Selasa, 19 Februari 2008

Kayu Sintang-KH


Hutan bagaikan rambut di kepala. Ia menjadi pelindung di kala panas dan dingin, selain menjadi bagian dari keindahan hidup yang sempurna. Kondisi illegal logging (pembalakan liar) yang tak mampu ditangani menyebabkan kepala botak, plontos dan panas. Tak ada lagi keindahan yang eksotik. Flora-fauna dan plasma nutfah punah. Sebuah kekayaan yang maha dahsyat dihancurkan dengan nilai kerusakan alam setimpal.
Menurut data nasional yang dikutip Tempo (22/7/07), Republik ini kehilangan hutan seluas 27 ribu kilometer persegi per tahun. Kira-kira 40 kali luas Kota Jakarta gara-gara illegal logging. Ini setara dengan luas satu lapangan sepakbola per 10 detik. Pembalakan liar yang merugikan negara hingga Rp 45 triliun per tahun itu terjadi akibat kongkalikong pelaku dengan penguasa.
Kasus kayu tanpa dokumen yang ditangkap polisi maupun TNI di Kabupaten Sintang menjadi kasus “telanjang” baru untuk membedah masalah kehutanan. Tapi awas praktik “main mata” karena sudah sekian pekan kasus penangkapan terjadi hingga kini belum ada jawaban pasti siapa pemilik ribuan kayu gelondongan tersebut.
Main mata atau kongkalikong yang mungkin terjadi ada di tujuh peluang sebagai berikut:
Pertama, HPH. Menteri Kehutanan atau kepala daerah memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada pihak yang tidak kompeten sehingga yang bersangkutan kemudian memanfaatkannya dengan investor lain.
Kedua, Penebangan Hutan. Penebangan dilakukan mengacu pada izin HPH. Hasilnya dilaporkan kepada Dinas Kehutanan setempat. Modus: Pemilik HPH menebang kayu di luar areal yang diizinkan.
Ketiga, Pemeriksaan. Tim Dinas Kehutanan memeriksa kesesuaian laporan hasil tebangan dengan izin yang diberikan. Pemeriksaan meliputi asal, jenis, dan jumlah kayu. Modus: Pengusaha dan petugas kehutanan main mata, seolah-olah tak terjadi pelanggaran.
Keempat, Pembayaran Dana Reboisasi. Pengusaha yang lolos pemeriksaan membayar PSDH/DR kepada Dispenda setempat.
Kelima, Penerbitan SKSHH. Pemilik kayu meminta SKSHH dari Dishut dengan menyerahkan bukti pembayaran PSDH/DR. SK ini berisi informasi tentang perusahaan, pemilik kayu, jenis pengangkutan, tempat bongkar muat, tujuan pengangkutan, serta jenis dan volume kayu. Modus: Pengusaha memfotokopi SK lama dan mengganti informasi di dalamnya atau pengusaha mendapat SKSHH kosong dari oknum Dishut dan mengisinya dengan data yang diinginkan.
Keenam, Pemeriksaan Polisi: Polisi masih memiliki peluang untuk menghentikan kejahatan ini dengan memeriksa SKSHH yang tengah diangkut pengusaha. Berdasarkan UU Kehutanan polisi bisa memeriksa kayu-kayu sekalipun memiliki SKSHH yang dicurigai diambil dari tempat yang tidak semestinya. Modus: Pengusaha dan polisi main mata sehingga meloloskan kayu dengan dokumen tak sah.
Walhasil dari 1.138 juta km2 hutan Indonesia, 226 ribu km2 rusak parah. Jumlah kayu ilegal yang dapat diamankan jauh lebih sedikit dari yang lolos jaring hukum. Data tahun 2005 tebangan tak sah 25.534.820 sementara yang ditangkap hanya 4.026.436. Tahun 2006 tebangan yang tak sah 19.051.918 sedangkan yang ditangkap hanya 1.316.111. Lantas tangkapan di Sintang sebagai hasil tebangan dari Kapuas Hulu apakah akan dibiarkan hanyut begitu saja? Ikuti laporan khusus Borneo Tribune. ■



2 comments:

hero pertanian mengatakan...

apa kabar hutan kita....? ya semakin botak aja seperti kepala para pria yang mulai masuk usia 40 an...(termasuk saya he...he). Sedih sekali rasanya melihat sepanjang jalan Tayan -sei. Ambawang yang begitu banyak titik pengumpulan hasil tebangan hutan (sekitar 100 titik). Bayangkan kalau 1 titik mengumpulkan 1 pohon saja hasil tebangan sehari maka setahun sekitar 36.000 pohon terbunuh... Ironis sekali dengan gerakan menanam 1 juta pohon ya..
i always support your opinion regarding environment my friend !!

hero pertanian mengatakan...

i have a blog too. please visit heronimushero.blogspot.com