Empat paket calon gubernur masing-masing UJ-LHK, OSO-Lyong, Akil-Mecer dan Cornelis-Christiandy telah melewati serangkaian proses panjang sehingga mematut diri layak menjadi Gubernur Kalbar 2008-2013.
Keempat paket di atas telah melewati proses panjang meniti karir di bidangnya masing-masing. Keempat calon lahir dan dibesarkan di Kalbar sehingga mengenal Kalbar dan terkenal di Kalbar.
UJ lahir di Sekadau. LHK Kapuas Hulu. OSO Ketapang dan Lyong Kapuas Hulu.
Akil lahir di Kapuas Hulu dan pasangannya AR Mecer Ketapang, sedangkan Cornelis di Landak dan pasangannya Christiandy, Pontianak.
Dilihat dari aspek kelahiran masing-masing kandidat punya kantong massa masing-masing. Tetapi untuk Kapuas Hulu dan Ketapang masih harus terbagi-bagi. Namun demikian pembagiannya diyakini tidak 50:50 apalagi daerah kantong suara juga ada yang gemuk dan ada yang kurus—melainkan bisa satu lebih besar dari yang lainnya. Begitupula terhadap Sekadau, Landak dan Pontianak tergantung sebesar apa “magnet” ketokohan sang calon gubernur atau wakil gubernur.
Dilihat dari aspek kemampuan dalam memimpin, kesemua calon sudah membuktikannya piawai, hanya skopnya saja ada yang kecil, sedang dan besar. OSO pernah menjadi Wakil Ketua MPR RI. Akil Wakil Ketua Komisi III DPR RI. UJ CEO A Latief Corporation dan incumbent Gubernur Kalbar. Cornelis Bupati Landak dan Ketua DPD PDIP Kalbar.
Dilihat dari pendamping—dalam hal ini Cawagub—LHK incumbent Wagub dan pernah menjabat sejumlah posisi penting di pemerintahan, seperti Biro Pembangunan Pedesaan; begitupula Ignatius Lyong yang terakhir menjabat Asisten 1 Sekda Pemprov Kalbar.
AR Mecer adalah dosen matematika di FKIP Untan sekaligus pencetus lembaga ekonomi kerakyatan bernama Credit Union yang amat kesohor hingga mancanegara. Sementara Christiandy Sanjaya adalah guru, Kepala Sekolah dan Yayasan YPK Imanuel. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Kota dari Partai Bhinneka Tunggal Ika.
Sejak awal memilih pasangan semua kriteria pasti telah dihitung plus-minusnya. Partai sebagai “perahu” yang akan membawa kandidat juga pasti sudah memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional. Konsideran ekonomi, sosial, politik hingga budaya sudah dikalkulasi bersih.
UJ-LHK mematut diri sebagai pasangan harmonis. Di masa kepemimpinan dua tokoh ini memang tampak harmonis sehingga selalu sejalan seiring. Maka prestasi demi prestasi dapat diraih jika dibandingkan sejumlah kepala daerah dan wakil yang disharmoni. Bahkan di Ketapang Morkes sudah “cerai” dengan Madjun karena tidak cocok paham, lantas masing-masing “berlomba” merebut simpati warga kendati akhirnya incumbent Morkes terpilih kembali.
Di Sambas juga demikian. Terjadi “disharmoni” antara Burhanuddin dan Prabasa. Pada gilirannya di dalam Pilkada langsung Burhanuddin menang mayoritas.
Di Sanggau terdengar sayup-sayup adanya disharmoni. Kita juga akan melihat bagaimana akhir dari kondisi itu. Apakah Yansen Akun dan Setiman akan tetap berpaket atau jalan sendiri-sendiri di 2008.
Tanpa perlu mengupas sejumlah kepala daerah di kabupaten-kota, kita melihat harmonisasi itu penting. Jika harmonisasi tak terjadi, maka rakyat jadi korban. Ibarat dua nahkoda yang berebut jentera. Perjalanannya bisa menabrak karang dan penumpang bisa celaka.
Dengan landasan itu pula OSO memilih Lyong. Ia yakin TOSS (simbol kemenangan dengan pertemuan dua buah gelas berisi minuman kegembiraan). TOSS juga berarti Tim Oesman Sapta Sukses.
Akil Mochtar sendiri memilih Mecer. Ia yakin inilah pasangan terbaik. “Tak perlu banyak bicara, tapi banyak bekerja,” ungkapnya di mana-mana.
Cornelis memilih Christiandy. Lepas dari tokoh politik dan kependidikannya, Christiandy beretnis China/Tionghoa dan Katolik sehingga yakin dengan jargon, “Bersatu Kita Menang”.
Dan saya berpendapat bahwa kemenangan dalam pilkada gubernur ini amat sangat ditentukan oleh pasangannya masing-masing. Sejauh mana pasangan bisa memainkan peran mengisi kekosongan peran dari sang Calon Gubernur yang sudah rerata menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
Adalah menarik di sini mematut Cagub-Cawagub berdasarkan etnisitas dan agamanya. Kendati paham etnis maupun agama lebur dalam simbol NKRI Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua, yakni Indonesia. Namun pemilih kita di Kalbar masih besar tergolong pemilih emosional ketimbang rasional.
Nilai-nilai etnis dan agama belum tentu dinalar sebagai nilai-nilai universal yang mengerucut pada toleransi, kasih sayang, bertindak jujur dan adil. Melainkan sekedar sama, langsung coblos tanpa wira-wiri lagi.
Eriyanto salah seorang pakar riset publik yang kerap meneliti peluang kemenangan calon kepala daerah di Indonesia mengatakan kemenangan dominan diraih oleh mereka yang sensitif dengan pemilih emosional ini. SBY salah satu contohnya. Ia terpilih karena sebagian besar warga bersimpati kepadanya lantaran “teraniaya” di Kabinet Megawati. Ia juga dinilai “ganteng” oleh sebagian pemilih ibu-ibu. Tutur katanya yang cantik memikat hati para intelek.
UJ memilih LHK karena sentuhan emosionalnya adalah harmonis. Konsideran Melayu-Dayak sudah masuk dalam hitungannya. Konsideran Islam-Katolik sudah direken. Termasuk capaian visi-misi harmonis dalam etnis masih laku dijual dalam kampanye. Tentu logis menunjukkan keberhasilan karena dalam 5 tahun kepemimpinannya Kalbar aman, sementara provinsi lain yang masih bergolak amat pahit untuk suksesnya pembangunan seperti Poso dan Ambon, serta Papua. UJ-LHK juga dengan bangga mengampanyekan 12 prestasi nasional yang dicapai semasa kepemimpinannya sehingga sesumbar mengatakan, “Kami tidak mengumbar janji-janji tapi sudah terbukti. Oleh karena itu tinggal melanjutkan sehingga agenda-agenda besar bisa dicapai ketimbang calon baru dengan konsep baru. Pasti butuh penyesuaian lagi.”
OSO memilih Lyong juga dengan pertimbangan emosional etnisitas, religiusitas, selain intelektualitas. OSO dengan segala nama besarnya, hotel besarnya, bahkan juga “terkaya” dengan dana yang diumumkan KPK sebesar Rp 186 miliar menjamin akan memberantas korupsi. Ia menjual emosi kemarahan rakyat karena korupsi makin menjadi-jadi sembari menawari pendidikan dan kesehatan gratis.
OSO amat yakin menang seiring dengan banjirnya massa selama masa kampanyenya. Termasuk trend yang ditunjukkan sejumlah lembaga survey. Trend OSO-Lyong naik.
Akil juga sadar akan peran “emosi” dalam meraih kemenangan. Untuk itu ia menunjukkan keseriusannya dengan menggalang kekuatan sejak dini. Ia paling dini dan getol berkunjung ke desa-desa. Tak kurang dari 1300 desa dikunjunginya. Ia membantu dan menarik simpati dengan sejati baik dari masjid ke masjid maupun gereja ke gereja.
Ia memilih AR Mecer juga dengan pertimbangan yang amat matang. AR Mecer adalah “Bapak CU”. Asset yang terkumpul sudah ratusan miliar. Jumlah anggota Credit Union ratusan ribu KK.
AR Mecer juga dapat penghargaan di Swedia laiknya peraih nobel. Di kalangan masyarakat Dayak AR Mecer adalah bapak pembangunan. Dialah aktor intelektual yang banyak bekerja daripada umbar kata-kata.
Cornelis memilih Christiandy dengan pendekatan profesional dan pendidikan. Keduanya bergelar master.
Dalam perhitungan Cornelis yang dapat rekomendasi Dewan Adat Dayak untuk menjadi Gubernur pilihan masyarakat Dayak, dengan bergabung dengan konstituen China/Tionghoa maka kemenangannya meraih suara terbanyak sudah di depan mata.
Hitungan matematika dari perahu PDIP ini adalah Dayak plus China/Tionghoa sama dengan bersatu kita menang.
Jadi, faktor emosional yang manakah yang akan berhasil keluar sebagai pemikat hati rakyat? Cornelis memang paling sensitif dan peka membaca situasi. Ia yakin dengan menjadi nomor satu dia bisa membangkitkan emosi kepemimpinan Gubernur beretnis Dayak pada 41 tahun silam.
“Kini saatnya untuk Dayak tampil sebagai nomor satu. Untuk jadi nomor dua sudah pasti. Dan kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi. Saat sekarang adalah kondisi yang paling baik.” Demikian jurkam “jualan” dalam arena kampanye.
Berdasarkan kenyataan memang terjadi konsolidasi dan soliditas suara Dayak. Terlebih dengan sudut pandang ini, totalitas suara kandidat yang muslim sebagai Cagub (muslim identik dengan melayu, pen) menjadi pecah tiga. Maka dengan rumus kemenangan 25+1, Cornelis paling berpeluang menjadi Gubernur Kalbar 2008-2013.
Tetapi matematika kemenangan tidak semudah hal itu, masih banyak faktor yang menjadi variabel penentunya karena hingga kini dari 2,9 juta pemilih sebagian besar adalah floating mass, atau massa mengambang. Terlebih massa pemilih resmi di kantong-kantong suara yang dikuasai Cornelis (Landak, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Melawi) bukanlah kantong suara gemuk. Yang paling gemuk adalah Kubu Raya, Sambas, Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Mereka inilah yang “under limit” akan menentukan kemenangan pasangan Cagub-Cawagub.
Belum lagi hitungan manuver politik yang dilakukan MUI dan 21 ormas Islam. Pada mulanya mereka tidak ada terdengar akan menyuarakan politik praktis dukungan akhirnya menurunkan fatwa untuk mencoblos paket nomor satu: UJ-LHK agar suara muslim yang identik dengan melayu tidak pecah.
OSO-Akil tentu protes. Dan protesnya didengar rakyat.
Pada akhirnya, dari berbagai sudut pandang, mulai dari fisik jasmaniah hingga mental ruhaniah maupun manuver politik, upaya menuju KB1 sudah punya kekuatannya masing-masing, tergantung retak tangan keberuntungannya masing-masing pula. Tergantung pula kepada siapa akhirnya Tuhan menggerakkan hati setiap pemilik suara untuk mencoblos nomor berapa.
Jika diibaratkan dengan final bola piala dunia, tim-tim yang berlaga antara 1, 2, 3, 4 sama-sama punya nama tenar. Masing-masing punya reputasi dan kans untuk keluar sebagai pemenang utama.
Namun bola itu bundar. Dalam waktu injuiry time pun masih bisa tercipta peluang sehingga yang under-dog pun bisa menciptakan gol sehingga tampil sebagai jawara. ■
Minggu, 11 November 2007
Menghitung Peluang Kemenangan Calon Gubernur
Posted by Noeris at 12.33
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar