Senin, 13 Agustus 2007

Maskot Enggang Gading Distilir

Layaknya organisasi dan lembaga-lembaga yang kukuh-kuat membutuhkan simbol sebagai maskot. Kami juga berpikir demikian. Oleh karena itu kami berpikir keras simbol apakah yang hendak kami tampilkan.
Pemikiran yang masuk beragam-ragam untuk karakteristik regional Kalimantan pada umumnya dan Kalimantan Barat pada khususnya.
Ada teman yang mengusulkan Sungai Kapuas sebagai simbol karena menghubungkan satu region dengan region lainnya, menghubungkan satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Ada pula yang menyodorkan ide khatulistiwa dengan pertimbangan ini garis tengah bumi yang melintasi ibukota Kalbar, Pontianak. Ada pula yang mengandalkan anggrek hitam atau buntut tikus yang secara spesifik hanya dimiliki hutan hujan tropik (tropical rain forest) di Kalbar. Tapi ada pula yang menyarankan ikan Arwana. Ide terakhir ini dengan asumsi nyata pada simbol yang digunakan Indo Siar. Ingat-ingat saja lembaga media elektronik itu menggunakan ikan kendati dimodifisir menjadi ikan bionik.
Alih-alih semua ide di atas bernilai filosifis dan karakteristiknya jelas, kami masih punya satu opsi yang membuat kami “kesengsem” sampai “jatuh cinta”. Yakni burung Enggang Gading (rhinoplaz vigil).
Burung sudah lazim digunakan sebagai simbol suatu lembaga, perusahaan atau bahkan negara. Indonesia negara yang kita cintai ini, menggunakan simbol burung Garuda. Tak urung negeri super power, negeri adi daya Amerika Serikat juga menggunakan simbol burung dengan semboyan E Pluribus Unum—sebuah semboyan yang negara kita menonjolkan Bhinneka Tunggal Ika. Esensinya, atau benang merahnya pada keberagaman atau pluralisme. Pas benar dengan visi dan misi kami yakni idealisme, keberagaman dan kebersamaan.
Burung juga menyiratkan kehidupan nyata. Ia makhluk hidup yang bernapas layaknya manusia. Dia juga bergerak, tumbuh dan berkembang sebagaimana manusia. Bukankah manusia juga tergolong “hewan” yang berakal? Ulama besar, Rashid Ridho menyatakan, “Al insaan hayawatun nathieq.” Artinya, manusia adalah hewan yang berakal.
Pendapat Ridho senada dengan temuan-temuan arkeolog seperti kita mudah temukan seperti pitecantrophus erectus, pitecantrophus wajakensis dan sebagainya. Alhasil burung menyiratkan kehidupan yang luas.
Sifat burung paling utama tentu saja terbang. Ini satu makna yang penting bagi kami sebagai media di mana aktivitasnya berujung tombak pada reportase, liputan, journey atau perjalanan. Kami suka dengan simbolik ini karena menyiratkan kami harus selalu terbang. Harus selalu bisa membuat laporan-laporan yang meyakinkan. Harus selalu menyajikan dengan sudut pandang yang luas, tinggi dan bergengsi. Jauh lebih utama dari itu adalah disiplin verifikasi. Verifikasi adalah standar inti yang hendak kami tawarkan kepada pembaca.
Simbol burung tak aneh kita lihat di media. Metro TV misalnya. Ia menggunakan simbol burung rajawali. Hal senada digunakan oleh RCTI.
Dari sedemikian banyak burung, kami “jatuh cinta” dengan burung Enggang Gading. Burung ini sudah lama menjadi maskot Kalbar. Tokoh pers sekaligus “budayawan” Kalbar HA Halim Ramli bahkan memolesnya sehingga tampil memikat, lalu oleh Pemprov Kalbar ditetapkan sebagai maskot Kalbar.
Lebih tua dari penetapan Enggang Gading sebagai maskot Kalbar, di kalangan masyarakat etnik Dayak eksistensi Enggang Gading lebih merasuk ke relung waktu dan jiwa lebih dalam lagi. Mereka sudah menganggap Enggang Gading sebagai sumber spirit. Oleh karena itu dalam sudut mitologi Enggang Gading ini mereka ibaratkan dewa, atau sumber kepercayaan.
Kami suka dengan nilai-nilai spiritual itu karena kami melihat dari nilai-nilai universalnya. Nilai universal paling menonjol dari Enggang Gading adalah cinta kasih, rasa sayang, dan kesetiaan.
Ungkapan-ungkapan di atas bukan sekedar ‘ngecap’ atau mencocok-cocokkan laksana bermain catur. Kami memang tak mahir bermain kata tanpa makna. Kami hanya berikhtiar dengan membongkar referensi atas morfologi dan biologinya di literatur-literatur ilmiah.
Secara morfologi, burung Enggang Gading khas Kalbar jauh lebih cantik dan indah ketimbang Enggang di region lain bumi Kalimantan. Ekor Enggang Gading kita panjang dan berwarna hitam-putih. Cula atau tanduk di kepala Enggang Gading kita juga lebih kecil sehingga tidak “besar pasak daripada tiang”. Artinya proporsional.
Secara biologi Enggang Gading punya daya survival yang tinggi. Ia mampu bertahan di hutan belantara yang liar dan buas. Ia bersarang di pohon-pohon yang tinggi.
Dalam hal kesetiaan, Enggang Gading paling utama. Sebagai contoh harmoni adalah saat induk betina mengeramkan telurnya. Induk jantan menjaga dengan setia selama tiga bulan lamanya. Ini tentu kesetiaan dan kebersamaan yang patut jadi teladan.
Melihat kekayaan makna sejak biologis, morfologis hingga filosofis dan religiusnya Enggang Gading wajar kami pilih sebagai simbol Borneo Tribune. Koran serius.
Kami memang bersemangat untuk tampil serius dan beda. Enggang Gading yang telah kami pilih sebagai contohnya. Ia tak serta merta ditampilkan apa adanya.
Banyak sekali pertimbangan yang tak mungkin kami urai satu per satu di sini. Kami mau ada sesuatu yang baru.
Ide muncul beragam. Hasil penuangan ide-ide itu kami konteskan. Hasilnya kami pampang di dinding kantor dan kemudian dinilai bersama-sama. Baik dari ukuran, bentuk, hadap-kiri atau hadap kanan sampai pewarnaan.
Berkali-kali logo ini naik turun komputer dalam proses tersebut. Disempurnakan dan disempurnakan terus. Sampailah pada bentuk akhir Enggang Gading yang distilir. Enggang Gading itu kami ukir dan sekaligus kami daftar di Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di Departemen Kehakiman.
Enggang Gading itu tidak kami warnai. Ia dibiarkan tampil hitam-putih sehingga muncul makna ketegasan. Makna ketegasan ini senada dengan tulisan Borneo Tribune yang menjadi “headmaster” koran kami. Kami ingin tegas. A di katakan A. Komitmen dikatakan komitmen.
Enggang Gading itu terbang ke arah kiri. Ini senada dengan pergerakan planet-planet dalam gugusan tata surya. Kami suka dengan simbol makro kosmos tersebut.
Kalau di simbol negara Garuda Pancasila di dadanya ada perisai, maka di dada Enggang Gading kami ada simbol terukir “love” atau kasih-sayang. Kami ingin detak jantung dan napas kerja kami sehari-hari adalah menebar cinta kasih kepada sesama. Tak ada permusuhan, tak ada dendam.
Sayap Enggang Gading kami di sisi kiri dan kanan berjumlah 9. Angka prima tertinggi. Jika digabungkan 99 adalah jumlah nama-nama Tuhan yang mulia.
Ekor Enggang Gading sebagai simbol kami berjumlah 6. Angka ini sama dengan jumlah masa penciptaan mikro dan makro kosmos kehidupan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan Cina angka enam pun disebut keberuntungan karena lafalnya nyaris sama dengan Bahasa Inggris, “Luck”.
Logo Enggang Gading yang kami pilih penampilannya berukir. Ukiran ini pun digali dari keragaman etnik yang ada di Kalbar. (Bersambung)

0 comments: