Belajar merupakan proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan prosesnya tiada mengenal kata berhenti. Para leluhur mengatakannya dengan long life education.
Belajar sepanjang hayat masih di kandung badan. Belajar sejak buaian hingga ke liang lahat.
Sadar akan proses belajar itu panjang, menyentuh semua elemen masyarakat dan lingkungannya—baik yang biotik maupun yang abiotik—Borneo Tribune melekatkan dasar bangunannya sebagai koran pendidikan. Untuk itu para crew di dalamnya mesti punya visi-misi pendidikan dan semua personil membuka diri untuk proses saling belajar.
Komitmen saling belajar ini terus menjalar. Baik untuk pendidikan formal, semi formal maupun non formal.
Untuk yang formal semua crew didorong untuk mendapatkan beasiswa belajar. Tidak hanya di dalam, tapi juga luar negeri.
Safitri Rayuni, salah satu redaktur di Borneo Tribune mengikuti shortcourse di Negeri Kangguru, dan kini Asriyadi Alexander Mering mengikutinya di Negeri Gajah Putih, Thailand.
Liputan dan informasi yang dituangkan lewat pemberitaan di Borneo Tribune juga bagian dari informasi yang edukatif. Proses belajar didapatkan seluruh crew di lapangan, didiskusikan di dapur redaksi, dimasak, dan kemudian dihidangkan kepada publik.
Dalam proses meliput itu, crew Tribune mendapat banyak unsur edukasi.
Begitupula tempaan di lapangan yang keras menjadikan pola pikir, tindak dan prilaku lebih arif, adil dan bijaksana.
Sebutlah kemampuan menembus sumber. Hal itu menuntut keuletan, keteguhan dan kesabaran. Sementara proses wawancara dengan narasumber yang qualifide di bidangnya memberikan kesempatan bagi brain reporter yang bersangkutan untuk dapat memahami suatu masalah dengan baik. Proses ini jika harus dibayar—barangkali—setara dengan strata dua atau strata tiga.
Semakin banyak proses wawancara dilakukan, akan semakin dalam suatu hal dikuasai secara skill maupun secara psikologis.
Skill atau keterampilan mengasah talenta. Psikologis mengasah asa dan rasa.
Tak jarang reporter dikenal tahu banyak tentang banyak. Ia menjadi sosok yang generalis. Kondisi itu patut disyukuri daripada tahu sedikit tentang banyak. Hal yang terakhir ini bisa terjebak pada tong kosong nyaring bunyinya.
Oleh karena itu, opsi yang lebih baik—mungkin—tahu banyak tentang sedikit. Di sini kedudukan para profesional. Mereka ahli atau pakar di bidangnya.
Awak Borneo Tribune yang terlatih tak jarang mendapatkan undangan untuk memberikan pelatihan-pelatihan jurnalistik. Baik yang digelar di Kota Pontianak, maupun Kalbar atau luar Kalbar. Untuk undangan-undangan seperti ini hampir semuanya dapat dipenuhi dengan berbagi tugas di dapur redaksi dengan sebaik-baiknya.
Borneo Tribune bahkan mendirikan lembaga bernama Tribune Institute untuk melayani proses edukasi di bidang jurnalistik. Khususnya bagi kalangan pelajar dan mahasiswa.
Tribune Institute yang berdiri seumur dengan Harian Borneo Tribune membuka kelas belajar yang gradual. Tiga bulan terakhir dihelat paket journalism internship programe. Program ini sangat diminati oleh pelajar dan mahasiswa.
Saat ini sedang berjalan program tersebut untuk paket yang kedua. Pesertanya 50 orang. Mereka belajar di “Kampus Jurnalistik” Borneo Tribune untuk waktu dua bulan ke depan.
Lewat kelas belajar tersebut terjadi proses edukasi yang dialogis. Sisi-sisi positifnya bisa dipetik secara bersama-sama. Di mana peserta didik dapat skill kepenulisan dan kewartawanan, sedangkan awak Borneo Tribune dapat meluaskan jejaring informasinya.
Pada akhirnya, dengan banyak orang belajar menulis, semakin banyak pula orang pintar menulis. Publik akan disuguhkan beragam informasi yang edukatif.
Pelan namun pasti, masyarakat kita step by step, langkah demi langkah akan menjadi masayarakat pembelajar. Kian lama semakin membesar. Long life education. □
Minggu, 16 Maret 2008
“Journalism Internship Programe”
Posted by Noeris at 00.52
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar