Rabu, 01 Agustus 2007

Kota Cinta Kasih Laksana Jedah


Laporan Perjalanan dari Flores (1)

Nur Iskandar
Borneo Tribune

Indonesia memang luas. Untuk mencapai Flores dari Pontianak harus menempuh rute Pontianak-Jakarta-Surabaya-Kupang dan Ende. Atau dapat juga menempuh jalur penerbangan dari Pontianak-Jogja-Surabaya dan seterusnya ke NTT. Lama penerbangan dengan pesawat yang sekitar 6 jam itu sudah hampir sama menuju ke Jepang atau Arab Saudi.
Saya mengingat Jepang dan Arab Saudi karena sepanjang perjalanan melihat lekuk gunung dan lembah yang indah seperti di Jepang, atau melewati wilayah yang kering di Kupang yang mirip Jedah. Saya terkesima karena Indonesia ini lengkap! Punya daerah yang hijau-ranau, namun juga punya daerah yang kering dengan padang rumput savana yang luas. Jika luasnya Indonesia ini bisa dikelola dengan baik, memang negeri ini laksana sepotong tanah surga yang jatuh dari langit ke muka bumi.
Kerap kali pula orang-orang Arab mengatakan, tanah di Indonesia “tongkat” ditanam tumbuh jadi tanaman. Sebaliknya, di Arab pohon ditanam, jadi tongkat. Batang singkong jika dilempar tumbuh menjadi tanaman “berbuah/berumbi”. Enak dimakan. Bisa dikelola jadi uang. Sebaliknya di Arab, pohon ditanam gampang menjadi ranting kering karena butuh air yang cukup. Di sana kering dan tandus. Kalaupun tumbuh kata orang Arab satu pohon makan banyak uang. Kata mereka, biaya satu pohon yang diairi secara khusus dengan “splinkler” sama dengan biaya sekolah di Indonesia sejak TK sampai lulus sebagai sarjana. Muahal sekali.
Di Kupang, ketika tiba di Bandara El Tari saya menyaksikan bukit dan tanah yang kering. Dedaunan pohon menguning. Bongkahan batu di sepanjang jalan sekitar bandara.
Pohon kurma terlihat di Jedah kalau kita tiba di Bandara King Abdul Azis. Di Kupang pohon yang tumbuh mencolok juga mirip kurma, karena sejenis palem. Lontar.
Kalau kurma bisa berbuah, lontar juga demikian. Kurma bisa dimakan, lontar juga demikian. Buah lontar bisa dijadikan dodol sehingga enak jadi penganan. Di Bandara El Tari bahkan dodol lontar laris-manis laku terjual sebagai oleh-oleh. Dodol itu manis pula rasanya. Uenak euy.
Kupang adalah ibukota NTT. Kota ini pernah dilanda gempa sehingga merusakkan banyak bangunan. Mungkin karena tantangan alam yang keras itulah motto kota ini adalah “Kota Cinta Kasih”. Kalau dibahasa-arabkan kira-kira menjadi Kota Ar Rahman, atau Kota Ar Rahim. Kata rahman dan rahim bahkan ada dalam pembukaan surat Alquran. Tepatnya di Surat Alfatihah. Maka dalam benak saya memuji “Hebat Kota Kupang”.
Kupang berbeda dengan daerah lainnya di NTT. Kalau di banyak tempat dominan penduduknya pemeluk Katolik, di Kupang dominan Protestan. Tapi perbedaan antara Katolik dan Protestan tidak menyebabkan mereka centang perenang. Mereka bisa bekerjasama termasuk dengan umat Islam, Hindu, Budha, bahkan di antara pemeluk-pemeluk agama ini sudah terbiasa kawin-mawin sehingga menjadi keluarga besar NTT. Keluarga besar Indonesia.
Di Kupang saya merasa aman. Saya disambut teman lama Olkes Dadi Lado. Ia Pimred Timor Lian. Sebuah media kecil yang khusus terbit bagi kalangan pengungsi korban perpecahan di Timor Leste pasca jajak pendapat di mana ratusan ribu WNI mengungsi.
Olkes adalah putra dari pendeta Protestan yang taat. Tidak hanya ayahnya yang pendeta, tapi ibunya juga aktivis gereja. Klop mereka berdua. “Tapi kakak saya menikah bersama penganut Katolik. Upacara pernikahan menggunakan cara Katolik dan Protestan. Keluarga kakak saya rukun dan kami semua rukun,” ujar Olkes. Olkes sendiri berpikiran terbuka. Baginya agama adalah himpunan nilai-nilai universal. “Apapun agamanya, terpenting bagi saya adalah nilai-nilai agamanya diterapkan dalam kehidupan nyata seperti cinta kasih, tolong menolong, harga-menghargai,” ujarnya. Menurut aktivis sosial di Kupang ini, kerap yang salah dari umat beragama adalah merasa agamanya saja yang benar dengan menyalahkan agama yang dianut orang lain. Padahal mestinya yang dilakukan adalah saling harga menghargai agama yang dianut orang lain, memberikan kebebasan menjalankan amal ibadahnya, serta tolong menolong dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
“Nuris jangan makan di sini, ini warung yang punya masakan babi. Kita makan di sana saja. Pemiliknya muslim, pasti aman,” ungkapnya penuh toleransi. Saya tersenyum senang dan respek dengan kawan lama ini karena dia menghormati tamunya.
Ketika saya di Flores Pos yang berpusat di Kota Ende, para pastor di SVD juga bertindak seperti Olkes. Mereka juga punya toleransi yang tinggi. Mereka selalu memberikan layanan makan yang bebas dari yang haram menurut Islam.
Soal toleransi umat beragama mereka juga bicara blak-blakan. “Kami di sini rukun karena sudah biasa kawin-mawin antara umat beragama. Keluarga saya menikah dengan orang Islam,” kata Pater Markus salah seorang Pastur di Sarekat Sabda Allah.
“Di Ende kita kenal wilayah atas dan bawah. Kalau atas penduduknya dominan Katolik. Kalau bawah atau daerah pantai dominan penduduknya muslim,” timpalnya. (bersambung). □

0 comments: