Senin, 28 Juli 2008

Juara 1 Investigative Reporting Mochtar Loebis Award


“Kita menang...” Begitu kalimat pendek sebagai pesan singkat dari Redaktur Borneo Tribune, Muhlis Suhairi yang masuk ke ponsel saya. Muhlis sedang berada di Jakarta untuk mengikuti final Mochtar Loebis Award, Jumat (18/7) kemarin.
Mochtar Loebis Award adalah penghargaan yang baru digelar perdana di Indonesia mengingat betapa reputasi Mochtar Loebis si pemimpin Koran Indonesia Raya dan si pembongkar kasus korupsi di tubuh Pertamina. Ia dipenjarakan 10 tahun. Indonesia Raya dibredel. Tapi Mochtar Loebis mendapat penghargaan Magsaysay dari Filipina. Mochtar Loebis si murid Adam Malik dan guru dari Goenawan Moehammad adalah legenda pers Indonesia.
Saya pengagum Mochtar Loebis. Si kepala granit itu ditulis oleh Jacob Oetama sebagai pengantar dari buku Ultah Mochtar Loebis dan diterbitkan Gramedia-Kompas sebagai wartawan Jihad.
Mochtar Loebis hebat. Dia pelukis. Ia sastrawan. Ia budayawan. Ia jurnalis investigator.
Saya menangis mengetahui Muhlis dinobatkan sebagai juara satu untuk kelas amat sangat bergengsi: investigative reporting. Jurnalisme yang tentu saja bukan jurnalisme ludah, jurnalisme kutipan, jurnalisme quote, tapi jurnalisme pencarian, jurnalisme riset, jurnalisme akademik.
Suara saya nyaris tak bisa keluar. Saya renungkan apa arti kemenangan ini.
Arti kemenangan ini adalah sesuatu yang berat. Suatu beban yang harus dipikul bukan saja oleh pundak saya sebagai pemimpin redaksi di Borneo Tribune, tapi juga bagi semua kru, termasuk pembaca di Kalbar. Karena kami selalu punya motto bahwa karya terbaik dipersembahkan untuk masyarakat Kalbar yang heterogen ini.
Tangis saya keluar karena ada derita batin berupa pengekangan. Derita itu membuncah laksana obat penawar karena suatu yang bernama kebebasan.
Di Borneo Tribune tak ada sesuatu yang istimewa. Tempatnya di pinggir kota, di Purnama. Gedungnya kecil dan fasilitasnya standar-standar belaka. Tetapi yang istimewa mungkin kebebasan.
Muhlis minta izin untuk mengikuti pelatihan di Jogjakarta, saya izinkan. Begitupula saat ia meraih beasiswa liputan dan harus hunting 2 minggu di lapangan. Oke oke saja. Saya katakan sesuatu yang istimewa di Borneo Tribune adalah kebebasan dan tolong berdayakan kebebasan itu dalam bentuk karya nyata yang berkualitas.
Muhlis menuangkan hasilnya yang optimal. PGRS Parako yang ditulisnya berbobot sekali. Pembaca dibuat heboh oleh tulisannya yang panjang dan mesti dimuat bersambung hingga 19 kali.
Kritik tak satu dua yang masuk, termasuk dari mertuanya sendiri yang mantan Ketua PWI Kalbar, Bp Basrin Nurbustan.
Kritik sama dengan pujian. Ia sama-sama konstruktif dan kami tak lupa diri dengan pujian dan sanjungan. Sebaliknya, anugerah juara 1 investigative reporting berjudul “The Lost Generation” pada event Mochtar Loebis Award menjadi cambuk bagi prestasi-prestasi lainnya.



0 comments: