Korban pertama ketika konflik terjadi adalah kebenaran. Pernyataan ini generalisasi dari berbagai pandangan pers atas sejumlah kasus konflik di seluruh penjuru dunia.
Konflik di Timur Tengah misalnya. Korban pertama bukan anak, perempuan atau orang-orang tua, tapi kebenaran. Begitupula di Irlandia, Afrika, Rusia, Amerika, tak terkecuali di Indonesia.
Kenapa? Karena masing-masing pihak mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Pihak A mengatakan dirinya benar. Pihak B juga mengatakan dirinya benar.
Jika kedua-duanya benar, lalu siapa yang salah? Kalau kedua-duanya salah, lalu siapa yang benar?
Adakah pihak yang gentlement mengakui bahwa pihaknyalah yang salah? Lalu adakah yang merasa dirinya benar, lalu legowo memaafkan?
Pers tidak berada pada posisi menyelesaikan konflik. Pers berada pada posisi menyampaikan berita dengan faktual, akurat, berimbang. Pada sisi akurasi, menyebabkan publik bisa menilai dengan mata-kepala sendiri siapa yang benar dan siapa yang salah. Termasuk lembaga yang berwenang menangani konflik. Khususnya aparat kamtibmas bernama polisi. Kasus kriminal yang terjadi menjadi ranah polisi menanganinya. Lalu, selanjutnya merupakan wilayah hakim di pengadilan untuk memutuskannya. Di lembaga peradilanlah warga bangsa menemukan keadilan, atas siapa yang benar dan siapa yang salah. Bukankah negara Republik yang kita cintai ini berazaskan hukum?
Kalau ke sana cara kita memandang, maka jurnalis dengan segala ilmu dan skill yang dimilikinya adalah diarahkan sepenuhnya untuk mencari kebenaran lalu melaporkannya. Kebenaran itu harus dicari, diteliti, dikonfirmasi, dipilah-pilih mana yang benar dan mana yang isapan jempol belaka. Dasar hukumnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan demikian warga dapat membaca kondisi objektifnya. Dengan objektivitas itu terbuka jalan keluar yang “real-deal”. Yang arif dan bijaksana. Dan masyarakat akan selalu punya formula untuk hidup berdampingan secara damai. Termasuk di Kota Pontianak jika terjadi konflik, pada titik kulminasi, di setiap gang akan ada bendera putih dengan palang pintu bertuliskan: kami masyarakat cinta damai. Efektivitas dan efisiensinya sudah terbukti jitu dari waktu ke waktu.
Jurnalis tidak hanya mencari kebenaran lalu melaporkannya. Seek the truth and repot it. Tapi juga jurnalis punya hati nurani.
Dengan emblem hati nurani tersebut, dalam proses penuangannya, data dan fakta serta analisa yang sulam-menyulam di dalamnya, segala dampak negatif diminimalisir. Minimize harm. Sebab buat apa kebaikan yang sedikit jika menimbulkan malapetaka yang lebih besar? Transparan baik, tapi telanjang bulat juga tidak baik.
Jurnalis di dalam liputan konflik sebagaimana yang ditanamkan Borneo Tribune kepada seluruh crew-nya adalah bertindak independent. Act independently.
Dalam domain independensi ini setiap jurnalis meninggalkan di rumahnya suku, agama, ras dan antargolongannya (SARA) ketika turun meliput dan menuliskan berita-berita. Dengan demikian dia benar-benar berada di tengah-tengah. Di domain netral. Dan untuk ini dia menjadi tempat bagi warga bangsa untuk mengadu, mengeluh, dan menuangkan segala aspirasinya karena netralitasnya.
Jurnalis dalam liputan konflik juga mesti dapat dipercaya. Be accountable.
Kepercayaan publik kepada jurnalis termasuk kepada medianya, laksana nasabah kepada tellernya. Jika petugas bank dipercaya, maka nomor rekening dan isi rekeningnya nasabah pun boleh diketahui. Begitupula kepada jurnalis. Isi pikiran dan gagasan, serta hal-ihwal kehidupan warganya bisa diutarakan kepada sang jurnalis untuk disebarluaskan sesuai dengan etika jurnalisme yang selama hidup dapat dibuktikannya.
Jika kepercayaan, atau trust telah didapatkan, akan menjadi garansi atas kelangsungan hidup sang jurnalis dan media yang bersangkutan. Di dalam peran inilah jurnalisme damai dapat diwujudkan.
Terkait dengan kondisi Kota Pontianak yang siaga 1, menyusul peristiwa kriminal di Gang 17, Borneo Tribune berupaya menerapkan etika jurnalisme seideal-idealnya. Crime is crime. Kriminal adalah kriminal dan penangannya jelas mengikuti protap polisi. Oleh karena itu mari kita percayakan kepada polisi untuk menuntaskan kasus Gang 17 tersebut tanpa perlu terus menerus aksi massa, apalagi anarkis. Sebab anarkis akan melahirkan anarkisme baru, sebagaimana kekerasan melahirkan kekerasan. Bukankah tomat akan berbuah tomat? Oleh karena itu mari kita taburkan benih kedamaian dalam kehidupan ini, sehingga kita semua hingga anak cucu, juga akan selalu panen kedamaian. Amiin. ■
Minggu, 23 Desember 2007
Crime, Aksi Massa dan Etika Jurnalisme
Posted by Noeris at 11.08
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar