Minggu, 16 Maret 2008

Hasil Perenungan Guru Yang Khui--Menyoal Permohonan Maaf Itu

Langka warga Kota Pontianak yang berpikir intens dan mendalam tentang bunyi kalimat permohonan maaf yang dilakukan pada tanggal 7 Desember sebagai menyikapi kasus Gang 17 lebih dari Chua Yang Khui atau Rusli Agus. Pria bersahaja yang prilakunya mirip “suhu” atau guru yang nyaris seperti para sufi ini terus berupaya menguak kebenaran.
Betapa pria “tua” berjiwa muda ini tidak tergolong guru. Dia kadang berjalan kaki seperti orang miskin yang tak punya apa-apa. Tapi sekali waktu dia menyetir sendiri mobil mewahnya.
Jika kita berpapasan dengannya di jalan, dan hendak memboncengnya, jangan harap dia mau. Dia tipikal orang yang tak mau dikasihani. Dia ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa manusia siapa pun dia, bisa mandiri.
Dia pernah membawa sekelompok preman yang digerakkan kelompok-kelompok tertentu membuat huru-hara di Kota Pontianak dengan gayanya sendiri. Tujuannya adalah membuka cakrawala dan memilih jalan hidup damai karena itu lebih masuk akal.
“Kamu kalau membunuh istrimu sendiri karena menuduh dia selingkuh adalah salah besar! Kalau tak suka ya ceraikan saja dan kamu bisa cari istri baru yang setia. Kalau kamu bunuh, kamu akan masuk penjara lebih dari 5 tahun. Kamu menderita, anak-anak kamu terlantar, betul tidak?” wejangnya kepada si preman dan membuat si preman sadar.
Ketika reformasi bergulir, terjadi huru-hara di mana-mana. Gudang-gudang di Siantan dijarah. Terutama beras.
Ketika sekelompok preman dibayar untuk membuat huru-hara, pengusaha di Pasar Tengah ini membawa kawanan tersebut ke Hotel Kapuas Palace. Di sana dia mentraktir makan besar. Setelah perut kenyang dia bertanya, “Makanannya enak?”
“Enak.”
“Kalau begitu ayo kita ke dapur melihat orang masak.”
Chua Yang Khui membawa melihat-lihat ke dapur hotel berbintang itu. Terlihatlah di sana bahwa yang memasak adalah orang Melayu dan Madura. Mereka orang Islam.
Tiba saat hendak pipis, kawanan preman juga tak bisa menggunakan keran otomatis. Wastafel juga tak dikenal untuk difungsikan.
Chua Yang Khui dengan anteng menjelaskan tata cara menggunakan fasilitas modern tersebut. Ia mengajarkan bagaimana mencuci tangan dengan mengeringkan lengan bersama blower.
Tak hanya mengajak makan di Kapuas Palace. Chua Yang Khui membawa keliling kota. Setelah perut kosong, dia ajak makan di Galaherang dan kemudian juga ke Resto di Kakap. Dengan menyantap makan yang wah, lagi-lagi dilihatkan siapakah yang telah memasak selezat itu? Jawabannya orang Islam.
Dalam perjalanan pulang, Chua Yang Khui berkata, “Maukah kalian membakar tempat-tempat seperti itu?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Yang bekerja orang Islam. Kalau buat huru-hara, tak akan bisa makan dan orang-orang kehilangan lapangan pekerjaan.”
Begitulah Chua Yang Khui mendidik warga di lingkungannya, Pasar Tengah. Pasar Tengah adalah pasar paling primitif di Kota Pontianak yang gemuk dengan pola premanisme dan skala kecil sering diberitakan kasus jambret, maling seperti dimuat di media-media berbasil liputan kriminal.
Chua Yang Khui mengaku tidak punya kantor. Ia menggunakan fasilitas umum seperti rumah makan. “Kalau kita bangun rumah makan, mahal biayanya. Tapi kalau kita berkantor dengan mengurusi bisnis dari sini, sudah lengkap fasilitasnya. Betul tidak?” kata Chua Yang Khui kepada saya. Saya seraya senyum membenarkan.
“Kalau saya buat media tentu mahal. Tapi dengan berteman dengan media, kan murah,” katanya. Saya setuju dan menangkap ilmu kedua: pertemanan melahirkan efektifitas dan efisiensi. Sangkil dan mangkus.
Kepada anak sendiri, Chua Yang Khui juga tak pilih kasih. Kepada saya dia menceritakan bagaimana di masa kecil anaknya berurusan dengan polisi dan dibiarkan ditahan.
Apa pasal? Cerita dimulai dengan perintah Chua Yang Khui kepada dua putranya untuk membawa masuk ke dalam rumah kendaraan bermotor roda dua miliknya. Tetapi dasar anak-anak remaja di masa 30-40 tahun yang lalu. Bukan sekedar didorong, tapi kedua anak ini mengendarai motor tersebut, padahal mereka tak punya surat izin mengemudi (SIM).
Nasib buruk datang menimpa pada hari itu. Keduanya kena tilang polantas. Dan ketika polisi datang ke kediamannya mengatakan bahwa kedua putra Chua Yang Khui ditahan karena tak punya SIM, dia mengatakan, “Sudah saya katakan bahwa motor itu diseret masuk ke dalam rumah, bukan dikendarai. Nah, karena mereka menyalahi perintah papanya, ya mereka harus bertanggungjawab sendiri.”
Kedua anaknya terpaksa patungan uang receh. Polisi pun iba.
“Mereka berdikari menyelesaikan masalah tanpa bergantung di bahu ayahnya,” katanya.
Kemandirian itu menjadi pendidikan dasar anak-anak Chua Yang Khui. Dan kini anaknya telah bekerja di Negeri Paman Sam, Amerika.
Nafsu mengajar Chua Yang Khui juga menjalar hingga ke kasus Gang 17. Dia menyurati banyak pihak seperti Kapolda Kalbar prihal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan (4 Januari 2008), dia juga berkonsultasi kepada akademisi, pakar hukum, dan sejumlah tokoh masyarakat untuk menyelesaikan kasus itu secara paripurna. “Permohonan maaf yang dilakukan itu keliru,” katanya. “Harus diralat!” sambungnya.
Surat kepada Kapolda yang ditulisnya pada 4 Januari mengatakan bahwa iklan permohonan maaf yang dimuat media-media lokal Kalbar memakai “atas nama warga Tionghoa” berbuat tidak benar atau seluruh orang Tionghoa melakukan perbuatan tercela. “Atas iklan tersebut saya selaku orang Tionghoa merasa sangat malu dan menjadi tidak enak. Berdasarkan hal tersebut saya duga perbuatan Saudara Lie Khie Leng dkk tersebut dapat dikategorikan perbuatan pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur pasal 310-315 KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 KUHP.”
Kepada Kapolda, Chua Yang Khui berharap para tokoh tersebut dipanggil dan diperiksa karena telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat Tionghoa supaya bisa kembali hidup tenang sebagaimana layaknya WNI.
Maunya Chua Yang Khui permohonan maaf itu tidak atas nama warga Tionghoa karena tidak semua warga Tionghoa bersalah. Mestinya minta maaf atas nama Iksan, sosok yang menjadi lingkar pertama kasus Gang 17. Begitupula bukan mohon maaf kepada warga yang terganggu—yang dimaksudkan adalah Melayu atau Islam—tetapi kepada Syarif Mochtar—karena dia di lingkaran pertama kasus tersebut.
Jika permohonan maaf dilakukan secara general, maka menjadi preseden buruk yang tak berkesudahan. “Apakah kalau ada kasus kriminal seperti itu terulang lagi akan ditempuh cara penyelesaian permohonan maaf seperti ini lagi?”
Tak cukup sampai di sini, Chua Yang Khui juga menyurati Lie Khie Leng yang menjadi pimpinan Yayasan Bhakti Suci. Tapi sampai saat ini suratnya belum dibalas.
“Tujuan saya tiada lain, bahwa semua kita WNI yang punya hak dan kewajiban sama,” katanya.
Untuk itu, mesti ada kebersamaan yang dibangun dengan landasan yang benar, sehingga partisipasi bisa menyeluruh. Mulai dari ekonomi, sosial hingga ke pentas politik.
Chua Yang Khui meminta iklan yang pernah dimuat itu diralat. Itu saja.
Ralat iklan itu akan berdampak besar bagi eksistensi penduduk Kota Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya. Ini hasil perenungan “guru” Yang Khui. ■

1 comments:

Mas Giran mengatakan...

bile nih masok kan cerite bang kandar?