“Kalau memang tujuannya perbaikan manajemen Saya akan tanda tangan,” kata Saya kepada Is yang sedang melobi penata iklan, Zul Hz di ruang iklan. Ruang paling pojok Equator di lantai tiga kawasan pertokoan Jalan Nusa Indah I Blok B No 62 pusat Kota Pontianak.
Saya tahu persis ada gerakan mencabut mosi pada hari Jumat, 27 Oktober 2006 sekitar pukul 20.00 WIB. Intinya memperbaiki manajemen Equator yang bobrok lantaran tidak diurus dengan benar benar benar.
Is salah satu tokoh vital yang melakukan gerakan “menodong” pegawai satu per satu dalam rangka balik badan. Selainnya yang Saya tahu adalah Ramdan, Ridho dan Anton Perdana.
Is sedang memegang map saat Saya pergoki. Di dalam map itu terdapat dua lembar list yang sudah berisi sejumlah tanda-tangan. Saya baca ada nama “anggota” redaksi. Sebagian besar memang anak pemasaran yang satu divisi bersama Is.
Saya baca dari dekat Is tampak ragu-ragu. “Benarlah nih Bang Nuris mau tanda-tangan,” ujarnya dengan gaya bicara yang khas. Dialeg Pontianak. Terpotong-potong. Senyum-ketawa cengegesan. Mata terpedip-pedip.
“Kalau memang tulus, tanda-tanganlah,” pinta Is. Ia berusaha untuk dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai teratur.
Anak ini masuk Equator sebagai sopir. Dua tahun terakhir Ia bertugas di Biro Sanggau untuk mengembangkan pemasaran di sana. Sayang pemasaran di Sanggau tak berkembang-kembang. Persis seperti kelakuannya yang aneh, strange, dan tak berkembang lebih beretika. Beberapa kali mobil Equator calat dan masuk parit karena kecerobohannya. Saya malah sempat berpikir bahwa sesungguhnya Dia dibuang oleh Kabagnya lantaran sikapnya yang anomali begitu itu.
“Is,” kata Saya. “Saya mau tanda-tangan pernyataan mencabut mosi ini kalau konsiderannya Saya baca.” Saya meyakinkan seraya menatap mata Is yang lebih banyak lari-lari karena mungkin Is segan kepada Saya.
“Idi’ pada idi’ bah,” kata Saya dalam Bahasa Bugis. Is memang orang Bugis. Pun mungkin karena kami sama-sama Bugis, Dia segan menatap mata Saya berlama-lama. Tapi, Saya duga dia grogi sedemikian rupa karena sedang menyembunyikan “sesuatu”. Mata kata ilmu psikologi tak pernah berbohong.
“Ndak ade di sini Bang Nur. Same budak-budak,” jawabnya mulai melunak.
“Oke,” kata Saya.
“Budak-budak itu akan Saya hubungi.”
Budak kata prokem Pontianak sebagai kata ganti mereka dalam artian teman pergaulan sebaya. Sebuah panggilan akrab.
Budak-budak itu dedengkotnya Ridho dan anak-anak biro daerah. Terutama Anton yang satu biro dengan Is. Kalau Ramdan, Dia memang mantan bawahan Ridho dari Kota Singkawang saat Ridho menjadi kepala biro di sana. Singkawang kota kedua terbesar setelah Pontianak. Jaraknya sekitar 180 Km dari Ibu Kota Kalbar. Ramdan barangkali merasa punya hutang budi dengan Ridho karena masuk Equator atas rekrutmen Ridho.
Saya berani menyebut nama Ridho sebagai dedengkotnya karena dalam pertemuan-pertemuan kami membahas mosi Ridho ikut serta. Bahkan Ridho mengatakan, “Bang Djun tuh jarang tersentuh air wudhu, makanya temperamental,” komentarnya dalam rapat di Kantin Alun Kapuas di paro bulan Ramadan, 18 Oktober 2006. Rapat ini adalah rapat pertama yang kami gelar atas sesama Dewan Redaksi.
Lebih jelas Ridho balik badan lebih dulu dari yang lain karena pernyataannya sendiri bahwa “kita” sudah berbeda platform perjuangan. Platform perjuangan yang dimaksudnya adalah cara-cara mengatasi masalah manajemen di Equator yang “sangsot”. Menurut Dia, kondisi Equator yang sangsot, bahkan bobrok itu tak perlu dipungkasi dengan cara semua jabatan Bang Djun—Djunaini KS—dipangkas. Melainkan cukup dengan cara-cara dialogis.
Pernyataan itu disampaikannya dalam acara sosialisasi informal soal gerakan mosi bersama anak-anak daerah di kediaman Yusriadi—akrab disapa Ence Yus—kawasan Jalan Karet, Gang Karet Makmur, 26 Oktober 2006.
Pertemuan di tempat Ence Yus masih suasana Idul Fitri. Kami menganggapnya halal bi halal keluarga besar redaksi.
Ridho dalam pertemuan di kediaman Ence Yus itu Saya “tekan” untuk bicara jujur, jelas dan jernih. Saya dengar Dia sudah ada dalam pertemuan-pertemuan dengan Bang Djun. Saya yakin pula Bang Djun telah melakukan bargaining terhadap pria bertubuh jangkung dan berkacamata tersebut.
“Setelah Saya berkontemplasi selama dua hari, Saya akhirnya memutuskan bahwa kita memang berbeda platform dalam menyikapi masalah di Equator,” ujarnya.
“Ibarat mesin yang rusak walau harus turun mesin 2-3 kali tak mengapa. Jangan mesinnya yang diganti. Mesinnya masih bisa diperbaiki. Saya yakin bisa,” tambahnya sambil duduk bersila di kediaman Ence Yus, lantai dua.
Angin sepoi-sepoi bertiup indah hari itu. Kontras dengan suasana rapat yang bersitegang.
Pertemuan di kediaman Ence Yus yang Redaktur Pro Otonomi itu pada hari Kamis tanggal 26 Oktober 2006 sekitar pukul 15.00 WIB. Undangan sebenarnya jam 14.00 WIB. Saya turut aktif mengingatkan jajaran redaksi bahwa ada pertemuan penting ini. Tak urung Ridho pun Saya telepon langsung.
“Kamu bisa hadir di kediaman Ence Yus Do?”
“Bisa,” kata Ridho yang belakangan mengaku sakit pinggang karena ada syarafnya yang kejepit.
Acara berlebaran sambil rapat ini diikuti oleh Saya, Hairul Mikrad, (Redaktur Patroli), Mutadi (Redaktur Bandaraya) berikut putranya Akas, Uray Kamaruzaman (Redaktur Foto dan Interaktif), Ridho (Redaktur Sambas Terigas), Asriyadi Alexander (Redaktur Uncak Kapuas) , Indra Wahyudi (Kabag Pemasaran), Yuni Kurniyanto (Kepala Biro Sambas), Lina (Sekretaris Redaksi), Atika Ramadhani (Pracetak), Hermanto, Mujidi, Johan, Aulia Marti—kesemuanya wartawan baru—Misrawi (Kepala Biro Kapuas Hulu), Leo Prima (wartawan foto dan reporter crime), Stefanus Akim (Kepala Biro Mempawah) dan Elfrida Sinaga (wartawati Pro Otonomi, Kalbar Raya, Ekonomi), Rita (bagian keuangan yang sudah keluar dari Equator dan bekerja di PNM), serta Darussalam (Kepala Biro Ketapang).
Ridho dalam pertemuan itu menegaskan bahwa ibarat mesin, kendati sudah 2-3 kali turun, mesin tak perlu diganti. Terpenting diservice saja. Istilah turun mesin sebagai menjawab analogi Saya bahwa Bang Djun sudah tiga kali mendapat mosi tidak percaya sehingga sulit untuk mendapatkan bahwa Dia bisa berubah sedangkan kita menginginkan perubahan. Gerakan mosi terhadap Bang Djun dua kali di Equator dan sekali di Pontianak Post.
Mosi terhadap Bang Djun di Pontianak Post terdokumentasi dengan baik. Dokumentasi itu diarsipkan antara lain—yang Saya ketahui—oleh Gusti Yusri. Saat tulisan ini dibuat pria yang kerap dipanggil Abah ini sedang menjabat sebagai Pimred Kapuas Post—salah satu koran anak Pontianak Post atau cucu Jawa Pos.
Mosi kedua rapi terarsip oleh Ukan. Populer disapa dengan Bang Fakun, Kabag Pracetak Equator. Sayang, menurut Dia, entah ke mana arsip itu Dia simpan. Tapi ada.
Kedua jenis mosi di atas juga diarsipkan oleh CEO Pontianak Post, Drs H Tabrani Hadi. Bahkan mungkin juga oleh Jawa Pos karena semua mosi itu ditujukan kepada Jawa Pos.
***
Ridho tidak berada di ruang iklan sebagaimana Is ketika melobi Zul Hz alias Wak Berat. Ridho mengetik di ruang Kepala Pemasaran, Indra Wahyudi. Saya tahu dia ada di sana karena sebelumnya Saya sudah ada bicara-bicara.
“Do, kalau kelompok kalian menang dan kamu jadi Redpel, pimpin kawan baik-baik,” kata Saya sore harinya. Saya kemudian memberikan pandangan kepadanya bahwa ide Bang Djun menjadikan Equator sebagai kampus jurnalistik harus terus berjalan. Hal lainnya idealisme jangan sampai tergadai. Komunikasi juga harus berjalan seperti yang sekarang sedang terjadi, kendati Saya mesti menjadi korban dari kebuntuan komunikasi dengan Bang Djun—seperti yang kita harapkan bersama—maklum dalam rapat-rapat normal Bang Djun selalu lari dari kenyataan—eskapis—menceritakan hal remeh-temeh di luar materi rapat seperti prihal anaknya Iqbal yang telah dapat menggarap proyek bersama Kwik Kian Gie, hubungan Bang Djun dengan Jusuf Kalla serta SBY, sampai ke Datuk Nadjib dan Datuk Ahmad Badhawi.
Pesan Saya yang lain kepada Ridho adalah bahwa administrasi Equator harus tertata rapi. Tugas Ridho dan kawan-kawan kelak merapikannya dengan mengingatkan kepada Bang Djun, bahwa Dia harus “ngeh” atau peduli karena sekarang tentu berbeda dengan 20-30 tahun yang lalu di mana administrasi kantor masih tradisional.
Ridho ketika bicara dengan Saya berkata, “Jangan begitulah...Saya jadi tak enak bicara dengan Redpel begini,” ujarnya seraya duduk mengetik di depan komputer. Di samping kanannya asbak rokok yang sudah penuh dengan abu dan puntung.
Saya katakan kepada Ridho pembicaraan ini mesti Saya lakukan. “Saya harus sampaikan kepada kamu setransparan mungkin. Yakni tentang apa latar belakang Saya melakukan ini semuanya,” kata Saya.
Ridho mengatakan bahwa beda platform adalah bagian dari Equatoris. “Abang-abang pula yang menanamkan rasa Equatoris itu,” ujarnya.
***
Map dari tangan Is berpindah ke tangan Saya. Zul Hz turut membaca isi listnya. Saya pikir kok konsiderannya tidak ada? Kenapa yang diedarkan hanya daftar yang hendak ditanda-tangani begini saja? Saya pikir, ini batu akal Bang Djun untuk menggunakan anak-anak daerah buat mempertahankan posisinya. Posisi yang dikiranya benar-benar akan digunduli oleh kelompok Saya dan kawan-kawan, padahal tujuan dari mosi itu tiada lain untuk perbaikan manajemen di mana cara-cara dialogis bersama Bang Djun tak pernah bisa berjalan dengan mulus. Selalu deadlock. Kalau pun berjalan, Ia yang temperamental gampang naik pitam. Main tekak. Main gebrak.
Setiap kali rapat bersama Bang Djun tak pernah suatu masalah bisa terbahas tuntas. Ia lebih banyak bercerita hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan rapat seperti cerita anak-anak Beliau, cerita tokoh anu dan anu sehingga westing time. Kerap kali dalam rapat seperti itu para peserta rapat mundur satu-per satu dan menghilang.
List pencabutan mosi Saya teken selembar. Ini demi menyakinkan Is bahwa Saya setuju ada perbaikan manajemen, termasuk mencabut mosi. “Lembar berikutnya akan Saya teken jika telah Saya baca konsiderannya. Ini penting agar tanda tangan Saya ada artinya serta bukan buat dipelesetkan. Lalu konsideran itu dengan siapa?” Saya kembali bertanya.
“Ya, begitu yang benar,” timpal Zul yang masih berdiri di dekat Saya. Zul yang pertama direkrut masuk Equator sebagai ilustrator malam itu mengenakan jaket parasut berwarna putih.
Di malam kejadian pemecatan itu suasana memang agak dingin karena kerap kali turun hujan. Oktober ini musim hujan setelah sebelumnya kabut asap dan debu.
“Kalau dasar pertimbangannya sama, tak dilobipun Saya mau juga teken mencabut pernyataan mosi,” kata Zul.
Is hanya bisa garu-garu kepala tak gatal. Ia wira-wiri di ruangan iklan yang berukuran 3x3 meter dan sumpek serta kental bau rokok.
Malam itu di Equator berdatangan anak-anak daerah. Sebagian besar perokok berat. Ketepas-ketepus dengan asap memenuhi ruangan iklan sehingga mata pedas.
Saya tahu di luar ruang iklan, pada teras yang menghadap ke jalan sedang mojok ngerumpi antara Indra Nova yang Kepala Biro Melawi dengan Yuni Kurniyanto, Kepala Biro Sambas. Mereka langsung Saya “tembak”. Saya yakin sepanjang pembicaraan Saya dengan Is, mereka tahu.
“Bagaimana?” tanya Saya kepada mereka. Ova yang berjaket levis belel balik bertanya dengan sikap dingin. “Bagaimana Bang Yun?” Is pun bertanya senada dengan Yuni.
Indra Nova yang kerap disapa Ova kemudian diam seribu bahasa. Rambutnya saja yang runtuh ke jidat bergaya anak-anak band.
Ova hobi band sehingga waktunya pun lebih banyak mengurusi band di Melawi ketimbang berita. Tak jarang berita-berita yang dikirim Ova ke redaksi adalah tulisan anak-anak LSM. Oleh karena itu Ova sering ditegur redakturnya, Alex akibat Dia manas. Barangkali momen ini dimanfaatkan Ova untuk balas dendam dengan Alex sekaligus dengan Saya. Mungkin.
“Bagaimana Yun?” ungkap Saya merendah.
Yuni anak baik yang bisa bicara jujur, jelas dan jernih. Alasannya kuat. Yuni dalam pertemuan sebelumnya di kediaman Ence Yus saat makan berdampingan duduk dengan Saya di lantai dasar dekat TV. Kala itu Yuni mengatakan kepalanya pusing berat setelah tahu data dan fakta yang sesungguhnya. “Saya hanya benar-benar ingin kerja, itu saja Bang,” tegasa cowok lajang berambut berombak ini.
Yuni kendati pendiam, tapi tegas. Soal Saya minta izin membaca lembar konsideran pernyataan mencabut mosi juga dapat kepastian darinya. Tidak mencla-mencle seperti yang lain.
“Sebentar Bang, Saya hubungi kawan-kawan,” ujar Yuni begitu cepat merespon. Ia tidak kabu-kabu dengan banyak alasan seperti Is dan Ova. Ia agaknya menghubungi Ridho.
“Ada kesepakatan dalam rapat kami bahwa setiap pengambilan keputusan yang penting mesti melalui rapat. Harus mendapat izin rapat dulu Bang.”
Penjelasan Yuni seperti membuat premis minor Saya mendapat penegasan. Bahwa memang ada pertemuan-pertemuan yang tersusun rapi dengan komandan Ridho serta Bang Djun. Sudah banyak rapat di kediaman Pimred, Djunaini KS. Sebagian besar lagi di Hotel Merpati dengan biaya dari Djunaini KS.
Saya yang tujuh tahun lebih bekerja di Equator sangat tahu dan hapal lika-liku pemikiran Bang Djun. Ia bisa balik badan 180 derajat jika suka atau tidak suka kepada seseorang. Misalnya Ia benci dengan Ketua DPRD Kota H Gusti Hersan Asli Rosa, maka Ia meminta kepada Saya selaku Redpel bahwa apapun komentar Hersan tak boleh dimuat. Tapi karena ada kepentingan pengaspalan jalan di komplek kediaman Bang Djun yang satu komplek pula dengan perumahan Hersan maka Ia memuji-muji Hersan. Konteksnya adalah masuknya aspal dari Pemkot Pontianak seolah-olah karena jasa Beliau, bukan Hersan.
Tentang mosi yang Saya galang terakhir pun begitu. Bang Djun melobi anak-anak untuk balik badan mendukung Dia.
Pada mulanya Bang Djun minta Saya untuk merenungkan apa yang Saya lakukan. Ia sampaikan lewat pesan layanan singkat atau Short Message Service (SMS) pada 18 Oktober 2006 pukul 16.15 WIB. SMS itu Saya bacakan dengan kawan-kawan Dewan Redaksi. “Nur, kamu tidak dibesarkan dlm budaya kayak demonstran. Pak Bos kecewa, kok equator kejangkitan gitu. Sy terbiasa digitukan sejak di AP. Sayang sbg pimpinan Nur salah cara. Renungkan.”
Saya ketahui yang dia lobi berikutnya adalah Hairul Mikrad. Akrab disapa Dek. Ketika itu Bang Djun menelepon Dek. Dek berada di dekat Saya. Juga berada di dekat kawan-kawan lain seperti Ridho, Ence Yus, Mutadi, Alex, Tanto, Uray, dan Bang Fakun. Kami sedang kumpul untuk rapat waktu itu.
Yang kami dengar Bang Djun minta agar Dek “balik badan”. Dan kalau saja Dek mau saat itu, posisi Redpel sudah jelas dalam genggamannya sebagai garansi. Tapi Dek menolak. Dek bahkan dengan tegas mengatakan Dia bersama kawan-kawan. Ia tetap setia dengan komitmen bersama.
Atmosfir tim mosi memang berujung pada satu kata: tetap komitmen pada apa yang sudah diteken. Mutadi paling keras bicara soal komitmen sehingga Dia bergelar “Mr Comitment”. Ini SMS Mutadi yang menegaskan pilihannya pada petang sebelum kejadian yang mengenaskan di Equator. Yakni pada 27 Oktober pukul 16.38 WIB:
“teman2, saya sudah ambil keputusan. saya tetap pada tandatangan saya. tetapi saya tetap menginginkan penyelesaian yg adil dgn melihat kepentingan yg lebih besar utk equator ke depan dan org2 di dalamnya. apapun risiko yg timbul krn pilihan saya ini, insyaallah saya sadari. terima kasih”.
Mutadi kemudian membelot mengikuti jejak Ridho. Ridho mungkin sudah dapat garansi dari janji-janji Bang Djun. Begitupula Mutadi. Entah jadi Redpel, Pimred atau apalah seperti kebiasaan-kebiasaan Bang Djun sebelumnya.
Saat mosi pertama di Pontianak Post Holdi dikirim ke Jawa Pos. Ia selamat dan dikirim ke JPNN karena mengatakan tidak ikut teken pernyataan mosi. Soal makan? Wow jangan tanya. “KFC!” ungkap Holdi kala bercerita. Katanya, ketika itu KFC baru buka pertama di Pontianak.
Pada mosi berikutnya di Equator, Kamaruddin dijanjikan kelak mendapat posisi Pimpinan Perusahaan. “Kaulah yang menyelamatkan nyawaku Din. Kau tahulah,” katanya. Namun janji tinggallah janji.
Kabag Pracetak, Fakun juga pernah dijanjikan akan menjadi Kepala Percetakan. Tapi janji tinggallah janji. Iqbal putranya sudah sesumbar bahwa di tahun 2008 Dia yang akan diplot ayahnya untuk menjadi Kabag Percetakan atau Direktur di percetakan.
***
Saya bertanya, apakah konsideran itu ada pada Ridho? Tak ada jawaban dari Yuni maupun Ova. Tapi demi minimalnya korban setelah melihat Bang Djun bereaksi yakni dengan menggunakan anak-anak daerah serta sejumlah redaktur, bagian pemasaran maupun wartawan yang “diculik paksa” Saya keliling ruang redaksi. Saya katakan, “Saya teken selembar ini sebagai bukti mencabut mosi. Saya dengar bahwa isi dari gerakan mencabut mosi juga adalah perbaikan manajemen. Masih ada selembar lagi yang belum Saya teken. Saya akan teken jika telah membaca konsiderannya.”
Kawan-kawan di bagian redaksi dan pracetak tampak kaget dengan pengumuman Saya. Tapi Saya biarkan karena inisiatif seperti ini harus diambil demi minimalnya korban yang bakal jatuh. Terutama orang-orang yang idealis yang mempertahankan mosi. Mereka adalah pilar-pilar di Equator. Mereka Equatoris sejati.
Di dalam hati, Saya berpikir, biarlah Saya satu-satunya korban kelak di kemudian hari asal jangan yang lainnya. Kawan-kawan juga punya anak dan istri yang harus dikasih makan.
Setelah pengumuman selesai, Saya menyusul Ridho yang bekerja di ruangan Kabag Pemasaran. Ruang ini berada di antara mushala dan dapur. Atau antara mushala dan ruang pracetak.
“Ridho, Saya ingin melihat konsideran pernyataan mencabut mosi. Ini sebuah list tanda-tangan sudah Saya teken. Saya akan teken satu lagi jika sudah baca konsiderannya. Kawan-kawan yang lain juga akan teken. Tapi Saya dengar anak-anak bilang konsideran itu sama Ridho, bagaimana?” Saya bertanya kepada Ridho dan bicara pelan.
Segarang-garang Ridho dengan siapapun, Saya lihat bahasa hatinya kepada Saya masih respek. Masih ada rasa hormat Ridho kepada Saya, entah Saya sebagai satu individu biasa, Redpel, senior darinya di Mimbar Untan, atau karena sedang mau naik haji.
Ridho yang pernah aktif di Quba—jamaah tablig di Pontianak saat masih mahasiswa—mengatakan, “Begini saja, Saya akan ajak anak-anak rapat dulu,” ujarnya tidak sebringas Is. Rido cukup punya akal dan pandai.
Ridho bangkit dari kursinya dan melakukan konsolidasi dengan anak-anak daerah. Malam ini anak-anak daerah ramai kumpul di Equator.
Saya kembali mengumumkan di ruang redaksi. Saya jelaskan apa proses yang sedang terjadi. Penjelasan Saya bla-bla-bla.
Untuk orang sejangkung Ridho tak sulit mendapati Saya berdiri di ruang rapat redaksi. “Kami belum bisa rapat karena tidak semua anak-anak ada di sini sekarang,” ujarnya beralibi. Padahal kalau mau pakai istilah quorum, pasti quorum, karena anak daerah yang sudah berada di Equator hampir rata-rata ada. Yang belum tampak cuma Anton Perdana.
Posisi Ridho di dekat pintu. Posisi kami dipisahkan satu meja rapat redaksi. Dari sinilah memuncak ketegangan itu.
Penjelasan Ridho disambar Iwan Siswanto, Kabag EDP (Electronic Data Precessing) yang juga pengganti sementara Fakun—Kabag Pracetak—lantaran Fakun masih di Singkawang—maklum masih suasana lebaran. Posisi Iwan berdiri paling ujung dari ruangan kami.
“Do, jangan takut menunjukkan pernyataan kalian kalau tujuannya memang perbaikan manajemen Equator!” teriaknya dari dekat dinding pembatas ruang depan dengan teras. Teriakan Iwan disusul Zul Hz yang tahu proses perdebatan Saya dengan Is, melobi Yuni Kurniyanto serta Ridho. Ia bersuara keras. “Kenapa Ridho harus takut menunjukkan konsiderannya jika memang benar buat perbaikan kita bersama-sama?” timpalnya. Posisi Zul di tengah antara Saya dan Iwan Siswanto.
Yusriadi pun sempat urun rembug. Ia berada di antara ruang wartawan dan pracetak. Dalam pandangan Saya Ia bak penjaga gawang di posisi itu.
“Nur menyatakan sudah teken satu. Ada baiknya konsiderannya kita baca sama-sama. Kalau memang baik, kita semua Saya yakin akan teken,” katanya.
Wah, suasana jadi panas. Ridho juga tampak manas. Naik pitam. Ia memang tipikal orang yang pemarah. Waktu itu bibirnya tampak biru karena banyak merokok.
Alex saat ribut-ribut itu sedang terima telepon. Ia berjalan di sela kerumunan orang-orang berdiri. Ndilalah, setelah usai bertelepon Dia masuk ke ruangan yang sedang terbakar api emosi dan berteriak, “Hidup Golkar!” Alex mungkin bergurau, tapi Ridho marah besar. “Wah, apa-apaan ini?! Ini rapat! Bukan jalanan!” Ridho berdiri di dekat meja kerja Mutadi.
Saya bergerak menuju posisi Alex. Dadanya Saya usap dengan perkataan, “Bersih-bersih, netral-netral.”
Bersih-bersih, netral-netral adalah satu prinsip yang diajarkan Kak Ronald dari NAC System. NAC System adalah Temuan Anthony Robin dari Paman Sam yang berlandaskan psikologi sehingga Anthony Robin pun jadi superstar dengan posisi sebagai penasehat Bill Clinton, Andre Agassi dan club basket ternama, NBA.
Alex yang lebih dahulu belajar NAC System ketimbang Saya berusaha tenang. Tapi suasana rapat sudah terlanjur riuh. Banyak komentar di sana-sini malam itu. Dalam pandangan Saya ruangan padat berisi tak kurang dari 20-30-an orang.
Nah, entah kata-kata apa lagi yang didengar kuping Alex sehingga Dia berdiri lalu mengangkat gelas serta hendak melemparkannya ke arah Ridho. Saya yang masih berada di dekatnya berupaya menangkap tangan Alex berikut menenangkannya. “Bersih-bersih, netral-netral. Udah Lex, sudah, jangan terpancing emosi. Sabar, sabar.”
Saya sangat kuatir malam itu jika ada kles fisik antara Alex dan kawan-kawan. Ini bisa terjadi kles antara Dayak-Melayu, seperti ambruknya koran di Ambon. Koran milik grup Jawa Pos: Suara Maluku dan Ambon Ekspres. Suara Maluku berisi wartawan-wartawan Islam dan Ambon Ekspres, Kristen. Dua koran ini dinilai menyulut kerusuhan di Ambon sehingga makin mebesar.
Saya berkeringat dingin. “Ya Allah...jangan sampai ada kles fisik!”
Uray Kamaruzaman, Redaktur Interaktif dan Foto yang malam itu berbaju koko putih dan mengenakan kopiah haji juga terbakar emosi. Yang Saya dengar, Uray kecewa jika tindakan redaktur teriak-teriak seperti ini.
“Kalau kayak begini, lebih baik Saya cabut saja tanda tangan Saya terhadap mosi,” ujarnya. Kalimat Uray menandakan Dia sudah berada di pihak Ridho.
Ruang kerja redaksi jadi sangat panas. Qadhafi putra bungsu Bang Djun Saya lihat keluar ruangan. Saya sempat meminta kepada Qadhafi agar jangan melakukan itu. Maksudnya menelepon ayahnya. Karena Saya tahu, kalau dalam situasi genting seperti ini Bang Djun datang maka emosinyalah yang memimpin. Dalam keadaan emosi, tak akan ada keputusan terbaik yang bisa dihasilkan.
Pak Dahlan Iskan, Big Bos Jawa Pos pernah menulis tentang emosi ini kala Zidane menanduk dada Metarazi di Piala Dunia 2006. “Kalau emosi mau datang, ia bisa hadir sepersekian detik. Dampaknya amat sangat besar. Jadi, jika amarah datang, berhentilah dahulu sejenak.” Begitu tulisnya.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Qadhafi tetap berlalu. “Ayah” yang emosional itu barangkali dikontaknya. Mungkin juga ditambah-tambah bumbu lain sehingga semakin ibarat api disiram bensin.
Yuni yang pendiam di malam itu sempat berpikir brilian. Ia menyarankan kepada Saya agar menunda saja dahulu rapat untuk melihat konsideran karena kita harus kejar deadline. Ide itu langsung Saya terima dan putuskan segera. “Oke, semua kita kembali bekerja seperti biasa, nanti jam satu setelah pekerjaan semua selesai, rapat kembali kita lanjutkan,” kata Saya.
Masing-masing kawan pun kembali ke tempat duduknya. Saya pun kembali ke ruangan “akuarium” yang berbatas dinding saja dengan ruangan Bang Djun. Malam itu Bang Djun belum masuk kantor. Jam di pergelangan tangan Saya sudah menunjuk angka 21.00 WIB.
***
Baru beberapa menit mengedit berita halaman satu, SMS masuk ke handphone Saya. Dari Ence Yus. Ia menyarankan Saya mengambil alih rapat perencanaan agar suasana kembali mencair.
“Maaf, baik redpel rapat perencn, agar kekuasaan redpl ttp nampak.”
Usul brilian itu Saya terima dan kembali mengumpulkan seluruh wartawan, termasuk biro daerah. Mahmudi, Elfrida, Ramdan, Yuni dan beberapa yang lain duduk rapat di meja kayu cokelat seperti biasanya kami rapat. Melingkar. Saya memimpin rapat perencanaan seperti biasanya, bersemangat.
Saya juga sempat meminta Johan untuk membeli kue. Maklum, suasana juga harus dicairkan dengan makanan.
Rupanya rapat planning pemberitaan ini adalah rapat yang terakhir kali buat Saya memimpinnya. Hanya berselang 10 menit Bang Djun masuk ruangan dan berada di samping kanan Saya. Jaraknya hanya sekitar 1 meter. Ia mepet dengan dinding lalu berkata lantang, “Sekarang semuanya Saya ambil alih!” Suaranya keras bak halilintar memecah keheningan kerja.
Kata pengambilalihan situasi kantor itu diiringi dengan kalimat pedas berupa penon-aktifan atau PHK terhadap Alex, Yusriadi, Dek dan Tanto Yakobus.
Alex sempat maju mendekati Bang Djun. “Apa alasan Anda memecat Saya?” Tangan kanan Alex telunjuknya mengarah ke hidung Bang Djun.
“Karena surat yang Saudara buat ke Jawa Pos,” jawabnya dengan muka pucat dan bibir gemetar. Saat itu Saya berada di dekat Alex dan Bang Djun. Saya menjadi saksi bahwa di malam itu Bang Djun benar-benar lupa memasang gigi palsunya.
Dek langsung keluar setelah diusir. Dia punya halaman Patroli memang sudah selesai diedit dan digarap Mas Iwan.
Dek sempat kirim SMS yang berbunyi, “Terima kasih atas kerjasama, mohon maaf bila ada kesalahan selama saya bekerja hingga malam ini.”
Ence Yus juga berkemas mau keluar tapi Saya cegah. “Ndak usah keluar. Bertahan dulu di sini,” kata Saya berharap masih ada keajaiban sehingga diperoleh jalan keluar terbaik.
Alex kembali ke komputer kerjanya. Bagi Alex, keputusan Bang Djun tidak berlaku karena Dia status quo akibat dimosi tidak percaya. Alex mau ada hitam di atas putih kalau Ia benar-benar dipecat.
Suasana sepi sesepi-sepinya. Rasanya malam itu jangkrik dan cicak pun takut bersuara. Saya pun sempat tergamam dengan teriakan Bang Djun yang ibarat petir di malam hari.
Saya ikhtiar dengan cara menyela kepada Bang Djun, “Duduk dululah Bang Djun...kita bicarakan baik-baik.”
Seraya Bang Djun mengambil posisi duduk di dekat TV, posisi paling depan dari meja redaksi, yakni berbatasan dengan papan whiteboard yang menyatu dengan ruang Kabag Personalia, Zailani Kasno yang akrab kami sapa “Paman” Mahmudi gelisah.
Mahmudi yang tadi mengikuti rapat perencanaan isi berdiri di sebelah kanan Saya. Tangannya menggamit ke siku Saya. “Bang ayo Bang, ambil kesempatan untuk bicara. Kuasai kondisi,” pintanya nyaris berbisik.
Saya memenuhi harapan anak Semarang yang mantan aktivis di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mimbar Untan itu. Saya ambil kesempatan untuk bicara lagi dengan Bang Djun. “Bang Djun, mari kita bicara baik-baik...” kata Saya.
Bang Djun melengos. “Kamu yang bilang, hadirkan Dahlan Iskan di sini baru kamu mau bicara dengan Saya. Kamu pertanggungjawabkan itu di hadapan JPNN,” jawabnya seraya mata melirik ke kanan bawah sambil menunduk seperti ada yang nyangkut di kakinya.
Bang Djun kemudian men-dial-up nomor di HP Nokia canggih miliknya. “Pak Zainal...Hallo Pak Zainal,” katanya mengontak H Zainal Muttaqin, CEO Jawa Pos pengganti Pak Dahlan Iskan.
Berkali-kali Bang Djun menelepon Pak Zainal tapi tak ada jawaban. “Ah, usang,” kata Saya dalam hati. Nge-gap dengan cara begini sudah mendarah-daging dengan Bang Djun.
Tapi gap-gap Bang Djun tak selamanya cek kosong. Pada saat Saya sedang kerja mengedit, Bang Djun dari ruang kerjanya berhasil menghubungi Pak Zainal. “Nal! Kondisi kantor sudah Saya kuasai. Suatu saat Zainal akan Saya undang ke Equator untuk memberikan penjelasan,” ungkapnya. Entah apa yang dikatakan Pak Zainal Saya tidak tahu. Tujuan Saya bekerja hingga tuntas di malam terakhir ini memang ingin menjadi saksi sejarah, apakah Bang Djun sudah berubah dengan adanya peringatan via mosi ini atau tidak. Saya juga ingin tahu apakah reaksi Jawa Pos benar-benar ada atau tidak. Kenyataan—jika Bang Djun tidak bersandiwara dengan suaranya agar Saya dengar—Dia berhasil berkomunikasi dengan H Zainal Muttaqin. Hanya saja, hingga 13 Desember saat tulisan ini Saya buat, Zainal Muttaqin belum kunjung tiba ke Equator untuk memberikan penjelasan kepada anak-anak.
Yang Saya tahu, pada awal Nopember kemarin ada pertemuan evaluasi di Bandung, tapi Bang Djun tidak ikut dengan alasan Equator tidak bisa ditinggalkan—jika tak mau dibilang takut akibat berita pemecatan lima redaktur telah tersebar luas di seluruh Indonesia via internet, milis dan FTP JPNN.
Yang dikirim dalam forum evaluasi grup itu adalah Kabag Keuangan, Julia Lauren, Kabag Iklan, Kamarudin dan Kabag Pemasaran, Indra Wahyudi. Kami dapat bocoran bahwa prestasi pemasaran Equator jeblok peringat ketiga dari belakang. Jumlah kue iklan yang berhasil dikumpulkan pun merosot tajam. Nyaris 50 persen!
Kesimpulan Saya, Bang Djun belum berubah. Bukan tidak berubah, tapi belum berubah...Buktinya, lembar teken anak-anak mencabut mosi dua lembar “bersejarah” itu masih ada di Saya.
Ridho dan Is sendiri beberapa kali meminta kedua lembar itu dikembalikan, tapi Saya tahan dengan berbagai alasan. Tapi asalan yang tak pernah Saya sampaikan kepada mereka adalah bahwa kedua lembar itu sudah tak diperlukan Bang Djun lagi karena Dia sudah tidak lagi membutuhkannya. Artinya pula, “anak-anak” hanya sekedar alat baginya untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Kira-kira sama dengan janji tinggallah janji terhadap Kamarudin dan Fakun.
Kita lihat saja. Apakah janji Bang Djun terhadap kepala-kepala biro untuk memberikan genset di setiap biro akan Dia penuhi dalam waktu dekat? Apakah semua kepala biro akan Dia berikan laptop dalam waktu dekat?
***
Peristiwa besar telah terjadi di Harian Equator. Koran kebanggaan kami. Koran di tempat Saya menumpahkan segala apa yang Saya bisa. Baik ide, gagasan, pikiran, hingga kerja-kerja fisik. Sebutlah seperti kelas belajar bersama Georgia Scott yang merupakan Direktur Life Style New York Times awal September 2006. Saya rela mencari pinjaman kursi lipat dari Kampus Pertanian Untan—almamater Saya—melobi Dekan Dr Saeri Sagiman hingga mengangkutnya. Tak hanya mengangkut, tapi juga menyusunnya hingga mandi keringat di lantai tiga Harian Equator.
Jauh sebelumnya soal kerja-kerja fisik yang paling berkesan bagi Saya adalah Pontianak Fair I di tahun 2002. Saya, Azdi, Untung Dwiyani dan kawan-kawan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kota sebagai mitra kerja rela berhujan ria. Sampai-sampai kawan-kawan dari Indofood Sukses Makmur menyatakan, “The first is difficult, next time, easy.” (Langkah pertama memang sulit, tapi langkah selanjutnya akan mudah).
Kegiatan Pontianak Fair terus berkembang ke Pontianak Fair II, Expo BUMN bersama Kementerian BUMN, dan akhirnya diambil alih oleh Pemkot dengan kerjasama dengan Pemprov berbentuk SmesCo dan pada gilirannya menjadi Expo Teknologi Tepat Guna yang dibuka oleh Wapres Jusuf Kalla.
Saya terus terang merasa bangga karena Pontianak Fair telah berkembang dari sebelumnya Pekan Raya Pontianak (PRP) mati suri. Terlebih Pontianak Fair I dibuka dengan terjun payung. Halaman Korem 121 disemuti warga. Massal. Massif. Spektakuler!
Rupanya tidak hanya Saya yang bangga, tapi pencetus dan pelopor PRP, H Abang Imien Taha juga bangga. “Estafeta itu terjaga. Jaga dan kembangkan PRP sesuai dengan zamannya,” kata Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalbar itu seraya menyatakan ide PRP semula adalah pasar malam. Ketika itu Pontianak miskin hiburan. Pernyataan Imien Taha itu Dia kemukakan saat memberikan kata sambutan dalam acara pembukaan Pontianak Fair II di Taman Alun Kapuas tahun 2004. Hadir saat itu Wali Kota, Buchary A Rachman dan Ketua DPRD, H Ali Anafia, SH serta para undangan lainnya.
Satu lagi kegiatan monumental yang amat berkesan bagi Saya di Equator. Yakni Hari Berkabung Daerah yang ditetapkan setiap 28 Juni.
Hari Berkabung Daerah bermula dari diskusi-diskusi kecil di dapur redaksi Harian Equator soal sejarah. Lantas ketertinggalan Kalbar dari berbagai bidang pembangunan menukik ke Tanah Mandor yang pernah bersimbah darah dengan korban 21.037 jiwa sehingga Kalbar putus satu generasi para intelektual, tokoh agama, pendidik, raja-raja dan pemuka masyarakatnya. Yang tidak dipancung Jepang saat 1941-1945 itu hanyalah perempuan dan anak-anak.
Langkah lebih lanjut adalah menggelar seminar nasional di Rektorat Untan tentang Mandor yang butuh perhatian dari situs yang kondisinya memprihatinkan. Rekomendasi seminar nasional inilah yang menjadi rujukan Pemprov Kalbar yang dimotori Asisten II Sekda Kalbar Drs Kamaruzaman, MM untuk ditetapkannya Hari Berkabung Daerah oleh Gubernur Kalbar H Usman Ja’far Cq Pangdam sehingga ada perhatian Pusat maupun Jepang. Dan sejarah itu telah melembaga, bahkan proyek-proyek Jepang di Kalbar pun meningkat, lalu tinggal bagaimana ahli waris dan warga Kalbar secara keseluruhan mengisi etos kejuangan tersebut demi mewujudkan Kalbar yang maju, modern dan madani!
Pada 4-8 September, sebelum Ramadan tiba, Direktur Art Design New York Times, Georgia Scott datang mengajar teknik perwajahan di Equator. Dr Elias Tana Moning, pembimbing Saya dalam kursus investigative reporting dan etika jurnalisme di Institute for Training and Development di Amherst, Massachussetts, AS diundang sebagai penterjemah. 20-an karyawan-karyawati Equator mengikuti kegiatan penting ini. Penting karena kami ingin sekali meningkatkan mutu Harian Equator, terutama dalam teknik perwajahan.
Pelatihan teknik perwajahan ini atas kerjasama dengan Yayasan Pantau, Jakarta. Amat sangat bermanfaat ilmu yang diberikan dalam pelatihan tersebut. Hal ini diakui oleh seluruh peserta. Tak terkecuali Kabag Keuangan, Julia Lauren, Kabag Iklan, Kamaruddin, Kabag Pemasaran, Indra Wahyudi dan tentu saja Kabag Personalia, Paman Jay yang punya basic tata wajah koran. Hanya Bang Djun yang kurang bersemangat dengan pelatihan ini.
Saya berusaha berbuat yang Saya bisa, tapi pada malam sebelum kegiatan dibuka, Saya didamprat Bang Djun habis-habisan. Saya belum pernah didamprat sedemikian rupa olehnya sebelum ini. Motifnya entah apa, Saya tidak tahu.
Yang Saya ingat, Beliau menyatakan tiga bulan lagi Equator akan mati jika mengurusi hal kegiatan seperti pelatihan, tapi pekerjaan pemberitaan tidak diurus. Saya dalam hati komplain, mana berita yang tertinggal? Beliau cuma menyebut tertinggal, tapi berita mana yang tertinggal tak disebutkan. Saya mau adu argumentasi jika ada alasan yang kuat. Karena Bang Djun hanya mengomel tak tentu rudu, ya Saya berusaha sabar saja. Seingat Saya Quran bilang begini: Innallaha ma’ashobirin. Artinya, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.
Kalau saja tidak mengingat ayat tersebut, rasanya piring akan melayang ke langit-langit ruangan dan yang terjadi hanya perang mulut. Tentu saja perang mulut itu tidak membangun kebersamaan. Apalagi besok akan ada kegiatan besar yang melibatkan tamu dari Paman Sam.
Saat dimarah itu Saya sedang makan. Makanan itu dibelikan oleh Bang Djun seperti biasanya seusai kerja dibelikan nasi Melda. Terasa sakit menelan nasi hanya untuk diomeli. Tengkuk saya sampai berkeringat dingin. “Orang tua macam apa, Bang Djun ini?” pikir Saya dalam hati. Karena sudah sangat emosi Saya ke dapur dan menyirami kepala hingga basah dengan air dingin dari dispenser.
Alhamdulillah kegiatan Pelatihan Tata Wajah bersama Georgia Scott dibuka Gubernur yang diwakili Asisten Sekda, Drs Kamaruzzaman, M.Si. Bang Djun sendiri tidak hadir dengan alasan ada staf menteri yang datang dan harus diurus. Entah benar entah tidak hanya Bang Djun dan Tuhan yang tahu.
Memang beragam kegiatan Saya selaku Redpel membayang bak film di dalam benak. Sementara monitor di depan mata Saya tut-tut kursornya terus bergerak. Saya mengedit berita.
Saya meneruskan mengedit kendati suasana terasa panas. Panas itu terasa sampai ke kepala karena harus berpikir cepat. Tapi dalam hati Saya sama sekali tidak panas. Saya sudah terbiasa menghadapi Bang Djun yang emosional.
Ketika Bang Djun berteriak “mewisuda” kawan-kawan, Saya menanggapinya biasa. Ya memang begitulah Bang Djun. Dulu ketika menghadapi Bang Holdi, Bang Tar, Bang Toing, Mas Taufik juga begini. Mereka bahkan pernah dibentak dan disuruh baris seperti prajurit.
Bang Holdi dkk itu bahkan pernah dibentak keras dengan gebrakan telapak sepatu. Bukan di atas lantai tapi sepatu itu dicopot dari kaki dan dipukulkan ke atas meja! Sangat tak sopan dan melukai perasaan. Sementara wartawan apalagi Redpel. Redaktur saja, sejelek-jeleknya redaktur juga adalah “intelektual.”
Saya mengistilahkan wisuda karena Equator kami anggap kampus jurnalistik. Dan istilah kampus jurnalistik juga adalah istilah Saya yang dikutip Bang Djun lantaran kami cukup banyak berhubungan dengan para ilmuan kampus, menggelar diskusi rutin, hingga merekrut aktivis pers kampus. Sebelumnya, Bang Djun tak menerapkan model rekrutmen yang terbuka dengan seleksi yang jelas.
Saya juga pernah menyaksikan betapa Andi Muzzammil dan Fenny Larasati dibentak dan disuruh periksa ke psikiater! Kedua rekan Saya yang lebih senior itu mukanya berlipat empat dicaci-maki. Bagi Saya yang mendengar juga takut dan menggigil!
Fenny punya dagelan yang mengingatkan kami hal-hal lucu sebagai obat pelipur lara dari Bang Djun yang otoriter. “Kawan-kawan cepatlah ke Equator. Ada TA PLT,” katanya. Apa TA PLT itu? “TA PLT adalah pesan yang dikirim Fenny dan masuk lewat pesawat pager. Artinya taik palat,” katanya sambil terkekeh-kekeh.
Sembari mengedit berita, dari lantai tiga Saya sesekali ke posisi pintu keluar melongok ke bawah. Amboi banyak orang di bawah. Ada preman. Ada polisi. Ada pula kawan-kawan Saya seperti Ence Yus, Alex dan Mas Andreas Harsono. Saya juga masih sempat melihat ada Sapariah mantan Redaktur Ekonomi Equator yang sudah lama menetap di Jakarta dan hendak dipersunting Mas Andreas Harsono, Direktur Pantau. Saya juga melihat ada Nurul Hayat yang Kepala LKBN Antara serta suaminya yang kontributor Gatra, Muklis.
Sedih terasa pula. Saya sempat dua kali turun ke bawah. “Mas Andreas, Saya menenruskan tugas ya. Saya ingin buktikan bahwa kerja untuk pembaca tak pernah berhenti.”
“Oya, silahkan,” kata Mas Andreas yang malam itu berkaos hitam dan celana selutut duduk di kursi panjang dari bahan kayu depan Kantor Duta Rendra Mulia.
Alex dan Ence Yus terlihat meneruskan obrolan bersama Andreas. Andreas saat Saya tinggal menelepon dalam Bahasa Inggris dengan kawan-kawannya. Agaknya tentang tirani di Equator. Tentang perlindungan terhadap wartawan.
Mengedit adalah pekerjaan sehari-hari Saya untuk halaman satu. Di malam pemecatan ini jam deadline tetap terjaga. Tapi penataan dan print out hingga mounting telat 30 menit karena adanya insiden di Equator, dan juga banyak halaman yang dikelola Mas Iwan Siswanto.
Anehnya, print out dikirim ke percetakan dengan dikawal! Dikawal preman. Entah apa maksudnya? Mungkin dikira kelompok kami akan melakukan sabotase agar Equator tak terbit.
Bang Djun sendiri memimpin rapat bersama “konco-konco barunya.” Sebagian besar kepala-kepala Biro Daerah. Saya sempat tercenung dengan ungkapannya, “Seperti yang sudah kita atur. Ramdan, tangani halaman Pro Otonomi. Ridho tangani halaman satu!”
Saya tercenung karena benarlah premis minor serta informasi yang masuk ke telinga Saya bahwa ada rapat-rapat di kediaman Bang Djun atau Hotel Merpati. Tentang akan dipecatnya 7 orang, Saya duga juga adalah benar.
Ridho sendiri keblingsatan ketika halamannya, Kabupaten Sambas ditukar dengan Halaman Nasional. Itu dilakukan bukan karena akan sabotase, melainkan Dia telat menyelesaikan akibat larut rapat di Hotel Merpati.
Saya memang tidak dipecat secara langsung oleh Bang Djun, tapi Saya sadar diri. Saya sadar telah terjadi ressuffle kabinet redaksi. Saya sadar, Saya adalah salah satu penggagas mosi bersama kawan-kawan. Saya harus bertanggung jawab kendati tujuan mosi seperti sudah banyak kami bahas secara terbuka. Yakni untuk perbaikan manajemen di Equator.
Sesungguhnya jika merunut UU Ketenaga Kerjaan, tak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk protes perbaikan kinerja di perusahaan. Tapi Saya sadar diri. Tak akan ada perkembangan yang berarti jika perusahaan dipimpin oleh seorang yang pikirannya cupit dan sempit! Istilah Saya, buat apa bermakmum dengan imam yang batal. Makmum mengingatkan, eh justru makmum yang dipecat.
Lalu Saya juga sempat merasa geli di dalam batin ini. Kenapa? Karena Bang Djun sempat memimpin rapat “bisik-bisik” di ruang iklan. Ruang tempat Saya dan Is berdebat untuk mendapatkan konsideran pencabutan mosi.
Saya masuk ke ruangan ini lantaran mencari Ridho untuk koordinasi ada berita nasional HIV-AIDS di halaman Pro Otonomi. Selama ini Pro Otonomi tak berbaur dengan berita nasional.
Saya cari Ridho dan heran kenapa kok tidak ada di ruang kerjanya di ruang Indra Pemasaran. Setelah pintu ruang iklan Saya buka, ya ampun, anak-anak pada duduk di atas lantai, di atas kardus dan sebagian berdiri mendengarkan Bang Djun memimpin rapat. Saya melihat semuanya ada di dalam dan senyap. Ada Elfrida, Uray Kamaruzaman dan juga Mutadi.
“Kok tidak rapat di meja redaksi yang luas?” pikir Saya.
Tapi begitulah Bang Djun. Pemimpin Redaksi, Pemimpin Perusahaan, Pemimpin Umum dan Dirut PT Kapuas Media Utama Press.
Setelah Saya pergoki begitu, suasana rapat bisik-bisik tak lama kemudian bubar. Bang Djun kemudian memimpin rapat di meja redaksi. Saya mendengar proses rapat itu dengan tenang-tenang saja. Saya duduk di dekat Mas Iwan karena proses editing sudah selesai.
Saya dengar yang ditunjuk untuk mengelola halaman 1 adalah Ridho. Tapi penunjukan itu disela Leo dengan pernyataan, “Selama ini jika Bang Nuris keluar kota maka yang menggantikan adalah Bang Mut. Bukan menafikan kemampuan Bang Ridho, tapi Bang Mut sudah biasa mengelola halaman 1. Ingat bahwa ke depan kondisi kita masih akan terseok-seok,” kata Leo.
Bang Djun menyetujui dengan perkataan. “Oke. Oke. Mut dan Ridho tangani halaman satu bersama-sama.”
Saya sadar di sini sudah jelas posisi Redpel diganti. Ya sudah. Ndak mengapa. Tapi untuk posisi redaktur Minggu pun posisi Saya digusur. Biasanya Saya mengelola halaman bergengsi Deteksi.
“Nuris jangan dilibatkan dulu!” kata Bang Djun saat anak-anak masih mengusulkan Saya menjadi Redaktur Deteksi.
Nah, demi mendengar Saya digusur pula sebagai Redaktur Deteksi sudah semakin jelas bahwa Saya sudah tak dikehendaki lagi oleh Bang Djun berada di Equator.
Saat rapat berlangsung Bang Djun sebagaimana biasanya mentraktir makan. “Mau bubur atau Melda?” katanya. Lalu semua dihitung antara yang mau bubur dan nasi Melda. Saya pun ditawari. Saya pesan Melda. Tapi karena datangnya telat Saya tinggalkan. Saya beranjak pamit dari Mas Iwan dan pulang.
Rapat yang dipimpin Bang Djun dengan menyusun kabinet baru itu berlangsung semarak. Tunjuk menunjuk redaktur amat meriah.
Salam kebagian Kalbar Raya. Patroli dipercayakan kepada Ridho. Pro Otonomi Ramdan. Interaktif dan Foto tetap Uray Kamaruzaman. Selanjutnya Elfrida, Redaktur Ekonomi, Melawi-Sintang—Ova, Sanggau-Kapuas Hulu—Anton. Singkawang-Sambas, Yuni Kurniyanto. Mempawah-Kota Pontianak, Stefanus Akim.
Stefanus Akim tidak berada di meja redaksi saat pembagian “kue perjuangan” itu. Kata Bang Djun, “Lihat dulu Akim besok masuk atau tidak. Jika masuk, Dia tangani tugas Mempawah dan Kota Pontianak, tapi jika tidak masuk ditangani Yuni!”
“Baik Bos!!” jawab floor. Wuih, seru kedengarannya.
Di lantai dasar Saya ketemu sama Qadhafi, putra Bang Djun. Dia datang membawa bubur pesanan anak-anak. “Fi,” kata Saya. “Abang tak tunggu makan keh?” kata Davy seraya merapikan standar motor roda dua yang dipakainya. Biasanya Dafy menggunakan mobil Suzuki Escudo warna hijau tua bernomor plat 962 yang senada dengan mobil dinas di PT Inma Sejahtera yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
“Ndak, Saya sudah mau pulang. Semua posisi Saya digusur ‘ayahanda’. Ya sudah, sampaikan saja permohonan maaf Saya kepada Beliau, walau sesungguhnya tujuan Saya adalah baik.”
Saya jelaskan sedikit kepada Qadhafy, bahwa memang mungkin rekomendasi mosi agak kasar sehingga Beliau marah, namun masih ada diktum yang menyebutkan “kami akan menempuh jalan lain jika dianggap perlu. Sayang, Beliau tak merenungkan kalimat terakhir itu.”
Tapi sudahlah, nasi sudah jadi bubur. Makan sajalah bubur itu.
***
Bang Djun—meminjam istilah Ramdan sudah patah hati kepada Saya—karena pertengkaran sengit di malam tanggal 18 Oktober, hari di mana Bang Djun tahu ada gerakan mosi akibat ditelepon oleh CEO Jawa Pos Bapak Haji Zainal Muttaqin.
“Kun, Kun...Nur, Nur...,” panggilnya dengan pelan sambil melangkah naik dari tangga menuju ruang kerjanya pada malam 18 Oktober itu. Suatu panggilan yang menurut hemat pikir kami upaya Bang Djun mematahkan gerakan mosi.
Panggilan pelan dan mesra itu tak kami pedulikan. Kebetulan posisi duduk Saya di sebelah Kabag Pracetak, Ukan—akrab disapa Bang Fakun.
Prediksi kami untuk Bang Djun setelah mengetahui ada mosi yang dikirim ke Jawa Pos tanggal 5 Oktober memang bermacam-macam. Prediksi ini terus berkembang dari rapat ke rapat yang kami helat.
Dek menyarankan melakukan gerakan tutup mulut saja kalau Bang Djun tahu dan marah-marah. Kebetulan sekarang musim pejabat bagi-bagi masker setelah Kalbar dapat asap kiriman—ada juga kebakaran lahan di Kalbar tapi kecil dibandingkan dengan Kalteng—dan dengan menggunakan masker, Bang Djun akan dapat jawaban jelas bahwa ini phsywar. Perang psikologis.
Alex mengatakan posisi Bang Djun sudah dimosi tidak percaya sehingga jabatannya status quo. Dalam posisi status quo itu orientasi kerja hanya untuk penerbitan kepada pembaca. “Kita menghormati hak-hak pembaca sehingga nanti pihak Jawa Pos datang ke Equator menengahi masalah yang terjadi,” katanya.
Ence Yus lain lagi. Dia menyarankan semua datang pada pukul 21.00 WIB. “Bang Djun mungkin datang awal karena sudah tahu ada mosi. Tapi kalau saat naik kantor suasana sepi, Ia pasti down,” katanya. Lagi-lagi pshywar.
Mutadi juga urun rembug. “Ndak usah prediksi-prediksilah. Biase-biase jak...” Saya kemudian sependapat dengan usul Mutadi ini. Saya katakan, hasil penelitian menyebutkan rasa takut itu 95 persen sama sekali tak beralasan. Hanya 5 persen yang dapat dibenarkan, itu pun hanya 2 persen yang dapat diterima akal sehat. “So? Kita masuk seperti biasanya saja.”
Rapat di Taman Alun Kapuas soal prediksi sikap Bang Djun berujung dengan buka puasa bersama di kantor. Tak ada kesan takut. Semua berjalan normal.
***
Equator punya ideologi sebagai koran reformasi pertama di Kalbar, tapi masalah terbesar “koran merah” ini sudah tidak reformis lagi akibat intervensi Bang Djun berikut anak-anaknya, komunikasi yang mati lantaran Bang Djun temperamental serta kurang mau mendengar aspirasi bawahannya, serta manajemen yang tak ditangani dengan profesional. Lihat saja urusan surat menyurat ditangani Kabag Pemasaran, Indra Wahyudi yang menjadi anak emasnya. Posisi Kabag Personalia yang dijabat Paman benar-benar dilangkahi.
Bagi kami, prilaku Bang Djun seperti ini sama dengan memecah belah organisasi di dalam sendiri. Bahkan Saya pernah diminta Bang Djun membuat surat skorsing kepada Hendrik seorang sopir bawahan Indra yang terlambat datang membawa koran satu dan koran dua yang semestinya sudah naik cetak. Koran satu adalah sesi koran halaman 1-8 sedangkan koran dua adalah halaman 9-20.
Kalau Saya tangani surat itu, lantas apa fungsi Indra Wahyudi sebagai Kabag Pemasaran? Bukankah Dia yang wajib menegur anak buahnya?
Kalau Saya tangani surat itu, apa secara manajemen baik? Selain Indra bisa tersinggung karena dilangkahi, apakah ini sehat buat manajemen Harian Equator? Yang Saya tahu, ini tidak profesional dan Saya tidak mau membuat surat skorsing itu.
Analisa Saya, Bang Djun takut menegur Indra karena sedang menjadi anak emasnya. Bang Djun selalu menggunakan tangan orang lain kalau ada peringatan yang harus ditujukan kepada orang-orang terdekatnya—kalau tak mau kasar dibilang orang-orang penjilatnya. Bang Djun selalu cari selamat buat diri sendiri. Tak ada rumus setia kawan.
Saya sebetulnya juga anak emas Bang Djun—semoga bukan tergolong penjilat—atau narsis. Melalui mulut Indra, hal itu diakuinya. Julia pun mengakui demikian.
Indra sering mengatakan bahwa Bang Djun menyalahkan pemasaran yang tak bisa menjual koran sementara redaksi sudah bekerja pontang-panting menyuguhkan berita hangat.
Perkataan bahwa redaksi pontang-panting adalah mengutip perkataan Bang Djun kepada Indra yang bernada membela redaksi. Pada sisi lain redaksi disayur dalam rapat-rapat formal atau sambil lalu. “Apa isi redaksi sehingga pemasaran tak bisa menjual?!” sergah Bang Djun seringkali.
Julia jika ada kesempatan bicara dengan Saya juga mengakui kerap dimarah Bang Djun. “Bang Is tuh anak emas Bang Djun. Tapi kalau Bang Is saja dipecat apalagi kami-kami,” ungkapnya setelah peristiwa pemecatan terjadi.
Bagi Saya, prilaku Bang Djun seperti itu sudah lumrah. Sayur sana-sayur sini dan marah sana-marah sini sudah biasa. Kita harus sabar menghadapinya. Bahkan Saya katakan kepada kawan-kawan sekerja di Equator, kesabaran kita harus luas walau kawan-kawan seringkali tak sabar dan selalu berkata puitis, “Kesabaran selalu ada batasnya.”
Saya juga berusaha terus sabar. Tapi telepon Bang Djun di sore hari sekitar pukul 15.00 WIB saat kami pulang dari meninjau letupan gas metan di Wajok, Kabupaten Pontianak Saya rasakan lain. Bang Djun Saya pikir sudah keterlaluan.
Saat itu di mobil Volvo selain Saya, juga ada Ir H Zulfadhli (Ketua DPRD Kalbar), Dr Elias Tana Moning (Direktur Outreach International), Asriyadi Alexander (Redaktur) dan seorang sopir dinas Ketua Dewan. Saya hanya bisa bilang ya, ya, ya terhadap Bang Djun.
“Kau sudah kubilang, jangan sekali-kali memuat Akil! Ini mutlak! Ini komando!” katanya via telepon.
Saya merasa tak perlu melayani Bang Djun karena nanti kedengaran sama Bang Zul dan Pak Elias. Apalagi posisi duduk Saya di samping Bang Zul. Pak Elias duduknya di depan karena posisi tubuh Beliau bongsor.
“Sebagai Redpel Kau jangan lemah! Kau dimakan budak-budak tuh!” katanya. “Selain Akil, apa itu....AR Muzammil juga jangan lagi dimuat. Tesalsol sekalipun!” sergahnya dengan nada emosi.
Saya masih ingat apa isi tulisan tentang Akil yang dimuat di halaman satu. Tulisan by line Ence Yus yang mengupas para calon gubernur menuju KB-1. Seingat Saya tidak ada alasan menyebut berita itu tidak berimbang.
Sore hari usai menerima telepon Bang Djun itu kepala Saya pusing. Saya berpikir sudah tak ada lagi kemerdekaan dalam membuat berita atau bekerja. Saya sudah habis kesabaran untuk tidak bekerja secara jujur, jelas dan jernih. Maka Saya kirim SMS kepada Bang Djun untuk tidak masuk malam harinya. SMS itu tak dibalas. Saya pun menelepon ke kantor minta izin tidak masuk.
Rupanya tidak masuknya Saya dibahas kawan-kawan. Alex mengatakan akan pulang awal saja. Bang Fakun mengatakan tergantung Pak Mutadi. “Jika diputuskan terus, maka kerjaan terus, jika stop, maka besok Equator tidak akan terbit.”
Mutadi memutuskan tetap bekerja seperti biasa, tapi besok akan rapat membahas masalah ini. Dan keputusan untuk rapat itulah yang berujung pada lahirnya mosi tidak percaya yang ketiga kepada Bang Djun.
***
Organisasi Equator di usianya yang kedelapan tahun bukan lagi kecil dan sederhana seperti dulu. Bironya saja sudah berkembang di seluruh Kalbar, kecuali Bengkayang dan Sekadau yang belum terbentuk kendati sudah ada dalam planning. Saya tentu kerepotan menangani banyak masalah sehingga semua elan vital organisasi di Equator harus semuanya sudah berfungsi maksimal secara organisatoris.
Persoalan aspirasi daerah yang tak mudah terejawantah juga karena Personalia tak berjalan di Equator akibat “disengkang” Bang Djun. Terjadi like and dislike. Bang Djun sedang disharmoni dengan Bang Jay pasca penggantian posisi Pracetak Halaman 1 ke Bang Fakun. Menata halaman 1 dinilai paling bergengsi di jajaran layouter.
Saya sering mengistilahkan kondisi ini dengan orang yang sakit gigi. Hanya akibat sakit gigi satu, satu kesatuan tubuh semua merasa sakit. Panas dalam menyerang diikuti meriang, pusing dan pada akhirnya hilang keseimbangan. Kalau sudah hilang keseimbangan, kita bisa roboh dan jatuh.
Sakit gigi di Equator terasa sampai ke lantai dua. Kabag Iklan, Bang Kamaruddin yang akrab disapa Datok mengeluhkan pendapatan iklan turun drastis. Turun karena tiras jeblok. Angka tiras rata-rata hanya 3.800 eksemplar per hari. Tak ada beda berita bagus dengan datar-datar saja.
Kabag Pemasaran, Indra mengeluhkan bahwa yang menyebabkan pemasaran sulit berkembang bukan berita, tapi adalah Bos Djun sendiri. Demikian karena—menurut pengakuan Indra—banyak program-program pengembangan yang diajukannya tak disetujui Bos. Entah benar-entah tidak yang jelas soal ini tak pernah ada rapat yang membahasnya hingga tuntas.
Kami di redaksi saban Senin pagi rapat Dewan Redaksi. Salah satu hasil rapat yang fundamental adalah menyiapkan bahan survey pasar. Sesuatu yang semestinya digarap anak-anak pemasaran.
“Tapi sudahlah, kita harus berbuat sesuatu. Kalau kita tahu dan mampu tapi tak mau, ini lebih menyakitkan,” kata Saya dalam rapat memotivasi anggota Dewan Redaksi.
Naskah survey klop dalam waktu cepat ditangani Ence Yus. Sayang, manajemen tak jalan.
Naskah survey dalam bentuk kuisioner sudah sampai ke tangan Paman. Paman tak bisa mendelegasikan kepada Bang Fakun karena ada disharmoni pula.
Saya tanya, “Kok lambat Paman?”
“Sudah Saya berikan kepada Fakun,” kata Paman beralasan.
Saya tanya kepada Bang Fakun. Ia menolak pernyataan bahwa Paman pernah memberikan hard copy kepadanya. “Tak ada Paman memberikan datanya kepada Saya.”
Konsepsi dalam rapat bahwa naskah survey dalam bentuk kuisioner dimuat setengah atau seperempat halaman. Terbitnya selama seminggu dengan hadiah 50 kaos ekslusif. Indra Pemasaran menyiapkan kaos-kaos itu. Kabag Iklan amat sangat setuju untuk joint ventura dalam pembiayaannya. Keuangan pun yes. Semua Kabag merasa beres dengan ruh penuh semangat equatoris, tapi survey tak kunjung jalan hingga akhirnya Pontianak Post menurunkan survey satu halaman.
Kelemahan Equator ini menurut Saya ada pada kepalanya. Persis kata pepatah: Di mana kepala, ekor pasti ikut. Jika ekor saja yang bergerak tanpa kepala, ya nggak bisa.
Analogi Saya yang lain, kekuatan vitalitas anak-anak Equator seperti tim tarik tambang. Karena tak ada tukang komando yang memberikan aba-aba siap, dan hitungan satu...satu, dua...dua, tiga...tiga. Maka tak kompak sehingga mudah disentakkan tim lawan. Sebaliknya jika ada tukang komando, maka kekuatan akan terkonsulidasi sehingga kekuatan lawan bisa ditekuk.
Bahan survey Pontianak Post itu sengaja Saya baca keras-keras. Bang Djun mendengar. Tapi tak ada reaksi Beliau terhadap rencana Equator membuat survey pasar. Aneh pula jika Beliau tidak tahu rencana itu. Apa tak ada koordinasi? Apa harus selalu menunggu laporan? Tak adakah seorang Kabag pun yang lapor? Atau Bang Djun membiarkan semua bagian untuk bekerja semau dirinya tanpa kontrol?
Saya sebagai salah satu orang yang dekat dengan Bang Djun di tengah atmosfir kerja yang sudah tak sehat seperti ini tetap bekerja penuh semangat. Saya berupaya mengakomodir semua aspirasi yang berkembang. Baik aspirasi bagian iklan, personalia, keuangan dan pemasaran. Saya tahu ini di luar batas kerja Redpel, tapi Saya tak mau berhitung dengan waktu, tenaga dan biaya. Spirit Saya yang penting Equator maju. Lebih-lebih sekarang Bos Djun sedang membangun gedung baru yang jadi kebanggaan semua karyawan. “Organisasi kita mesti berjalan profesional sehingga kita sudah siap mengisi gedung baru itu dengan ces pleng. Ibarat mesin, bahan input masuk bagus, proses bagus, maka output atau keluarannya juga akan bagus,” begitu Saya selalu mempromosikan.
Tapi Nuris juga manusia. Tudingan demi tudingan kepada Saya seperti plin-plan, cuma pandai omong juga terasa getir. Apalagi Saya juga dalam penilaian orang-orang kantor adalah anak emas Bang Djun. Saya mendapat gaji jauh lebih tinggi dari kabag-kabag yang lain. Kalau kabag rata-rata gajinya Rp 3 juta, Saya Rp 3.400.000.
Saya tahu Bang Djun percaya kepada Saya. Saya berusaha kerja keras sebaik-baiknya. Tapi sayang tak jelas apa yang harus Saya lakukan. Saya tak pernah dapat SK yang barangkali di sana ada menyebutkan parameter kerjanya. Oleh karena itu Saya hanya bisa meraba-raba atau menebak-nebak mana yang boleh dan tak boleh Saya lakukan.
Bang Djun mengatakan Dia sebagai Dirut dan Pimred di Equator pun sama tak ada SK dari Pak Dahlan Iskan. Ya sudah Saya jalani saja. Terpenting berbakti kepada pembaca yang notabene rakyat Kalbar.
Saya bisa memahami Bang Djun, cuma hal itu berbeda dengan anak-anak baru yang kini jadi redaktur, biro, maupun wartawan. Mereka yang sudah bekerja di kantor seperti buruh di industri pers selalu menanyakan hal-hal formal itu. Saya hanya bisa mendengar dan mendelegasikan kepada personalia.
Apakah memberikan SK kepada biro juga Saya? Kalau Saya, seperti kata Paman, “Untuk wartawan cukup Nuris saja yang teken, oke saya teken.”
Apakah membeli mesin genset yang dibutuhkan sejak biro hingga kantor pusat juga adalah kewenangan Saya? Bukankah itu semua masih di tangan Bang Djun? Bukankah kalau rapat semua ikut serta, ada bagian keuangan, personalia dan pemasaran? Bukankah mereka tahu kapan harus beli genset sesuai alur keuangan dan inventarisasi? Itu baru satu contoh kecil. Saya hanya satu sekrup di Equator yang tak mungkin bisa menyelesaikan segala-galanya.
Mutadi menyarankan, jika Bang Djun naik ke Equator marah-marah dan mengusir setelah tahu ada mosi yang dilayangkan ke Jawa Pos, ya kita keluar saja. Persoalan Equator akan terbit atau tidak sudah menjadi tanggung jawab Dia.
“Tak usah prediksi-prediksilah. Kita hadapi saja apa yang bakal terjadi. Semua sudah tahu resiko-resikonya, termasuk sopir sekalipun. Kalau Dia teken, Dia pasti tahu resikonya,” pungkasnya di hari menjelang magrib di bulan puasa itu.
Kami rapat di kantin milik paman Leo Prima, Kantin Taman Alun Kapuas.
Matahari ketika itu sudah akan terbenam. Mega-mega mewarnai langit Bumi Khatulistiwa. Persis menggambarkan situasi Equator, apakah bakal terbenam dan hanya tinggal mega-mega merah yang mewarnai cakrawala dan selanjutnya juga sirna ditelan malam?
***
Pertengkaran ini sengit. Tak pernah Saya bertengkar sehebat ini kepada siapa pun, apalagi Bang Djun, sosok yang sudah Saya anggap orang tua sendiri.
Setelah Bang Djun memanggil dengan panggilan yang mesra, “Kun...Kun, Nur...Nur,” tak kami pedulikan, Dia seperti tak punya teman siapapun di Equator malam itu. Semua bekerja seperti biasa tanpa menghiraukannya.
Sesekali Bang Djun datang lagi ke dekat Saya dan Bang Fakun di ruang tengah. “Apalah kalian melapor kepada Jawa Pos. Kecuali nih Aku korupsi,” katanya dari belakang kami. Kami berdua tak menjawab pertanyaannya itu dan terus bekerja. Suasana kerja begitu hening. Barangkali di dalam batin masing-masing berkecamuk pertanyaan, entah apa yang akan terjadi.
Pak Mutadi, kader Saya selaku Redpel juga tak banyak bunyi. Sebelumnya Dia sesumbar ingin kondisi ini terjadi sehingga dapat berdialog dengan Bang Djun. Sayangnya sesumbar itu tong kosong nyaring bunyinya.
Sayangnya pula, Bang Djun tak mampir ke posisi Mutadi duduk, apalagi mengajaknya berdialog, kendati satu pohon Aglonema lengkap dengan potnya telah diberikan Bang Djun kepadanya.
Mutadi sempat datang berlebaran ke Alex Griya 1. Rumah Bang Djun.
Kata Bang Djun lagi di belakang Saya dan Bang Fakun, “Pak Dahlan tak ngerti dengan surat yang kalian kirim ke Jawa Pos,” ujarnya. Kalimat Bang Djun terus disambar Bang Fakun dengan satu kali smash sehingga Bang Djun menjauh dengan muka tertunduk-tunduk, apalagi Alex yang meja kerjanya di dekat Bang Fakun juga menyalakan MP3 dengan keras. Rentak musiknya gedembang-gedembung memekakkan telinga. “Masaklah Pak Dahlan sebodoh itu,” ungkap Bang Fakun dengan kaki bergetar dalam posisi bersila.
Bang Djun mendengar jawaban Bang Fakun seperti itu tak berani lagi datang mengganggu. Bang Djun “penakut” kalau berhadapan dengan Bang Fakun.
Saya pernah dibentak keras oleh Bang Djun saat rapat tentang redaksi, namun berkembang ke pemasaran, iklan, administrasi hingga saham Bang Djun di Equator. Julia, Kabag Keuangan dalam rapat saat itu menguraikan Bang Djun hanya mempunyai 2,5 persen saham, karyawan 30 dan Jawa Pos 67,5 persen.
“Apa itu membahas-bahas masalah saham! Siapa yang menanyakan masalah itu?” bentak Bang Djun dengan nada ngenyek dan menghina. Rapat tak dihormati Bang Djun sebagai upaya mencari jalan keluar dari rendahnya tiras serta iklan di kwartal terakhir ini.
Telepon seluler Saya beralih ke tangan Bang Fakun. “Aa ngape? Aku yang nanya, mau ape?” Kalimat-kalimat Bang Fakun keras menantang, seolah-olah mengajak Bang Djun bertinju.
Rupanya setelah telepon yang cukup lama—meminjam bahasa Bang Fakun sampai panas kupingnya—kalimat Bang Djun berbalik 180 derajat. “Setelah Aku bilang ada apa dan mau apa, Dia (Djunaini KS, pen) melunak, lalu bicara soal gedung baru,” timpal Fakun.
Demi mendengar penjelasan Bang Fakun seperti itu kami semua tertawa. Nah, begitulah model Bang Djun. Ia bisa cepat turn around. Berbalik 180 derajat jika like and dislike.
Hadir dalam rapat yang istilah Bang Djun “rapat provokator” selain Saya dan Julia serta Bang Fakun, juga Paman, Indra Wahyudi, lengkap dengan para redaktur seperti Mutadi, Uray Kamaruzzaman, Ridho, termasuk Qadhafi dan putranya yang kini aktif sebagai kontraktor, Muhammad Iqbal.
Nah, karena kuping Bang Djun sudah dismash Bang Fakun saat ia berkata bahwa Pak Dahlan tak paham dengan apa yang “kalian” kirim ke Jawa Pos—Saya dibuntuti Bang Djun untuk mengetahui lebih dalam tentang isi dari mosi. Saya duga saat Bang Djun rela membuntuti Saya karena agaknya Bang Djun belum dapat salinan isi mosi selain kabar per telepon dari H Zainal Muttaqin, CEO Jawa Pos.
Belakangan Saya baru tahu kalau saat ditelepon oleh Pak Zainal Muttaqin Bang Djun seperti kebakaran jenggot—walau sebenarnya Bang Djun tak punya jenggot. Kumis ada, tapi itu pun tipis.
“Davy! Davy!!” teriaknya di siang menjelang sore di tanggal 18 Oktober. Masih tengah orang-orang berpuasa.
Menilik dari ajaran puasa, orang tak boleh marah. Bang Djun marah. Entah Dia sedang berpuasa atau tidak.
Qadhafi putra kedua Bang Djun masih tidur pulas. Kata Naen—office boy Equator yang sedang diminta berbersih ria di kediaman Bang Djun—Bang Djun marah besar. “Lutot Saye sampai begegar Bang!” kata Naen bercerita kepada Saya. “Syukor Saye tadak Abang minta’ek tande tangan,” kisahnya dalam aksen Melayu Pontianak. “Kalok Saye ade teken, mungken jatok Saye Bang,” ceritanya.
Qadhafy tetap pulas tertidur.
Masih menurut Naen, Bang Djun marah sejadi-jadinya. Barangkali inilah marah terbesar Bang Djun yang pernah Dia saksikan.
“Akhirnya Davy bangun juga. Bang Djun bilang, kalau cari makan tuh sedang-sedang jak lah Fi.”
Menilai kesaksian Naen, bahwa Bang Djun memarahi Davy juga lantaran kisah Davy masuk dalam kronologis yang kami tuliskan di lembar mosi. Di sana disebutkan bahwa Davy mengelola Divisi Even.
Divisi Even kerap rugi. Kerugian mentalitas lebih dalam lagi lantaran “anak-anak” bos mengintervensi bagian iklan dan pemasaran.
“Jadi, apa yang kalian kirim ke Jawa Pos,” tanya Bang Djun kepada Saya. Bang Djun berada di mulut pintu ruang kerja Saya. Tangannya memegang kedua bibir tiang. Kepala menunduk ke arah Saya. Tarikan napasnya lesu.
Di dalam batin, Saya sesungguhnya tak tega bicara kasar kepada Bang Djun yang sudah Saya anggap orang tua sendiri. Namun karena Saya harus menjaga komitmen serta skenario yang telah disusun bersama kawan-kawan, maka Saya berusaha memainkan peran dengan baik. Saya menjaga komitment dengan setia.
Peran yang Saya mainkan adalah agar dialog terakhir setelah Bang Djun mengetahui tentang adanya mosi adalah “harus” ada penengah. Penengah itu adalah pihak Jawa Pos. Sebab percuma berdialog dengan Bang Djun jika hanya dua arah tanpa penengah. Yang terjadi bisa seperti usai rapat yang dicap “provokator” itu. Atau rapat-rapat sebelumnya yang ngalur-ngidul tanpa terbahas episentrum masalahnya.
“Sebaiknya Abang dapatkan langsung dari Jawa Pos,” ungkap Saya.
“Apa isinya?”
“Kami tak mau bicara dengan Bang Djun tanpa ada pihak Jawa Pos di sini.”
“Ya kalau Saya tak tahu isinya apa, mana bisa...”
“Kita tunggu saja.”
“Jawa Pos tak akan percaya dengan kalian...”
“Terserah, tapi kami sudah kirim mosi lengkap dengan bukti-bukti hukumnya. Persoalan genset, gedung, intervensi dan sebagainya baru sebagian kecil Bang. Kami masih punya bukti-bukti lain.”
“Tunjukkan kepada Saya.”
“Bang Djun punya kuping nggak sih?! Saya katakan bahwa bahan mosi itu terbatas. Satu dikirim kepada Pak Dahlan. Satu buat Pak Zainal. Satu buat Pak Untung. Lainnya tidak! Kami juga tidak memperbanyak, apalagi disampaikan ke luar. Ini kami sadari karena benar-benar masalah internal.”
“Saya pemimpin di sini, jadi berhak tahu!”
“Bang Djun benar pemimpin di sini, tapi sejak mosi diterima Jawa Pos, posisi Abang sudah status quo. Kami bekerja hanya berorientasi kepada pembaca.”
“Oke...oke kalau itu keinginan kalian. Semoga kalian dimenangkan Jawa Pos.”
Bang Djun menjauh dari meja kerja Saya. Saya terus mengedit berita untuk halaman satu.
Sambil melangkah lunglai ke ruang kerjanya Saya masih sempat membuat pernyataan yang menurut Saya berpihak kepada Bang Djun. “Ya, semoga Bang Djun juga dimenangkan oleh Jawa Pos,” kata Saya.
Saat pertengkaran sengit itu berlangsung Safitri Rayuni yang mengetik di dekat Saya kabur menjauh ke ruang server. Kamiriluddin juga demikian. Ia berada di dekat Fitri. Banyak saksi saat itu hingga satu jam kemudian Bang Djun keluar ruangannya untuk kemudian meninggalkan kantor. Beberapa hari kemudian Bang Djun tidak masuk kantor.
***
Pertengkaran di “akuarium” menjadi cerita masyur dalam waktu sekejab. Dengan kemajuan teknologi SMS, orang-orang di media lain sudah pada tahu: AP Post, Kapuas Post, Metro dll. Esoknya semua divisi pingin tahu apa isi pertengkaran Saya dengan Bang Djun.
Saya bercerita apa adanya. “Nuris keras sekali bicarenye,” kata Mbak Vero, pekerja paling senior di Equator mantan pegawai di Pontianak Post. Mbak Vero kemudian terus menjadi saksi sejarah di Equator. Barangkali juga sejarah kepemimpinan Bang Djun yang otoriter.
Isu mosi semakin panas di Kantor Harian Equator.
Istilah ruang kerja Saya seringkali disebut anak-anak sebagai akuarium. Hal itu dilatarbelakangi oleh bahan pembatas dindingnya semua terbuat dari kaca.
Hal lain menyoal akuarium adalah istilah dari Paman yang membuat kami terbahak-bahak.
“Jay, Jay, ikan Lauhan aku beranak agik Jay.” Bang Djun bercerita kepada Zailani Kasno.
Kawan-kawan yang lebih senior seperti Holdi, Toing, Tarsisius dan Taufik menyebut hubungan Djun-Jay ibarat ruh dan jasad. Keduanya tak bisa dipisahkan.
Mau tahu apa jawaban Uncle Jay? Lucu!
“Itu artinye akuarium kau Djun: romantis!”
Romantis? Bisa-bisanya akuarium romantis.
Ada-ada saja cerita Bang Toing.
***
Tiga hari usai dipecat kami berlima: Saya, Dek, Ence, Alex dan Tanto mendatangi Bang Djun di ruang kerjanya. Kami sengaja datang malam hari agar sedikit anak-anak yang tahu.
Dari pembicaraan di sore hari per telepon, Bang Djun bicara lunak kepada Saya. Terkesan jika Saya minta maaf maka akan Dia maafkan. Jika Saya hendak kembali ke Equator, Saya yakin Beliau membuka pintu yang selebar-lebarnya. (Hal ini dengan catatan jika Saya tidak tergolong narsis. Tapi itu rentak kata dalam ruhani Saya. Di Bang Djun sendiri entahlah. Selain Dia, hanya Tuhan yang tahu.)
Kendati di Lantai Tiga Harian Equator sudah sepi, tapi masih ada Rosadi Jamani bekerja di depan ruang kerja Saya. Masih ada Uray Kamaruzzaman. Masih ada sejumlah kepala biro yang sejak saat kami dipecat sudah serta merta diangkat menjadi redaktur. Masih sempat kami dengar kasak-kusuk dari mereka yang terutama asal biro. “Bagaimana jika mereka dimaafkan Bos lalu kembali kerja di Equator?”
“Setuju!”
“Tidak setuju!” jawab sebagian yang lain.
Dialog itu terdengar cukup nyaring dan sering.
Demi mendengar perdebatan sengit mereka yang notabene adik-adik kami juga, maka kami sepakat akan keluar dari Harian Equator. Demikian ini dengan pertimbangan Harian Equator segera mendapat titik equilibrium baru. Titik keseimbangan baru.
Kalau kami masuk, di mana posisi kami akan ditempatkan Bang Djun? Jika kembali ke redaksi, alamat akan habis anak-anak biro yang semakin “nakal”. Mereka terindikasi main proyek di daerah-daerah.
Anak-anak biro yang “nakal” kerapkali juga malas. Kami mendapati ada biro yang membuka emailnya bagi tokoh-tokoh LSM, lantas LSM mengirim berita opini ke redaksi. Si Kepala Biro ongkang-ongkang kaki. Sementara kualitas beritanya rendah, wong tanpa sumber berita!
Yah, sudahlah. Biarlah urusan seperti itu kelak jajaran redaksi generasi selanjutnya yang mengontrol. Kami yakin, kami masih bisa cari makan dengan kerja keras, serta tidak dalam kondisi Equator gelap tanpa manajerial yang bagus.
Kami juga sadar bahwa untuk menyadarkan Bang Djun dari model kepemimpinannya yang tak profesional memang harus keras dan pedas. Untuk itulah kadang bahasa kasar diperlukan.
Beranjak dari kesimpulan ini maka Saya berani bertengkar dengan Bang Djun, sampai mengatakan, “Kuping Bang Djun bisa dengar nggak sih?” Ini kalimat super kasar yang pernah keluar dari mulut Saya kepada sosok yang Saya hormati seperti Bang Djun.
Kelak setiap minggu Bang Djun mengisi kolom Kontak Minggu—sejurus waktu kemudian menjadi Kalam Redaksi—menyebut malin kundang, tidak taat hirarki, tidak setia pada profesi, pohon-pohon yang bertumbangan—tak lebih tak bukan ditujukan kepada Saya dan atau teman-teman lain yang dipecat.
Sesungguhnya kami rela berkorban demi Equator agar tumbuh. Agar going concern. Itu ilmu yang kami dapatkan dari belajar manajemen di JPNN. Salah satunya yang Saya berkesan adalah saat mengikuti Finon di Jatim Park. Di sinilah Saya buat pertama kali tahu istilah going concern.
Bagi Saya, tak apa dipecat. Bagi Saya, tak apa adik-adik menolak kami kalau-kalau Bang Djun mau menerima. Tapi yang jelas Zainuddin yang kerap disapa Udin Labu atau UL juga ditelikung sehingga keluar dari Harian Equator.
Bang UL pernah menjabat sebagai tenaga pra cetak lalu naik jadi Kabag Pemasaran. Kinerjanya bagus. Ia sempat dipuji Bang Djun sebagai orang yang paling jujur. “Malam-malam duit segepok dibawakan ke rumah Saya. Alasannya takut hilang. Itu bagus,” puji Bang Djun.
Di masa UL tiras Equator pernah mencapai 17.500. Kami bekerjasama dalam berita Pilkada Kota dan Kabupaten. Ada polling yang meng-up grade tiras tersebut.
Tapi ketika tersandung utang akibat even yang dibuat Davy dan Iqbal bersama Anton di Kapuas Hulu Bang Djun dihadapkan pada pilihan berat. Membela anak kandung atau anak emas di kantor? Pilihan ditendang ternyata anak emas yang di kantor.
Pengalaman serupa persis kami rasakan. Sejarah memang pengulangan.
UL kemudian ternyata eksis di luar. Terbukti Dia bisa cari makan dengan menggarap gawe sesuai minat dan bakatnya. Kami meniru survival itu.
Dalam Diklat ESQ ada penjelasan bahwa kita kerapkali terbatas oleh kebiasaan-kebiasaan belaka. Kalau kita coba lepas dari box atau kotak kebiasaan itu sebenarnya kita bisa mendapat hasil jauh lebih baik.
Dalam pelajaran NAC System diajarkan hal yang sama. Ibarat anak gajah yang sejak kecil diikat salah satu kakinya dengan tali rafia, ia tidak bisa berjalan jauh. Si anak gajah tak sadar bahwa potensinya besar. Jika ia kibaskan sekuat tenaga maka tali akan putus, selanjutnya si gajah akan bisa berjalan jauh, ke mana pun dia mau.
Prihal prinsip tersebut, Dr Elias Tana Moning, Direktur Outreach International mengingatkan pernyataan Tom Rosientiel, “Aku tidak peduli kamu meniduri gajah sekalipun, asal tidak meliput sirkusnya.” Artinya, kamu boleh berdekatan dengan siapa saja, termasuk para petinggi-petinggi politik, asal tidak terima bayaran demi memberitakannya bagus-bagus. Artinya pula idealisme terbayar dengan uang.
***
Duduk di samping kanan Saya saat menghadap Bang Djun di malam tanggal 30 Oktober—tiga hari pasca wisuda—Tanto Yakobus. Di sebelahnya lagi Ence Yus.
Di sebelah kiri yang paling dekat dengan Saya Asriyadi Alexander. Di sebelah ujung di dekat dinding, Hairul—Dedek—Mikrad. Dek saat kami bincang-bincang dengan Bang Djun kerap kali ke dapur mengambil air minum. Haus sekali Dek rupanya berhadapan dengan Bos Djun.
Saya yang berada di posisi tengah-tengah membuka cerita dengan Bang Djun berbasa-basi dengan bertanya, “Maaf Bang Djun, kami mau berjumpa, tapi datang sekarang ini mengganggu kerja atau tidak? Soalnya Bang Djun sedang mengetik,” kata Saya.
“Ah ndak apa-apa. Kerjaan sudah ditangani anak-anak,” jawabnya.
Api rokok Bang Djun masih menyala. Dia memang perokok cukup berat. Marlboro putih.
“Kontak Minggu yang Abang tulis sangat bagus Bang. Benar-benar mencerminkan tulisan yang makrifat,” kata Saya.
“Ah ndaak,” katanya.
“...pohon-pohon bertumbangan. Asap kiriman...” kata Saya. “Itu semua tamsil yang bagus! Tapi Saya yakin, kami tetap cinta dengan profesi,” kata Saya.
Kawan-kawan pun menyela. Ence Yus misalnya, Dia bertanya tentang kenapa Dia dipecat. Begitupula Tanto, Dek dan Alex.
Aneh bin ajaib, Bang Djun tak ada menyalahkan kami. Terhadap Saya, Bang Djun memang kesal. Dia katakan, “Semua sudah Saya delegasikan kepada Nur. Tapi kesalahan Saya, Saya tidak memberi tahu apa yang harus Nur lakukan,” ungkapnya.
Saya sependapat dengan pernyataan Bang Djun itu. Saya tahu Dia percaya dengan Saya, tapi tak ada parameter apa-apa yang harus Saya lakukan. Seperti soal genset kantor apakah Saya yang harus ambil keputusan? Saya rasa tidak!
Soal biaya-biaya Saya kira sudah di-87-kan—meminjam istilah kepolisian diteruskan—ke Bagian Keuangan. Soal administrasi ke Bagian Personalia dengan memberdayakan Lina selaku Sekretaris Redaksi. Begitupula yang kait mengait dengan Bagian Iklan serta Pemasaran. Saya rasakan tak ada garis koordinasi Saya yang terputus.
Kepada Bang Djun, baik formal maupun sambil makan, semua Saya laporkan. Termasuk rapat provokasi yang mana Julia dinilai sebagai “provokator.” Semua Saya buka secara transparan. Termasuk rapat di ruang Bang Djun. Alhasil semua sudah Saya lakukan. Dan di malam penentuan bertemu dengan Bang Djun Saya mendapatkan pengakuan secara gentlement bahwa “Saya tidak memberikan petunjuk Nuris harus melakukan apa dan apa”. Sekali lagi Saya akui, inilah masalah terberat yang Saya rasakan dari Bang Djun, dan semoga dengan Redpel yang baru Beliau bisa mengubahnya demi kemajuan Equator.
Malam itu kami berpisah dengan Bang Djun. Bang Djun diliputi isak tangis. “Hati siapa yang tidak sakit?” ujar Bang Djun seraya tangannya menyentuh dada. “Seperti lima anak keluar sekaligus,” timpalnya dengan telunjuk lentik menunjuk dadanya yang dibungkus baju kemeja putih bermotif kotak-kotak tipis.
Tangis Bang Djun dipicu pernyataan Alex bahwa ketika Dia naik ke Equator bersama Lindu, putrinya, Lindu dicium pipinya oleh Bang Djun. Balita manis berambut kepang dua itu berbisik kepada papanya, “Pa, orang itu baik ya....pipi Lindu dicium.”
“Ya, Bos Papa memang orang baik,” jawab Alex kepada putrinya.
“Penilaian anak-anak adalah polos dan paling jujur. Kami juga tak melupakan segala kebaikan Bang Djun,” timpal Saya.
Saya juga membuka cerita bahwa Saya dipanggil Abang oleh Iqbal dan Davy gara-gara Saya mengaku anak Bang Djun. Tepatnya saat melakukan pertemuan dengan Bupati Sanggau, Mickhael Andjioe.
Demi suksesnya lobi pada saat itu, Saya menelepon Bang Djun dengan panggilan papa. Mungkin Bang Djun saat menerima telepon Saya di tengah hari itu merasa aneh, tapi Mickhael Andjioe percaya dan langsung teken surat perjanjian yang menjadi misi perjalanan Saya dari Kantor Harian Equator. Kisah lucu di tahun 2003 ini beredar luas di kantor dan Iqbal serta Davy mengetahuinya.
Saya juga memanfaatkan kesempatan buat pamit dengan Bang Djun untuk ke tanah suci Mekah. “Alhamdulillaah...” ungkap Bang Djun hingga dua kali, sampai-sampai badannya nyaris bersandar di kursi kerjanya.
“Saya...mungkin harta ini belum cukup buat pergi haji,” jawabnya.
“Kapan berangkat?” tanyanya.
“Tanggal 23 Desember. Insya Allah nanti mengundang...” kata Saya.
Di malam perpisahan ini, sesungguhnya Bang Djun menawarkan kami semua untuk tetap bekerja di Harian Equator, tapi kelima redaktur yang istilah Bang Djun dinon-aktifkan sudah bulat melangkah ke luar. Terlebih Bang Djun juga mengatakan bahwa hukum tetap harus ditegakkan. Hirarki harus dihormati.
Karena hirarki baru sudah terbentuk, seluruh keluarga besar Equator tahu masalah apa yang sedang dihadapi, tahu bagaimana jalan keluarnya, Bang Djun pun tahu bagaimana membawa Equator jauh lebih maju, berarti tugas Saya sudah selesai dengan baik. Saya menolak penilaian kalau Saya dicap sebagai memecah-belah Equator. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang Saya lakukan adalah benar. Hatta, Bang Mahdi sebagai security sekalipun Saya mintai pendapatnya, apakah gerakan mosi ini benar? Begitupula kepada Pak Untung Sukarti selaku orang Jawa Pos di Pontianak Post. Kepada penasihat hukum Equator, W Suwito, SH, MH pun kami berkonsultasi agar mosi tak ada celah hukumnya.
Soal rapat dengan kawan-kawan tak usah ditanya lagi. Wong memang mosi adalah gerakan bersama yang diteken oleh 38 orang karyawan-karyawati.
***
Saya diajak oleh Chandra Ibrahim, seorang mantan aktivis pers mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta untuk masuk ke Harian Equator di pertengahan tahun 1999.
Ketika itu bulan Juni. Harian Equator baru saja berdiri Desember 1998. Jumlah halamannya masih delapan. Tipis. Harga Rp 1000 per eksemplar.
Chandra muallaf turunan Tionghoa dan kerap datang berdiskusi di Remaja Masjid Mujahidin. Saya salah satu anggota dan aktivis di Remaja Masjid Mujahidin.
Perkenalan dengan Chandra selain di Remaja Mujahidin untuk diskusi nilai-nilai agama, juga di Kaliurang. Ketika itu Saya dan Chandra berada di dalam forum yang sama, Diklat Jurnalistik yang digelar Majalah Himmah Universitas Islam Indonesia (UII).
Dalam acara rehat, kami bicara soal Kalbar yang kaya potensi sumber daya alam, tapi masih minim tangan-tangan terampil untuk mengolahnya. Lantas kami diskusi bagaimana cara mengelola potensi itu menjadi nyata sesuai idealisme yang sedang tumbuh di kala masih mahasiswa itu. Salah satu caranya menurut kami waktu itu adalah dengan pers. Dengan pena. Yakni pencerdasan lewat informasi yang edukatif.
Bukankah kata kunci dari pengelolaan SDA adalah SDM? Kata kunci dari SDM adalah pendidikan? Kami setuju dengan esensi dari SDM adalah pendidikan. Hanya Chandra memilih kuliah di Jogjakarta, sementara Saya di Pontianak.
“Okelah, kita bagi-bagi tugas. Terpenting punya semangat belajar.” Begitu kesimpulan diskusi kami di daerah yang cukup tinggi dan dingin tersebut.
Di Diklat Jurnalistik Kaliurang Saya puas. Ada Emha Ainun Nadjib yang mengajari penulisan kolom dan tampil membacakan puisi “Lautan Jilbab” di mana 100-an orang tersedu menangis. Benar-benar aksi seni yang tak pernah Saya nikmati di Kota Pontianak. Lantas terngiang-ngiang dalam pikiran, alangkah jika situasi aktivis dan seniman bisa mengejawantah di Pontianak. “Semoga bisa dikelindan oleh pers mahasiswa di Pontianak,” begitu benak Saya.
Pada Diklat Jurnalistik yang dikemas dengan Kongres Pers Mahasiswa itu, Saya terpilih sebagai Presidium Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Wilayah Kalimantan. Inilah buat kali pertama Saya duduk di organisasi elit tingkat Pusat. Terpilih sebagai Ketua Presidium saat itu Rommy Fibri (wartawan Tempo yang kini mengepalai liputan khusus di SCTV).
Sebulan kemudian Chandra mengirimi Saya sebuah jaket doubleside (dua sisi: luar dan dalam). Salah satu sisi berwarna biru tua seperti jaket almamater Untan dilengkapi dengan tulisan bordir warna kuning “Tanjungpura University”. Penempatannya di bagian belakang—besar—melengkung seperti busur panah. Kecil di dada bagian kiri tertulis nama panggilan saya, “NoerIs” dalam huruf rangkai. Cantik sekali. Saya suka.
Lalu lapis jaket satu lagi berwarna hijau tua. Lengannya berwarna hitam. Simbolik warna ini adalah bendera HMI. Saya memang anggota HMI. Dalam perjalanan karir keanggotaan, di tahun 1993 Saya menjadi Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Pontianak. Jaket ini selalu menemani liputan-liputan Saya untuk pers kampus.
Tak hanya berlambangkan HMI, tulisan di bagian belakang “Remaja Mujahidin”, dan di bagian depan sebelah dada tertulis kata “Ulul Albab”. Ulul Albab adalah nama Forum Komunikasi Mahasiswa Islam (FKMI) di Fakultas Pertanian Untan, di mana Saya juga wakil ketua di dalamnya. Ulul Albab sendiri diambil dari ayat Quran yang berarti orang-orang yang berpikir.
Memakai jaket “inspirasi” Chandra ini membingkai rasa persahabatan yang dalam karena ada esensinya. Esensinya selain pers mahasiswa, persaudaraan sesama muslim, juga aktivis kampus.
Idealisme mahasiswa dan kampus yang punya semangat belajar dalam ruang geraknya kemudian adalah menginginkan perubahan dari bengkok menjadi lurus, dari salah menjadi benar, dari buruk menjadi baik. Itulah ruh reformasi yang di tahun 1990-an sedang bergelinding bagaikan bola salju. Medium pergerakannya—pilihan kami adalah pers. Orientasinya Kalbar dalam arti lokal, dan nasional-internasional dalam artian global. Ketika itu memang populer pernyataan, “Think globally, act locally.”
Saya sebagai Wapimred Tabloid Mimbar Untan dalam kebijakan redaksionalnya selalu bersandar pada platform atau visi: kritis, ilmiah, independen. Pada sisi lain doktrin tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat juga merupakan lem perekat.
Tawaran Chandra kepada Saya untuk bergabung ke Harian Equator tidak hanya sekali dua kali. “Sudah ke Equator belum?” tanya sosok yang suka berbaju kaos dibalut jaket ini setiap kali bertemu Saya ketika meliput di lapangan. Saya memang sudah bekerja meliput terkait pekerjaan sebagai reporter di Radio Volare 103 FM. Saya bekerja di radio group terbesar di Kalbar itu dengan pimpinan H Amiruddin Manaf, SE sejak awal 1997.
Kalau Saya katakan, “Belum sempat Bang Chandra.” Tampak wajah kecewa darinya. “Ke sanalah, temui Bang Djun atau Bang Holdi,” katanya.
Saya kenal dengan Pak Djunaini KS yang kerap disapa Bang Djun dan kenal dengan H Holdi, S.Ag alias Bang Holdi lantaran ketika menjadi aktivis di Untan Saya sudah kerap turun-naik redaksi Akcaya Pontianak Post. Oleh karena itu sedikit banyak Saya sudah tahu karakter serta kehebatan mereka di bidang jurnalistik.
Ajakan Chandra bergabung ke Harian Equator selain Saya timbang sendiri juga minta masukan keluarga, serta beberapa orang tua yang Saya nilai bijak. Mereka antara lain mantan kepala sekolah Saya, Ir Supandry Usman, tokoh kritis H Rousdy Said, SH, MS, Kahumas Untan Drs Suryadi Sowinangun dan Ketua KAHMI, Drs Awang Sofyan Rozali.
Saya pada akhirnya memutuskan untuk hadir ke redaksi Harian Equator malam hari sekitar pukul 18.30 WIB. Kehadiran Saya disambut Chandra dengan senyum sumringah. Ia membawa Saya bertemu Bang Djun di ruang kerjanya. Ruang pemimpin redaksi yang sederhana sebagaimana kantornya yang Saya lihat masih sempit. Hanya satu ruko dari lantai dua hingga lantai tiga di mana sisi kanannya ruko milik pengusaha Tionghoa dan kini menjadi ruko Tukang Gigi serta di sisi kiri ruko Koperasi Bank Kalbar.
Bang Djun tak banyak bicara setelah berjabat tangan serta berkenalan dengan Saya. Ia agaknya kenal muka dengan Saya karena sudah biasa bertemu di Akcaya Pontianak Post. Ia langsung mempersilahkan kerja sambil mengatakan, “Ini koran baru. Kita mau kembangkan. Chandra pasti sudah banyak memberikan gambaran,” ungkapnya sambil duduk di kursi Pimred dengan berhadapan sebuah layar monitor komputer.
Saya hanya mengangguk dan tak banyak tanya. Lalu kemudian Chandra membawa Saya berkenalan dengan para redaktur yang sesungguhnya sudah Saya kenal. Mereka antara lain Bang Holdi, Bang Toing, Mas Taufik dan tampak juga rekan kuliah Saya di Kampus Untan, Fenny Larasati. Yang disebut terakhir ini adalah putri Bapak Bey Akoub mantan Pimred di Harian Akcaya.
Tak ada rasa kikuk dan kaku. Saya dikatakan Bang Holdi, “Oo, Nuris sih aku dah kenal. Langsung ngetik jak buat berite,” katanya sambil tersenyum dengan aksen Pontianak yang kental. Holdi memang tipe orang yang murah senyum dan suka “besakat”.
Saya garap berita mahasiswa kehutanan Untan akan latihan pemadaman api. Tulisan pertama itu pun terbit.
Keluarnya tulisan dengan kode “kan” itu adalah tanda Saya diterima bekerja. Tak ada surat lamaran kerja yang Saya buat. Bang Djun selaku Pemimpin Redaksi atau Pimpinan Perusahaan juga tak pernah menagih. Ya sudah Saya jalani saja.
Saya tahu kalau Equator sebelumnya dipimpin oleh Pimred, Drs Yasmin Umar. Bang Djun adalah Pimred Akcaya Pontianak Post. Terjadinya pergantian pimpinan dari koran besar dengan koran kecil di benak Saya muncul tanda tanya. Tapi, bukan wartawan jika tak terusik untuk tahu.
Bang Djun mengatakan Dia korban kebencian Pak Tab, sosok yang menjadi CEO Pontianak Post. Kebencian itu lantaran Pak Drs H Tabrani Hadi ketika masih Asisten Sekda Provinsi Kalbar berambisi menjadi Sekda. Bang Djun tidak setuju dan tampak dalam pemberitaan di Pontianak Post. Caranya dengan mengkritik Gubernur HA Aswin.
“Pak Tab dendam,” kata Bang Djun dalam banyak kesempatan.
Lepas dari aroma dendam dan mutasi seperti itu, diukur dari segi waktu Saya masuk Equator dengan Bang Djun bertugas di Equator juga relatif sama-sama baru. Selang waktunya hanya beberapa bulan saja. Ibarat orang menyelam, kami sama-sama menyelam. Hanya umur yang membedakan bahwa Saya baru mampu menyelam di sumur sedangkan Bang Djun sudah sampai ke dasar lautan.
“Bang Djun perlu orang-orang potensial untuk mengembangkan koran ini,” pungkas Chandra ketika memprospek Saya. “Bang Djun mau membawa Equator tak kalah dari Akcaya Pontianak Post,” timpalnya.
Bang Djun percaya kepada Chandra untuk merekrut wartawan baru karena Chandra adalah perwakilan Gatra. Selain itu Chandra juga aktivis di KPMKB. Bang Djun pun anggota KPMKB karena Dia pernah kuliah di UI. Hanya sayang, karena situasi awal Orde Baru ketika itu, kuliah di kampus paling bonafide di Jakarta itu tak sampai tuntas dialami Bang Djun.
Di Equator Chandra menempati posisi Redaktur Ekonomi. Sayang Chandra tidak lama berada di Harian Equator. Ia memilih keluar karena manajemen Equator kurang memberikan perhatian kepadanya. Ia kemudian lebih aktif di Yayasan Madanika dan Gatra. Ia juga menggarap media alternatif bagi kalangan pelajar SMU untuk menambah-nambah asap dapur. “Jangan meniupkan angin surga kepada mahasiswa-mahasiswi bahwa pers bisa memberikan kesejahteraan. Realitasnya pers masih mempekerjakan intelektual dengan gaji buruh,” tuturnya kepada Saya karena selalu tampil bersemangat jika menjadi pemateri diklat jurnalistik mahasiswa. Salah satu peserta diklat yang kini menjadi wartawan di Equator atas sentuhan diklat Saya bersama Chandra adalah Anton Perdana.
Keluarnya Chandra menjadi tanda tanya bagi Saya. Kenapa orang yang “dekat” dengan Bang Djun pilih keluar? Pertanyaan ini sukar Saya jawab, kendati Saya pun merasa bekerja di Equator hanya diganjar 200-an ribu karena Saya masih baru. Perjalanan waktu kemudian menjawabnya.
Rutinitas pekerjaan di Harian Equator membawa Saya akrab bersama Andi Muzzammil, S.Ag; Yusriadi, MA; Rahmat Efendi, S.Ag, Rudy Agus Haryanto dan Fenny Larasati, S.Hut.
Andi Muzzammil adalah cowok berwajah cakep, kerap kali berkumis dan berjanggut jika ia terlambat mencukurnya. Ia tampak berwibawa karena tak banyak bunyi melainkan banyak bekerja. Poskonya liputan kriminal. Ia menggunakan vespa Excel. Jika Ia mengendarainya dengan kacamata hitam serta berjaket kulit, wah lebih gagah.
Andi yang dalam tulisan-tulisannya berinisial “and” terkenal paling ulet dan rajin. Ia bekerja tanpa kenal waktu. Terbukti pesawat handy talky (HT) selalu melekat di pundaknya. Oleh karena itu jika ada laporan di polisi tentang begini dan begitu, Ia cepat turun meliput. Tak kenal waktu, malam atau subuh hari.
Yusriadi seorang master atau strata dua. Pemilik tubuh tinggi semampai dengan rambut pendek dan rapi stylenya bersih. Saya sudah kenal dengan sosok ini lewat tulisan-tulisannya di Warta Tarbiyah (Wata) ketika masih jadi aktivis pers kampus. Media internal kampus ini terbit di IAIN Syarif Hidayatullah Pontianak (kini STAIN Pontianak).
Di jajaran wartawan, Yusriadi sangat istimewa karena bertitel MA (master of art)—bahkan belakangan Ia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universiti Kebangsaan Malaysia dengan beasiswa. Ia berada di posko liputan kota dengan reputasi amat sangat membanggakan. Ia sudah mengukir nama baik buat Kalbar di tingkat Internasional.
Hal lain yang membanggakan, pemilik kulit kuning langsat ini tak akan mau terima amplop—termasuk isinya, tentunya—jauh sebelum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir dengan kampanye wartawan anti amplop.
Lain Yusriadi yang berasal dari Uncak Kapuas lain lagi dengan Rahmat Effendi berasal dari Jawa. Aksen suaranya medhok. Bang Toing kerap memanggilnya dengan sapaan “Kacong.” Tapi soal sapaan di dapur redaksi selalu menjadi bumbu pergaulan. Tak ada yang marah. Sebaliknya malah bercanda dan suasana kaku ditekan oleh deadline menjadi fresh atau segar dengan tawa riang.
Rahmat Efendi yang menulis dengan inisial ref tipikal orang yang tahan banting. Si pengendara vespa kecil ini nyentrik dengan jaket tebalnya. Tulisan-tulisannya cukup tajam. Terutama menyangkut politik.
Sayang Ref tak berumur panjang bekerja di Equator. Ia tertimpa musibah karena mulai masuk “arena terlarang.” Bahasa Haji Holdi yang kala itu Redpel, “Rahmat Efendi tak tahu wilayah-wilayah yang tak boleh disentuh antara lain Budiono Tan,” ujarnya.
Selaku Redpel sebetulnya Ji Holdi sudah memberikan rambu-rambu, tapi Ref tergoda untuk masuk ke dalam. Pada gilirannya setiap naskah Ref tak lagi disentuh oleh Bang Djun sehingga Ia merasa disingkirkan. Begitulah akhirnya Rahmat Efendi mundur teratur dari Equator tanpa ada terima selembar suratpun!
Rudy Agus Haryanto adalah wartawan yang nyentrik. Ia dandy tampil meliput dengan mobil jeepnya yang terbuka. Ia juga menenteng kamera yang lensa telenya panjang belasan senti.
Saya kagum dengan Rudy yang hoby memotret ini. “Saya memang hoby dengan fotografi, bahkan punya koleksi kamera yang lumayan lengkap,” ujarnya. Ketika itu wajah Harian Equator sebagai koran kriminal amat kental dengan warna hasil jepretan serta tulisan-tulisan Rudy.
Pemilik rambut ikal bergelombang ini termasuk wartawan yang produktif dan setia kawan. Ia tak ragu dan sungkan menerima order kawan-kawan dari liputan lain, termasuk Saya yang “lintas sektoral” kalau perlu foto atau bantuannya. Kendati saat itu alat komunikasi yang paling canggih adalah pager yang kerap berbunyi tut tut tuuut...lampu merahnya menyala.
Rudy A Haryanto yang menjadi sahabat di lapangan ternyata juga tak betah berlama-lama di Equator. Ia keluar setelah berdebat cukup sengit dengan Bang Djun. “Saya tak mau tulisan Saya dirubah-rubah karena berisiko nyawa,” ujar Rudy menyoal tulisan-tulisannya mengenai reformasi di Kalbar. Lebih khusus lagi mosi terhadap Gubernur HA Aswin.
“Gile Bang Djun nih. Udahlah kite jadi TO (target operasi, pen) para preman karena mengkritik HA Aswin, masih lagi tulisan diubah-ubahnye. Perlindungan? Boro-boro,” keluh Rudy.
Keluarnya Rudy dari Harian Equator juga tanpa tertib administrasi. Memang tak ada upaya membenahi administrasi sejak awal Equator berdiri kendati Bang Djun adalah Pemimpin Perusahaan, Pemimpin Umum bahkan Direktur Utama, selain sebagai Pimpinan Redaksi—tentunya. Nah, yang muncul justru “Kontak Minggu” sebagai arena mengadili seseorang semau hati Bang Djun. Seperti biasa, Djunaini KS menuangkan uneg-uneg dan pikirannya seenak perutnya saja.
Keluarnya satu per satu awak redaksi Harian Equator juga dikeluhkan Holdi yang saat itu menjadi Redpel. Kerap seusai bekerja sekitar pukul 01.00 para redaktur melepas penat dengan kumpul di warung kopi. Di sini banyak hal dibicarakan, mulai dari hal serius sampai gurau ngalur ngidul di mana membuat tawa tergelak-gelak.
Di warung kopi, di mana ada Holdi, biasanya di situ ada Bang Toing dan Mas Taufik. Ketiganya kerap bercerita, bahwa mereka bersemangat “lari” dari Akcaya Pontianak Post ke Harian Equator karena ingin “lari” dari otoritarianisme Bang Djun. Kala itu Bang Djun adalah Pimred Harian Akcaya Pontianak Post.
Otoriternya Bang Djun berada pada kepentingan pribadinya. Misalnya soal kedekatannya dengan Budiono Tan. “Pak Budiono jangan disentuh. Kalau disentuh, habislah kita ditelan Bang Djun. Sebaliknya, jika ada kabar baik tentang Budiono Tan, wah tulisan kita bisa jauh lebih bagus dibuatnya,” kata Holdi.
Penjelasan Holdi ini sejalan dengan cerita Rudy. Naskah berita yang diedit bisa berubah 180 derajat. Jika salah-salah, risikonya nyawa.
Saya dalam perjalanan 7 tahun bekerja di Equator juga mengalami masalah ini. Tulisan Saya tentang tahun baru China di mana ada komentar Dr Rosye Angela Adjianto dipangkas habis oleh Bang Djun. Kala itu Saya tidak tahu kenapa? Belakangan Saya tahu bahwa Bang Djun tak senang dengan Rosye. “Pantaslah Bang Holdi dkk tertawa kepada Saya soal barang yang boleh ‘disentuh’ dengan tidak.”
Berhadapan dengan kasus seperti Rosye yang tak boleh dimuat tak ada penjelasan dari Bang Djun. Kita jadi harus pandai-pandai mencari tahu.
Di antara kawan-kawan, Saya sesungguhnya dinilai paling pandai mengetahui keinginan Bang Djun. Oleh karena itu naskah berita Saya relatif aman. Terutama pasca kasus Rosye, sudah ada penjelasan dari Bang Holdi dkk. Tapi rupanya tingkat kesabaran Saya mendampingi Bang Djun cuma 5 tahun sebagai Redpel. Dalam kurun waktu setahun terakhir sebelum Saya dinon-aktifkan semakin banyak daftar hitam tokoh-tokoh yang tak boleh dimuat. Mereka—yang saya ingat—adalah: Drs H Ilham Sanusi, H Marzuki Pasaribu, Adhie Rumbee, H Gusti Hersan Asli Rosa, Lie Khie Leng/Lindra Lie, Maikhel Yan Sriwidodo, SE, MM, HM Akil Mochtar, SE, MH, Drs AR Muzammil, M.Si, dlsb.
***
Aliansi Jurnalis Independen adalah organisasi kewartawanan yang paling sigap dan keras membicarakan prihal kami “dipecat.” Sebuah pertemuan dilakukan di Hotel Gadjahmada.
Hadir pada saat itu Aswandi, Budi Darmawan, Rudi Agus Haryanto, Sahat Saragih, Mela Danisari, Nurul Hayat, Muklis, Eva dan Levy. Mereka urun rembug.
Dari kami berlima semua hadir. Saya, Ence Yus, Alex, Dek dan Tanto. Kamar yang disewa atas kerjasama Antara dan Hotel Gadjahmada terasa penuh sesak.
Saya diminta bercerita bagaimana kejadian sebenarnya di luar isi mosi dan berita di internet yang sudah mereka baca. Lalu Saya bercerita apa adanya dari A sampai Z. Beberapa kawan-kawan menyela memberikan tambahan.
Keputusan dari pertemuan itu adalah, bahwa AJI memberikan daya dukung optimal terhadap hak-hak kewartawanan. Jika kelima orang redaktur dipecat, mesti ada pesangonnya. Tapi jika tidak, hak-haknya juga harus jelas. “Jadi tidak mengambang seperti isi surat penon-aktifan ini,” ulas Sahat Saragih.
Kata Sahat pula, jika kawan-kawan dipecat, AJI bersikap setidak-tidaknya berjuang mencarikan kerjaan baru di lapangan jurnalistik. “Setidaknya bagi anggota AJI,” imbuhnya.
Kami kemudian menempuh jalan pengurusan pesangon. Langkah demo dan jumpa pers kami urungkan. Terlebih setelah talkshow di Radio milik Zulfydar Zaedar Mochtar di mana kru redaksi Equator semua mendengar, dan SMS dari Lina (Sekred) masuk. Lina mengatakan, “Sampai hatinya Abang-abang menceritakan bahwa tiras Equator hanya tinggal 3.500 eksemplar. Makin sulitlah iklan tuh...Kasihanlah dengan kami-kami,” gugatnya.
Saya trenyuh dengan SMS Lina. Saya katakan kepada kawan-kawan, untuk sementara talkshow kita stop saja dulu.
Tujuan kami talkshow sesungguhnya adalah untuk memberikan penjelasan kepada publik tentang apa yang sedang terjadi pada diri kami. Apalagi bertiup isu bahwa kami dipecat karena kami melakukan makar dan atau karena Pilgub 2007. Soal Pilgub Saya pikir sangat naif.
Lihatlah Equator selama terbit, apakah ada berpihak kepada salah satu kandidat? Kecuali Akil Mochtar yang “diblacklist” oleh Bang Djun? Soal Akil yang ditulis Yusriadi pun, apakah ada jawaban Bang Djun menyalahkan? Terbukti saat Yusriadi bertanya di malam tanggal 30 itu, Bang Djun mengatakan, “Oh, hanya salah komunikasi saja Yus,” imbuhnya enteng.
***
Usai mandi dan salat Duha Saya tarik kendaraan roda dua yang setia menemani Saya sejak kuliah dan bekerja di Equator. Astrea Prima warna hitam dengan tebeng warna putih.
Masih tak jauh dari rumah di jalan Kompleks Meranti Indah—Parit Haji Husin II Pontianak ketika minggu pertama dipecat pertanyaan masuk di dalam dada Saya. “Apakah kamu bahagia setelah keluar dari Equator?”
Pertanyaan ini Saya hadirkan karena Saya gelisah dan gundah juga dengan perasaan Saya sendiri setelah tidak lagi bekerja di Equator. “Ya Saya bahagia.”
“Di mana letak kebahagiaan itu?”
“Bahwa Saya tidak lagi perlu berbohong kepada siapa pun juga.”
Berbohong ini adalah menjawab pertanyaan audien yang kerap kali kalau Saya diundang sebagai pembicara atau pelatih di Diklat-Diklat jurnalistik, “Adakah intervensi yang dirasakan di Equator?”
“Tidak!” kata Saya saat Bang Djun membiarkan kami bekerja dengan bebas dan penuh alasan logis. Tapi ketika setahun terakhir di mana intervensi makin kuat, Saya semakin lemah. Akhirnya Saya bersikap bulat, keluar adalah jalan terbaik daripada berbohong dengan diri sendiri.
Hati siapa yang tak sakit untuk berbohong terus kepada kepala daerah, atau bos-bos pengiklan bahwa Equator maju dan pesat? Hati siapa yang tak resah jika menghadapi tamu-tamu yang datang ke Equator kita bicara berbusa-busa soal idealisme pers? Soal kontrol sosial? Soal peran Equator di dalam membangun Kalbar? Fungsi Equator sebagai edukator?
Surat via email pun masuk memberikan daya dukung. Sejumlah Redpel di JPNN memberikan dukungan dengan satu kata: ambil hikmahnya. Langkah apapun yang ditempuh, jika penuh keyakinan akan membuahkan keberhasilan.
Telepon dari para tokoh di Kalbar pun masuk bertalu-talu. Ini membesarkan hati Saya dan menambah kebahagiaan Saya. Bahwa ternyata mereka ingat dan berkesan dengan Saya selaku jurnalis. Selaku orang yang berusaha menulis dengan jujur, jelas dan jernih.
***
Jujur, jelas dan jernih. Ketiga kata itu kata penting yang ditanamkan Bang Djun. Ini pemikiran orisinil dari Beliau yang alumni Majalah Tempo. Tempo punya slogan: jujur, jernih dan jenaka pun bisa.
Saya hanya mencoba menerapkan ilmu jujur. Yakni tidak berbohong pada diri sendiri, termasuk kepada pembaca. Ini benar-benar penting dalam penegakan pers yang punya harkat dan martabat yang tidak sekedar membaca susunan kata-kata yang indah tanpa makna.
Saya yakin pers yang jujur adalah pers yang adil. Pers yang fair.
Fairness dalam jurnalistik mengandung rumus sederhana A+B+C+D+E = F. (Accurate, Balance, Clear, Detachement dan Etics). Itulah Fairness.
Mosi yang diajukan tak lepas dari rumus fairness tersebut. Saya berusaha menerapkan kesemua bagian di atas dengan sebaik-baiknya selama menjadi Redpel. Alhamdulillah prestasi cukup terukir. Equator sempat menjadi juara pertama koran terbaik di bawah penilaian UNFPA untuk pemberitaan Keluarga Berencana. Tahun sebelumnya keluar sebagai runner up di mana Pontianak Post yang menyabet gelar juara pertama.
Kerap kali pula Equator menjadi base-camp para peneliti asing seperti Jamie Davidson dari George Washington University, Isako Kabayoshi—warga Jepang yang study di California—Iqbal Jayadi dosen UI yang menyelesaikan S3-nya di Den Haag—Belanda, dan Equator menjadi partnership seminar internasional bertajuk journalism in ethics and investigative reporting di mana hadir Prof Ralph Barney dari Mass Media Ethics serta guru besar jurnalistik di Brigham Young, Utah, AS. Juga hadir Roberta Baskin peraih Niwman Fellowship di Harvard University serta Atase Pers Kedutaan Besar AS di Jakarta, Stanley Harsha.
Bang Djun di luar soal manajemen internal Equator juga punya sisi humanistik lain yang patut dipuji. Ia mudah tersentuh dengan nurani.
Andi Muzzammil yang sakit misalnya. Beliau cepat datang membesuk. Begitupula dengan Pak Tabrani Hadi selaku CEO Pontianak Post. Saya mendampingi Beliau untuk membesuk ke rumah sakit.
Bang Djun hanya punya kelemahan lain yang kadang menutupi hal nurani di atas, yakni “pembisik.” Kalau pembisiknya kuat menjilat, Ia bisa berbalik 180 derajat.
Bang Djun soal makan tak hitung-hitung. Kami merasa keluarga besar. Ini kami nikmati selama 7 tahun 3 bulan.
Hanya makan-makan di malam terakhir Saya tak dapat duduk satu meja dengan Beliau. Sudah ada teman makan baru yang bisa mendampingi. Tugas Saya sudah selesai di Harian Equator.
Semoga semua hikmah dapat dipetik. Seperti kata Mutadi yang menggantikan posisi Saya selaku Redpel ketika selamatan haji di kediaman Saya, Sabtu 9 Desember, “Nur, maafkan kejadian yang telah lalu!”
Seraya berpeluk mesra, Saya katakan kepada Mutadi, “Sejak hari pertama pun sudah Saya maafkan,” kata Saya. Saya pun sudah minta maaf kepada Bang Djun, baik lewat pertemuan langsung di Kantor Harian Equator, via telepon maupun SMS. Lepas dari urusan internal kantor ini Saya pikir sebagai sosok individu biasa tak ada masalah apa-apa antara kami semua.
Dengan maaf-memaafkan posisi kita semua kembali zero-zero. Kosong-kosong. Posisi yang ibarat selembar kertas putih, bisa diisi dengan catatan baru yang penuh arti bagi menapaki kehidupan yang sukses. Buat kita semuanya.
Ir Ary Ginandjar pengembang ESQ mengatakan zero mind process. Dengan posisi zero kita bisa mencapai hasil yang tak terhingga. Rumus matematikanya: satu per nol = tak hingga. Mari kita renungkan bersama-sama. Maju bersama-sama. *
Senin, 12 November 2007
Tujuh Tahun di Equator
Posted by Noeris at 09.49
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar