Kamis, 08 November 2007

Aqiqah Nada, Hut Ocha


Sabtu, 27 Nopember 2007 rame acara di rumah kawasan Jalan Paris II, Meranti Indah D18. Saya dan Andi punya hajatan. Pertama, aqiqah Nada yang lahir 23 Agustus yang lalu. Kedua, Ocha berulangtahun yang keempat. Dia lahir 26 Oktober.
Persiapan acara di rumah nyaris tak banyak sentuhan tangan saya. Semua banyak disiapkan Andi. Saya selama 5 hari tak berada di Pontianak lantaran keliling wilayah Timur Kalbar sejak Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi hingga Putussibau. Jarak PP sekitar 1500 Km. Dan saya nyetir sendiri tanpa ada supir serep.
Kalaupun ada koordinasi bersama Andi paling banter dengan handphone. Telepon genggam amat sangat membantu. Saya di dalam mobil rasanya tak jauh-jauh amat dari rumah.
"Perlu ini mas," kata istri saya.
"Boleh," kata saya menyoal menu ini dan itu. Tentu selama dananya ada.
"Kambing tak cukup satu Mas, perlu tambah satu lagi," kata istri saya.
"Ah masak sih? Kalau untuk aqiqah anak cewek kan cukup seekor kambing?" kata saya. Kecuali anak laki-laki disyaratkan dalam ajaran Islam untuk potong dua ekor kambing.
"Bukan soal syariat Islam, tapi syariat makan..." kata istriku. "Soal menu kari kambing takut tak cukup," katanya.
"Kalau ada dananya ya go a head."
"Take it easy ada sumbangan Oma." Andi berseloroh.
Di dalam mobil kijang tua tahun 1995 aku didampingi Tanto dan Yulan menikmati perjalanan. Lagu-lagu dari tape recorder setia menghibur. Ada lagu Widuri, "Ngak Ngik Ngok-nya Koes Plus" dan lagu-lagu pop anak muda masa kini.
***
Keberangkatan saya, Hairul "Dedek" Mikrad (manajer marketing), Tanto Yakobus (redaktur), Arthurio (biro Landak), Herkulanus Agus (Biro Sanggau), Endang Kusmiyati (Biro Sintang) dan Yulan Mirza (Biro Kapuas Hulu) pada Senin (22/10) pagi. Sekitar pukul 08.00 WIB.
Badan mobil penuh sesak. Yulan diantar istrinya sampai di depan kantor Borneo Tribune di Jalan Purnama Dalam no 2.
Kami sudah menyiapkan segala perangkat. Baik komputer, ban serep, tali kawat, tang, dongkrak dan tentu saja sejumlah cemilan.
Bahu Jalan Purnama masih kucel oleh dampak hujan deras di mana jalan tergenang banjir. Kami pun terseak-seok merambat hingga ke Landak.
Aku membawa mobil dengan pelan. Tak lebih dari kecepatan 80 Km/Jam. Umumnya standar 60 saja. Prinsipnya alon-alon waton kelakon. Dan di sepanjang jalan Athur jadi "bunuhan". Maksudnya jadi sumber ledekan...Syukurnya yang diledek pun senang sampai-sampai sekujur tubuhnya bergetar kalau ketawa ngakak. Athur duduk paling belakang sendiri dengan tubuh gempalnya. "Tak ape-ape, kite kan agik bejuang," celotehnya dengan riang.
Athur ambil posisi belakang karena dia paling dekat mencapai lokasi. Sekitar 275 Km dari pusat kota Pontianak.
Jarak tempuh ke Landak kami selesaikan dalam 5 jam. Perut pun sudah keroncongan. Kering-kerontang dan di dalam seolah bergendang-gendang minta diberikan pasokan.
Kami makan di rumah makan Padang di Pasar Ngabang. Luahhhap sekalllee. Saya pun ketemu makanan favorit rendang, and so on nambah dua kali. Asyiik.
Seusai makan kami menuju lokasi penginapan Arthur di Jl Pangeran Nata. Dua tiga kali mencari titik lokasinya barulah ketemu. Maklum kami semua orang baru.
Tak lama kami berleha-leha di Pangeran Nata, jalan masih jauh. Kami juga harus cek ban mobil yang sepertinya bocor.
Bengkel terdekat jadi sasaran. Di saat ban mobil diperiksa, saya, Dek dan Endang salat Ashar-Zuhur jamak takhir qashar. Dan seusainya Dedek dapat telepon dari rumahnya di Sungai Raya Dalam Kota Pontianak bahwa adik iparnya minggat dari rumah. Ia pun harus mudik mengurusi kasus tersebut.
Dengan rasa sedih Dek pamit. Ia pun berkirim SMS. "Mohon maaf kawan-kawan saya tak bisa ikut membesarkan Tribune di daerah."
Kami terus SMS-SMS-an. Saling ledek. Saling bercanda. Kami menikmati pertemanan dan persahabatan. Kami memang punya semboyan keberagaman dan kebersamaan.
Tiga jam kami sudah tiba di Sanggau. Sudah malam. Perut pun kembali luapar.
Agus didrop di depan Tugu Stomboal. Ada keluarganya di sini. Kami bincang-bincang sejenak untuk kemudian makan di Cafe dekat Jembatan Gantung. Kami makan ditemani pengusaha Tionghoa Akim. Usai makan kami menginap di vilanya di Sanggau Permai. Mantap. Sebuah lokasi yang eksotis dengan panorama bukit serta sungai Sekayamnya. Ibarat kita berada di Kaliurang dan memandang Jogja di bawah. "Di malam hari cantik, di pagi hari juga eksotik," puji Tanto.
Vila Akim tampak kurang terawat, padahal semua bahan bangunannya berkelas satu. Rasanya sayang, tapi Akim bukan tipikal pemuja materi. Dia kini jauh lebih sufi. Penganut Katolik yang taat dan sederhana dalam kesehariannya.
Selasa pagi 23 Oktober tepat di Hari Jadi Kota Pontianak kami menikmati kopi hangat di Kota Sanggau. Tepatnya di Warung Kopi Ameng. Ameng tak lain tak bukan adalah ayah kandung Akim sendiri. Kami juga makan sate dan sejumlah penganan lain sebelum bertolak ke arah Sintang.
Jalanan menuju calon ibukota Provinsi Kapuas Raya ini berkelok-kelok dan berbukit-bukit. Selain melewati perkebunan-perkebunan sawit dan karet, kami juga melewati 2 kabupaten pemekaran, yakni Sekadau dan Melawi. Kami juga sempat mampir ke Kantor Credit Union Keling Kumang. Bangunannya megah dan aset miliaran rupiah. Sebauh bank di pinggir hutan.
Beranjak pagi, tiba di Sintang sore sekira pukul 5. Saya salat jamak zuhur-asar dan bersama Tanto dan Endang plus Yulan "tembak" ke Melawi. Jarak 60-70 Km kami anggap sepi karena sudah melewati ratusan km perjalanan. Padahal di Melawi kami hanya ngopi dan bincang-bincang bersama rekanan.
Malam hari perut rasanya keroncongan setelah diisi di warung Padang saat masuk Sintang. Kami mampir di Care dekat Bandara Soesilo, tapi tak ada makanan. Kami hanya menikmati goreng kentang dan juice.
Karena perut sudah tak tahan akhirnya melalar cari warung nasi. Sudah jam 10 malam. Seusai makan, Endang kembali didrop di rumah keluarganya sementara kami bertiga (aku, Tanto dan Yulan) menginap di Hotel Chika-Baning.
Pagi hari pukul 06.00, Rabu (24/10) kami menuju Uncak Kapuas. Pagi jam 08.00 kami sarapan pagi di Simpang Silat.
Perjalanan ke Uncak Kapuas sama dengan dari Pontianak ke Sintang. Jalannya jauh lebih berkelok, curam, terjal dan masih banyak ruas yang belum dilapisi aspal. "Tapi sekarang kondisi jalan sudah yang terbaik," kata teman saat kami makan malam bersama di Kota Putussibau. "Biasanya jalan berkawah di musim hujan. Kadang banjir memutus jalan sehingga kebanyakan orang tidur di tengah jalan," timpalnya.
Aku bergidik ngeri karena tak sedikit informasi begitu masuk ke kupingku. "Ini perjalananku pertama nyetir sendiri ke Kapuas Hulu. Pernah sekali naik bis Perintis," jawabku. Kami makan ikan khas. Toman. Bicara kami pun sudah sidak magang-sidak magang he he.
Kami tidur pulas di pusat kota dekat Masjid Jami. Lantunan azannya membangunkan aku untuk salat Subuh dan kemudian karena masih capek ya tidur lagi he he he. Bangun tak bangun sudah jam 07.00 dus sarapan pagi untuk kemudian ketemu Bupati Abang Tambul Husin. Usai bincang-bincang dengan Sentua, kami makan siang lebih awal untuk kemudian mudik.
Di benak ku bayangan Kota Pontianak sudah dekat. Aku hendak berada di tengah keluarga untuk acara Aqiqah Nada dan Hut Ocha.
Tapi apa daya, kita berharap Tuhan pula yang menentukan. Di tengah jalan ban mobil kami bocor dan harus ditampal di Riam Macan. Beberapa jam setelah itu, roda belakang sebelah kanan pecah. Asapnya masuk ke badan mobil. "Apa yang terbakar To?"
"Entah..."
"AC kali," kata saya.
"Ah ndak nih...mungkiun radiator." Kepala Tanto mendongak ke dekat kaca mobil setelah tangannya meraba-raba ventilasi AC yang normal-normal saja.
Aku putuskan memperlambat laju kendaraan di jalan berkerikil tersebut. Setelah rem diinjak tuntas dan kami keluar barulah kami sadar bahwa ban belakang sudah tinggal kawat. Idiih serem! Syukur kami tak terjungkir ke jurang pinggir jalan.
Dalam hati kalau tak segera ada bantuan pastilah aku terlewatkan acara Nada dan Ocha. Tapi syukurlah lewat kendaraan proyek "si Raja Truck" sehingga kami dapat meminjam dongkraknya. Dongkrak yang kami bawa ternyata bocor. "Dasar dongkark buaya," damprat Tanto.
Tak hanya dongkrak tapi beberapa orang membantu kami mengganti ban tanpa mau dibayar sepeserpun. "Wuih masih kaya hati orang-orang di sini," pikirku memuji. Sebab biasanya dalam kondisi seperti ini banyak yang minta pamrih. Bahkan dulu terkenal upeti di tengah jalan. Maksudnya jalan dilubangi dan kendaraan dibantu lewat disertai minta kutipan perbaikan jalan. Padahal hanya kedok saja. "Kita beruntung," kata tanto.
"Puji Tuhan," kataku. "Alhamdulillah."
Sejak ganti ban serep kami jauh lebih perlahan-lahan. Tapi jalan pulang selalu lebih cepat dari saat keberangkatan. "Karena sudah tidak ada yang memanggil-manggil," kata Mertuaku, Hj Emi Rukiah, aku kutipkan buat Tanto soal mengapa jalan pulang selalu lebih cepat dari saat keberangkatan.
Perjalanan selalu menantang. Di tengah kantuk kami kerap menabrak lubang. Terlebih jalur jalan Sanggau-Landak banyak yang bolong-bolong. Tak urung sepanjang beberapa kilometer kami merayap dengan lampu mobil putus. Tapi syukur ada mobil Porch yang menyuluh dari belakang dan entah mengapa ada sebuah lubang yang sekali mobil terhentak tiba-tiba lampunya nyala lagi.
"Luar biasa perjalanan kita ini To. Penuh cobaan," kata saya di tengah siaga seusai mengantuk sambil nyetir.
Kami tiba di Landak dan tidur di Biro Athur sekira jam 02.00 dinihari. Sudah ada Lukas sang fotografer kami di sini. Dia memang kami pinta datang ke Landak pake kendaraan umum sendiri karena Sabtu adalah hari besar bagi Pemkab Landak. Gedung megah senilai 15 miliar hendak diresmikan.
Kami sama-sama menaiki Gedung Baru Pemkab Landak tersebut. Setelah puas wira-wiri dan wawancara serta potrat-potret sana-sini kami tembak makan siang bareng, diskusi dan kemudian aku with Tanto bablas mudik ke Pontianak.
Di tengah jalan kami sempatkan mampir ke Mandor. Ziarah sejenak kemudian membawa oleh-oleh Entuyut yang sedang naik daun. Entuyut si Kantong Semar.
Di Sungai Pinyuh kami minum menyegarkan tenggorokan. Oleh-oleh satu dua kami angkut bawa pulang. Saya bawa ebi, teri dan sotong kering. Tanto pilih oleh-oleh ala Malaysia buat kedua bocah-bocahnya.
Tiba di Pontianak sore hari. Rasanya beda sekali Kota Pontianak dengan daerah-daerah. Ibarat kita memasuki Jakarta dan merasa Pontianak amat kecil. Atau memasuki New York dengan merasa Jakarta kecil.
Aku mendrop Tanto di kediamannya kawasan Jalan Danau Sentarum. Aku pun sudah bisa jamak Asar dan Magrib di rumah sendiri.
Rasanya badan pegal dan patah-patah. Tapi pekerjaan menumpuk. Mata yang sudah minta dipejamkan kalah dengan desakan pekerjaan yang harus ditangani. Mindset otak mengatur jam tubuh untuk menyesusaikan diri. Ya aku meniup balon-balon untuk acara Hut Ocha, menjemput keluarga untuk pikul karpet dari saudara-saudara dengan keliling dari Paris ke Amsterdam (ceile gaya Eropa...maksudnya Paris adalah Parit Haji Husin dan Amsterdam sama dengan Ahmad Yani Masuk ke Sungai Raya Dalam :)
Mau tak mau badan baru bisa rebah pukul 01.00. Besok pagi sudah acara aqiqah. Start Asyrakalan pukul 09.30 WIB. Ratusan undangan datang. Ayah-ibu-ku datang. Mertua laki dan perempuan semua lengkap, termasuk eyang-eyang. Namanya juga keluarga besar plus kawans. Kiri-kanan semua lengkap.
Acara tak putus-putusnya. Mulai dari Asyrakal dipadu kemudian arisan keluarga, Hut Ocha hingga undangan bebas. Kawan-kawan dan kolega berdatangan hingga pukul 23.00. Praktis aku tak dapat masuk kantor. Tapi syukurlah kaderisasi sudah jalan lebih cepat di "3Bune". Everything okay.
Nada dan Ocha pun tersenyum. Aku terkapar. Besok pekerjaam memberesi seisi rumah juga menumpuk. Barang pecah belah seperti kapal pecah. Tapi tak mengapa masih ada saudara-saudara yang membantu.
Senin saya sudah harus masuk kantor.
Kepuasan batin tak terlukiskan. Kepuasan ini memancarkan energi tak ternilai harganya sehingga spirit begini terasa mengalahkan korosi fisik.
Ini mungkin yang dimaksud dengan semangat hidup, pandangan hidup, dan juga tentu saja he he he pegangan hidup!

0 comments: