Minggu, 10 Mei 2009

Rektor Untan Bagikan Anak Hantu

Sepanjang sejarah berdirinya Universitas Tanjungpura belum pernah terjadi dalam acara pengukuhan guru besar ada sebuah kejutan. Kejutan itu terjadi di tengah nuansa ulang tahun emas universitas negeri terbesar di Kalimantan Barat. Apa itu? Pembagian Anak Hantu.
Anak Hantu itu ada tiga. Tepatnya tiga beradik. Hantu sulung, tengah dan bungsu. Hantu tua suka menyanyi-nyanyi, menari-nari, rambutnya panjang, bagian belakang dibelah, diikat. Hantu tengah kalau berjalan berlenggak-lenggok, memandang ke atas, membusungkan dada, bersiul-siul. Bila berjumpa dengan barang-barang orang misalnya tanaman dipatahkan, anak kambing ditendang. Hantu bungsu pengakal sukatan. Sekilo dikatakan delapan ons, delapan ons dikatakan sekilo.
Mengerikan? Tidak, bahkan menggelikan. Anak Hantu yang dimaksudkan adalah buku buah karya pakar folklore yang bakal dikukuhkan sebagai profesor, H. Chairil Effendy. Ia mencetak buku khusus karya teranyarnya di samping buku pidato pengukuhan guru besar tetap dalam bidang ilmu sastra berjudul Sastra Lisan, Kearifan Lokal dan Pembangunan Berkelanjutan.
Buku berjudul Anak Hantu itu merupakan Seri Dongeng Melayu, seperti Anak Hantu adalah sastra lisan buah penuturan Marjani di Kampung Sejangkung, Kecamatan Sejangkung dan direkam ulang pada 25 Juli 1990. Direkam, ditranskripsikan, diterjemahkan, dan ditulis ulang dengan perubahan sekadarnya.
Anak Hantu adalah satu dari lima cerita rakyat yang dihimpun menjadi satu buku. Cerita rakyat lainnya adalah Si Bondang, Si Arif dan Si Bahlul, serta Si Jalal dan Si Jalil, serta Si Rancah Matahari dan Si Rancah Bulan.
Tiga Anak Hantu menceritakan tentang putri semata wayang seorang raja yang jatuh sakit. Semua orang pandai tak berhasil menyembuhkannya terkecuali seorang pria pinggir kota yang sangat miskin.
Si Miskin tak dinyana mampu membuat air penawar. Si Miskin memberikan amanah kepada raja untuk memberi hadiah kepada tiga anak hantu. Dari kisah pengembaraan menemukan tiga anak hantu ini dapat dipetik banyak pelajaran hidup kemanusiaan. Antara lain sifat welas asih, ramah tamah, sopan santun dan keikhlasan.
“Sepanjang saya menjadi jurnalis dan mengikuti proses pengukuhan guru besar di Untan, rasanya baru kali ini ada pengukuhan yang membagi-bagikan buku selain buku pidato pengukuhan,” kata saya dalam wawancara bersama Chairil di rumah pribadinya, Minggu (10/5) kemarin. “Seingat saya juga begitu,” kata Chairil yang semasa jadi aktivis mahasiswa juga menggeluti pers kampus. Tepatnya Mimbar Untan.
“Kalau begitu ini tradisi baru?” kata saya. Chairil hanya tersenyum. Ia mengatakan bahwa ia merintis tradisi akademis. “Saya ingin menunjukkan kepada civitas akademika bahwa sesibuk-sibuknya menjadi rektor masih sempat menulis.”
Chairil yang kemarin mengenakan kaos biru berkerah dipadu celana jeans biru gelap dengan santai menyeruput teh. Di depannya ada Dekan Fakultas Hukum, Garuda Wiko dan Dekan Fakultas MIPA, Thamrin Usman.
Ia menambahkan bahwa di dalam buku pidato pengukuhannya juga menggunakan referensi-referensi terbaru. “Saya ingin memberikan contoh bahwa sesibuk apapun sebagai rektor, masih sempat membaca dan menulis,” ujarnya.
Chairil Effendy menjadi pakar folklore dimulai dengan ketertarikannya kepada Nek Keti, nenek dari sisi ayahnya. Nek Keti punya keahlian mendongeng, yang dalam bahasa akademis diistilahkan dengan sastra lisan. “Kami sejak kecil diiringi dongeng sebelum tidur. Dongeng dongeng itu sangat berkesan di hati saya sampai sekarang,” lanjut Chairil.
Menjadi pakar di bidang sastra dengan warisan sang nenek, Chairil tidak melupakan Ne Keti. Di bagian pendahuluan nyaris selembar ia lambungkan puji-pujian.
Pria kelahiran Singkawang, 9 Mei 1957 ini di dalam buku pidato pengukuhan guru besarnya mengucapkan terimakasih khusus kepada neneknda tercinta. Dan dari warisan dongeng itu, hari ini Chairil dikukuhkan dengan predikat baru, profesor. Adapun buku Anak Hantu yang dibagikannya adalah buah karya yang ke-18 dari buku-buku yang sudah diterbitkan.





0 comments: