Jumat, 27 Juli 2007

Borneo Tribune Koran Pendidikan

Banyak narasumber dan public relation bertanya, “Kemana visi dan misi Harian Borneo Tribune? Kok judul-judul dan headlinenya tidak bombastis? Haluannya kemana?”
Menarik sekali pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang mencerminkan bahwa Harian Borneo Tribune dibaca banyak pihak.
Jelas kami harus menjawab pertanyaan ini. Tidak hanya secara langsung ketika pertanyaan itu disampaikan face to face—muka ketemu muka—juga via telepon, atau bahkan harus dituangkan lewat rubrik Purnama 02 ini. Kami harus menjelaskannya sejelas-jelasnya.
Pertanyaan tentang kemana visi Harian Borneo Tribune gamblang kami tunjukkan bahwa visi-misinya adalah idealisme, keberagaman dan kebersamaan. Idealisme adalah nilai dasar universal yang ingin kami wujudkan. Nilai dasar universal yang meliputi kejujuran, keadilan, kebenaran, keberanian, kecerdasan, dan meliputi 99 asmaul husna (nama-nama yang baik). Kami menyimbolkan 99 asmaul husna tersebut dengan kepak sayap Enggang Gading (Buceros vigil) yang sedang terbang. Sayap Enggang Gading itu 9 di kiri dan 9 di kanan. Simboliknya 99.
Kami ingin terus terbang tinggi dengan melakukan reportase yang berimbang. Memberikan pencerahan sekaligus pencerdasan sehingga masyarakat bisa mengambil keputusan-keputusan yang cerdas pula.
Hal cerdas tak perlu selamanya ditampilkan dengan bombastis. Justru sebaliknya, ia perlu ditampilkan dengan putih dan jernih. Ibarat air di telaga, tampilan yang jernih akan tampak lebih teduh, sejuk dan indah. Oleh karena itu tampilan informasi kami adalah yang “cool”, teduh dan indah atau artistik. Kami tidak berusaha membuat suatu peristiwa yang biasa-biasa saja menjadi bombastis. Kalau hal itu kami paksakan, berarti kami melanggar nilai-nilai idealisme di dalam hati kami sendiri, yakni membohongi pembaca. Pembaca tak boleh dibohongi.
Kami membaca Kalbar yang heterogen dan punya potensi konflik ini dengan menampilkan berita-berita yang cool, teduh, yang mengayomi, serta ingin menjadi solusi. Paradigma ini sesungguhnya bukan tiada alas teoritisnya. Secara teori jurnalistik kami mengembangkan jurnalisme damai atau peace journalism.
Peace journalism kami simbolkan pada maskot Borneo Tribune yakni Enggang Gading yang di dadanya ada lambang love. Love berarti cinta. Berarti kasih sayang. Cinta atau kasih sayang kepada sesama.
Rahmat bagi lingkungan itu tak bersekat suku, agama, ras dan antargolongan. Kami berdiri di atas semuanya. Kami berdiri di atas nilai-nilai universal dengan etika yang mulia.
Kami ingin menunjukkan bahwa esensi dari berita kami yang tidak bombastis itu adalah pendidikan. Koran kami memang koran pendidikan.
Riset yang kami helat jauh hari sebelum harian 24 halaman ini terbit per 19 Mei 2007 dari 1000 responden dominan membutuhkan informasi yang memuat unsur pendidikan. Politik yang hingar bingar dan “hot” itu berada di urutan kedua. Oleh karena itu sajian informasi kami serius dan dilihat dari unsur edukatif daripada politis.
Pendidikan ruang lingkupnya luas. Ia bisa dilihat dari sisi pendidikan formal, informal dan non formal. Ia bisa dilihat dari skop terkecil yakni diri sendiri, keluarga, sekolah, kampus hingga pemerintah dan swasta. Alhasil, tak ada bagian dari kehidupan yang lepas dari bidang pendidikan. Walhal politik pun tak lepas dari unsur pendidikan. Bukankah pendidikan politik jauh lebih penting daripada politik itu sendiri?
Negara bahkan agama mengajarkan bahwa pendidikan mempunyai posisi penting dan strategis nomor satu. Amanat UUD 1945 pun jelas bahwa tujuan kemerdekaan kita agar kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah semangat dan vitalitas kami kukuh di sini.
***
Sebagai harian yang mengklaim diri sebagai koran pendidikan kami menyadari sejak awal bahwa kami tidak mengakomodir pornografi, porno aksi, brutalisme dan sadisme. Oleh karena itu pembaca bisa melihat sejak koran ini terbit hingga saat ini tidak ada foto-fotonya yang mengeksploitir Sekwilda (sekitar wilayah dada), Bupati (buka paha tinggi-tinggi) hingga Sekwilcam (sekitar wilayah terancam he he he). Kami menyadari itu semua seronok dan tak layak jadi bahan bacaan umum. Kalaupun ada unsur edukasi seperti sex education mungkin sifatnya terbatas dan disasarkan kepada media khusus. Penyebarannya juga khusus.
Kami senang ketika evaluasi akhir Mei kemarin di mana kami mengevaluasi semua hal di Borneo Tribune kami dapati bahwa ratio atau perbandingan antara pelanggan dengan eceran hasilnya 62% pelanggan dan 38% eceran. Hal ini sangat baik bagi starting awal kami dalam bisnis media di mana kami semakin yakin bahwa segmentasi “pasar serius” itu terbentuk karena Borneo Tribune adalah koran pendidikan. Borneo Tribune dinilai “aman” sebagai koran keluarga untuk dilanggani. Membacanya “aman” untuk anak-anak, remaja, apalagi orang dewasa.
Pendidikan yang esensial kami sadari tujuannya adalah perubahan prilaku atau attitude dari salah menjadi benar, dari bengkok menjadi lurus, dari gelap menjadi terang dari lemah menjadi kuat. Kami juga harus menunjukkan attitude itu secara internal Borneo Tribune maupun eksternal. Ekternal dalam produksi hingga tingkah laku kami sehari-hari dalam praktek wawancara, marketing, maupun bersosial-kemasyarakatan.
Jika kami salah, kami mohon maaf dan kami mau berubah dari salah menjadi benar. Tapi kami juga tak mau seperti keledai yang jatuh ke dalam lubang sampai dua kali. Kami mau menjadi makhluk pembelajar. Longlife education. Belajar sepanjang hayat.
***
Belajar adalah motto kami. Belajar sebagai bagian dari idealisme yang dituangkan dalam kebersamaan kendati kami berasal dari unsur yang beragam.
Hasil dari semangat belajar itu kami tunjukkan dengan keberhasilan menjiwai mesin cetak kami Goss Community. Pertama hasil cetakan kami kurang “kinclong” warnanya. Sekarang, puji tuhan, hasilnya semakin baik.
Tidak hanya itu kertas “waste” atau sampah—maksudnya cetakan koran yang tidak layak edar karena masih meramu tinta agar pas—juga semakin rendah persentasenya. Suatu hari bagian percetakan melaporkan waste bisa ditekan hingga 0-5%. Ini suatu hasil pembelajaran yang menakjubkan.
Di bagian marketing pembelajaran pun tidak kalah semangatnya. Jalur distribusi dan keagenan baru berhasil dirintis. Semula Borneo Tribune laksana barang langka untuk didapatkan secara eceran, sekarang sudah dengan relatif mudah mendapatkannya. Borneo Tribune sudah tampak terpampang di mana-mana.
Di bagian kewartawanan juga demikian. Semula wartawan baru sedang mencari bentuk atau gaya kepenulisannya. Dalam tempo satu bulan mereka sudah dapat menjiwai pekerjaannya yang nyaris 24 jam. Mereka harus menongkrongi peristiwa demi peristiwa untuk dilaporkan. Produktivitasnya jadi meningkat.
Improvement dan inovasi kami sadari penting. Karena pentingnya kami pun tak boleh merasa puas. Kami tetap ingin melakukan peningkatan demi peningkatan, karena untuk apa kita takutkan hari esok jika kemarin saja sudah kita lewati. □

0 comments: