Akibat kesalahpahaman antara dua kubu mahasiswa dari dua Fakultas yang berbeda di lingkup Universitas Tanjungpura pada Selasa sore (27/11) menyebabkan muka pendidikan di Kalbar kembali tercoreng. Hal ini membuat pihak kepolisian turun langsung ke lapangan karena takut kejadian tersebut akan berkepanjangan. (Borneo Tribune, Kamis 29 Nopember).
Kita dikejutkan dengan dua hal yang anomali. Pertama, prediksi Pilkada Kalbar yang dikuatirkan rusuh—justru tak terbukti. Kedua, dunia intelektual yang damai—justru bentrok.
Kita tentu memuji sikap masyarakat Kalbar yang dewasa menerima hasil pesta demokrasi sehingga siapa pun yang terpilih tetap keluar sebagai pemenang dan mendapat amanah memimpin roda pembangunan di pucuk eksekutif selama 5 tahun ke depan.
Sebaliknya kita mengernyitkan jidat, kenapa di tengah kampus masih saja terjadi baku-pukul sehingga membawa-bawa massa, lalu serang menyerang. Menunjukkan prilaku yang kurang terdidik. Jauh mengalahkan masyarakat kampung daripada citra masyarakat kampus yang berakhlak mulia, tutur kata halus, saling hormat menghormati dan harga menghargai.
Masyarakat Kalbar ternyata sudah lebih cepat belajar daripada masyarakat pembelahar di kampus ajar itu sendiri. Masyarakat Kalbar sudah tahu bahwa konflik laten yang terjadi justru bukan karena etnis dan agama melainkan hal-hal kecil—yang remeh temeh—seperti senggolan di keramaian, pencurian dan saling pandang dengan berujung saling baku pukul. Tak jarang juga kasus konflik dipicu karena perempuan.
Kisah rusuh di Kalbar sudah hampir satu dasawarsa sepi di tengah lingkungan kita. Serum efektifnya adalah tindakan pengamanan dari kasus-kasus kriminalitas sudah terantisipasi sejak dini. Polisi sudah berani tegak berdiri menjalankan hukum. Bila perlu tembak di tempat.
Sikap tembak di tempat jika melakukan kesalahan fatal juga dikemukakan dengan posisi siaga satu untuk Pilkada Kalbar 15 Nopember hingga pleno penetapan gubernur terpilih pada 27 Nopember kemarin. Alhasil, masyarakat terjamin keamanannya. Tak ada huru-hara dan konflik anarkis.
Tanpa dinyana, kita dikejutkan dengan aksi “brutal” mahasiswa. Kita terperanjat bahwa “hari gine” masih juga mau konflik anarkis?
Apalagi asal muasal masalah ternyata dipicu kasus saling pandang, saling olok dan kemudian baku pukul. Pada kesaksian yang lain, lebih dipicu masalah perempuan.
Kenyataan tersebut benar-benar memalukan sekaligus memilukan untuk insan ajar yang bergelar “maha” siswa. Mestinya segala ilmu yang sudah ditimba selama SD, SMP, SMA cukup sebagai bekal untuk berilmu padi. Makin berisi makin tunduk. Bukannya tong kosong nyaring bunyinya.
Syukurlah aparat segera sigap. Mereka mengatakan, jika mendapat izin Rektor, dan jika keamanan tak berhasil dikuasai aparat kampus, maka mereka akan menggunakan dasar hukum mereka untuk memasuki wilayah “kebebasan akademis/kebebasan kampus” untuk intervensi keamanan lebih dalam lagi.
Syukurlah aparat kampus bisa segera turun tangan sehingga aksi brutal tidak meluas sehingga mencemarkan nama baik kampus. Musyawarah segera dapat dilakukan. Piagam perdamaian segera dapat diteken.
Jika hal itu tak dapat dicapai, ibarat menara gading. Gara-gara nila setitik hancur susu sebelanga.
Sebagai masyarakat akademis mestinya mahasiswa jadi pelopor perdamaian. Jadi contoh teladan rakyat Kalbar. ■
Jumat, 30 November 2007
Pilkada Damai dan Kisruh Mahasiswa
Posted by Noeris at 09.43
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar