Jumat, 10 Juli 2009

Pemukulan Wartawan Menciderai Demokrasi

Pers diakui sebagai pilar demokrasi keempat setelah pilar eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksistensi pers ditopang oleh undang-undang. Mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kebebasan berpendapat, maupun UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pers adalah mata dan telinga rakyat. Dengan kebebasan pers masyarakat menjadi tahu apa-apa yang mereka tidak tahu. Di ujung pena pers terjadi akselerasi pemikiran, gagasan, edukasi dan kontrol sosial. Melalui akselerasi tersebut akses rakyat tersambungkan. Yang tidak tahu menjadi tahu, yang abu-abu menjadi terang-putih, yang miskin mendapat informasi akses permodalan sehingga bisa meningkatkan taraf hidupnya, bahkan yang korup bisa dihukum sehingga dana rakyat bisa kembali kepada rakyat. Kepentingan pemerintah kepada rakyat juga terjembatani.
Pesta demokrasi seperti yang sebentar lagi akan kita jalani 8 Juli kini tercederai oleh aksi oknum yang tidak bertanggungjawab. Tepatnya saat Kampanye Cawapres Boediono di Kalbar.
Jurnalis di dalam menjalankan tugasnya dihalang-halangi oknum aparat. Jurnalis foto Kantor Berita Antara Jessica Wuysang ditarik dan Rizki Wahyuni reporter Borneo Tribune di wajahnya mendarat bogem mentah. Tak pelak, Kiki—sapaan akrab Rizki—berteriak mengaduh serta melaporkan kasusnya ke Mapoltabes. Kiki juga divisum dengan bukti pipi kirinya lebam.
Proses pemukulan kemudian berlanjut ke wilayah pidana. Landasan hukumnya penganiayaan dan kriminalisasi pers. Dan untuk mengusut kasus ini menjadi wilayah kerja profesional kepolisian maupun Dewan Pers. Adapun insan pers lokal maupun nasional mengutuk keras kriminalisasi pers tersebut. Media cetak lokal dan sejumlah televisi nasional mengupas lugas kriminalisasi pers tersebut. Tak urung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyatakan sikap agar menolak kekerasan, aparat tidak arogan, mengecam pemukulan dan menjalankan UU Pers No 40 tahun 1999. Komponen mahasiswa dan tokoh masyarakat pun angkat bicara. Mereka ingin pilar demokrasi tegak berdiri secara elegan.
TV1 mengupas tuntas kasus yang terjadi di Kalbar yang terjadi manakala Cawapres Boediono usai melaksanakan salat Jumat di Masjid Raya Mujahidin, Jumat (4/7). Di program acara tersebut Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman dengan tegas menyatakan agar mengutuk keras kriminalisasi pers. Ia juga meminta tim pengawal/ajudan SBY-Boediono diseleksi ketat. Tujuannya agar tidak terjadi kekerasan kepada para jurnalis. Apalagi sudah terjadi preseden buruk berupa pemukulan wartawan Sinar Harapan di Papua oleh oknum Satgas Partai Demokrat.
Ekspose yang dilakukan media sejauh ini untuk kasus di Kalbar proporsional dan profesional. Mereka tidak menyudutkan salah satu pihak. Mereka menyatakan apa adanya.
Persoalan permohonan maaf Cawapres Boediono dan Timkamda yang cepat direspek, tetapi tidak mengenyampingkan aspek hukum—aspek hukum terus berlanjut. Terutama respek kepada kerja jurnalistik di lapangan. Bahwa jurnalis perlu dihargai karena menjalankan tugas negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini amanah pembukaan UUD 1945. Tidaklah boleh ada lagi kriminalisasi pers, karena hal itu menciderai pesta demokrasi yang tujuannya adalah memilih top eksekutif. Jika lingkar dalam calon top eksekutif seperti ini alamat demokrasi akan kuyub.
Sekali lagi, semoga tidak terulang kembali kriminalisasi pers. Kriminalisasi pers sama dengan membunuh demokrasi itu sendiri.






0 comments: