Selasa, 29 Januari 2008

Riset Kampus Tulang Punggung Penyelamatan Lingkungan


Kampanye Jurnalisme Lingkungan Hidup (7-Habis)
Oleh: Nur Iskandar

Roadshow etape terakhir setelah berkelana dari Sambas, Singkawang dan Mempawah untuk Diskusi Jurnalisme Lingkungan Hidup adalah di Kampus Universitas Tanjungpura. Dipilih kampus sebagai terminal terakhir karena lembaga akademis merupakan jantungnya pembangunan di suatu wilayah.
“Saya sepakat dengan kampus sebagai titik akhir. Di Eropa atau di AmerikaCampus Life-nya atau kehidupan kampusnya sangat hidup. Kita menjadi betah berada di kampus,” ungkap Yanti Mirdayanti, freelancer Borneo Tribune yang menghabiskan waktu mudanya 2 tahun di Jerman, 4 tahun di Peru, 9 tahun di AS dan kini kembali bertugas di Bonn University, Jerman.
Ketika duduk berdampingan dengan Rektor Untan, Dr H Chairil Effendi, MS serta 40-an peserta dari berbagai kalangan didiskusikan bagaimana kampus bisa bekerja menyelamatkan lingkungan dengan pendekatan riset yang serius.
Chairil mengakui bahwa di Untan tidak sedikit dosen dan mahasiswanya. Untuk mahasiswa jumlahnya mencapai 15 ribu orang. “Tapi iklim akademisnya masih rendah. Untuk dosen saja kebiasaan riset belum mendarah-daging karena yang dikejar masih kebutuhan primer.” Chairil tidak merinci apa kebutuhan primer itu.
Mantan Dekan FKIP Untan ini mengatakan bahwa pola ilmiah pokok Untan menitik-tekankan pada gambut dan lahan basah. Artinya meriset lingkungan sesuai dengan keadaan Kalbar. Tetapi sudah puluhan tahun pola ilmiah pokok itu ditetapkan, tak diperoleh kemajuan yang signifikan.
Chairil membandingkan dengan Kalteng dengan riset sejuta hektar lahan gambutnya sebagai warisan Presiden Soeharto yang gagal. “Banyak bantuan internasional masuk ke sana sehingga risetnya bisa berjalan. Tujuannya tentu saja pemanfaatan gambut secara ekologis seraya menghindari kebakaran hutan dan lahan yang pada gilirannya mengekspor asap hingga ke Singapura maupun Malaysia.”
Karena di Kalimantan sudah ada Kalteng yang getol meriset gambut sebagai bagian dari lahan basah, maka Untan lanjut Chairil mulai menyiapkan pola ilmiah pokoknya ke farmakologi. “Dengan adanya MIPA dan Kedokteran kita menyiapkan pola ilmiah pokok kita ke arah farmakologi,” ungkapnya.
Yanti Mirdayanti menyandingkan Untan dengan aktivitas akademisnya dengan kampus-kampus lain di Eropa dan Amerika. Dia berkeinginan Untan yang luas bisa tampil sejuk dan bersih.
“Saya sudah berkeliling Untan, relatif bersih. Hanya saja di beberapa sudut masih menumpuk sampah. Termasuk di dekat Fakultas Kedokteran dan asrama mahasiswa. Ini patut jadi renungan,” ujarnya seraya menimpali harus ada hubungan timbal balik antara pendidikan dan prilaku yang cinta akan kebersihan.
Menyoal jurnalisme lingkungan hidup, hubungan antara pers dan kampus sangat erat. Yasmin Umar menyarankan agar kampus Untan lebih proaktif kepada media. “Humas harus diberdayakan,” pintanya.
Sebaliknya Chairil Effendi meminta wartawan juga proaktif ke kampus sehingga tidak setiap saat harus menghubungi media-media.
Yanti Mirdayanti menyarankan semua teragendakan seperti di musim winter di Jerman, masa liburan sekolah diisi dengan pelatihan-pelatihan. “Program take my dougter to work juga sangat bagus. Anak-anak bisa belajar di kampus layaknya mahasiswa,” ungkapnya. Pengalamannya dituliskan ke media dan mendapatkan penilaian. Ini cara mudah memasyarakatkan gemar menulis dan membaca serta ada kaitannya dengan jurnalisme lingkungan hidup.
Seusai diskusi pada Sabtu (19/5) lalu, Borneo Tribune, Tribune Institute dan EC-Indonesia FLEGT Support Project berencana membuka kelas belajar jurnalisme lingkungan hidup. Pesertanya mendaftar ke Borneo Tribune dan diseleksi. (habis)




0 comments: