Jumat, 27 Juli 2007

Menjalin Network Mancanegara

Di suatu siang Jumat persis tengah bulan Juni dua orang jurnalis manca berkunjung ke dapur redaksi Harian Borneo Tribune. Mereka masing-masing jurnalis Munawar Ahmad Azies dari MTA TV International yang berpusat di London dan Rozanna Rony dari Utusan Sarawak, Malaysia.
Kedatangan dua jurnalis dengan talenta tak diragukan ini bukan tanpa sebab. Sebab utama adalah komunikasi yang terjalin baik selama ini sesama jurnalis, baik tatap wajah langsung, via elektronik mail (email), maupun kunjungan muhibah.
Rozanna, misalnya. Ia wartawati yang berkerudung dan berkacamata serta akrab disapa Nana aktif berkorespondensi dengan jurnalis dari Borneo Tribune, Asriyadi Alexander Mering. Tak jarang kedua belah pihak saling mengirimkan karya-karya jurnalistiknya buat dipublisir via media. Selain print media, juga web media.
Melalui karya-karya jurnalistik itu pulalah kerap muncul masukan-masukan atau ide-ide bagaimana kerja pers itu membumi. Atau bagaimana pers dapat melayani hak untuk tahu masyarakat. Dengan demikian masyarakat menjadi cerdas. Jika kecerdasan itu dapat diwujudkan, keputusan-keputusan secara cerdas (arif dan bijaksana) juga dapat terasakan.
***
Jumat (15/6) kemarin Nana sudah muncul di Bandara Supadio Pontianak. Ia memutuskan untuk ikut pendidikan Jurnalisme Sastrawi (JS) yang digeber Pantau Foundation yang berkedudukan di Jakarta pada 18-29 Juni. Uniknya, Nana mampir ke Pontianak dulu setelah terbang dari Negeri Jiran, Malaysia.
Nana rindu Kota Pontianak. Dalam hitungannya, ini sudah kali keempat dia menginjakkan kaki ke Bumi Khatulistiwa ini.
Dari Pontianak, setelah transit 1-2 hari ia akan bersama redaktur Borneo Tribune, Stefanus Akim untuk ikut kegiatan yang sama. Kursus JS.
Kursus JS diampu guru besar narative reporting (jurnalisme bernarasi/bercerita), Prof Janet Steel yang berkedudukan di George Washington University, AS. Dia juga adalah penulis buku sejarah Tempo berjudul “Wars Within” (Perang Batin).
Janeet Steel adalah putri dari seorang wartawan peraih pulitzer prize. Sebuah lembaga penghargaan jurnalistik tertinggi di dunia. Adiknya juga seorang jurnalis, namun Janet memilih jadi akademisi.
Janet Steel bakal menjadi dosen pengampu bagi Nana dan Akim beserta sekitar 10 peserta lainnya. Kebanyakan peserta itu adalah para jurnalis di Indonesia.
***
Kami mengembangkan networking ke manca negara. Kami melihat visi itu penting karena kita harus memenuhi tuntutan global yang kecepatannya sangat tinggi.
Adakah satu perubahan yang tidak melibatkan perubahan yang lain? Sebagi media seperti Borneo Tribune dengan visi mencakup pulau terbesar ketiga terbesar di dunia setelah Green Land dan Papua, kami memang mesti berpikir global kendati dalam tindakannya menyesuaikan dengan kondisi lokal. Think globally, act locally.

***
Mengapa Nana tertarik dengan Borneo Tribune? Jawabannya karena Borneo Tribune lahir dengan idealisme, keberagaman dan kebersamaan. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri seperti apakah wujudnya makhluk yang bernama Borneo Tribune itu.
Nana, si pemilik tubuh mungil namun manis itu mengakui tampilan Harian Borneo Tribune, “Elok juge...” Namun ia mau Borneo Tribune tampil lebih baik lagi. Ia sepakat kalau Borneo Tribune tampil beda. Wajahnya lembut dan putih. Isinya cerdas dan lugas. Menyajikan berita dengan gaya bercerita.
Nana dan Akim pada penghujung Juni nanti akan tercatat sebagai alumni Pantau, lembaga yang menyelenggarakan kursus JS. Para alumni biasanya saling membentuk jaringan demi kemudahan akses informasi serta menggali hal-hal aktual untuk direportase. Ini adalah satu networking tersendiri.
***
Munawar Ahmad Azies lain lagi. Dia begitu bersemangat mempromosikan Indonesia ke manca-negara. Lewat media yang dimilikinya, MTA TV International yang berpusat di London dengan cakupan 200 negara ia ingin mempromosikan Indonesia. Tentu yang baik-baiknya.
Munawar menilai, Indonesia ini aman, damai dan indah. Hanya saja ekspose yang kerap dilakukan adalah yang negatif-negatif melulu. “Kita butuh keseimbangan,” ungkapnya. Keseimbangan akan menyebabkan umur jadi relatif lebih panjang.
Munawar mengaku memilih bermitra kerja dengan Borneo Tribune karena media baru ini—baru launching pada 19 Mei 2007—terdiri dari orang-orang muda yang menjunjung tinggi idealisme, keberagaman dan kebersamaan. “Saya jadi ingat masa-masa saya muda dulu. Saya suka bekerja dengan anak-anak muda yang punya idealisme,” ujar Munawar si pemilik umur 60 tahun.
Munawar mengatakan institusinya mempunyai 8 satelit yang mengkover 200 negara. “Dengan bekerjasama, kita bisa. Kita bisa mengekspose apa saja ke 200 negara,” imbuhnya.
Munawar mengatakan setiap hari biro Jakarta tempat dia mangkal sekarang memiliki durasi tayang selama 1 jam. Ini terhitung sejak pukul 18.00-19.00. Siaran berbahasa Indonesia dengan running text menggunakan bahasa asing itu sebuah keluahan yang mewah. Apalagi durasi sepanjang dan seluas itu cakupannya tanpa dipungut biaya alias gratis.
***
Upaya membangun networking mancanegara kami rasa tidak mudah. Tapi kami merasa perlu membuat jaringan tersebut. Falsafahnya adalah: untuk maju kami butuh bantuan dari dalam maupun luar.
Dukungan dari dalam (internal) adalah dukungan para kru Borneo Tribune sendiri. Bentuknya paling nyata adalah soliditas para jurnalis, apakah dia yang bekerja sebagai “kuli tinta”, lay outer, ilustrator, fotografer, advertising hingga marketing. Jika solid dan kompak, tak akan ada sesuatu yang tak bisa diatasi permasalahannya. Bukankah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?
Sementara kekuatan networking dari luar (eksternal) tentu saja berbentuk dukungan moril maupun materil seumpama dari tokoh masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, kampus, LSM dan sebagainya. Hatta, bantuan Tuhan sekalipun. Bahkan yang disebut terakhir inilah yang teramat sangat penting. Bukankah kalau Tuhan berkehendak jadi, maka jadilah ia? Kun fayakun. □

0 comments: