Kamis, 04 Desember 2008

Museum dan Newseum


“Apa jadwal kita Minggu depan?”
“Saya mau ke Rumah Betang dan Museum,” ungkap Mathias Waldmayer.
“Ke…Temajo Island,” sambung Dorina Luise Schulte.
“Mmm, saya mau ke perkebunan sawit,” jawab Sina Gil Mandelich di hadapan rapat evaluasi mingguan program magang mahasiswa-mahasiswi Bonn University di Borneo Tribune serta Tribune Institute akhir pekan lalu. Saya dan Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti tekun mendengarkan. Dwi mencatat poin-poin penting.
Turut dicatat oleh Dwi yang juga advokat di Suwito Associates ini keinginan Mathias dkk untuk belajar Bahasa Indonesia di Kampus FKIP Untan hingga kunjungan ke Taman Nasional Gunung Palung di Ketapang maupun Taman Nasional Danau Sentarum serta Betung Kerihun di Uncak Kapuas, Kapuas Hulu.
Hati saya tentu saja bangga karena biasanya kita yang ingin belajar Bahasa Inggris, tapi ini jauh-jauh dari Eropa mereka yang kepincut ingin belajar Bahasa Indonesia dari penutur langsung Bahasa Indonesia. Mereka juga ingin merasakan sendiri betapa eksotiknya zambrut khatulistiwa dengan flora, fauna dan budaya masyarakatnya.
Mathias, Dorina dan Sina adalah tiga dari enam orang civitas akademika Bonn yang telah tiba untuk internship programe di media Tribune periode enam bulan sepanjang 2008-2009. Kerjasama dalam lingkup Studi Asia ini akan terus berlanjut secara teknis pragmatis media serta akademik ke tingkat Studi Asia hingga 2010.
“Apalah yang bisa saya tunjukkan dari keinginan pertama ke Rumah Betang dan Museum Negeri Pontianak?” pikir saya dalam hati.
Kondisi gedung, artefak, diorama, brosur, hasil-hasil kerajinan yang bisa diperjual-belikan hingga petugas pelayanan tamu di kita sangat terbatas. Saya merasa minder jika membandingkan dengan pranata dan penataan museum di negara-negara maju seperti Eropa atau Amerika.
Saya teringat ketika mengunjungi Smithsonian Museum di kawasan Mall antara Gedung Putih dan Capitol Hill di Washington DC tahun 2004. Museum di sana ditata gila-gilaan. Dari sisi artistik gedungnya sangat scientific dan bahkan ada museum khusus ilmu pengetahuan alias Museum of Science. Dari mulai cara masuknya, alur ruang yang dikunjungi untuk melihat pajangan-pajangannya amat luar biasa. Tak jarang dilengkapi audio-visual serta teater tiga dimensi.
“Pantas anak-anak di negara maju ini pinter-pinter. Mereka bisa belajar rumus matematika cukup ke museum saja. Sebab, sekali tekan tombol di panel komputer di hadapan foto Archimedes atau Pascal misalnya, maka akan keluar penjelasan yang sistematis, lengkap dengan tampilan rumus, contoh soal dan sejarah hidup si ilmuan.” Sungguh menggelorakan semangat belajar. Sungguh kita ke museum bisa belajar sambil bermain-main. Bisa belajar sambil berwisata. Bahasa kerennya wisata ilmiah. Wisata sejarah.
Itu baru dari sisi tata bangunan dan fasilitas. Dilihat dari sisi luas areal, mereka juga gila-gilaan. Ibarat satu kampung dijadikan museum. Saya tak cukup seharian hanya mengunjungi satu museum, padahal masih banyak museum-museum lain yang tak kalah menarik. Sebutlah museum botani, museum antariksa, hingga museum lilin.
Museum di negara maju sudah dikelola dengan amat sangat profesional. Di papan pengumumannya ada agenda tahunan yang padat, meliputi kajian, lomba, seminar dll. Amat sangat padatnya sehingga menarik dikunjungi jutaan orang saban tahun. Beda di kita yang museum ibarat kuburan. Hanya tempat menyimpan rangka-rangka tua. Tempat menyimpan cerita peradaban masa lalu dan tak urung kita berseloroh, “Wah awak nih udah tua, udah layak dimuseumkan…”
Saya tercenung dan melayang-layang di hati dan pikiran. Bukan karena takut dimuseumkan, tapi program harus berjalan.
“Bagaimana menurut kamu Museum Negeri Pontianak?” tanya saya kepada Mathias setelah dia sejak pagi sampai siang di suatu hari mengunjungi gedung yang lokasinya tak jauh dari Rumah Betang dan Rumah Dinas Gubernur Kalbar.
“Wow bagus sekali. Saya puas, hanya…hanya saya tak melihat penjelasan yang lengkap tentang rumah betang,” ungkapnya.
Mathias juga mengaku heran mengapa penjelasan yang ditera di dinding tentang setiap artefak tidak dibuat juga berbahasa Inggris. Dengan demikian bisa memberi penjelasan lebih lengkap kepada para bule. “Bukan cuma saya yang menuliskan itu di buku tamu, tapi bule-bule lain juga. Tapi mengapa ya tak dibuat?” kata Mathias.
Kami yang mendengar mengangkat bahu. Rasanya tak mau saling salah menyalahkan. Itu sudah lagu lama. Lagu lama yang diputar ulang. Lagu lama yang layak dimuseumkan.
Kembali ke meja rapat evaluasi akhir pekan, khususnya dalam English Day on Tribune yang digarap bareng bersama English Student Association kami tak mau berpangku tangan. Kami ambil inisiatif untuk membuat usul-usul si bule yang positif membumi.
Kami akan mewujudkan sinergi berita (news) dengan sejarah (museum). Kami akan wujudkan museum dalam newseum.
Kami bayangkan kelak, kerja-kerja positif awak media juga layak dibuatkan artefak khusus newseum. Apakah itu perangkat keras, karya tulis dan media yang pernah ada di Kalbar, sejak dahulu kala hingga di zaman mutakhir ini.
Newseum ini barangkali akan menjadi tempat yang menarik untuk melihat sejarah dan peradaban media di suatu daerah. Maybee.



0 comments: