Kampanye Jurnalisme Lingkungan Hidup (1)
Oleh: Nur Iskandar
Pandangan dan visi yang sama terhadap lingkungan menyebabkan terjadinya sinergisitas antara Tribune Institute—lembaga pendidikan nirlaba milik Borneo Tribune—dengan EC-Indonesia FLEGT Support Project.
FLEGT singkatan dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade. Terjemahan bebasnya penegakan hukum kehutanan, tata kelola dan perdagangan. FLEGT berkantor pusat di Sumatera dan di Kalbar.
Tata kelola dan perdagangan yang legal, resmi, tidak ada tabrakan antara kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial adalah bentuk respon masyarakat Eropa terhadap praktik pembalakan hutan secara liar. Sedangkan hutan merupakan rumah dari jutaan jenis makhluk hidup. Di mana jika rantai-rantai makanan di sana terputus, maka jejaring kehidupan akan guncang.
Ketidakseimbangan ekologis telah semakin terasa sekarang. Hutan rusak, laut dan sungai tercemar. Kota dibanjiri sampah dan polusi udara maupun suara. Kehidupan menjadi panas. Global warming! Untuk itu banyak lembaga melakukan kampanye penyelamatan lingkungan.
Borneo Tribune yang memiliki freelancer di Jerman (negara Eropa, red) sengaja datang bertandang ke Kalbar untuk mengkampanyekan jurnalisme lingkungan hidup. Dia adalah Yanti Mirdayanti. Alumni strata dua di University of Massachussets.
Yanti sehari-hari bekerja untuk kegiatan sosial yang luas. Dia aktivis pencinta lingkungan hidup. Di bidang jurnalistik selain sebagai freelancer di Borneo Tribune, dia juga bekerja untuk Radio-TV Jerman DW, serta mengajar program Bahasa Indonesia di Bonn University. Selama 9 tahun dia menetap di AS, 4 tahun di Peru dan 2 tahun 7 bulan di Jerman. Kini dia berdomisili di Bonn, bekas ibukota Jerman Barat.
Pengalaman liputannya untuk hutan yang rusak di Indonesia dituturkannya kepada Koordinator FLEGT di Kalbar, Thadeus Yus saat ia bersilaturahmi di Kota Pontianak, Selasa (15/1) lalu.
Yanti dengan mata berkaca-kaca mengatakan, di Jerman para ilmuan dan aktivis ramai membahas kerusakan hutan di Indonesia yang sebenarnya paru-paru dunia. Tak kalah dinamisnya adalah upaya penyelamatan Orang Utan yang hanya dimiliki Indonesia.
“Orang Utan itu tak berekor. Ia sama dengan manusia. Kasihan sekali jika hutan sebagai rumahnya digusur. Padahal Orang Utan hanya ada di Sumatera dan Kalimantan. Di belahan dunia lain tidak ada,” katanya.
Yanti menceritakan tentang warga Jerman yang pilih menjadi WNI lantaran perjuangannya menyelamatkan Orang Utan dari kepunahan. Di Sumatera jumlah Orang Utan hanya tinggal 6500-7500, sedangkan di Kalimantan masih sekitar 65.000. “Tetapi jumlah itu terus mengecil seiring illegal logging dan perluasan perkebunan serta pemukiman. Saya tertarik untuk menjadikan jurnalisme sebagai alat penerangan,” ungkapnya.
Thadeus Yus mengakui hal itu. Katanya, FLEGT mendukung upaya-upaya penyelamatan hutan dan mendorong praktek legal atas pemberdayaan hutan. Untuk itu dilakukan pendekatan sosial kultural, intelektual, bahkan spiritual. Pendekatan spiritual pernah dilakukan bersama tokoh lintas agama yang dipusatkan seminarnya di Kampus STAIN, Pontianak.
Banyak hal yang dibicarakan antara Yanti Mirdayanti dan Thadeus Yus ditemani Mas Ipur dan saya. Dari pembicaraan seputar rusaknya lingkungan hidup di sekitar kita, diperoleh kesepakatan bahwa masing-masing pihak harus berbuat sesuatu. Dimulai dari yang sederhana, seperti tidak membakar sampah sembarangan, merokok sembarangan, dan seterusnya. Dihelat pula roadshow kampanye lingkungan hidup 15-19 Januari 2008. Disadari bahwa pers punya peranan penting untuk melakukan kampanye penyelamatan lingkungan hidup. Oleh karena itu masing-masing pihak bergandengan tangan menggelar roadshow dengan harapan seluruh peserta yang terlibat dapat menjadi agen perubahan sosial yang meneruskan kampanye ini dalam kehidupannya masing-masing. (bersambung) ■
Selasa, 22 Januari 2008
Sinergisitas Tribune Institute Bersama FLEGT
Posted by Noeris at 10.25
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar