunang-kunang,” sambungnya dengan suara datar, tapi wajah bersemu merah. Wajahnya wajah keterpesonaan.
Aku mendongak. Alamaak. Ratusan. Ribuan!
“Kunang-kunang, kunang-kunaaang...!” Kembali aku berteriak girang seperti melihat enggang tadi sore. Fantastis. Sungguh fantastis! Eksotik. Sungguh eksotik!
Subhanallah! Baru kali ini Aku melihat ada ribuan kunang-kunang menghiasi satu pohon besar yang tingginya mencapai delapan meter di malam hari. Seperti lampu seri di pohon natal. Dan kunang-kunang itu penuh sepenuh bintang gemintang di langit.
Anas, Lauren, Herma juga terkesima. Sejenak dua jenak kami semua terdiam takjub. Hanya suara speed yang menderau-derau melewati air pasang.
“Yarab...,” gumamku dengan jantung serasa mau copot lantaran terkejut sekaligus surprise. Kalau saja Aku jantungan, jangan-jangan Aku sudah koit gara-gara fenomena alam ini.
Nuan. Telah lama benar Aku tak melihat kunang-kunang. Hatta sebiji sekalipun. Kecuali saat aku masih kecil di kala kampungku Sungai Raya Dalam belum berubah menjadi kota Amsterdam seperti sekarang ini. Amsterdam singkatan anak-anak radio—terutama—termasuk Aku terhadap jalan Ahmad Yani Masuk Sungai Raya Dalam. Disngkat Amsterdam. Persis seperti Parit Haji Husin disingkat Paris.
Dulu di tahun 80-an di sekitar rumahku masih diselimuti kebun yang penuh semak belukar. Ada rambutan, durian, langsat, pisang, kopi, bemban, keladi, rerumputan. Rumah penduduk masih jarang. Udara masih segar. Jalan belum beraspal. Tak ada polusi udara dan suara. Pemilik kendaraan motor roda dua pun hanya satu dua saja, dan umumnya orang kampungku berjalan kaki. Adapun kendaraan umum yang digunakan warga Desa Sungai Raya Dalam adalah sampan. Sampan paling modern adalah yang diberi motor dengan 4-10 PK dengan suara getarnya yang khas. Kalau Aku naik sampan ini hidung jambuku ikut beresonansi. Aku sering bersin-bersin.
Di depan rumahku ada sungai. Ya Sungai Raya Dalam itu. Tepat di depan tangga mandi—dulu kami mandi dan berenang bersenang-senang di sungai karena airnya bersih—kalau sekarang adat kota sudah berubah—kami tidak mandi di sungai lagi melainkan di toilet karena malu aurat dilihat banyak orang—juga air sungai sudah tercemar limbah—maklum di muara dekat Sungai Kapuas ada Rumah Sakit Daerah Dokter Soedarso dan sudah tumbuh komplek-komplek yang membotaki vegetasi kebun dan semak belukar, termasuk dua pohon waru di depan tangga mandi kami. Di pohon waru itu sering kami melihat kunang-kunang. Kunang-kunang yang kukenang semasa kecil pun tak sebanyak di pintasan ini. Dulu paling banyak belasan saja. Ini, bo aboo, ribuan!
Dalam kondisi sekarang untuk menjelaskan kunang-kunang kepada anak-anakku tentu sudah repot sekali. Entah bagaimana Aku bisa menjelaskan bahwa kunang-kunang adalah binatang kecil super canggih yang bisa menghidupkan lampu neon dari tubuhnya sendiri? Sehingga setiap kali sayap-sayapnya mengepak menyalakan neon berkelip-kelip? Persis seperti nyala lampu seri atau lampu disko. Dia lebih penemu lampu ketimbang si penemu lampu pijar Thomas Alfa Edison.
Bulu kudukku sampai berdiri. Berdiri bukan karena takut hantu bangkit seperti legenda bahwa kunang-kunang adalah jelmaan dari kuku-kuku mayat yang baru dikuburkan—sehingga sewaktu aku masih kecil jadi ketakutan dan segera tidur di bawah selimut yang membungkus sampai ke kepalaku—sampai-sampai Aku pun sudah seperti mayat berbungkuskan kafan—tidak, bukan karena itu nuan. Aku benar-benar takjub.
Pohon yang menjadi tempat kongresnya para kunang-kunang kami temukan di sebuah jalan pintas. Jalan pintas adalah jalan memotong dari kelokan sungai yang laksana ular agar perjalanan lebih cepat sampai ke tujuan.
Jalan pintas adalah jalan yang menantang karena lorongnya sempit dipagari pohon-pohon besar seperti beringin. Dan jalan pintas menjadi kemewahan di musim air pasang seperti sekarang ini, di mana air setinggi pinggang vegetasi pohon-pohon tahunan.
Aku kesal tak punya kamera canggih yang bisa merekam momen-momen spesial seperti ini. Padahal bagi jurnalis dan fotografer momen adalah segala-galanya. Terlambat sepersekian detik too late sudah. Telat tolen.
Nah, Aku hanya membawa kamera digital kecil. Tak bermerek. Harganya pun hanya sejuta. Baterenya drop pula. Sial sekali. Jangankan mau merekam format vidio sehingga bisa kupertontonkan kepada anak-anakku, sekali jepret saja tidak bisa.
Dalam kondisi seperti begini Aku sering menghardik diriku sendiri. Bodoh. Totol. Bahlul. Sebaliknya, Aku salut dengan Pak Daud yang hapal sejumlah jalan pintas di daerah berpulau-pulau ini. Jalan yang menurutku sangat menantang di mana tak tertulis dalam peta melainkan peta ingatan belaka, gelap gulita di malam hari dengan hanya mengandalkan dua lampu halogen yang bertengger di pucuk speedboat dengan bangun tubuh speedboat laksana setrika. Pak Daud menyetir speed seperti nyetrika saja. Hebat dia.
Jalan pintas terasa seperti gua karena ditutupi tajuk pepohonan yang lebar. Beringin menjuntai-juntaikan akar tunjangnya yang kemerah-merahan seperti menyambut kedatangan kami selain pesona kunang-kunang. Beberapa utas rambut calyptra-nya menyentuh kepala, tangan dan bahu kami. Seolah menyalami dan mengucapkan, “Welcome to Paradise.” Nuan, selamat datang ke surga firdaus.
Itulah bayanganku. Begitulah perasaanku.
Mataku melihat pohon bertabur bintang si kunang-kunang, sementara langit di malam ini juga terang benderang dengan cahaya bintang gemintang. Sama-sama bercahaya. Sama-sama memukau. Sama-sama berkedip kedip seolah main mata dengan kami. Seolah olah alam ingin mengatakan, “Inilah bahasa Nabi Sulaiman dengan pohon dan bintang. Dengan calyptra dan air pasang. Dengan gelap gulita dan seorang Daud yang hapal jalan pintas.”
Prophet Salomon adalah nabi yang super cerdas. Dia bisa memerintahkan Jin Ifrit untuk mengabdi kepadanya. Ia bisa memindahkan istana kaca aquarium seperti cerita kesempurnaan taman-taman surga adnan. Ia bisa berbicara dengan binatang dan tetumbuhan. Persis seperti penampakan alam yang sedang berbicara kepada kami malam ini. Sungguh nuan, Aku jadi bisa memahami bahwa sesungguhnya, maksud cerita di ayat-ayat suci wahyu ilahi itu ya barangkali seperti ini. Komunikasi yang hidup. Bahasa yang sesungguhnya kita semua mengerti. Mengerti seperti bahasa Nabi Ibrahim dengan matahari, bulan dan bintang.
“Bulan, engkaukah Tuhan?” tanya Ibrahim dalam riwayat sejarah teologinya. Karena bulan sirna oleh awan, Ibrahim pun berkesimpulan tak mungkin Tuhan kalah oleh sesuatu yang lainnya. Maka saat bintang gemintang berkelap-kelip dengan jumlahnya yang ribuan, Ibrahim memikirkan, “Bintang engkaukah Tuhan?” Tetapi Ibrahim berpikir logis bahwa Tuhan tak mungkin lebih dari satu, sebab jika lebih dari satu pasti alam tak akan tersusun sempurna—seperti motor dengan dua nahkoda—satu mau ke kiri dan satunya lagi mau ke kanan—ujung-ujungnya tabrakan—Pak Daud saja hampir menabrak pohon putat padahal dia nahkoda sendirian. Sementara alam ini amat sangat teratur, yang berarti Tuhan hanya satu.
Bintang pun sirna oleh pagi. Ibrahim melihat matahari yang lebih gagah perkasa. “Matahari engkaukah Tuhan? Engkau perkasa dan sendiri.” Tetapi matahari dikalahkan oleh malam. Malam dikalahkan oleh siang.
Ibrahim memang pemikir ulung. Setelah riset sedemikian dalam dia berkesimpulan bahwa pencipta langit, bulan, bintang, matahari, siang dan malam itulah Tuhan. Ibrahim bahkan meledek warga penyembah banyak patung berhala di Kabah, Mekah. Dia luluh lantakkan tuhan-tuhan dalam bentuk patung itu dengan kampak. Lalu kampak yang digunakannya ditaruh di atas bahu patung paling besar yang disisakannya. Dus, manakala warga mengamuk mencari siapa yang telah menghancurkan tuhan-tuhan sesembahan mereka, Ibrahim sang intelektual mengatakan, “Ya si tuhan besar itu. Kalau mau marah, ya marah saja kepada dia. Kampak itu alt bukti hukumnya.”
Singkat kata Tuhan ada, walaupun Dia tidak tampak. Sebab memang yang ada tidak mutlak harus tampak akibat keterbatasan mata dan ilmu kita, laksana angin ada tapi tak tampak. Penampakannya hanya dari daun yang melambai-lambai atau tubuh kita menggigil kedinginan. Begitupula listrik ada tapi tak tampak. Yang tampak dari listrik adalah cahaya lewat lampu, panas lewat setrika atau dingin lewat kulkas.
Yak meh, nuan. Kita pun mengerti jika daun menguning itu artinya sudah tua. Artinya sebentar lagi gugur dan muncul tunas-tunas baru. Tunas baru berfungsi melanjutkan kehidupan, sedangkan daun yang gugur menjadi bunga tanah sumber gizi bagi kehidupan perakaran. Artinya ada siklus kehidupan dan kehidupan itu ada yang mengaturnya. Yang mengaturnya adalah Yang Maha Kuasa. Yang Maha Besar. The Almighty. Allahu Akbar. Tuhan Yang Maha Besar.
Daun yang menguning pucat juga membahasakan bahwa kondisinya sedang sakit. Sakit karena tempat hidupnya tidak sehat. Tumbuhan yang daunnya menguning pucat seperti ini membahasakan bahwa dia kekurangan unsur Nitrogen. Bahasa yang dimengerti lewat pelajaran Biologi, Botani, Fisiologi Tanaman, dan rumpun Ekologi.
Kita, nuan, bisa menyambut komunikasi pohon yang kuning pucat itu dan menyembuhkannya. Resepnya, sirami dengan air kencing karena air kencing banyak mengandung unsur Nitrogen. Lebih-lebih kencing atau urine sapi, Insya Allah, subur dia nuan. Asal jangan orang sakit kuning saja yang nuan sirami dengan air kencing, celakalah nuan. Bisa-bisa nuan dikejarkan orang parang panjang.
Karena cerdas dengan bahasa alam, Ibrahim menjadi Bapak Teologi. Bapak dari para nabi langit. Ummul ambiya. Baik Kristen maupun Islam.
Kristen turunan dari Nabi Ishak melalui istri Ibrahim yakni Siti Sarah sedangkan Islam dari Nabi Ismail hasil turunan Nabi Ibrahim bersama istri keduanya Siti Hajar. Maka beda atara Islam-Kristen “beti” atau beda-beda tipis. Hanya segaris.
Islam-Kristen seguru-seilmu. Bersaudara.
Karena cerdas dengan bahasa flora dan fauna pula, Nabi Sulaiman menjadi nabi yang kaya raya. Ia menjadi arif dan bijaksana sehingga kita boleh berguru kepadanya.
Ia sekalipun kaya tidak sombong. Sekalipun berkuasa, raja di raja ini tidak sok serta pamer kekuasaan. Jangankan manusia, semut pun dihormatinya.
Sulaiman putra Nabi Daud. Prophet David ini karena kecerdasan, kekuasaan maupun kekayaannya dia bisa mempersunting si Ratu Cantik, Ratu Balqis yang mempercayai Matahari sebagai Tuhan. Idiom Ratu Balqis sekarang mungkin Jepang karena percaya pada Matahari.
Nah, kalau nuan mau mempersunting jelita, syaratnya amalkan ilmu Nabi Sulaiman. Cerdas, kaya, berkuasa dan arif dengan alam. Ditanggung tokcer dech.
Aku sendiri pun bahagia di sini, sekaligus merasa getir dan ironi pada diri sendiri. Aku bangga bisa merasakan fenomena alam serta berkomunikasi dengan lampu dan cahaya di malam ini, tapi Aku merasa ironi seolah Tuhan mengejek, “Ayo jawab, siapa gerangan yang berkuasa menyusun bintang gemintang dan kehidupan kunang-kunang ini. Engkaukah wahai manusia atau Aku-kah? Presidenkah, atau Akukah?”
Sebuah ayat favoritku dalam surah An-Nur ayat 35: “Allah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. (Maksud lubang yang tidak tembus atau miskat adalah suatu lubang di dinding rumah yang tidak tembus sampai ke sebelahnya. Biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain). Yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah baratnya (mendapat sinar yang cukup sehingga subur serta minyaknya sangat baik.) Yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya berlapis-lapis. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
“Nuris lepas sekali,” respon Hermayani karena tadi aku teriak-teriak menyapa kunang-kunang seperti komunikasi Sulaiman dengan burung Hud-Hud.
“Ini kali pertama aku melihat kunang-kunang di jalan pintas menuju Danau Lindung Empangau,” timpal Albert.
“Waw, ternyata abang yang malang melintang ke daerah Taman Nasional Danau Sentarum pun baru kali ini?” sahutku.
“Catat sebagai salah satu destinasi yang menarik,” kata Herma.
Aku mencatat dalam gelap. “Maaf Bang saya semangat mencatat karena saya penulis. Penulis ya kerjanya menulis.” Aku menegaskan kalimat itu sebenarnya untuk menyembunyikan rasa grogi di dadaku. Kalau tak ditulis serasa sayang apabila terlupa—apalagi tak terfoto kamera—sementara ditulis seolah sok sekretaris. Semua-mua mau dicatat macam mamang tukang kredit.
Aku mencatat: “Kunang-kunang menjadi salah satu destinasi yang menarik. Destinasi paling unik yang tak ditemukan lagi di lokasi wisata lain di Kalbar, apalagi Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Australia. Ah, tak mungkin. Sungguh-sungguh destinasi yang characterize.”
Kami jadi terlibat pembicaraan epistimologis alam dan Tuhan. Bincang-bincang ini meninggi ke tingkat “ada” akan adanya Tuhan, akan adanya Nabi dan agama. Bahwa Dia ada sebelum alam ada. Bahwa Dia ada sebelum kita ada. Bahwa Dia ada sebelum kata ada ada. Bahkan Dia ada setelah kita dan kata ada tiada.
Kalau ada mula, maka akan ada akhir. Jika ada penciptaan, maka akan ada kematian. Jika ada kepercayaan pada manusia sebagai pemimpin di muka bumi, maka akan ada pertanggungjawabannya kelak.
Epistimologi alam dan Tuhan itu meningkat ke tataran yang lebih tinggi ke tingkat makna hidup. Ke tingkat aksiologi. Dari mana manusia ini? Mau ke mana manusia hidup ini? Ke mana manusia menuju? Sampai-sampai Lauren yang sedari awal banyak diam turut nimbrung.
Katanya, ada orang China masuk Islam. Oleh Pak Ustadz dikatakan bahwa di dalam Quran ada dua nabi besar, yakni Nabi Yusuf dan Nabi Ayub. Lalu si muallaf China ini pun bercerita kembali kepada teman-temannya prihal nabi.
“Li lalam Kolam ala lua labi-labi besal. Peltama Labi Nyusup. Kelua Labi Anyub...”
Kami pun meledak. Tertawa terbahak-bahak karena nabi-nabi menjadi labi-labi, jenis bintang berbungkus helm dan berjalan menyusup seperti kura-kura. Yusuf menjadi nyusuf dan Ayub menjadi anyub. “Ada ada saja cerita Lauren nih,” kata kawan-kawan. Aku kemudian mengulum senyum. Senyum kerubi.
“Sebenarnya tiga nabi Ren. Satunya lagi Labi Laut,” kata Herma menyinggung plesetan aksen China untuk ejaan Nabi Daud ayah Nabi Sulaiman. Kebetulan motoris kami namanya Daud. Nah baru kali ini Pak Daud ikut pesta tawa karena diwisuda sebagai nabi. Walaupun Labi Laut.
***
Belum padam nuansa kekaguman akan enggang dan kunang-kunang di tengah mozaik keindahan alam anak Sungai Kapuas dengan beraneka jenis danau di sekitar luar Taman Nasional Danau Sentarum, mataku terbelalak melihat sapi dipelihara di atas lanting.
Aku tertawa sejadi-jadinya sehingga badanku berguyuk-guyuk. Aku serius tertawa sampai air mataku serasa akan tumpah saat speed merapat ke lanting milik Kepala Desa, Juhardi.
Pemandangan yang mustahil aku temukan di Kota Pontianak ini begitu membuatku geli. Betapa sepasang sapi Bali dengan seekor anaknya yang masih kecil tersenyum menyambut kedatangan kami.
Senyum sapi itu bertambah lebar karena gelombang akibat putaran baling-baling speedboat menggoyang-goyangkan lanting tempatnya berada. Si sapi pun seperti menari-nari. Kepalanya tergeal-geol, terhegal-hegol, seperti mengikuti lagu: geleng-geleng, tundok-tundok, anggok-anggok...Dan si sapi adem-adem saja tanpa ada pemberontakan karena rumah airnya bergoyang-goyang diaduk gelombang. Artinya dia sudah sempurna beradaptasi di atas badan sungai. Gigi putihnya nongol walaupun si sapi tak pernah sikat gigi apalagi pakai Pepsodent.
“Di sini sapi dipelihara di atas lanting Pak?” tanyaku kepada warga yang semangat menyambut kedatangan kami. Kedatangan kami memang sudah ditunggu-tunggu karena sebelumnya Hermayani sudah membuat janji akan kehadirannya beserta rombongan.
“Iya Nak, kalau aik lagi pasang.”
“Kalu aik lagi pasang, sapi dipelihara kinun...Kalau aik surut, ndak di lanting agik.Di kinun.”
Kini giliran Aku yang tertunduk-tunduk, angguk-angguk, geleng-geleng merenungkan pola adaptasi antara warga dan sapi. Ini, pikirku, ada kaitannya dengan sosiologi.
Aku tak segera masuk ke dalam rumah kepala desa. Aku masih kagum dengan adaptasi si sapi. “Bagaimana kalau sapi ini dibawa ke Ponti lalu bertemu dengan sesama sapi lain, pasti ceritanya seru,” pikirku di dalam hati.
Pastinya si sapi Empangau bercerita bahwa dia jika aik pasang akibat musim hujan bulan “ber ber” tinggalnya di atas lanting. Lanting terbuat dari balok kayu besar lalu di atasnya disambungkan dengan kayu atau papan sehingga menyerupai lantai rumah.
Dan betapa kisah sapi hidup di atas lanting di mana kiri, kanan dan bawah semuanya air membuat sesama sapi kota terkeruk-keruk ketawa. Mungkin sapi kota bilang, “Meramput jak kitak tuh. Mane ade sapi idop di atas aek! Dasar sapi Ulu...”
Mungkin sapi Ulu minder dibegituin oleh sapi kota. Tapi mungkin juga sapi Ulu malah bangga. Bahwa inilah keistimewaan sapi-sapi Ulu. Punya kemampuan bertahan yang jauh lebih tinggi untuk tetap bisa survive. Beda dengan sapi kota yang selalu diproteksi. Tak boleh begini dan begitu agar tubuh cepat gemuk. Dampaknya kena hujan sedikit saja sudah flu. Salah makan sedikit saja sudah mencret-mencret.
Aku tak tahu apakah ada beda rasa antara daging sapi kota dengan sapi lanting. Tapi agaknya sapi lanting lebih segar, fresh dan berisi daging padu padat nan legit.
Lauren suatu waktu bercerita tentang kawan yang suka makan daging di lanting. Si kawan entah benar-benar ada atau tidak merasa “daging” lanting lebih sensasional. Sampai-sampai tanpa sadar si kawan berbisik kepada istrinya saat indehoy, “U Mak, cobe gak begoyang kayak sidak di ilik.”
Si istri tentu saja berang sehingga si suami dilarang bertugas ke Ilik atau Hilir. Dus dengan mengenang cerita itu Aku pun senyum-senyum sendiri. Ndilalah senyumku itu dibalas oleh si sapi. Mungkin sadar mereka Aku potret. (Kini Aku sudah bisa isi kamera dengan batere baru).
Yang jelas memang tubuh sapi lanting agak langsing. Mereka sehat dengan makanan rumput kumpai. Kumpai tumbuh di pinggiran sungai. Di kampungku Sungai Raya Dalam dulu juga ada kumpai dan biasa dijadikan pakan sapi. Di kumpai itu jika kita nanggok akan banyak dapat ikan sepat atau seluang.
Tapi sekarang kumpai di Sungai Raya Dalam sudah punah. Kiri kanan tebing parit sudah dimakan barau atau turap beton. Di atasnya lalu bertengger pedagang kaki lima serta menjadikan sungai sebagai bak sampah. Sebuah problema khas kota-kota besar.
Aku masih mengamati lanting si sapi. Terpikir juga olehku kehebatan orang Ulu mengadaptasi si sapi. Ada unsur efisiensi yang sangat pintar. Pertama sapi ada di depan rumah sehingga mudah diawasi. Tak bakal ada pencurian.
Kedua, berada di atas lanting depan rumah memudahkan memberikan makan. Bau busuk? Oh tidak karena kotorannya tak sulit untuk dibersihkan. Tinggal siram dengan ember, maka kotorannya nyelongsor masuk sungai. Kotoran sapi yang masuk sungai menjadi pakan yang subur bagi berbagai jenis ikan.
Di sana ada hukum ekologi. Di sana ada jaring-jaring kehidupan melalui rantai-rantai makanan. Persis seperti prinsip mina padi. Campuran antara berternak ikan di empang padi.
“Naitlah, makan dulu,” suara panggilan mengagetkan lamunanku.
Aku segera meletakkan tas ranselku ke depan pintu dekat dinding. Tipikal rumah Melayu memang begitu, selalu ada teras di depan rumah untuk sekedar rehat santai-santai bersama keluarga.
Di depan rumah beberapa lelaki berkumpul di atas geretak yang lebarnya sekitar 1,5 meter. Geretak kayu ini merupakan jalan raya di depan rumah di pinggir sungai. Beberapa orang tak pakai baju sehingga pusatnya nyendul. Ada juga yang hanya berkain sarung plekat.
Di dalam rumah Pak Kades ibu-ibu menghidangkan makanan. Nasi putih dua baskom besar, dan lauk-pauk berbagai jenis ikan. Ada ikan entukan, ikan sepat, ikan biawan dan ikan lais. Timun dan pucuk rotan atau umbut sebagai pelengkap selain sambal juga ada.
Dari cara menghidangkan makanan Aku berkesimpulan bahwa orang-orang Ulu ini tidak kampungan. Nasi di dalam baskom mereka taburkan goreng bawang merah seperti ala pesta di kota. Meja tempat hidangan ditutup dengan taplak meja dan tergerai sampai ke lantai. Pokoknya sip dech. Maju dech. Tak kalah dengan kota.
Di dalam rumah juga ada listrik, ada TV dan wow parabola. Receiver parabola dan TV ditaruh di meja bupet. Meja bupet itu berdampingan dengan lemari kayu yang berukir seperti jati. Pak Kades menjadikan lemari ini perpustakaan. Dokumen-dokumennya juga ditaruh di sini. Benar-benar sudah tersentuh kemajuan peradaban.
Pak Kades mengeluarkan buku ukuran folio. Rupanya kami disuguhi buku tamu. Dan dari deretan tamu, agaknya tidak sedikit tamu-tamu penting seperti pejabat Pemkab Kapuas Hulu serta tamu-tamu bule WWF.
“Ayo makan. Jangan malu-malu...” kata Bu Kades didampingi anak-anak kecil yang ngerintil. Anak-anak itu kelihatannya suka sekali dikunjungi para aktivis LSM. Agaknya mereka sudah kenal akrab.
“Kalian sudah makan belum?” tanyaku pada anak-anak.
“Napaaaan,” katanya seperti koor.
Pendengaranku mereka menyebut angka, yakni angka lapan. Lalu Aku bertanya lagi, “Setelah angka tujuh apa?”
“Napaaan...”
“Sebelum angka sembilan?”
“Napaaaan...”
Orang-orang seisi rumah mentertawakan. Aku lagi-lagi senyum kerubi. Aku suka anak-anak.
Aku sendiri mengambil piring dan nasi. Lalu mataku memeriksa aneka jenis makanan yang menggiurkan. Ssssst. Bayangkan nuan, perut lapar setelah perjalanan sekitar 3 jam dengan hidangan ikan-ikan sungai. Rasanya yang aduhai membuat selera makan bertambah.
Kami semua duduk bersila dengan tempat dapat dipilih seenaknya. Dus tanpa terasa piring-piring sudah dipenuhi tulang-belulang berserakan. Seperti puisi Chairil Anwar, Antara Kerawang-Bekasi.
“Tambah nasinya Nuris,” kata Herma.
“Iya Bang...”
“Di sini makanan pokoknya ikan. Lauknya nasi. Beda dengan kita di kota. Makanan pokoknya nasi, lauknya ikan...”
Kami semua tertawa lepas. Termasuk sapi di atas lanting yang mendengarkan cerita-cerita konyol kami. “Itulah orang kota, sepok laot.”
***
“Tidur di sini atau di Pondok Wisata?” tanya Ibu Kades Empangau.
“Di sini buleh...”
“Di Pondok Wisata lebih cantik pemandangannya,” kata warga yang lain.
“Ya kami akan ke sana,” kata Hermayani.
“Sekarang sudah telat nak nengok orang nangkap Arwana,” kata Kepala Desa, Juhardi. Kalau datang lebih awal, bisa sama-sama melihat orang berusaha mencari dan menangkap ikan arwana atau ikan silok. Orang Empangau menyebutnya nyiluk.
Saat memasuki Empangau ada juga Aku melihat dua nelayan yang nyiluk. Masing-masing menggunakan satu sampan. Posisi sampan itu di pinggiran sungai. Mereka berbekal pelita atau lampu senter.
“Kalau datangnya tadi lebih awal selepas magrib kita bisa sama-sama ikut orang nyiluk. Jam gini mereka udah mau balik...” kata Pak Juhardi.
Aku melihat jam di tangan sudah menunjukkan angka 22.00 WIB. Tak apa tak pergi nyiluk. Badan pun sudah penat dan perut sudah buncit. Berat badan bertambah-tambah. Kami pun bergerak naik speed lagi dan tak sampai 10 menit sudah tiba di Pondok Wisata.
Pondok Wisata satu bangunan yang multifungsi. Selain sebagai tempat singgah para wisatawan domestik atau mancanegara, juga tempat bermusyawarah para warga. Di dalam ruangan aulanya terdapat sejumlah papan struktur organisasi desa dan adat. Di dinding masih terpasang spanduk bertema kegiatan workshop. Suatu kata yang populer di kampus-kampus, tapi juga sudah mulai mewabah di kampung-kampung.
Terdapat pula piagam dari kain berwarna kuning dengan keterangan pelepasan siluk oleh Bupati Drs H Abang Tambul Husin ke Danau Lindung, Empangau. Piagam ini bertandakan tahun 2001, 2003, 2005 dan 2007.
Saat Aku melangkah masuk terdapat banyak orang Teluk Aur dan Ujung Said di dalamnya. Mereka adalah warga dusun sekitar Danau Empangau yang sengaja datang menunggu kedatangan kami karena ingin mendapatkan informasi-informasi terbaru tentang sesuatu dari WWF. Rasa ingin tahu sebagai suatu ciri kemajuan. Jika membuka Ilmu Penyuluhan Pertanian, mereka selangkah lagi sampai pada tingkat adopsi.
WWF memang konsen dengan pelestarian lingkungan hidup dan tentu saja titik sentuhnya adalah warga di kawasan hutan TNDS. Para aktivis WWF beserta LSM bonafide lainnya Aku nilai berhasil mengadvokasi masyarakat di daerah ini.
Kami bersalaman satu satu. Jumlah mereka puluhan. Kami cuma 12 orang dari dua speedboath. Satu speedboath rombongan kami lainnya berisi Markus, pejabat WWF asal Jerman, Galih dari Tribune Pontianak, Jimmy sang penterjemah dari WWF, motoris dan dua anggota WWF lainnya yang aku lupa namanya.
Warga dusun ini ramah-ramah. Mereka juga menyebutkan nama kala kami menyebut nama kami. Bersahut-sahutan seraya malu-malu menatap mata.
“Kami satu motor aik,” kata salah seorang di antara mereka yang berjabat erat denganku.
“Ndak nyiluk?” kataku.
“Ndak, kan ada rapat,” jawabnya.
Aku kaku berbicara dengan warga ini. Bahasa mereka bagiku agak sedikit asing. Walau sama-sama rumpun Melayu, tapi beda sekali antara Melayu Pontianak dengan Melayu Ulu. Bahasa mereka berkicau seperti burung.
Aku masuk meletakkan tas. Di dalam aula terdapat puluhan matras atau kasur. Fungsinya tentu saja untuk tidur dan Aku tergoda untuk merebahkan tubuh berehat setelah penat dengan aneka aktivitas sepanjang dua hari ini. Nyaris non stop. Terutama sejak di Kota Pontianak menyelesaikan 20-an list aktivitas sebelum take-off ke Bandara Pangsuma, Putussibau.
Warga sudah duduk melingkar. Anas, adik tingkatku di Untan juga sudah mulai angkat suara. Dia memimpin rapat. Suaranya disambung Hermayani dengan menyampaikan berbagai informasi kegiatan WWF, Peraturan Desa alias Perdes, sawit dll.
Sayup-sayup suara rapat masuk ke telingaku. Aku tersandar di bale-bale depan pintu masuk. Aku saling berhadapan dengan Lauren.
Kepala Lauren mendongak. Kakinya terselonjor ke depan di antara sepatu dan sendal. Matanya terpejam. “Amboooi, dah tidok kawan nih,” pikirku dalam hati.
Aku juga bersandar ala Lauren. Enak sekali melepas penat di pinggir danau, di Pondok Wisata, di tengah bintang gemintang yang gemerlap dengan pantulan cahaya gemerlap di hamparan air danau nan bening. Jangkrik, kodok dan belalang di kawasan hutan menghadirkan orkestra tak putus-putusnya. Beberapa pesawat kecil mendengung-dengung di telingaku. Beberapa landing dan menghisap darah di punggung tanganku. Tapi Aku sudah tak kuasa lagi menepisnya. Kantuk telah menyerangku.
Tak puas dengan berselonjor ala Lauren, Aku kemudian menggeletak di antara sepatu dan sendal, tidur tanpa bantal. Dan ketika ada warga yang bermurah hati kepadaku dengan memberikan bantal di sela-sela rapat mereka, maka aku pun rapat pula dengan bantal.
Cukup lama aku pulas sampai akhirnya ada yang membangunkan. Bang...Bang...bangun. Rapat sudah selesai. Pindah ke dalam. Di luar banyak nyamuk...”
Aku dengan sempoyongan berusaha buka mata. Terlihat olehku ruang aula yang tadinya penuh orang melingkar, kini sudah lengang. Orang-orang yang semula duduk tegar itu juga sudah pada rebah di atas matras seperti serdadu kalah perang.
Beberapa langkah masuk, Aku melepaskan tubuh lunglai dan “jatuh pingsan” kembali. Sampai fajar menyingsing dengan kicau burung membahagiakan suasana pagi.
Aku tak sempat dibuai mimpi karena perjalanan ke tempat ini sudah seperti mimpi. Aku melangkah ke arah luar menuju pinggir danau. Danau yang indah dengan latar belakang bukit nan biru, dengan danau letter U atau tapal kuda. Luasnya 124 hektar. Tempat yang sangat subur bagi berbagai jenis ikan. Balai Riset Perikanan dan Perairan Umum (BRPPU) menyebutkan ada 70 jenis ikan di sini. Satu di antaranya adalah ikan endemik yaitu ikan Arwana atau Siluk dari jenis Super Red (Sclerophages formosus).
Aku melangkah di atas susunan kayu-kayu persegi tanpa alas kaki sehingga seperti pijat refleksi. Di bibir geretak di dekat speed dan motor air tertambat Aku berwudhu untuk salat subuh.
Hermayani memberikan sejadah kepadaku. Dia sudah lebih dahulu salat Subuh. Ia benar-benar turunan ayah-bundanya yang religius.
Aku mengangkat takbir di tengah birunya langit dan pendar cahaya sang surya yang akan muncul. Semburat merah terpantul dari mega-mega di ufuk timur.
Air danau yang tenang berpadu padan dengan jiwaku yang sedang trans. Iftitah dan Alfatihah yang kubaca seolah membentangkan samudera triangulum antara ayat-ayat yang terucap berbentuk firman dengan alam serta suri tauladan kenabian. Nabi tak pernah makan banyak kecuali kala lapar, dan berhenti sebelum kenyang. Nabi banyak berpuasa. Nabi tak berpakaian mewah nan megah.
Sinergisitas tiga serangkai itulah rumus mujarab melestarikan alam bisik batinku dengan bacaan surah Alhasyr ayat 18-24. Artinya kira-kira begini: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” Sampai di bait ayat ini Aku tak kuasa menahan air mata. Suaraku memelan tak keluar.
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” Jiwaku makin bergetar. Suara zihar salat tak bisa keluar sama-sekali. Aku lanjutkan baca ayat hapalanku ini di dalam hati saja sambil air mata meleleh di pipi.
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Maha Sejahtera, Maha Mengaruniakan Keamanan, Maha Memelihara, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Memiliki Keagunang. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan.”
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sejumlah ikan berkecipak di atas air. Ikan baung, jelawat, tengadak, entukan dll mungkin juga ikut bertasbih. Mereka juga beribadah sesuai dengan tata caranya sendiri. Mereka berkecipak seolah berkomunikasi denganku seperti bilang, “amiin”. “Benar.”
Aku merasa komunikasi alam ini seperti komunikasi triangulum. Ruku, iktidal, sujud. Aku menangis. “Maha Suci Allah Tuhan Yang Maha Tinggi.”
***
Tiga pria duduk di kelokan geretak di depan Pondok Wisata. Semburat sang surya masih menghiasi pagi. Seorang tua bernama Haji Ibrahim berdiri. Di tangannya ada wadah berisi pelet. Dia menabur-naburkan makanan ikan itu ke pinggir geretak. Ikan-ikan menyambutnya.
Aku serahkan sejadah kepada Herma. Ia melihat ikan-ikan sarapan pagi di akuarium alam. “Ini satu destinasi tersendiri. Memberi makan ikan secara langsung di alam lepas.”
Aku mengangguk. Aku menghitung destinasi ekowisata. Satu enggang. Kedua, kunang-kunang. Ketiga sapi lanting. Keempat feed the fish. Ngasih makan ikan.
Albert berada di ujung geretak di arah timur. Dia mandi dan sikat gigi. Sementara di dekatnya ada si bule Markus yang duduk dengan tangan bertekuk memeluk lutut. Dia menikmati sun shining.
Aku mencatat destinasi baru bagi bule. Sun shining. Menikmati matahari terbit dan tentunya juga sun set atau menikmati matahari terbenam. Dan oh ya, satu lagi. Si Galuh dari Tribune Pontianak dan Lauren dari FLEGT motret-motret. Banyak momen diabadikannya. Lalu Aku mencatat destinasi ini sebagai tempat yang asyik untuk fotografi.
“Tuh lihat monyeeet...” kata Albert setengah berteriak. Monyet-monyet serombongan melompat-lompat girang menyambut pagi di pohon yang tinggi di belakang Pondok Wisata.
“Wuis wuiss, asyiik sekali,” pujiku dengan alam Danau Empangau ini. Kataku, “Lengkap sudah. Ada siluk di air. Ada enggang di udara. Ada kunang-kunang di pohon dan ada monyet di pinggir sungai. Sosialita masyarakat Empangau yang ramah dan jago masak juga hebat sehingga menjadi idaman untuk dikunjungi. Aku betah di sini,” kataku kepada dua orang tua yang kuhampiri. Kedua orang yang tua dan dituakan itu adalah Kepala Desa Juhardi dan Ketua Adat H Ibrahim.
H Ibrahim bercerita bahwa sekarang musim air pasang atau banjir. Tetapi warga sudah mengantisipasinya dengan membangun rumah tinggi-tinggi. “Di sini air tak pernah kering,” katanya.
Keistimewaan Danau Empangau memang tak pernah kering jika dibandingkan dengan danau-danau lainnya. Oleh karena itu jika danau lain sedang kering di musim kemarau, ikan-ikan hijrah ke Danau Empangau.
Jika musim kemarau anak sungai bisa kering seperti jalan raya, Danau Empangau akibat anugerah alam, tetap kaya air. Danau Empangau jadi danau yang kaya ikan. Setiap hektar mengandung 500-6000 individu.
Saat kaki Aku celupkan di dalam air, kakiku pun geli dipatuk-patuk ikan.
“Eih, banyak anak ikan,” kataku sambil wawancara dengan H Ibrahim.
“Musim ikan mijah,” jawabnya.
Aku memotret anak-anak ikan di kakiku. Unik bagiku.
“Anak saya Suradi juga petugas Danau Lindung Empangau.”
“Saya asli urang Teluk Aur. Lahir 1952. Cucu udah 10.”
Kata pria berambut ikal dan hidung mancung ini, sebelum status kawasan ini dijadikan Danau Lindung produksi ikan siluk merosot sekali. Orang-orang memanen ikan dengan semaunya sendiri. Tak jarang alat tangkap yang rakus memborong anak-anak ikan sehingga tak sempat membesar, dewasa dan menikah. Lebih parah lagi penggunaan bahan-bahan kimia yang meracuni kehidupan ikan dan jasat renik di sekitarnya.
Kesadaran pun muncul. Di tahun 1985, kata Ibrahim penangkapan siluk diatur. Hukum adat dijalankan dengan ketat. Dampaknya sekarang terasa. Ikan-ikan mulai banyak. Entukan produktif kembali. “Kini musim nangkap siluk. Udah dapat 14 anak siluk dan dibesarkan,” katanya.
Harga per anak siluk genuine Super Red itu bisa mencapai Rp4 juta. Adat mengatur 10 persen harus masuk stok desa. Dana itu digunakan untuk kebutuhan warga dan merawat keaslian lingkungannya.
Warga Empangau taat akan hukum adat. Jika dilarang menggunakan pukat harimau, mereka taat. Jika dilarang memancing, mereka pun tidak memancing. “Tetapi untuk kebutuhan makan sehari-hari tentu saja boleh,” timpal Ibrahim.
Hukum adat yang dijelmakan menjadi Perdes pernah berlaku suatu kali. Ada oknum warga yang bandel. Ia mendapat denda adat seharga ikan siluk, yakni Rp25 juta.
“Hebat itu,” puji Albert. Dalam catatan Albert, ini adalah hukum dengan pola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. “Kalau sudah arif begini, rasanya tak perlu sampai ke polisi,” imbuhnya mengambil perbandingan hukum adat versus hukum positif.
Kepala Balai Riset BRPPU Dr Ali Suman dalam kata pengantar buku Potret Danau Lindung Empangau di Kapuas Hulu Kalimantan Barat (2008) memuji ketaatan warga Empangau pada tata aturan adat ini. Katanya, sistem pengelolaan Danau Lindung di Empangau merupakan kebanggaan masyarakat kita semua yang harus dikembangkan. Adapun peneliti BRPPU yang sempat Aku temui di Pondok Wisata, Ni’am Mukhlifah menyatakan, kelestarian ikan di Empangau sangat erat kaitannya dengan ketaatan masyarakat menjaga kelestarian lingkungannya. Hukum adat mereka sangat menolong.
Ni’am Mukhlifah beserta Agus Djoko Utomo menuliskan peraturan adat yang diberlakukan di Danau Empangau dalam bukunya Potret Danau Lindung.
Satu: Dilarang menangkap ikan jenis apapun, dengan alat apapun di kawasan Danau Lindung, kecuali waktu menyiluk atau menangkap ikan siluk untuk kepentingan bersama masyarakat Nanga Empangau melalui musyawarah antara masyarakat, pengurus rukun nelayan dan semua aparat Desa Nanga Empangau.
Dua: Musim atau waktu menyiluk (mencari anak siluk) ada waktu pembukaan dan penutupannya. Waktunya ditentukan berdasarkan musyawarah rukun nelayan dan aparat Desa Nanga Empangau.
Tiga: Barangsiapa menyiluk di Danau Lindung dan sekitarnya sebelum masa pembukaan dan mengambil atau membunuh siluk degan sengaja akan dikenakan sanksi hukuman berupa denda uang seharga ikan siluk tersebut dan bila tidak atau belum dibayar, tidak diperkenankan melakukan kegiatan dan harus meninggalkan Desa Nanga Empangau. “Kami usir jika tak mau bayar,” kata Ibrahim saat Aku wawancarai. Warga yang kena sanksi itu membayar.
Empat: Barangsiapa yang mendapat anak siluk di waktu menyiluk wajib memberikan sumbangan sebesar 10 persen dari harga anak siluk tersebut, biasanya sebesar Rp400.000 dan bila belum memenuhi kewajiban ini tidak boleh menyiluk pada tahun berikutnya sampai kewajibannya dibayar.
Lima: Pada waktu menyiluk tidak boleh menangkap ikan lain kecuali hanya sekedar untuk makan atau lauk.
Enam: Ukuran sawuk atau serok untuk menyiluk anak siluk tidak boleh melebihi diameter 20 cm dan waktu menyiluk tidak boleh membawa atau menggunakan alat tangkap yang lain dari jenis apapun.
Tujuh: Barangsiapa yang mendapat siluk di luar Danau Lindung atau di areal penagkapan harap melapor kepada ketua rukun nelayan dengan menyerahkan siluk tersebut dan akan diberikan imbalan sepertiga dari harga siluk, sedangkan dua pertiganya harus disetor ke kas nelayan Danau Lindung.
Delapan: Barangsiapa menjual atau membeli induk siluk hasil curian dari Danau Lindung akan dikenakan sanksi berupa induk siluk akan dilepaskan di Danau Empangau, dikenakan sanksi denda Rp25 juta. Sedangkan bagi pencuri atau penjual tidak diperkenankan lagi bekerja di kawasan Danau Empangau seumur hidup dan bila tidak mematuhi akan dilaporkan ke pihak yang berwajib (polisi).
“Saat sanksi dijatuhkan kepada warga, hukum moral berlaku. Dampaknya sangat efektif bagi warga lainnya. Termasuk pendatang,” timpal Hermayani.
Aku jadi teringat peraturan yang ketat di Singapura. Di sana sampah tak bisa dibuang sembarangan bisa didenda. Dan orang Indonesia ke Singapura lalu bisa hidup disiplin karena tak mau kena denda. Anehnya sewaktu pulang ke negeri sendiri lalu back to bassic. Membuang sampah sembarangan.
Begitupula peraturan ketat di lalu lintas Kota Kuching, Sarawak. Sopir-sopir kita taat dengan tata tertib berlalu lintas. Kita yang penumpang pun suka. Tapi anehnya, saat memasuki Indonesia, wuih-wuih kebut-kebutan lagi, melanggar tatib lalu lintas lagi. Lampu merah dilabrak. Bukan tempat parkir, parkir.
Di sini Aku berkesimpulan, jika aturan dilakukan dengan baik, maka manusia yang datang akan bisa menyesuaikan diri. Otonomi daerah agaknya perlu aplikasi nyata sehingga tak sekedar jargon kosong. Bahasanya Hermayani, “Selebritis!” Bahasaku “Nabi-nabi palsu!”
Sembilan: Barangsiapa yang sengaja memalsukan siluk dari luar Empangau dengan tujuan menyamakan mutu atau merusak mutu siluk Danau Empangau padahal siluk tersebut bukan ikan asli Danau Empangau dikenakan sanksi berupa pembayaran 1 juta bagi setiap individu yang menjual atau membeli setiap satu ekor siluk. Bagi penjual atau pembeli yang merupakan masyarakat Nanga Empangau tidak boleh lagi bekerja di kawasan Danau Empangau dan sekitarnya selama satu tahun.
“Kami sekarang sudah bisa menikmati suburnya ikan-ikan. Kami ingin kembangkan pariwisata,” kata Ibrahim.
Tapi Ibrahim melengos. Katanya sawit mengancam kelestarian ikan-ikan di Danau Empangau. “Mereka gunakan bahan-bahan kimia,” katanya.
Ibrahim bercerita tentang tim survey sawit. “Mereka bilang mau buka 15 ribu hektar. Berkas-berkasnya masih ada di rumah. Tapi sampai sekarang mereka tak pernah datang-datang agik.”
“80 persen batal,” timpal Kepala Desa, Juhardi.
“Katanya tanahnya gambut,” imbuhnya.
“Syukurlah,” sahut Ibrahim.
Sawit memang bukan kosa kata baru. Sawit masuk Kalbar gila-gilaan. Pemerintah mengalokasikan jutaan hektar untuk penghasil minyak ini. Lebih-lebih minyak sawit juga digadang-gadang menggantikan minyak bensin. Istilahnya biodiesel, atau biosolar. Maka ekspansi sawit ke hamparan wilayah Kalbar. Karena Kalbar masih luas.
Saat Aku berada di badan pesawat Trigana Air, hamparan sawit memang berada tak jauh dari TNDS. Airnya menghijau. Hijau itu katanya adalah tanda pencemaran akibat limbah pupuk dan pestisida.
“Wah gawat,” pikirku. Alamat tak baik bagi ikan siluk yang selain cantik, tapi juga mata pencaharian penduduk. “Pilih mana antara penghasilan warga lewat ikan-ikan yang kaya itu atau sawit?” tanyaku kepada H Sjahrial yang kebetulan duduk bersebelahan denganku saat pulang dari Putus Sibau menuju Pontianak.
“Serba susah,” katanya.
“Kita orang Pemda ini serba sulit. Di satu sisi hak orang untuk bekerja. Hak orang untuk investasi, dan Pemda juga mengundang kedatangan investor dalam rangka membuka isolasi daerah seperti membangun infrastruktur, membuka lapangan kerja, peningkatan PAD. Sebaliknya kita harus melindungi alam. Lebih-lebih Kapuas Hulu sebagai Kabupaten Konservasi,” ungkapnya.
Sjahrial omong panjang lebar. Aku terdiam. Mataku menyaksikan hamparan sawit. Airnya hijau memasuki kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Tempat yang kurasakan surga bagiku.
Aku terbayang penjelasan Albert soal enggang, soal kunang-kunang, soal monyet, soal orang utan, soal walet, soal madu. Madu satu pohon bisa menghasilkan 1 ton. Harga per kg Rp 30 ribu. Artinya 1 pohon sama dengan penghasilan Rp 30 juta.
“Pilih mana antara jual kayu illegal logging atau pembukaan sawit dengan madu Rp 30 juta serta bisa panen sepanjang musim tanpa merusak alam. Bukan hanya itu tapi juga ikan asin biawan, entukan, baung?” Berontak hatiku. Maka wajar Aku pikir aktivis lingkungan berontak dengan sawit.
“Ada riset yang sudah menghitung perbandingan kekayaan alam dengan dikelola secara arif sesuai kearifan lokal dibandingkan dengan sawit,” bisik Hermayani yang duduk di samping kiriku di lambung Trigana. “Nanti hasil eksposenya kuberikan,” timpalnya.
Di pelupuk mataku terbayang Albert menunjukkan lebah yang bergantung di pohon besar. “Bisa sampai puluhan kantong madu,” bisiknya.
Mataku terbayang pertanyaan Markus kepada anak-anak SMPN 22 saat kami mampir bersilaturahmi di sana. “What do you think about Danau Sentarum?”
Anak-anak semangat menjawab dalam bahasanya sendiri-sendiri. Dan satu yang kutangkap, bahwa anak-anak itu cinta akan keindahan daerahnya. Mereka akan menjaganya seperti orang-orang tua mereka menjaga lewat ketatnya hukum adat.
“Akankah mereka akan menjadi pemberontak terhadap ekspansi sawit?” Aku bertanya dalam hati. Entahlah. Waktu yang akan menjawabnya.
***
Melihat kerusakan alam, dedengkot Pancur Kasih Paulus Florus memberikan kisah humor ringan penuh makna. Katanya, Tuhan mengumpulkan para tokoh-tokoh agama sedunia untuk workshop tata kelola lingkungan secara lestari di surga lantaran bumi sudah kritis. Para tokoh agama dinilai gagal mengkampanyekan nilai-nilai universal dari agama itu sendiri.
Workshop dihelat sebulan lamanya di mana peserta disajikan materi-materi menarik oleh para malaikat langsung di surga sehingga applied science. Bisa jadi ilmu terapan. Sebaliknya, kesempurnaan di surga menjadi alat studi banding atau comparative study yang efektif bagi seluruh peserta.
Di hari terakhir, Tuhan memberikan sebuah post test untuk menandai apakah seluruh peserta sudah paham atau tidak dengan materi yang ditularkan. Pertanyaan itu sederhana saja. Bunyinya begini: Jika Anda kembali ke bumi, apa yang akan Anda lakukan?
Tak ayal, peserta pun menjawab dengan idealisme pasca workshop.
Seorang yang kaya ditunjuk untuk membacakan jawabannya. Si tokoh ini pun menjawab, “Saya akan membangun rumah-rumah ibadah di mana-mana agar penduduk bumi bisa menyembah-Mu wahai Tuhan.”
Tuhan yang tentu saja demokratis dan cerdas memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk memberikan penilaian. “Siapa yang setuju dengan jawaban itu?”
Sebagian besar peserta setuju. Dan Tuhan pun berkata, “Yang menyatakan setuju silahkan kembali ke dalam kelas.” Artinya tidak lulus.
Lalu Tuhan kembali bertanya kepada separuh yang masih tersisa. Kepada mereka diberikan kesempatan menjawab, tetapi jawabannya juga keliru sehingga harus menyusul masuk kelas untuk workshop lagi.
Pertanyaan ini menyusutkan jumlah peserta yang belum menjawab, sehingga tertinggal tiga orang ibu. Kepada mereka ditanyakan, apa yang akan dilakukan jika kembali ke bumi?
Seorang ibu menjawab, “Saya tidak muluk-muluk wahai Tuhan. Saya akan kembali ke rumah tangga mendidik anak-anak saya untuk bagaimana mereka bisa mengurusi diri mereka masing-masing. Sejak bangun tidur mereka sudah saya didik berkemas, di mana WC tidak jorok, pakaian mereka rapi, akhlah mereka mulia sejak bangun tidur sampai mereka tidur kembali.”
Tuhan bilang, “Bagaimana dengan kamu berdua, setuju dengan jawaban ibu ini?”
“Setuju,” kata mereka.
Tuhan bilang, “Jawaban Anda benar. Kalian boleh kembali ke bumi.”
Aku tergelak-gelak mendengar kisah ini. Bahwa esensinya adalah pendidikan dan longlife education. Sikap yang integral dengan satu kesatuan antara lisan, hati, dan tindakan. Sejak masa buaian sampai ke liang lahat. Inilah derivasi iman dan takwa sesungguhnya. Dan orang-orang yang beriman dan bertakwa dijamin masuk kembali ke dalam surga. Baik surga di dunia, juga surga di akhirat.
Indonesia katanya seperti sepotong surga yang dicampakkan Tuhan ke atas dunia. Berbeda dengan Arab. Di Indonesia, tongkat ditanam jadi tanaman. Di Arab, tanaman ditanam jadi tongkat.
Humor yang sangat masuk akal tersebut di atas mestinya membawa kita kepada alam sadar bahwa kita mesti banyak bersyukur. Syukur yang diungkapkan dalam satu kesatuan hidup. Bukan hanya lips service seperti gumam alhamdulillah, puji Tuhan, atau god bless you di mulut, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan dengan menerapkan perilaku yang mulia. Sebutlah dengan tidak membuang sampah sembarangan, melainkan sesuai dengan tempatnya. Sampah organik ditempatkan di tempat pembuangan organik, sedangkan sampah anorganik seperti plastik ditempatkan secara anorganik pula.
Manfaat yang bisa dipetik banyak sekali. Selain lingkungan bersih dan sehat, juga sampah bisa menjadi rupiah, di mana sampah organik bisa diolah menjadi pupuk organik kompos, sedangkan sampah anorganik bisa didaur ulang—bahasa kerennya recycling—untuk berbagai hasta karya kerajinan tangan maupun industri.
Begitupula dengan pola makan. Makan yang merupakan kebutuhan biologis dipenuhi secukupnya dengan tidak berlebih-lebihan. Jika berlebih-lebihan, juga tidak baik bagi kesehatan karena akan ditumpuk menjadi lemak serta rawan penyakit. Bukankah tidak sedikit kawan-kawan kita yang dijemput maut karena kegemukan? Karena pola makan yang berlebih-lebihan sehingga diserang jantung atau stroke?
Entahlah. Aku tak tahu. Apakah bagi mereka yang meninggal karena pola makan yang tidak seimbang sehingga merusak alam—minimal pada dirinya sendiri itu—bagian dari alam—akan divonis masuk ke surga atau neraka. Aku tidak punya hak prerogatif untuk memutuskan. Hak prerogatif itu hanya ada di tangan Tuhan dan sudah dikomunikasikannya kepada malaikat serta dipancarteruskan kepada nabi-nabi. Nabi-nabi kemudian mengkomunikasikannya kepada komunitas masyarakat setempat di mana dia berada agar kehidupan lestari, selaras, serasi dan seimbang.
Bukankah butir-butir kebijakan, kebijaksanaan yang menjadi prilaku para nabi sudah pula dicatat oleh para sahabat-sahabatnya? Mulai dari Kitab Zabur di zaman Nabi Daud (David), Kitab Taurat di zaman Nabi Musa (Moses), Kitab Injil di zaman Nabi Isa (Yesus) hingga Kitab Alquran di zaman Nabi Muhammad?
Entahlah. Apakah juru catat itu lebih tepat kita sebut sekretaris atau jurnalis. Yang jelas mereka tukang tulis. Misalnya menuliskan hukum-hukum, syariat-syariat, atau standar operational procedur atas segala aspek kehidupan.
Rekanku sesama jurnalis Asriyadi Alexander Mering berpendapat. Katanya, “Jika di Pulau Borneo ini sejak masa sebelum masehi ada tukang catat, mungkin di Pulau Borneo juga tercatat ada nabi.” Mering selalu bersemangat menguraikan hal itu karena sering diundang menjadi instruktur tentang peran pentingnya menulis. Mering sangat terbakar dan membakar audience dengan pendapat Bill Kovach yang juga nabinya jurnalisme Amerika. Bill Kovach mengatakan, “Journalism is closest thing I have to religion.” Artinya, jurnalisme itu kedudukannya teramat sangat dekat dengan agama.
Kupahami nabi adalah orang yang mengajak kepada kebaikan. Nabi memang beda dengan rasul. Rasul mendapat wahyu dari Tuhan.
Aku sependapat dengan Mering yang tentu tidak sedang berpikir “miring” karena yang kita kenal adalah para nabi dari jazirah Arab atau Timur Tengah. Baik dalam struktur Agama Kristen (Katolik dan Protestan), maupun Islam—karena kedua-duanya adalah agama samawi atau agama langit serta dapat terus dipelajari hingga kini lantaran tercatat atau tertulis. Kita bisa belajar dari membacanya di Taurat, Zabur, Injil (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) serta Alquran.
Pendapat Mering yang tidak kering itu selevel dengan pendapat filosofis dari Yunani, “Scripta manen verba volent.” Artinya, tulisan itu abadi, sedangkan ucapan hanya menguap.
Bill Kovach, kurator di Nieman Fellowship di Harvard University mengajarkan sembilan elemen jurnalisme. Bahwa jurnalisme itu adalah mengungkap fakta yang benar, sehingga tidak berbual-bual atau menyebar kabar bohong. Jurnalisme adalah untuk membuktikan kebenaran, walaupun bukan kebenaran mutlak seperti agama, karena kebenaran yang paling dekat yang bisa dibuktikan linier metodelogis adalah kebenaran fungsional. Hitam dikatakan hitam. Putih putih.
Jurnalisme juga harus mengedepankan disiplin verifikasi. Ada unsur metodelogi dengan kait mengait ilmu pengetahuan yang kompleks. Jurnalisme juga harus menarik dan relevan sehingga mengacu pada azas manfaat yang tidak sekedar informatif, edukatif dan kontrol sosial tetapi juga menghibur. Jurnalisme berorientasi kepada kepentingan publik serta berkesesuaian dengan hati nurani.
Muridnya Bill Kovach, Andreas Harsono saat hadir di Kota Pontianak dalam rangka pelatihan penulisan Narrative Reporting (10-14 Nopember 2008) lalu juga kembali menekankan hal yang sama tentang kepenulisan. Katanya, agama itu ada karena dia tercatat. “Coba bayangkan Alquran jika tidak tercatat? Islam tak akan dikenal orang sampai sekarang.” Begitupula dengan Injil, Taurat hingga Zabur. Scripta manen verba volent benar-benar terbukti.
Sambil berseloroh, kawan-kawan sesama jurnalis di Harian Borneo Tribune berpendapat, kalau di Amerika ada Bill Kovach yang dijuluki sebagai nabinya jurnalisme dengan sembilan elemen jurnalismenya yang bersifat universal, maka di Jakarta ada Andreas Harsono, muridnya. Adapun kami-kami yang belajar dari Andreas Harsono adalah muridnya dari murid nabinya jurnalisme bergenre narrative reporting. Kami ini adalah nabi-nabi “baru” kalaupun bukan nabi-nabi “palsu” karena akhlah tak baik.
Aku agak kuatir menyebut nabi-nabi baru karena sebagian persepsi kita tidak sama. Oleh karena itu perlu didefinisikan terlebih dahulu.
Baiklah Aku coba jelaskan persepsiku dan definisiku tentang nabi “beneran”. Nabi dalam Bahasa Arab berarti pembawa berita. Bahkan dalam Alquran ada satu surah khusus bernama An Naba, artinya Berita Besar. Berita besar yang sama dengan headline koran itu adalah berita tentang hancur-leburnya tatanan mikro maupun makro kosmos kehidupan. Terjadinya deforestasi seperti illegal logging, illegal mining, illegal fishing hingga woman and child trafficking. Ini adalah manifestasi aktualnya. Di dalam Quran disebutkan kiamat adalah hari di mana planet-planet bertabrakan. Gunung seperti kapas yang ditiup-tiupkan. Manusia seperti anai-anai yang bertebaran.
Terjadi kerusakan ekologis dengan putusnya siklus hidrologis. Terputus rantai-rantai makanan. Terputus jaring-jaring kehidupan. Semua itu adalah berita besar.
Di tingkat hidup masyarakat sehari-hari terjadi homo humini lupus, di mana yang kuat memakan yang lemah, sehingga terjadi kiamat dalam tataran mikro. Atau berkembang biak laksana jamur di musim hujan berbagai penyakit sosial. Patologi sosial itu seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Merajalelanya penyakit/sindrome HIV/AIDS. Bersimaharajalelanya narkoba maupun pergaulan bebas.
Berita kiamat. Tahukah kamu apakah kiamat itu? Surah An Naba menuturkan,”Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar. Yang mereka selisihkan tentang hal ini. Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui.” 1-5.
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari kehidupan, dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah langit yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat.” 6-16.
“Sungguh Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari yang waktu itu ditiup sangkakala, lalu kamu datang berkelompok-kelompok, dan dibukalah langit maka terdapatlah beberapa pintu, dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia.” 17-20.
Jelaslah sudah, bagi siapapun di muka bumi ini yang menyampaikan berita besar sehingga orang-orang tidak melakukan illegal logging, illegal mining, illegal fishing, woman and child trafficking adalah mereka yang mewarisi sifat-sifat kenabian. Mereka yang aktif di LSM sejati—bukan LSM merpati apalagi upeti—adalah tergolong nabi-nabi baru. Sedangkan aktivis yang tidak sungguh-sungguh membawa idiologi kenabian, marilah kita stempel dengan julukan nabi-nabi palsu.
Bahasa yang digunakan Hermayani, mereka adalah orang-orang yang hanya memberikan jargon kosong tanpa isi. Dimuat di media massa tanpa mengakar di tengah masyarakat. “Selebritis yang tidak punya basis,” katanya dalam suasana diskusi sambil menikmati kopi tubruk di sebuah warung tak jauh dari SPBU termegah Kota Putus Sibau sehari sebelum keberangkatan kami di Empangau.
Duduk diskusi sembari menikmati kerupuk basah—makanan sejenis empek-empek Palembang serta dilengkapi dengan sambal kacang—terasa hangat dan nikmat. Idem dengan hangatnya topik diskusi kami yang malang melintang dari sisi ekonomi, politik, sosial, budaya, sampai masuk arena agama.
Herma, Lauren, Anas, Aku dan Galih saling berjual beli pendapat. Dari satu topik berpindah ke topik yang lain. Mulai dari serius sampai dua rius. Mulai dari cerita horor sampai juga ke cerita humor.
Cerita horor korupsi berujung pada kemiskinan serta pemiskinan. Cerita horor illegal logging berujung pada banjir bandang sampai isu internasional Global Warming. “Alam sudah tak bersahabat dengan kita,” pesan lirik lagu terkenal Ebiet G Ade. Maka katanya wajar kita “Bertanya pada rumput yang bergoyang...” Sebuah sindiran halus.
Pengalaman nabi-nabi baru ini untuk memberdayakan masyarakat serta save aur world tak sekali dua membuatku terkekeh-kekeh. Lauren dan Anas bercerita betapa repotnya menyuluh di pedalaman di mana mereka orang kampung terbiasa minum tuak. “Kalau tak minum tuak mereka tak bisa ngomong karena tak berani. Tapi karena minum tuak kebanyakan keberaniannya keterusan sampai ngomong ngelantur. Kite yang repot ngawankannye ngomong...”
Pernah kata Lauren ada warga seperti itu dilayaninya dengan memberikan sebuah gitar. Dengan gitar itulah dia berdendang sampai larut malam. Dengan demikian Lauren bisa selamat dari menemaninya berbincang-bincang tak tentu rudu.
Diceritakan pula pahit getirnya menyuluh ke pedalaman. Terutama daerah yang banyak riam atau arus deras di antara bebatuan-bebatuan cadas. “Satu speed kami tenggelam dan logistik kami hanyut. Hanya baju kami yang selamat walau basah semua,” cerita Lauren lagi. Dia memang punya banyak stok kisah lucu.
Lucunya, kata Lauren, motoris yang notabene warga pedalaman yang bersangkutan tangkas menyelamatkan dua jiriken tuak. Barang-barang lain tak diselamatkannya. “Barangkali tuaklah barang yang paling berharga dalam batok kepalanya,” kenang Lauren sambil senyum.
“Tapi tuak itu pula yang menyelamatkan kami sepanjang malam karena baju kami basah dan butuh suasana hangat,” imbuhnya seraya mengatakan tak boleh mulut lancang dengan serta merta mengutuki keadaan. Apalagi di pedalaman.
“Aku pun pernah ketelepasan ngomong. Kataku, mantap ye di sini tak ade nyamuk. Dan baru jak Aku ngomong tak ade nyamuk, lalu datanglah berdengung-dengung nyamuk.” Lauren masih senyum ketika dia mengutip pendapat temannya yang mengumpat, “Wuh kau nih Ren, macam tak pernah ke pedalaman jak!”
Anas juga menimpali bahwa Dayak tertentu di pedalaman tak mau disapa dengan kata-kata, “Pergi mencari ikan ya pak? Mudah-mudahan dapat ikan banyak dan nanti bisa kita goreng.” Maksud kita, kata Anas adalah basa-basi pertanda sopan, tapi bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku di tengah masyarakat pedalaman.
“Belum gak dapat udah nak digoreang...” timpal Albert menimpali di tempat berbeda ketika cerita ini diangkat kembali ke topik diskusi kearifan lokal serta kesesuaian metode dalam mendekati masyarakat. “Mereka biasanya mudiak, tak jadi mencari ikan goreang,” imbuh Lauren menirukan aksen Dayak Iban.
Aku menyimak. Ternyata untuk berbaik-baik dengan masyarakat di tempat yang asing, kita kudu tahu adat istiadat mereka. Tanpa tahu adat istiadat mereka kita bisa dicap tak tahu adat dan bisa-bisa kena adat.
Aku bersyukur sepanjang perjalanan Aku bisa jaga lidah sehingga tak mengundang nyamuk seperti pengalaman Lauren. Aku juga bersyukur di dalam perjalanan pulang speedboath kami sempat macet di tengah jalan karena kehabisan bensin.
“Nah loh, tanpa ada yang bilang begini begitu ternyata bensin habis juga?” pikirku dalam hati saja.
“Coba bilang bensin-bensin...apakah akan muncul bensin seperti cerita tentang nyamuk ala Lauren?” pikirku dalam benak. Artinya tetap saja unsur-unsur logis lebih bisa dipegang ketimbang mitos.
Nyamuk datang dan hilang akibat omongan masih debatable. Tetapi bensin di motor kami yang ludes terpungkasi dengan komunikasi via handphone. Dengan komunikasi ini seorang kawan WWF datang membawakan sejeriken BBM sehingga motor kembali tancap gas. Wuing, wuing. Tus. Tuss. Tusss. Speed berlari dengan kecepatan 40 tenaga kuda. Rambut dan gelombang berebutan menghempas.
Kulitku terbakar disengat matahari. Tapi jiwaku lebih terbakar oleh kemolekan alam yang bagiku pejalanan ini adalah reportase menuju surga bersama nabi-nabi baru. Pohon di kiri kanan sungai tertiup angin sepoi-sepoi. Bungur, putat dan benuang dedaunannya melambai-lambai seperti anak sekolah dasar melepas iring-iringan Presiden.
Gerak semu pohon yang berbaris di sepanjang sungai disapu speed yang melesat tus tusss tussss, seolah ingin menyampaikan kata, “Selamat jalan nuan. Selamat mudik nabi-nabi baru. Selamatkan kami dari berbagai ancaman kapitalisme dengan tulisanmu. Bukankah firman dari Nabi Naisbit mengatakan: siapa yang menguasai informasi dia menguasai dunia? Selamatkan kami sehingga surga tetaplah surga. Jangan surga menjadi neraka. Ingat-ingat hasil workshop di surga yang diselenggarakan oleh Tuhan...”



0 comments: